Fungsi Cobb-Douglas dan Efisiensi pada Sistem Tradisional

Tabel 32. Hasil analisis regresi pada faktor-faktor produksi usaha budidaya udang dengan sistem tradisional Variabel Koef. Regresi t Hitung Peluang VIF Konstanta -23,085 -0,155 0,879 Luas Lahan X1 0,582 2,193 0,046 3,408 TKPP X2 0,651 2,693 0,017 1,653 T.K. Operasional X3 -0,566 -1,602 0,131 4,423 Benih X4 0,010 0,056 0,956 2,560 Pupuk X5 0,068 1,090 0,294 2,559 Kapur X7 0,070 1,388 0,187 2,159 Saponin X8 0,057 0,775 0,451 2,053 Obat-Obatan X9 -0,051 -0,400 0,659 1,436 BOD X10 -0,609 -0,009 0,993 758,558 Oksigen terlarut X11 -0,897 -0,044 0,965 445,242 pH X12 14,208 0,470 0,646 182,846 Amonia X13 -0,004 -0,007 0,995 225,850 S = 0,51759 R-Sq = 81,4 R-Sq adj = 65,5 Fhit = 5,111 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 nyata pada taraf α =5 persen Hasil dari analisis regresi pada Tabel 32 menunjukkan bahwa nilai VIF pada BOD, oksigen terlarut, pH dan amonia lebih dari 10, hal ini berarti syarat ekonometrika belum terpenuhi yaitu tidak terdapat multikolinearitas. Menurut Juanda 2009, multikolinearitas muncul jika dua atau lebih peubah bebas atau kombinasi penuh berkolerasi tinggi antara peubah yang satu dengan yang lainnya. Koefisien regresi dari peubah bebas yang berkorelasi tersebut diinterpretasi untuk mengukur perubahan Y karena perubahan peubah bebas tersebut, dengan asumsi nilai peubah bebas lainnya sama. Akan tetapi, adanya multikolinearitas berimplikasi bahwa sangat sedikit data dalam sample yang nilai peubah bebas lainnya sama, ketika terjadi perubahan terjadi dalam suatu peubah bebas yang berkolinearitas, maka pengamatan peubah bebas lainnya yang berpasangan kemungkinan akan berubah juga sesuai arah kolinearitasnya. Nilai VIF yang sangat tinggi pada keempat faktor produksi ini terjadi karena memang terdapat hubungan antara keempat faktor produksi ini. Pada pH rendah, nilai oksigen terlarut akan turun. Kadar amonia juga berhubungan dengan kadar oksigen terlarut dan pH dalam air. BOD sendiri merupakan nilai yang menunjukkan banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik PESCOD, 1973 dalam Mukti, 2006, oleh karena itu nilai oksigen terlarut dan BOD pasti berkorelasi. Faktor produksi dengan VIF paling tinggi yaitu BOD Biochemical Oxygen Demand perlu dikeluarkan dari analisis, setelah faktor produksi BOD tidak diikutsertakan maka hasil analisis regresi pada sistem tradisional menjadi seperti pada Tabel 33. Tabel 33. Hasil analisis regresi pada faktor-faktor produksi usaha budidaya udang dengan sistem tradisional tanpa faktor produksi BOD. Variabel Koef. Regresi t Hitung Peluang VIF Konstanta -24,385 -1,234 0,236 Luas Lahan X1 0,581 2,350 0,033 3,173 TKPP X2 0,652 2,801 0,013 1,638 T.K. Operasional X3 -0,567 -1,692 0,111 4,258 Benih X4 0,010 0,061 0,953 2,498 Pupuk X5 0,068 1,171 0,260 2,365 Kapur X7 0,070 1,457 0,166 2,094 Saponin X8 0,056 0,883 0,391 1,679 Obat-Obatan X9 -0,051 -0,424 0,677 1,382 Oksigen terlarut X11 -1,075 -0,540 0,597 4,562 pH X12 14,462 1,612 0,128 17,215 Amonia X13 0,001 0,008 0,993 9,606 S = 0,50004 R-Sq = 81,4 R-Sq adj = 67,8 Fhit = 5,974 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 nyata pada taraf α =5 persen Setelah BOD Biochemical Oxygen Demand tidak diikutsertakan ternyata masih ada nilai VIF yang lebih besar dari 10 artinya masih terdapat multikolinearitas dan belum memenuhi persyaratan ekonometrika. Selanjutnya dilakukan kembali analisis regresi dengan mengeluarkan faktor produksi pH karena memiliki nilai VIF yang paling besar, maka hasil yang diperoleh terlihat pada Tabel 34. Tabel 34. Hasil analisis regresi pada faktor-faktor produksi usaha budidaya udang dengan sistem tradisional tanpa multikolinearitas Variabel Koef. Regresi t Hitung