Kebijakan Alternatif terhadap Peningkatan Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi Perah

Informasi yang dapat dijelaskan berdasarkan Tabel 24 tersebut adalah penurunan tarif impor nol persen dan kenaikan harga pakan ternak konsentrat, bahkan kondisi jika keduanya terjadi akan menyebabkan penurunan daya saing pengusahaan susu sapi perah untuk ketiga lokasi tersebut. Penurunan daya saing tersebut ditunjukkan dengan semakin besarnya nilai PCR dan DRC. Menurut hasil senstivitas yang dilakukan tersebut, adanya penghapusan tarif impor susu dan kenaikan harga pakan akan mengurangi daya saing komoditi susu sapi perah lokal baik daya saing yang ditunjukkan oleh keunggulan kompetitif dan komparatif. Bahkan penurunan tarif impor menjadi nol persen dan kenaikan harga pakan sebesar 20 dan 30 persen menjadikan peternak di Kecamatan Pangalengan menjadi tidak memiliki keunggulan kompetitif sama sekali PCR1. Melihat kondisi tersebut, diperlukan keberpihakan pemerintah untuk melindungi dan memberikan insentif kepada peternak untuk tetap menjalankan usahaternak sapi perah dengan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Penetapan tarif impor sebesar 15 persen akan meningkatkan daya saing komoditi susu sapi lokal tersebut, seperti yang ditunjukkan dengan nilai PCR dan DRC yang lebih kecil bila dibandingkan dari seluruh skenario yang dilakukan di ketiga lokasi penelitian. Penetapan tarif tersebut akan memberikan perlindungan terhadap susu segar dalam negeri dari susu impor, dan akan memberikan insentif bagi pelaku usahaternak.

6.4. Kebijakan Alternatif terhadap Peningkatan Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi Perah

Analisis PAM dan sensitivitas yang telah dilakukan pada subbab sebelumya memberikan nilai-nilai indikator berdasarkan perhitungan yang dilakukan menunjukkan secara umum peran pemerintah dalam pengusahaan usahaternak sapi perah masih terbatas. Kondisi tersebut merujuk pada indikator DRC, diperoleh nilai DRC untuk setiap wilayah penelitian kurang dari satu 1, hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah sebaiknya memproduksi kebutuhan protein hewani yang berasal dari susu di dalam negeri tanpa mengimpor dari luar negeri. Namun, pada kenyataannya pada saat sekarang produksi susu nasional hanya mampu memenuhi sebesar 30 persen dari total kebutuhan nasional. Oleh karena itu perlu mengkoreksi kebijakan yang sudah ada dan menetapkan kebijakan yang pro peternak untuk memperbaiki sistem usahaternak sapi perah. Kebijakan pemerintah terhadap pengembangan usahaternak sapi perah untuk melindungi peternak dan komoditas sapi pada dasarnya telah dilakukan sejak tahun 1982 dimana terdapat sejumlah kebijakan yang memihak peternak, diantaranya adalah Surat Keputusan SK Menteri Pertanian No. 750, 752, dan 753KptsUm101982 mengenai pengadaan bibit sapi perah unggulan. Selain bibit, juga diberikan subsidi pada pakan ternak dan obat-obatan yang digunakan oleh peternak dalam pengusahaan sapi perah. Melihat perkembangan sapi perah yang siginifikan dan menghasilkan susu produk susu yang meningkat, pemerintah memberikan dukungan untuk melindungi produk susu dalam negeri yang pada saat itu juga terdapat produk impor, walaupun dalam jumlah yang terbatas. Bentuk dukungan kebijakan pemerintah tersebut dituangkan dalam surat keputusan bersamaSKB tiga menteri, yakni Menteri Koperasi, Menteri Pertanian, dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan lalu dikuatkan menjadi Instruksi Presiden Inpres No. 