peternak lebih besar daripada nilai tambah keuntungan yang diterima peternak sendiri kebijakan pemerintah merugikan peternak susu di Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan dampak divergensi kebijakan pemerintah terhadap input- output menunjukkan bahwa pengusahaan usahaternak ini dalam jangka panjang
akan memberikan kerugian pada produsen, karena produsen mengeluarkan biaya dari yang seharusnya. Hal ini tentunya menjadi salah satu faktor penyebab
mengapa investor tidak tertarik untuk menginvestasikan modalnya pada usahaternak sapi perah. Disamping usahaternak tersebut menghadapi risiko usaha
yang cukup tinggi dilihat dari karakteristik produk, membutuhkan modal yang besar peternak yang mampu memproduksi susu secara langsung, dan rendahnya
teknologi. Sehingga dengan demikian usahaternak menjadi kurang menarik, sehingga yang menjalankan usahaternak adalah peternak rakyat dengan modal
terbatas. Kondisi tersebut juga karena keharusan untuk meneruskan usaha yang diwariskan oleh orang tuanya, sehingga tidak terdapat pilihan lain. Hal ini dapat
dibuktikan bahwa mayoritas peternak memiliki usia di bawah 50 tahun dan 20- 57.70 persen peternak memiliki pengalaman rata-rata selama 1-12 tahun untuk
mengelola usahaternaknya.
6.3. Perubahan Keuntungan dan Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi
Perah Lokal
Akibat Perubahaan Harga Output dan Input di Provinsi Jawa Barat
Nilai keuntungan privat dan PCR Privat Cost Ratio pada keunggulan kompetitif, serta nilai keuntungan sosial dan DRC Domestic Resource Ratio
pada keunggulan komparatif dapat berubah apabila harga output dan komponen biaya untuk pengusahaan susu segar berubah. Sehingga untuk mengamati
perubahan tersebut digunakan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas perlu dilakukan mengingat matriks analisis kebijakan atau PAM mempunyai
keterbatasan yaitu merupakan analisis yang bersifat statis, sehingga memerlukan simulasi kebijakan untuk mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi dalam
setiap situasi ekonomi yang dinamis. Kasus pengusahaan susu sapi perah ini memiliki beberapa indikator utama
yang secara signifikan akan mempengaruhi struktur biaya dan penerimaan, yakni perubahan harga pakan konsentrat dan harga susu sapi segar. Perubahan-
perubahan pada kenaikan harga pakan ternak, penurunan dan kenaikan harga susu dan analisis gabungan yang secara langsung akan berpengaruh terhadap
perubahan keuntungan yang diterima peternak dan daya saing pengusahaan susu sapi perah. Oleh karena itu diperlukan simulasi kebijakan analisis sensitivitas
guna melihat besarnya perubahan indikator daya saing baik pada keunggulan komperatif maupun keunggulan kompetitif pada suatu sistem komoditi.
6.3.1. Perubahan Keuntungan Pengusahaan Susu Sapi Perah Akibat Perubahaan Harga Output dan Input di Provinsi Jawa Barat
Analisis sensitivitas yang dilakukan berdasarkan 11 skenario kebijakan, memberikan hasil yang menunjukkan adanya perubahan terhadap keuntungan
yang diperoleh setiap peternak dalam pengusahaan susu sapi perah di ketiga lokasi penelitian. Nilai keuntungan privat dan sosial dari pengusahaan sapi perah di
ketiga lokasi menunjukkan nilai positif, kecuali Kecamatan Pangalengan pada kondisi jika terjadi kenaikan harga pangan sebesar 30 persen skenario ke-5,
kondisi dimana terjadi penurunan tarif impor menjadi nol persen dan pada saat
bersamaan harga pakan naik sebesar 20 dan 30 persen skenario ke-6 dan 7 keuntungan privatnya bernilai negatif, namun keuntungan sosialnya positif.