Peluang VIF Konstanta 7,171 2,545 0,022 Luas Lahan X1 0,800 3,690 0,002 2,217 TKPP X2 0,472 2,204 0,043 1,263 T.K. Operasional X3 -0,263 -0,905 0,379 2,913 Benih X4 0,042 0,246 0,809 2,461 Pupuk X5 0,054 0,899 0,382 2,313 Kapur X7 0,058 1,167 0,260 2,045 Saponin X8 0,067 1,004 0,330 1,661 Obat-Obatan X9 -0,062 -0,495 0,627 1,377 Oksigen terlarut X11 -3,303 -2,201 0,043 2,361 Amonia X13 -0,173 -2,575 0,020 2,501 S = 0,52444 R-Sq = 78,2 R-Sq adj = 64,6 Fhit = 5,738 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 nyata pada taraf α =5 persen nyata pada taraf α =1 persen Fungsi produksi Cobb-Douglas untuk sistem budidaya tradisional adalah : Ln Produksi = 7,171+ 0,800 luas lahan + 0,472 tenaga kerja panen - 0,263 tenaga kerja operasional + 0,042 benih + 0,054 pupuk + 0,058 kapur + 0,067 saponin - 0,062 obat-obatan- 3,303 oksigen terlarut - 0,173 amonia. Pada Tabel 34 diperlihatkan, nilai R-Sq koefisien determinasi adalah 64,6 yang artinya 64,6 persen variasi produksi dapat dijelaskan oleh variasi dari variasi bebas dan sebesar 35,4 persen dipengaruhi oleh faktor lain diluar model. Nilai uji-F atau F-hitung terhadap model sebesar 5,738 dan memiliki nilai p 0.001 α = 5 yang artinya model mampu menjelaskan keragaman total produksi, kemudian dilakukan uji-t untuk melihat mana faktor produksi yang nyata berpengaruh, dan hasil dari uji t Tabel 34 faktor produksi yang berpengaruh nyata secara statistika adalah luas lahan, tenaga kerja panen dan persiapan, oksigen terlarut dan amonia. Uji asumsi klasik juga dilakukan pada fungsi produksi Cobb-Douglas yang dihasilkan Lampiran 6, dari hasil uji asumsi klasik tersebut menyatakan bahwa data yang digunakan pada survai ini menyebar normal dan homogen. Pada uji autokorelasi, hasil dari uji Durbin-Watson bernilai 2,449 yang menunjukkan tidak adanya autokorelasi. Selanjutnya untuk uji multikolinearitas, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa beberapa faktor produksi yang berpengaruh seperti pH dan BOD tidak diikutkan pada fungsi produksi karena setelah melalui uji statistika, tidak memenuhi syarat ekonometrika karena nilai VIF melebihi 10 yang artinya terjadi multikolinearitas. Setelah pH dan BOD tidak diikutsertakan pada analisis regresi maka nilai VIF semua faktor produksi yang masih dimasukkan dalam fungsi produksi memenuhi syarat ekonometrika yaitu tidak ada multikolinearitas. Faktor-faktor produksi atau variabel usaha budidaya dalam sistem tradisional mempunyai peran dan nilai koefisien yang berbeda. Nilai koefisien menunjukkan nilai elastisitas dari setiap variabel. Berdasarkan hasil analisis regresi, variabel luas lahan memiliki elastisitas sebesar 0,800 dengan demikian jika jumlah lahan ditambah sebesar satu persen maka meningkatkan total produksi sebesar 0,800 persen dalam kondisi penggunaan input lain tetap ceteris paribus. Penambahan luas lahan memang akan meningkatkan total produksi karena luas lahan berhubungan dengan banyaknya benih yang ditebar, karena pada sistem tradisional padat penebaran biasanya dibawah 20 ekorm 2 maka apabila luas lahan ditambah tentu saja benih yang ditebar akan semakin banyak dan pada akhirnya akan meningkatkan total produksi. Benih memiliki nilai elastisitas 0,042 yang artinya setiap kenaikan 1 persen benih yang ditebar akan meningkatkan produksi sebesar 0,042. Nilai elastisitas positif pada faktor produksi memberi pengertian bahwa penambahan faktor produksi tersebut menambah total produksi dalam sistem tradisional. Selain luas lahan dan benih, ternyata tenaga kerja panen dan persiapan juga memiliki elastisitas positif sebesar 0,472 artinya setiap penambahan 1 persen tenaga kerja panen dan persiapan, total produksi bertambah sebesar 0,472 persen. Hal ini berhubungan dengan