Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output

yang lebih banyak dikonsumsi maka jumlah produk utama, yakni susu lokal menjadi lebih rendah supply lebih besar dari demand. Kebijakan pemerintah yang seharusnya lebih memihak kepada produsen susu sapi lokal dihapus satu per satu termasuk didalamnya adalah kebijakan penghapusan subsidi atas pakan dan obat-obatan serta yang terakhir penghapusan impor susu menjadi nol persen, walaupun sejak 1 Juli 2009 ditetapkan kembali tarif impor lima persen yang tentunya akan melemahkan daya saing komoditi susu sapi lokal. Dampak kebijakan pemerintah terhadap output, input, dan input-output akan dijelaskan pada subbab berikut ini.

6.2.1. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output

Tingkat ukuran intervensi campur tangan pemerintah pada output dapat dilihat dari nilai Transfer Output OT dan Koefisien Proteksi Output Nominal NPCO. Bentuk distorsi pemerintah tersebut dapat berupa subsidi atau kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan pajak eksporimpor. Nilai dari masing- masing indikator tersebut dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Nilai Transfer Output dan Koefisien Proteksi Output Nominal Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal di Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat No Indikator Kec. Lembang Kec. Pangalengan Kec. Cikajang 1 Transfer Output TO Rpl -622.80 -610.80 -944.50 2 Koefisien Proteksi Output NominalNPCO. 0.80 0.80 0.75 Berdasarkan Tabel 20 Nilai TO yang negatif tersebut menunjukkan adanya divergensi yakni bahwa harga privat output susu segar lebih rendah dibandingkan dengan harga sosialnya. Kondisi tersebut dapat menjelaskan bahwa dengan adanya kebijakan atau intervensi pemerintah terhadap output susu segar tersebut lebih menguntungkan konsumen, karena konsumen membeli output susu dengan harga yang lebih rendah dari harga sebenarnya. Artinya, terdapat pengalihan surplus dari produsen ke konsumen IPS. Berdasarkan nilai TO tersebut diperoleh bahwa kerugian terbesar dialami oleh peternak yang berada di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut yakni sebesar Rp. 944.50 per liter susu, sedangkan kerugian terendah dialami oleh peternak di Kecamatan Pangalengan yakni sebesar Rp. 610.80 per liter susu yang dihasilkan. Divergensi dampak kebijakan dan distorsi pasar untuk penerimaan output ketiga lokasi penelitian ini bernilai negatif yakni sebesar Rp. 622.80 per liter susu di Kecamatan Lembang, Rp. 610.80 per liter susu di Kecamatan Pangalengan, dan Rp. 944.50 per liter susu di Kecamatan Cikajang, hal ini terjadi karena harga sosial susu yang diterima dimasing-masing lokasi lebih tinggi dari harga yang diterima oleh peternak. Kondisi ini terjadi, karena harga sosial susu diperhitungkan berdasarkan harga susu impor yang lebih tinggi daripada harga susu lokal dengan standar dan kualitas yang sama. Disisi lain lebih rendahnya harga susu yang ditawarkan oleh peternak, menjadi keunggulan yang dimiliki oleh peternak dalam menghadapi masuknya susu impor yang diminati oleh IPS. Tingginya nilai distorsi penerimaan output yang bernilai negatif di Kecamatan Cikajang, karena harga susu yang diterima oleh peternak lebih rendah bila dibandingkan dengan dua wilayah lainnya, dimana besarnya perbedaan sebesar Rp. 250-Rp. 300 per liter. Hal ini juga disebabkan jumlah susu yang diminta oleh IPS dari daerah ini relatif lebih kecil dan adanya perbedaan kualitas susu yang dihasilkan oleh masing masing peternak. Nilai koefisien proteksi output nominal NPCO adalah rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga bayangan. NPCO merupakan indikasi dari transfer output TO, dimana NPCO menunjukkan seberapa besar harga privat berbeda dengan harga sosial Pearson dan Gotsch, 2004. Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu NPCO1, menunjukkan bahwa harga domestik lebih rendah dari harga internasionaldunia. Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan nilai NPCO pada ketiga lokasi ini bernilai lebih kecil dari satu, yakni sebesar 0.80 untuk Kecamatan Lembang dan Kecamatan Pangalengan, sedangkan Kecamatan Cikajang memiliki nilai NPCO sebesar 0.75 lebih kecil dari dua lokasi sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat susu lebih rendah bila dibandingkan dengan harga ekonomi sosial. Nilai yang diperoleh kurang dari satu, dapat dijelaskan bahwa seluruh peternak di ketiga wilayah penelitian bahwa kebijakan pemerintah untuk peternak sapi perah belum berjalan efektif sehingga terjadi pengurangan penerimaan produsenpeternak.

6.2.2. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input