2 Tahun 1985 mengatur tentang pemasaran dan rasio pembelian susu oleh IPS. Oleh karena itu, IPS wajib membeli susu dari peternak dengan rasio 2:1, artinya jika IPS mengimpor dua kilogram susu bubuk maka wajib membeli susu segar dalam negeri sebanyak satu kilogram. Kewajiban ini dikenal dengan istilah BUSEP bukti serap. Namun sejak tahun 1998 ada perubahan kebijakan yang signifikan terhadap usahaternak sapi perah rakyat. Perubahan situasi politik negara di era reformasi dan melihat susu merupakan komoditi potensial dari sisi perdagangan negara-negara maju, menyebabkan pemerintah menerima usulan Lembaga Dana Moneter Internasional IMF untuk mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 1998 yang menyebutkan untuk menghapus Inpres No. 2 tahun 1985 mengenai BUSEP. Kondisi ini mencabut kewajiban IPS untuk membeli susu segar dalam negeri yang berasal dari peternak. Pengusahaan sapi perah semakin menderita karena sejak tahun 2000 pemerintah mencabut subsidi pakan dan obat-obatan yang diberikan oleh peternak karena Indonesia meratifikasi kesepakatan WTO. Sejak tahun 2000 bisa dikatakan tidak terdapat kebijakan yang menyinggung mengenai sektor peternakan khususnya sapi perah. Namun pada tahun 2009, pemerintah melalui Permenkeu No. 19PMK.0112009 yang menyatakan sejak 1 Juni 2009 tarif masuk susu impor dan turunannya sebesar nol persen, walaupun keputusan ini dicabut kembali sebulan berikutnya. Hal ini tentu bertolak belakang dengan Permenkeu No. 145 tahun 2008 yang menyebutkan bahwa sesuai aturan WTO bea masuk susu impor sebesar nol persen baru bisa diterapkan efektif pada tahun 2017. Berdasarkan penjelasan dan fakta tersebut, pasar susu telah memasuki pasar perdagangan bebas yang ternyata merugikan peternak susu lokal. Sedangkan pihak yang diuntungkan dari kondisi ini adalah IPS, yang diantaranya adalah perusahaan-perusahaan transnasional yang kepemilikan sahamnya dikuasai oleh asing karena mendapatkan harga susu yang rendah dan susu yang berkualitas dengan kandungan lemak hewani. Saat ini ketergantungan peternak terhadap IPS merupakan maasalah besar, sebab 90 persen produksi dipasarkan ke IPS dengan harga yang rendah. Kondisi ini disebabkan kurangnya kemampuan koperasi dan peternak untuk menciptakan atau mencari pasar alternatif. Melihat kondisi tersebut perlu untuk mengkaji ulang kebijakan agribisnis persusuan yang telah diterapkan oleh pemerintah sebelumnya agar perbaikan dan peningkatan daya saing produk susu dapat dicapai. Analisis yang telah dilakukan baik menggunakan PAM, sensitivitas dan review kebijakan persusuan nasional maka diperlukan kebijakan pro peternak yang berfungsi untuk melindungi peternak sapi perah. Kebijakan dapat dilakukan dalam bentuk teknis, dan non teknis, atau dengan tarif dan non tarif agar keberlangsungan usahaternak sapi perah yang menguntungkan dapat diciptakan. Berdasarkan analisis PAM dan sensitivitas yang dilakukan, pemerintah harus melindungi komoditas susu dalam negeri dan produse lokal dengan menetapkan tarif impor sebesar 15 persen. Penetapan tarif 15 persen akan memberikan dampak terbatasnya susu yang akan diimpor oleh IPS karena harga yang mahal, sehingga dengan demikian susu dalam negeri akan terserap dengan harga yang tinggi juga. Penetapan harga dalam kondisi ini juga harus adil, sebab terbatasnya teknologi dalam penentuan kualitas yang dimiliki peternak akan menjadi alat untuk menekan harga susu di tingkat koperasi dan peternak. Kebijakan pemerintah tidak hanya terbatas pada