Secara umum dapat dikatakan bahwa dari seluruh skenario yang ada mengindikasikan bahwa pengusahaan susu sapi perah masih tetap layak untuk
dijalankan oleh peternak terutama di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Cikajang. Nilai keuntungan baik privat dan sosial pengusahaan sapi di ketiga
lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Nilai Keuntungan Pengusahaan Susu Sapi Perah Berdasarkan Analisis
Sensitivitas di Kecamatan Lembang, Kecamatan Pangalengan, dan Kecamatan Cikajang.
No Skenario Perubahan
Indikator Profitabilitas Rpliter Privat
Sosial A
B C
A B
C 1
Tarif impor nol persen.
454.00 9.60
159.90 1 253.50
739.20 1 349.30
2 Tarif impor 10 persen.
765.70 331.90
448.90 1 636.80
1 122.60 1 732.70
3 Tarif impor 15 persen
921.60 493.10
593.40 1 828.50
1 314.30 1 924.40
4 Harga Pakan naik 20
persen. 468.60
7.80 205.60
1 310.00 771.40
1 351.80 5
Harga Pakan naik 30 persen.
397.90 -73.70
157.70 1 242.50
691.70 1 246.00
6 Tarif impor nol persen
dan Harga pakan naik 20 persen.
312.70 -153.40 61.10
1 118.40 579.70
1 160.10 7
Tarif impor nol persen dan Harga pakan naik
30 persen. 242.10 -234.90
13.30 1 050.80
500.00 1 054.30
8 Tarif impor 10 persen
dan Harga pakan naik 20 persen.
624.50 168.90
350.10 1 501.70
963.10 1 543.40
9 Tarif impor 10 persen
dan Harga pakan naik 30 persen.
553.80 87.40
302.20 1 434.20
883.30 1 437.70
10 Tarif impor 15 persen
dan Harga pakan naik 20 persen.
780.30 330.10
494.50 1 693.40
1 154.80 1 735.10
11 Tarif impor 15 persen
dan Harga pakan naik 30 persen.
709.70 279.20
446.70 1 625.90
1 171.30 1 629.40
Keterangan: A
: Lokasi penelitian Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. B
: Lokasi penelitian Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. C
: Lokasi penelitian Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut.
Kondisi yang menguntungkan peternak, berdasarkan ke-11 skenario kebijakan adalah jika pemerintah menetapkan tarif impor sebesar 15 persen
sesuai dengan usulan GKSI, dengan kondisi tarif sebesar itu baik keuntungan privat dan sosial memiliki nilai keuntungan yang tertinggi untuk seluruh lokasi
penelitian. Nilai keuntungan privat terbesar terdapat di Kecamatan Lembang yakni Rp. 921.60 per liter susu sedangkan nilai keuntungan sosial tertinggi
terdapat di Kecamatan Cikajang sebesar Rp. 1 828.50 per liter susu jika tarif impor 15 persen.
Hal ini dapat menjelaskan, bahwa dukungan pemerintah dalam hal peningkatan tarif, sebagai bentuk melindungi produk dalam negeri akan
memberikan insentif bagi peternak. Insentif tersebut akan menjadi stimulan bagi peternak melakukan ekspansi terhadap usaha sapi perahnya, yakni dengan
menambah jumlah sapi laktasi yang dimilikinya sehingga dengan demikian akan semakin besar jumlah susu yang dihasilkan oleh peternak.
Kebijakan yang merugikan peternak berdasarkan analisis sensitivitas tersebut jika pemerintah menetapkan tarif impor susu turun menjadi nol persen
dan harga BBM naik 114 persen seperti tahun 2008 yang mengakibatkan keuntungan yang diterima oleh peternak akan turun pula, bahkan merugikan
peternak. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 23 bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah untuk menurunkan tarif impor dan menaikkan BBM keuntungan
privat yang diperoleh peternak di Kecamatan Pangalengan bernilai negatif atau dengan kata lain peternak di lokasi penelitian ini mengalami kerugian dalam
memperoduksi setiap liter susu yang dihasilkan. Kondisi ini menunjukkan bahwa peternak di Kecamatan Lembang lebih sensitif atau peka terhadap perubahan
kebijakan yang terjadi, terutama perubahan tarif impor dan harga pakan konsentrat.