proses persiapan yang umumnya dilakukan pada tambak udang seperti pengeringan, pembalikan tanah, pengapuran dan pemupukan. Nilai koefisien yang positif menggambarkan bahwa pada tambak di Sidoarjo, dengan adanya tambahan tenaga kerja pada proses persiapan yang biasanya juga dilibatkan pada proses pemanenan maka total produksi semakin meningkat karena proses persiapan tambak menjadi semakin baik dengan adanya tambahan pekerja. Memang pada proses pengeringan, tenaga kerja tidak terlalu dibutuhkan karena lebih mengandalkan cuaca, namun pada proses lainnya seperti pembalikan tanah, pengapuran dan pemupukan, penambahan tenaga kerja tampaknya dapat membuat proses persiapan memperoleh hasil yang lebih baik karena pada akhirnya dapat meningkatkan total produksi. Begitu juga pada proses panen, karena proses panen yang dilakukan pada sistem tradisional biasanya menggunakan alat yang lebih sederhana maka penambahan tenaga kerja akan menambah banyaknya hasil panen yang dapat dikumpulkan. Penambahan tenaga kerja persiapan dan panen memiliki elastisitas positif, namun perhitungan nilai efisiensi tetap harus dihitung pada analisis selanjutnya untuk melihat apakah setiap penambahan tenaga kerja efisien terhadap biaya yang dikeluarkan. Berbeda dengan tenaga kerja persiapan dan panen, nilai elastisitas pada tenaga kerja operasional adalah negatif artinya setiap penambahan satu persen pada tenaga kerja operasional akan menurunkan total produksi sebesar 0,263 persen. Tenaga kerja operasional pada sistem tradisional tidak dibutuhkan dalam jumlah yang banyak salah satunya karena tidak ada pemberiaan pakan, artinya pekerjaan yang dilakukan tidak sebesar tenaga kerja operasional pada tambak dengan sistem tradisional plus, semi-intensif maupun intensif. Di Sidoarjo sendiri, satu tenaga kerja operasional dapat menangani 2-3 ha tambak, oleh karena itu penambahan pekerja pada sistem tradisional hanya akan menurunkan total produksi karena biaya yang digunakan untuk membayar tenaga kerja operasional dapat digunakan untuk menambah input produksi yang berpengaruh positif pada penambahan total produksi seperti luas lahan, benih, pupuk, kapur dan saponin. Pupuk pada sistem tradisional memiliki nilai elastisitas 0,054 yang artinya setiap penambahan 1 persen pupuk akan menambahkan total produksi sebesar 0,054. Pupuk dalam sistem tradisional berperan sangat penting karena pupuk berfungsi sebagai penyubur tanah dan air yang berhubungan langsung dengan tersedianya pakan alami yang akan dimanfaatkan oleh udang. Oleh karena itu, penambahan pupuk sudah seharusnya menambah total produksi, walaupun sama seperti tenaga kerja dan faktor produksi lainnya, masih perlu dianalisis apakah penggunaannya sudah efisien. Kapur memiliki nilai elastisitas 0,058 artinya setiap penambahan 1 persen kapur akan menambahkan 0,058 persen total produksi. Pengapuran menurut Kordi dan Andi 2007 berfungsi untuk 1 meningkatkan pH tanah, 2 membakar jasad-jasad renik penyebab penyakit dan hewan liar, 3 mengikat dan mengendapkan butiran lumpur halus, 4 memperbaiki kualitas tanah, 5 meningkatkan fosfor yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan plankton. Khusus bagi sistem tradisional yang tidak terdapat pakan buatan, pengapuran menjadi salah satu hal penting untuk dilakukan karena berhubungan dengan pertumbuhan plankton yang bermanfaat bagi pertumbuhan udang dan berpengaruh pada total produksi. Saponin memiliki nilai elastisitas 0,067 artinya setiap penambahan satu persen penggunaan saponin maka total produksi pada sistem tradisional akan bertambah sebesar 0,067 persen. Saponin adalah bahan pembasmi hama hewan liar pengganggu udang yang berasal dari bahan organik dan aman bagi udang, selain itu juga berfungsi sebagai