penetapan tarif impor, untuk membatasi susu impor yang masuk. Menurut analisis PAM menunjukkan bahwa usahaternak sapi perah memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sehingga baik dan berpotensi untuk dikembangkan lagi. kebijakan tersebut diharapkan mampu meningkatkn daya saing usahaternak sapi perah sehingga pangsa susu yang dihasilkan peternak domestik yang hanya sebesar 25-30 persen dapat ditingkatkan lagi. Selain kebijakan tarif, pemerintah perlu memberikan dukungan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas susu kepada peternak. Daya saing sus uyang dihasilkan peternak hanya dapat ditingkatkan apabila produktivitas dan kualitas dapat ditingkatkan. Oleh karena itu perlu untuk meninjau kembali kebijakan subsidi input dan obat-obatan bagi peternak, peningkatan upaya penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah dan perguruan tinggi untuk memberi rekomendasi budidaya yang baik, dan memberikan bibit sapi unggul dengan teknologi IB Inseminasi Buatan. Tentunya hal ini harus dibarengi dengan program pendampingan, dan penyuluhan yang dilakukan oleh pihak atau dinas terkait. Disamping itu pentingnya untuk memanfaatkan lahan untuk mendapatkan pakan hijauan, penghapusan pajak, dan ketersediaan modal akan menjadi kekuatan bagi peternak untuk mengembangkan usahaternak sapi perahnya Daryanto, 2009. Mengeluarkan kebijakan untuk menghidupkan kembali Inpres No. 2 tahun 1985 yang mewajibkan IPS untuk membeli susu segar dalam negeri dengan rasio yang rasional dan ketat. Ketentuan ini dalam jangka panjang akan memberikan insentif terhadap peternak lokal untuk meningkatkan produksi susu sapinya. Kebijakan lain yang dapat dilakukan adalah meningkatkan peran koperasi primer dan sekunder dengan pemberian bantuan teknologi dari pihak ketiga atau pemerintah agar dapat melakukan pengolahan sederhana susu segar. Produk yang bisa dihasilkan dari kegiatan pemanfaatan teknologi ini adalah susu pasteurisasi, youghurt, susu UHT, keju dan mentega. Program ini tentunya akan efektif jika diikuti dengan program promosi dan pemasaran yang baik pula. Kebijakan penting lain yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana agar usahaternak tetap berkesinambungan dengan memperhatikan aspek produksi. Tanpa peningkatan produksi susu sapi perah domestik, maka kondisi peternak akan tetap seperti saat sekarang, dan IPS akan tetap mendesak untuk mendapatkan bahan bakunya dari melakukan kegiatan impor. Berdasarkan perhitungan PAM menunjukkan bahwa untuk pemenuhan kebutuhan susu nasional sebaiknya memproduksi sendiri, tanpa harus mengimpor. Namun pada kenyataannya produksi susu nasional masih jahu dari harapan, yakni baru 30 persen. Apabila kondisi ini tetap berlangsung, maka penetapan bukti serap BUSEP bagi IPS tidak akan berjalan efektif. Pemerintah juga harus dapat menjamin peningkatan produksi susu nasional, sehingga kebutuhan nasional dapat terpenuhi sehingga menghemat devisa dan IPS mau membeli bahan baku lokal tanpa takut akan kekurangan bahan baku. Upaya peningkatan produksi susu nasional dapat dilakukan dengan meluarkan kebijakan, disamping usulan kebijakan yang telah disampaikan sebelumnya. Adapun beberapa kebijakan tersebut adalah: 1 penyediaan bibit unggul dan modal yang memadai, 2 Menciptakan iklim usahaternak yang kondusif untuk menarik investor, dan 3 peningkatan peran kelembagaan koperasi dengan dan melalui pembentukan kluster usahaternak sapi perah. Rendanya produktivitas dikarenakan sapi laktasi yang dimiliki