Kerugian yang dialami oleh peternak di Kecamatan Pangalengan, karena disebabkan penggunaan input pakan ternak berupa konsentrat sangat tinggi bila
dibandingkan di dua lokasi penelitian yang lain. Berdasarkan perhitungan terhadap persentasi biaya yang dikeluarkan peternak untuk menghasilkan satu liter
susu. Peternak di Kecamatan Lembang mengeluarkan biaya sebesar 55 persen biaya pembelian konsentrat dari total biaya pakan yang digunakan, dan harga
pakan yang diterima oleh peternak di daerah ini sebesar Rp. 1 750 per kilogram. Sedangkan peternak di Kecamatan Lembang hanya mengeluarkan biaya
konsentrat sebesar 42 persen dari total biaya pakan harga konsentrat Rp. 1 400- Rp. 1 600 untuk setiap kilogram, serta peternak di Kecamatan Cikajang
mengeluarkan biaya konsentrat sangat rendah yakni sebesar 39 persen dari total biaya pakan dengan biaya harga pakan per kilogram adalah Rp. 1 400.
Pada dasarnya perubahan harga pakan yang disebabkan oleh naiknya BBM, terutama konsentrat tidak berdampak kepada tingkat keuntungan peternak
jika peternak mampu menghasilkan sendiri pakan konsentrat. Penyuluhan dan pelatihan pembuatan konsentrat sudah sangat sering dilakukan, namun karena
keterbatasan pemahaman dan kesadaran peternak, maka sebagian besar peternak menggantungkan kebutuhan usahaternaknya kepada koperasi. Harga yang relatif
rendah di Kecamatan Lembang dan Cikajang, lebih disebabkan koperasi di Lembang memberikan bantuan dengan potongan harga pakan sebesar
Rp. 200-Rp. 300kg bagi anggotanya dan di Cikajang-Garut peternak hanya menggunakan pakan konsentrat dengan kualitas rendah. Sedangkan peternak di
Pangalengan tidak mendapat potongan harga dalam mendapatkan konsentrat dengan alasan tidak memiliki dana yang mencukupi. Disamping usaha lain yang
dilakukan oleh peternak di Lembang yang meramu sendiri konsentrat dengan bahan yang ada yakni dari bahan ampas tahu, dedak, ampas singkong, maupun
bungkil kedelai. Rendahnya tingkat pendidikan peternak yang ada di Kecamatan
Pangalengan yakni sebesar 80 persen tidak lulus atau hanya lulus SD dan jumlah kepemilikan 1-2 ekor sebanyak 50 persen responden yang merupakan skala yang
sangat tidak efisien. Hal ini diduga menjadi kendala dalam hal pembuatan pakan konsentrat sendiri. Kondisi peternak responden tersebut mengindikasikan bahwa
rendahnya pemahaman untuk tidak tergantung kepada koperasi dapat diatasi dengan memproduksi pakan ternak dan lainnya dengan bantuan dan
pendampingan dari dinas dan koperasi. Kebijakan yang juga menurunkan keuntungan peternak sehingga peternak
mendapatkan insentif yang kecil jika pemerintah menurunkan tarif impor menjadi nol persen zerro tariff. Apabila pada kondisi ini harga susu akan turun, dan
posisi tawar peternak terhadap IPS juga akan bertambah lemah, karena dengan dihapusnya tarif masuk maka akan menyebabkan IPS memiliki alternatif sumber
bahan baku yang lebih murah dan banyak, kondisi ini tentunya sangat merugikan peternak sapi perah.