perangsang bagi udang untuk ganti kulit molting secara serentak sehingga dapat membantu percepatan pertumbuhan udang, membantu pertumbuhan plankton karena ampas saponin yang jatuh ke dasar kolam berfungsi sebagai pupuk organik dan membantu membunuh hama keong di tambak WWF, 2011. Dalam sistem tradisional, peranan saponin menjadi lebih penting karena fungsi saponin sebagai pupuk organik tersebut, oleh karena itu sama halnya dengan pupuk yang memiliki elastisitas positif pada total produksi, maka begitu pula saponin. Tidak seperti pupuk, kapur dan saponin yang memiliki nilai elastisitas positif pada sistem tradisional, obat-obatan memiliki nilai elastisitas negatif yaitu sebesar -0,062 yang berarti setiap penambahan satu persen penggunaan obat- obatan pada sistem budidaya tradisional menurunkan total produksi sebesar 0,062 persen. Hasil tersebut membuktikan bahwa penggunaan obat-obatan pada sistem budidaya tradisional di Sidoarjo tidak efektif penggunaannya, artinya masalah lingkungan yang dialami, pertumbuhan yang lambat, penyakit yang terjadi tidak cukup dapat ditanggulangi dengan penggunaan obat-obatan saat ini. Kurang efektifnya penggunaan obat-obatan yang digunakan dapat disebabkan karena penggunaan obat yang masih digunakan sejak beberapa waktu lalu ketika kualitas air masih dalam keadaan yang baik, dengan kata lain, laju pencemaran lebih cepat daripada laju keberhasilan obat yang digunakan. Obat yang digunakan berhasil pada keadaan kualitas air tertentu, namun sudah tidak lagi efektif pada kondisi perairan yang semakin tercemar oleh limbah buangan dari pabrik dan rumah tangga. Faktor produksi yang merupakan kualitas air dan tidak multikolinearitas dengan faktor produksi lainnya adalah oksigen terlarut dan amonia. Kedua kualitas air ini memberikan pengaruh yang sama pada total produksi. Oksigen terlarut memiliki elastisitas negatif sebesar -3,303 dan amonia memiliki elastisitas negatif sebesar -0,173 artinya setiap kenaikan 1 persen dari oksigen terlarut dan amonia menurunkan masing-masing 3,303 dan 0,173 persen total produksi. Penambahan oksigen di perairan justru menghasilkan penurunan produksi diduga karena padat tebar yang tidak terlalu tinggi dan juga tidak menggunakan pakan sehingga tingkat konsumsi oksigen pun tidak sebesar pada sistem semi-intensif maupun intensif. Venberg 1972 dalam Hukom 2007 menyatakan bahwa kebutuhan udang akan oksigen berbeda-beda, bergantung pada spesies, stadia, aktivitas, tingkat konsumsi pakan dan suhu, selain itu salah satu yang mempengaruhi oksigen terlarut adalah salinitas yaitu semakin tinggi salinitas air maka kelarutan oksigen terlarut semakin rendah. Tambak-tambak di Sidoarjo secara umum memiliki salinitas yang rendah maka kelarutan oksigennya sudah cukup tinggi, namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tingkat konsumsi oksigen tidak besar maka penambahan oksigen tidak menambah produksi justru menurunkan produksi. Sedangkan penambahan kadar amonia memang akan menurunkan total produksi udang karena semakin besar nilai amonia di perairan semakin membahayakan kelangsungan hidup udang, menurut Mukti 2006 pada Penaeus sp konsentrasi amonia sebaiknya dibawah 0.1 mgl. Jumlah dari nilai elastisitas keseluruhan variabel faktor produksi menunjukkan daerah elastisitas produksi. Hasil penjumlahan nilai koefisien setiap variabel sebesar -2,308 yang artinya usaha sistem tradisional berada di zona III yaitu daerah irasional karena nilai elastisitas produksi berada diantara negatif dan 0 artinya proporsi penambahan masukan produksi melebihi proporsi penambahan produksi atau setiap penambahan 1 faktor produksi secara bersama-sama justru akan menurunkan produksi sebesar 2,308 Thampapillai, 2002. Efisiensi ekonomi pada