Latar Belakang Economic Model of Sustainable Shrimp Farming System Management in Sidoarjo District, East Java

Pada 2010, Asia menyumbang 89 persen dari total volume produksi perikanan dunia dan China merupakan kontributor terbesar sebanyak 60 persen diikuti oleh India, Vietnam, Indonesia, Bangladesh, Thailand, Myanmar, Filipina dan Jepang FAO, 2012. Khusus bagi Indonesia, produksi perikanan bisa terus meningkat apabila sektor perikanan budidaya terus dikekola secara berkelanjutan. Selain untuk tetap menjadi salah satu produsen perikanan di dunia, perikanan budidaya dapat menjadi salah satu solusi dalam menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakat miskin yaitu sumber protein yang dapat disediakan bagi masyarakat miskin pedesaan dengan harga yang terjangkau. Selain itu juga menyediakan peningkatan yang besar bagi pengembangan ekonomi lokal. Walaupun memang hal ini tergantung pada spesies yang dibudidaya dan intensifitas produksi. Jolly dan Clonts, 1993 Pentingnya perikanan budidaya di daerah pedesaan berkembang tergantung pada keadaan pedesaan itu sendiri. Kelayakan dari upaya pengembangan perikanan budidaya tergantung pada kondisi pemasaran lokal, ketersediaan sumberdaya alam dan keadaan sosial. Harga pasar pada spesies tertentu mungkin tidak cukup untuk menstimulasi petani tambak untuk berinvestasi pada budidaya karena adanya alasan sosial, finansial dan teknis. Sumberdaya alam seperti tanah dan air harus tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai dalam menghasilkan pengembangan akuakultur yang sukses. Selain itu, pengembangan perikanan budidaya juga harus merupakan sesuatu yang disetujui oleh penduduk setempat. Ada beberapa kondisi yang dapat memfasilitasi suksesnya implementasi pengembangan budidaya, antara lain : 1. Pasar yang menyukai spesies yang akan dibudidayakan 2. Tanggapan positif terhadap akuakultur dan kemauan dari penduduk untuk menerima perubahan yang dibawa oleh adanya industri baru. 3. Adanya kemauan politik political will untuk memberi akses pada calon petani tambak pada sumberdaya tanah, air 4. Ketersediaan benih, pakan, perlengkapan, bahan-bahan, penanggulangan penyakit dan pengobatan, kredit, dan market finansial terhadap perikanan budidaya 5. Indikator keuntungan ekonomi yang meyakinkan bagi calon petani tambak. Jolly dan Clonts, 1993 Komoditas terbesar berdasarkan nilai, terhitung 15 persen dari total nilai produk perikanan yang diperdagangkan pada tahun 2010 adalah udang. Pada 2010, pasar udang telah kembali pulih setelah penurunan yang terjadi pada 2009, walaupun volume produksi tetap, namun terjadi peningkatan harga. Pada 2011 terjadi penyusutan pada produksi udang yang dibudidayakan, namun pasar udang tetap baik. Walaupun terjadi masalah ekonomi dunia, Amerika dan Uni-Eropa tetap mengimpor udang lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya FAO, 2012. Berdasarkan nilai, negara-negara pengekspor udang adalah Thailand, China dan Vietnam. Sedangkan Amerika Serikat terus menjadi importir utama, diikuti oleh Jepang. Selain Spanyol, semua negara-negara besar di Eropa telah mengalami tren yang stabil maupun meningkat pada impor udang FAO, 2010. Produksi dari L.vannamei meningkat dari 8000 ton pada tahun 1980 menjadi 1,38 juta ton pada tahun 2004 dari produksi di seluruh dunia FAO, 2010. Di Indonesia sendiri, udang juga merupakan salah satu dari 9 komoditas unggulan yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Budidaya udang sendiri telah berkembang karena mampu menyediakan keuntungan ekonomi dalam skala nasional, regional, komunitas dan rumah tangga. Dilihat dari sudut pandang makroekonomi keuntungan dari budidaya udang antara lain adanya pendapatan dari nilai tukar asing earning for foregin exchange, diversifikasi ekonomi-khususnya dalam sektor ekspor yang menghasilkan dari nilai tukar asing, stimulasi dari sektor backward and forward linkages, menciptakan lapangan kerja, mengalirnya investasi langsung dari luar negeri dan transfer teknologi Bailey, 1998, Born et al. 1994, Bye 1990, Muluk, Bailey, 1996 dalam Neiland et al. 2001. Selain adanya tambahan pendapatan dari nilai tukar asing, budidaya udang pada level internasional juga berperan sebagai bantuan suplai produksi pada saat terjadi tekanan pada perikanan tangkap dunia untuk menghasilkan udang secara terus menerus sehingga kerugian ekonomi bagi negara-negara produsen maupun konsumen dapat dihindari. Di Indonesia pada tahun 2010, Jawa Timur merupakan provinsi yang memproduksi udang hasil budidaya terbesar setelah provinsi Sumatera Selatan dan Jawa Barat yaitu sebanyak 50.643 ton KKP, 2012. Sentra produksi udang di Jawa Timur terletak di beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Sidoarjo, Banyuwangi, Gresik, Lamongan dan Tuban dimana Sidoarjo merupakan produsen udang hasil budidaya terbesar pada tahun 2010 yaitu sebanyak 10.690 ton KKP, 2010. Di Sektor Perikanan, Kabupaten Sidoarjo memang mengandalkan udang dan bandeng sebagai komoditas unggulan, yang dijadikan maskot. Sidoarjo merupakan wilayah kabupaten yang memiliki petani tambak nomor 3 setelah Gresik dan Pasuruan yaitu sebanyak 4.170 jiwa BPS Provinsi Jawa Timur, 2010, namun pada tahun 2012, terjadi penurunan petani tambak menjadi 3.257 jiwa, walaupun peringkatnya naik menjadi nomor 2 setelah Gresik BPS Provinsi Jawa Timur, 2012. Kabupaten Sidoarjo dengan luas tambak 15.530,41 ha ternyata memberikan kesejahteraan tersendiri bagi 3.257 petani tambak dan 3.246 pandega, walaupun jumlah pandega menurun dari tahun ke tahun BPS, 2012. Selain memberikan kesejahteraan pada petani tambak dan pandega, budidaya udang juga memberikan pendapatan dari nilai tukar asing earning for foregin exchange karena hasil produksi udang organik dari Sidoarjo merupakan komoditas ekspor. Penurunan produksi budidaya udang tidak hanya berdampak pada petani tambak maupun pandega, namun juga berdampak pada pendapatan regional Kabupaten Sidoarjo. Peranan budidaya udang pada pendapatan regional Kabupaten Sidoarjo menjadi sangat penting sehingga dalam pengelolaan budidaya udang perlu dicari solusi keberlanjutan.