Kebijakan yang berupaya untuk melindungi produk dan produsen dalam negeri hendaknya harus terus diupayakan oleh pemerintah, karena selain
menghemat devisa juga akan mampu memberikan multiplier effect ekonomi terutama ditingkat perdesaan dengan membuka kesempatan kerja dan
menggerakan kegiatan ekonomi lainnya. Kebijakan yang berupaya untuk melindungi produk susu dan peternak dalam negeri merupakan tanggung jawab
dari pemerintah agar kesejahteraan peternak dapat ditingkatkan. Negara-negara maju sekalipun masih tetap melindungi peternak dan usahaternak sapi perah
mereka dengan menetapkan kebijakan tarif dan non tarif, sebagai contoh Amerika Serikat yang menetapkan tarif bea masuk sebesar 17.50-18.50 persen, dan Austrlia
yang menetapkan kebijakan non tarif dalam bentuk sanitary certificate komoditas susu yang ketat. Kondisi yang relatif menguntungkan peternak jika terjadi
kenaikan pakan sebesar 20 dan 30 persen harus diikuti dengan kenaikan tarif impor yang sesuai dengan kondisi sekarang lima persen, sehingga keuntungan
privat dan sosial dapat dinikmati peternak.
6.3.2. Perubahan Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi Perah Akibat Perubahaan Harga Output dan Input di Provinsi Jawa Barat
Analisis sensitivitas yang sama dilakukan untuk melihat kondisi daya saing pengusahaan susu sapi perah di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan analisis
sensitivitas tersebut diharapkan ada informasi yang tepat untuk meningkatkan daya saing pengusahaan susu sapi perah di Provinsi Jawa Barat. Analisis ini juga
akan menunjukkan apakah aktivitas ekonomi yang dilakukan masih tetap efisien secara privat atau ekonomi ataupun sebaliknya.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan nilai PCR dan DRC yang dihasilkan di tiga lokasi penelitian adalah kurang dari satu 1, kecuali
Kecamatan Pangalengan bahwa nilai PCR pada kondisi tarif impor nol persen PCR=1.00, pada kondisi harga pakan naik 20 persen dan 30 persen PCR
sebesar 1.00 dan 1.03, serta skenario ke-6 dan 7 kombinasi jika tarif impor nol
persen dan harga pakan naik sebesar 20 dan 30 persen maka nilai PCR berturut- turut sebesar 1.06 dan 1.09 PCR1. Perubahan nilai indikator daya saing akibat
analisis sentivitas pada usahaternak sapi perah dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Indikator Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi Perah Berdasarkan
Analisis Sensitivitas
di Kecamatan
Lembang, Kecamatan
Pangalengan, dan Kecamatan Cikajang.
No Skenario Perubahan
Indikator Daya Saing PCR
DRC A
B C
A B
C 1
Tarif impor nol persen. 0.83
1.00 0.94
0.63 0.79
0.62 2
Tarif impor 10 persen. 0.75
0.89 0.84
058 0.89
0.56 3
Tarif impor 15 persen 0.71
0.85 0.80
0.55 0.68
0.53 4
Harga Pakan naik 20 persen. 0.84
1.00 0.92
0.65 0.79
0.63 5
Harga Pakan naik 30 persen. 0.86
1.03 0.94
0.66 0.81
0.66 6
Tarif impor nol persen dan Harga pakan naik 20 persen.
0.88 1.06
0.98 0.68
0.83 0.67
7 Tarif impor nol persen dan Harga pakan
naik 30 persen. 0.91
1.09 0.99
0.70 0.86
0.69 8
Tarif impor 10 persen dan Harga pakan naik 20 persen.
0.79 0.95
0.88 0.61
0.75 0.60
9 Tarif impor 10 persen dan Harga pakan naik
30 persen. 0.82
0.97 0.89
0.63 0.77
0.62 10
Tarif impor 15 persen dan Harga pakan naik 20 persen.
0.75 0.90
0.84 0.58
0.80 0.57
11 Tarif impor 15 persen dan Harga pakan naik
30 persen. 0.78
0.91 0.85
0.60 0.71
0.59 Keterangan:
A : Lokasi penelitian Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
B : Lokasi penelitian Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.