sistem tradisional Tabel 35 menunjukkan bahwa luas lahan memiliki nilai NPMBKM sebesar 0,30 artinya penggunaan luas lahan di Sidoarjo untuk sistem tradisional tidak efisien, hal ini berhubungan dengan padat tebar benih pada sistem budidaya ini. Padat tebar benih yang rendah, luas lahan yang besar hanya diisi dengan benih yang sedikit sehingga tidak efisien. Luas lahan dengan harga sewa maupun pembuatan tambak yang besar tidak diimbangi dengan hasil yang sesuai. Hal ini juga berhubungan dengan benih yang ditebar, nilai NPMBKM pada benih adalah 0,38 artinya benih pada sistem budidaya ini juga tidak efisien, inefisiensi benih pada sistem ini berarti jumlah benih yang ditebar terlalu banyak namun hasil tidak sesuai dengan yang diharapkan, hal ini berhubungan dengan tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang. Tingkat kelangsungan hidup dipengaruhi beberapa faktor seperti yang dinyatakan Royce 1973 dalam Hukom 2007 yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor luar meliputi kualitas air, kompetisi antar spesies, tingginya jumlah padat penebaran, kurangnya makanan yang tersedia akibat adanya penanganan yang kurang baik. Sedangkan faktor dalam dipengaruhi oleh kualitas benih dan daya penyesuaian lingkungan. Kenyataan bahwa padat tebar benih pada sistem budidaya udang tradisional sangat rendah membuat inefisiensi dapat disebabkan oleh buruknya kualitas benih itu sendiri, kualitas air yang tercemar atau rendahnya ketersediaan pakan alami sehingga kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih rendah dan pada akhirnya nilai produk marjinal lebih rendah dibandingkan biaya korbanan marjinal sehingga tidak efisien. Tabel 35. Nilai Produk Marjinal dan Biaya Korbanan Marjinal pada sistem tradisional Faktor Produksi Rata-rata Faktor Produksi Koef. Faktor Produksi NPM dalam Rupiah BKM dalam Rupiah NPM BKM Luas Lahanha 5,78 0,800 3.042.975,78 10.000.000 0,30 TKPP orang 9,00 0,472 1.153.017,33 100.000 11,53 Benih ekor 119.629,62 0,042 7,71 20 0,38 Pupuk kg 179,62 0,054 6.609,60 2000 3,30 Kapur kg 268,33 0,058 4.752,20 4.000 1,18 Saponin kg 31,48 0,067 46.094,12 6.000 7,79 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Padat penebaran merupakan faktor peubah yang mempengaruhi pertumbuhan menurut Emmerson et al. 1981 dalam Alkindy 2006, selanjutnya dikatakan dalam padat penebaran yang tinggi terjadi peningkatan kebutuhan oksigen udang sehingga suplai oksigen di perairan perlu ditingkatkan, selain itu dituntut adanya jumlah pemberiaan pakan yang tinggi. Jika kedua hal ini tidak terpenuhi maka terjadi kompetisi antar individu udang dalam mendapatkan ruang gerak, pakan ataupun oksigen yang menyebabkan pertumbuhan tidak merata. Pada sistem polikultur, padat tebar berhubungan dengan pertumbuhan, menurut Muangkeow et al. 2007, pertumbuhan udang paling rendah terdapat pada pemeliharaan udang dengan padat tebar yang tinggi pada ikan Nila dibandingkan dengan kombinasi padat tebar lainnya. Padat tebar pada sistem tradisional rendah sehingga suplai oksigen dan pakan buatan tidak perlu ditingkatkan, hasil dari analisis regresi juga telah menunjukkan bahwa tidak perlu adanya peningkatan suplai oksigen, namun kualitas benih yang buruk dan kualitas air yang buruk dikonfirmasi oleh sebagian besar responden yang menyatakan bahwa saat ini tingkat kelangsungan hidup pada udang yang dibudidayakan berkisar antara 18 hingga 50 persen karena sulitnya mendapatkan benih yang baik dan juga kondisi air yang menurut petani tambak semakin buruk. Kurangnya pakan alami pada pemeliharaan dapat dikonfirmasi dengan pupuk, saponin dan kapur yang belum efisien, padahal ketiga faktor produksi ini berfungsi dalam meningkatkan kesuburan tanah dan air bagi pertumbuhan pakan