1.2. Perumusan Masalah

Wilayah tambak di Sidoarjo membentang di Utara ke Selatan sepanjang pantai timur, dimulai dari Kecamatan Waru sampai Jabon Lampiran 1, dengan luasan tambak terbesar terdapat di Kecamatan Sedati Lampiran 2 sebesar 1.202.800 ha yang digunakan untuk budidaya udang windu dan 533.200 ha untuk udang vanamei. Total produksi ikan khususnya bandeng pada tahun 2010 naik dibandingkan tahun 2009 sebesar 19.5 persen atau dari 16.026.800 kg menjadi 19.839.600 kg BPS, 2010, kemudian terus naik pada tahun 2011 menjadi 23.295.600 kg BPS, 2012. Produksi udang windu cenderung stabil antara tahun 2000, pada tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 6.97 persen dari 3.465.500 kg di tahun 2009 menjadi 3.725.400 kg BPS, 2010 dan terus naik menjadi 3.782.500 kg pada tahun 2011. Produksi udang vanamei mengalami kenaikan dari 1.405.600 kg pada tahun 2010 menjadi 1.676.600 kg pada tahun 2011 BPS, 2012. Selain bandeng, udang windu dan udang vanamei yang dihasilkan dari budidaya tambak masih terdapat jenis ikan lain seperti nila dan tawes dengan total produksi mencapai 19.287.100 kg sehingga total produksi dari budidaya tambak adalah sebesar 42.852.100 kg BPS, 2010. Sidoarjo merupakan salah satu wilayah pelaksanaan program revitalisasi tambak udang yang diadakan oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan, program ini memang diperlukan melihat peningkatan produksi udang yang cenderung lebih rendah apabila dibandingkan komoditas lain seperti ikan bandeng. Produksi perikanan yang berasal dari budidaya udang di Sidoarjo masih bisa ditingkatkan, namun pada saat ini banyak tambak udang yang pernah beroperasi dengan menggunakan sistem budidaya semi-intensif kembali beralih kepada sistem budidaya tradisional yang menghasilkan produksi cenderung lebih rendah. Banyaknya petani yang kembali beralih kepada sistem budidaya tradisional dan polikultur udang-bandeng disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah karena maraknya penyebaran virus udang di Kabupaten Sidoarjo yang membuat banyak petani gagal panen. Penyakit atau virus yang mewabah di Kabupaten Sidoarjo merupakan hasil dari pratik budidaya yang tidak sesuai dengan standar biosekuritas, sumber air dan bibit yang tidak sesuai standar maupun lingkungan yang tercemar. Faktor penyebab lainnya adalah pemberiaan pakan yang berlebihan sehingga cenderung menghasilkan limbah. Pola pengelolaan yang hanya memaksimalkan kapasitas produksi dengan input teknologi yang tak terkontrol seperti dalam hal ini pakan buatan yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kemampuan daya dukung perairan tambak dan kelangsungan ekosistem memicu merebak virus udang yang sampai saat ini menjadi momok menakutkan. Selanjutnya dikatakan oleh Sequiera et al. 2008 dalam Nobre et al. 2009 bahwa daya dukung pada ekosistem pesisir mewakili batasan untuk meningkatkan produksi budidaya, hal ini tergantung pada praktik budidaya yang berhubungan dengan keterbatasan lahan, ketersediaan sumberdaya pangan atau kapasitas lingkungan untuk mengasimilasi buangan-buangan limbah yang dihasilkan oleh budidaya. Pada daerah pesisir Sidoarjo praktik budidaya dan