oleh peternak merupakan sapi yang berasal dari induk sapi yang dimiliki, produksi juga tidak akan sebaik jika susu berasal dari bibit unggul. Keterbatasan untuk memiliki bibit sapi unggul, dikarenakan peternak modal yang dimiliki oleh peternak sangat terbatas. Harga pedet sapi betina yang akan menjadi bakal sapi dihargai Rp. 4-8 juta per ekor, tergantung jenis dan usia. Harga pedet ini relatif mahal bagi peternak, sehingga mereka bertahan dengan sapi laktasi yang sudah ada dan produktivitasnya sudah mulai menurun. Kondisi ini tentunya akan menjadi kendala dalam upaya peningkatan skala usaha ternak yang selama ini hanya memiliki rata-rata sapi laktasi sebanyak 1-3 ekor. Peran pemerintah untuk menghidupkan dan meningkatkan peran Perguruan Tinggi PT dan Unit Pelaksana Teknis UPT pembibitan sapi instansi terkait. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat dihasilkan bibit-bibit unggul dengan harga yang terjangkau. Melibatkan peran PT dan UPT juga dapat dilakukan dengan melakukan IB Inseminasi Buatan, sehingga dengan demikian petani tidak perlu mengeluarkan biaya yang mahal. Diharapkan dengan pengadaan bibit unggul dan IB peternak mampu meningkatkan skala usahanya, dan produksi susu tentunya juga akan meningkat. Menciptakan iklim usaha yang menguntungkan untuk usahaternak, sehingga investor mau untuk menginvestasikan modalnya pada usaha ini. Selama ini 80 persen usahaternak sapi perah digeluti oleh peternak kecil, dan itupun dikarenakan ushaternak tersebut merupakan warisan dari orang tua. Peternak dengan skala besar 100 ekor masiih sangat sedikit jumlahnya. Kondisi diduga, menurut calon yang ingin menginvestasikan ke usaha ini kurang menguntungkan dan risikonya terlalu besar. Hal ini dapat dimaklumi, karena untuk membangun usahaternak dengan skala besar dibutuhkan investasi dan modal kerja yang besar, untuk membeli bibit sapi, pengadaan kandang, pengadaan sapronak, pakan, dan obat-obatan, serta risiko kematian yang disebabkan oleh penyakit. Biaya yang dikeluarkan menurut calon investor tidak sebanding dengan harga yang diterima, sehingga menurut mereka risiko usahaternak ini sangat besar, tidak seperti usaha penggemukan sapi potong. Tingkat keuntungan investor juga dapat dilihat dari nilai returnt on investment ROI, dimana rata-rata ROI usahaternak sapi perah sebesar 2.12 persen dan nilai ini cukup rendah dan belum menguntungkan. Nilai ROI yang menguntungkan sebaiknya diatas nilai 3.76 persen, dengan adanya harga yang tinggi dan terjamin Sumantri et al, 2005. Pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator bagi calon investor untuk membuka kemitraan dalam kepastian harga dan pasar antara pengusaha sapi perah terhadap IPS yang akan membeli susu. Melalui kemitraan diharapkan adanya sikap saling membutuhkan sehingga terdapat kepastian harga dengan prinsip yang adil, tidak seperti yang terjadi selama ini bahwa harga ditentukan sepihak. Diharapkan dengan adanya kebijakan dan dukungan dari pemerintah akan menstimulasi calon investor masuk ke usahaternak sapi perah ini, sehingga dengan demikian maka peningkatan susu dapat dilakukan. Kebijakan lain yang dapat diambil untuk meningkatkan produksi susu nasional adalah dengan mengoptimalkan peran koperasi susu yang ada. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa jumlah kepemilikan sapi ditingkat peternak rata-rata sebanyak 1-3 ekor, dan ini merupakan skala yang sangat kecil dan tidak menguntungkan. Skala usaha yang snagat kecil juga mengindikasikan bahwa skala usaha ini tidak mampu bersaing dengan skala usaha yang sejenis yang memiliki jumlah sapi yang lebih besar. Peningkatan peran kelembagaan dimaksudkan untuk mengkordinir peternak agar pengelolaan usahaternak dilakukan secara bersama-sama dalam wilayah tertentu, dan konsep ini dikenal dengan istilah kluster. Penerapan model kluster pengusahaan usahternak diharapkan akan mampu meningkatkan usahaternaknya dan menguntungkan. Hal ini dikarenakan bahwa dengan model kluster maka biaya-biaya ditanggun bersama, dan biaya yang menyebabkan ekonomi tinggi dapat dihilangkan. Melalui model kluster juga akan meningkatkan posisi tawar peternak dalam menghadapi pembeli, karena peternak telah bergabung dalam satu wadah kluster pengusahaan sapi perah yang difasilitasi oleh koperasi. Kelembagaan-kelembagaan yang sudah ada, seperti koperasi sebaiknya menata ulang peran dan fungsinya sehingga pengelolaan ushahaternak sapi perah anggotanya menjadi menguntungkan. Diperlukan dukungan dari pengurus koperasi dan pemerintah untuk mewujudkan model kluster ini, apakah penyediaan lokasi dengan memanfaatkan lahan kosong yang dimiliki oleh Perum Perhutani, Departemen Kehutanan untuk dimanfaatkan sebagai lokasi kluster. Lahan ini terdapat di Kecamatan Lembang dan Pangalengan, sedangkan di Kecamatan Cikajang dapat memanfaatkan lahan kosong miliki PTPN VIII. Usulan kebijakan terakhir adalah meningkatkan peran pemerintah pusat dan daerah untuk memanfaatkan dana yang tersedia untuk membeli produk susu dari peternak yang sudah mengalami pengolahan untuk disalurkan kepada para pelajar sekolah dasar ataupun menengah. Hal ini tentunya akan memberikan alternatif pasar bagi peternak dan koperasi dengan memanfaatkan captive market yang ada, sehingga posisi tawar peternak akan naik. Beberapa pemerintah daerah yang sudah menjalankan program ini adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi dengan program ”Gerimis Bagus” yang merupakan singkatan dari Gerakan Minum Susu Bagi Anak Usia Sekolah, dan Pemerintah Kabupaten Semarang menjalankan Program ”Gerimis Sekawan” singkatan Gerakan Minum Susu untuk Anak Sekolah dan Karyawan.

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian didasarkan pada hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka kesimpulan yang dapat diperoleh adalah: 1. Pengusahaan sapi perah untuk menghasilkan produk susu segar di Provinsi Jawa Barat yang ditunjukkan dari hasil penelitian di tiga lokasi, yakni; Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung, dan Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut secara umum menguntungkan dan efisien secara finansial. Peternak di Kecamatan Lembang, mendapatkan keuntungan finansial terbesar bila dibandingkan dengan daerah lain yakni sebesar Rp. 609.90 untuk setiap liter susu yang dihasilkan. 2. Pengusahaan sapi perah di Provinsi Jawa Barat menguntungkan secara ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan nilai keuntungan ekonomi untuk seluruh lokasi penelitian lebih besar dari nol, sehingga secara ekonomi kegiatan usahaternak sapi perah ini layak untuk dijalankan. Peternak di Kecamatan Cikajang memperoleh keuntungan ekonomi tebesar, bila dibandingkan dua sentra sapi perah lainnya yakni sebesar Rp. 1 541 untuk setiap liter susu sapi yang dihasilkan. 3. Berdasarkan indikator daya saing, yakni nilai DRC untuk ketiga wilayah yang kurang dari satu Kec. Lembang sebesar 0.63, Kec. Pangalengan sebesar 0.75, dan Kec. Cikajang sebesar 0.58 menunjukkan bahwa untuk