alami. Pupuk memiliki nilai NPMBKM sebesar 3,30 dan kapur memiliki nilai NPMBKM sebesar 1,18 kemudian saponin memiliki nilai NPMBKM sebesar 7,79. Oleh karena itu penggunaan ketiga faktor produksi ini harus ditambah dalam rangka meningkatkan produksi. Kemudian faktor produksi yang belum efisien berdasarkan analisis efisiensi juga adalah tenaga kerja panen dan persiapan karena nilai NPMBKM sebesar 11,53. Penambahan tenaga kerja panen dan persiapan berkorelasi positif pada analisis regresi dan pada analisis efisiensi penambahan faktor produksi ini masih diperlukan. Peralihan Sidoarjo menjadi kota industri membuat banyak pekerja kasar di tambak yang berpindah menjadi buruh pabrik karena upah yang ditawarkan menjadi lebih tinggi sehingga semakin sulitnya mendapatkan tenaga kerja panen dan persiapan. Peralihan tersebut menurut David dan Otsuka dalam Ahmed dan Lorica 2002 juga terjadi pada saat terjadi Revolusi Hijau menyebabkan peningkatan permintaan kerja termasuk tingkat pendapatan, permintaan pada tenaga kerja berpengalaman dan migrasi angkatan kerja. Penambahan tenaga kerja panen dan persiapan karena nilai NPM BKM juga sesuai dengan Kusumastanto 2000 yang menyatakan tambahan penerimaan yang dihasilkan dari penambahan satu unit input variabel tenaga kerja disebut Marginal Revenue Product MRP of Labor MRP L , sedangkan pertambahan biaya karena tambahan satu unit tenaga kerja dikenal sebagai Marginal Resource Cost of Labor MRC L . Perusahaanunit usaha dapat selalu menambahkan tenaga kerja selama MRP L MRC L sampai MRP L = MRC L , karena unit usaha akan memaksimumkan keuntungan pada MRP L = MRC L . Kondisi ini berlaku untuk setiap input variabel tidak hanya untuk tenaga kerja.

7.1.2. Fungsi Cobb-Douglas dan Efisiensi pada Sistem Tradisional Plus

Berbeda dengan sistem tradisional, faktor produksi pakan digunakan dalam sistem tradisional plus, setelah dilakukan analisis regresi, hasil yang diperoleh menunjukkan nilai VIF yang tinggi pada beberapa faktor produksi seperti yang terlihat pada Tabel 36. Tabel 36. Hasil analisis regresi pada faktor-faktor produksi usaha budidaya udang dengan sistem tradisional plus Variabel Koef. Regresi t Hitung Peluang VIF Konstanta 28,291 1,227 0,287 Luas Lahan X1 0,911 3,680 0,021 656,466 TKPP X2 -0,004 -0,112 0,916 26,033 T.K. Operasional X3 -3,563 a -0,959 0,408 298.137,527 Benih X4 0,146 0,970 0,387 509,645 Pupuk X5 0,012 0,052 0,961 1.487,900 Pakan X6 -0,100 -0,656 0,548 641,472 Kapur X7 -0,091 -0,439 0,684 2.600,336 Saponin X8 -0,141 -0,957 0,393 771,254 Obat-obatan X9 0,043 0,309 0,773 121,509 BOD X10 16,962 a 0,959 0,408 6.755.557,885 Oksigen terlarut X11 12,240 a 0,959 0,408 3.517.905,714 pH X12 -12,760 -1,188 0,301 2.826,382 Amonia X13 -0,173 -6,457 0,003 226,294 S = 0,52444 R-Sq = 78,2 R-Sq adj = 64,6 Fhit = 5,738 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 a Variabel yang dikeluarkan dari analisis karena memiliki nilai VIF terlalu besar nyata pada taraf α =5 persen Hasil dari analisis regresi awal Tabel 36, nilai VIF pada BOD Biochemical Oxygen Demand dan oksigen terlarut memiliki nilai VIF paling tinggi karena seperti yang telah dijelaskan bahwa oksigen terlarut dan BOD memang berkorelasi. Pada tahapan regresi selanjutnya, multikolinearitas juga terjadi pada pakan, benih dan tenaga kerja operasional, diduga penggunaan pakan yang tidak rutin dan hanya berdasarkan sampling pada sistem tradisional plus menyebabkan multikolineritas karena tingkat pemberiaan pakan tergantung pada banyak benih yang ditebar dan hidup sedangkan penambahan pemberiaan pakan sendiri berarti penambahan tenaga kerja operasional. Multikolinearitas antara pH dan kapur dapat dijelaskan karena penambahan kapur akan meningkatkan kadar pH air atau tanah.