C : Lokasi penelitian Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut.
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa dengan adanya penurunan tarif nol persen dan terjadi kenaikan pakan menyebabkan usahaternak di Kecamatan
Pangalengan-Kabupaten Bandung tidak memiliki keunggulan kompetitif, namun masih memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif, diimiliki oleh
peternak di Kecamatan Pangalengan diduga disebabkan bahwa secra iklim mendukung usahaternak, serta secara sosial dan ekonomi dimana cikal bakal
pengembangan usahaternak sapi perah Indonesia berasal dari daerah Pangalengan. Nilai yang kurang dari satu baik PCR dan DRC di Kecamatan Lembang, dan
Kecamatan Cikajang berdasarkan 11 skenario kebijakan menunjukkan pengusahan sapi perah efisien secara finansial dan ekonomi. Pengusahaan sapi
perah di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Cikajang juga memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, kecuali Kecamatan Pangalengan untuk beberapa
kondisi skenario seperti yang dijelaskan diatas, karena lokasi penelitian ini lebih sensitif bila dibandingkan dua lokasi lainnya.
Berdasarkan Tabel 24 dapat dijelaskan bahwa dari 11 skenario kebijakan yang dilakukan, secara keseluruhan yang memiliki keunggulan kompetitif yang
paling baik adalah Kecamatan Lembang, ini ditunjukkan nilai PCR yang selalu lebih kecil bila dibandingkan dengan seluruh lokasi penelitian yang ada.
Kecamatan Lembang dalam pengusahaan susu sapi perah lebih memiliki kemampuan membiayai faktor domestiknya pada harga privat, dan kemampuan
tersebut akan terus meningkat. Sedangkan untuk nilai DRC Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut untuk setiap skenario memiliki nilai DRC yang paling kecil bila
dibandingkan Kecamatan Lembang dan Pangalengan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Kecamatan Cikajang, memiliki
keunggulan komparatif yang lebih baik dibanding dua lokasi lainnya. Peternak di Kecamatan Cikajang secara umum memiliki pengusahaan ternak yang lebih
efisien. Karena kemampuan untuk menghemat biaya faktor domestik pada harga sosial, dan lebih mampu hidup tanpa bantuan dan intervensi pemerintah, serta
mempunyai peluang ekspor yang makin besar. Nilai DRC yang lebih rendah juga menunjukkan bahwa pengusahaan ternak sapi perah di Kecamatan Cikajang
seharusnya memperoleh prioritas yang lebih tinggi bila dibandingkan di kedua lokasi penelitian lain untuk pengembangannya.
Informasi yang dapat dijelaskan berdasarkan Tabel 24 tersebut adalah penurunan tarif impor nol persen dan kenaikan harga pakan ternak konsentrat,
bahkan kondisi jika keduanya terjadi akan menyebabkan penurunan daya saing pengusahaan susu sapi perah untuk ketiga lokasi tersebut. Penurunan daya saing
tersebut ditunjukkan dengan semakin besarnya nilai PCR dan DRC. Menurut hasil senstivitas yang dilakukan tersebut, adanya penghapusan
tarif impor susu dan kenaikan harga pakan akan mengurangi daya saing komoditi susu sapi perah lokal baik daya saing yang ditunjukkan oleh keunggulan
kompetitif dan komparatif. Bahkan penurunan tarif impor menjadi nol persen dan kenaikan harga pakan sebesar 20 dan 30 persen menjadikan peternak di
Kecamatan Pangalengan menjadi tidak memiliki keunggulan kompetitif sama sekali PCR1. Melihat kondisi tersebut, diperlukan keberpihakan pemerintah
untuk melindungi dan memberikan insentif kepada peternak untuk tetap menjalankan usahaternak sapi perah dengan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat.
Penetapan tarif impor sebesar 15 persen akan meningkatkan daya saing komoditi susu sapi lokal tersebut, seperti yang ditunjukkan dengan nilai PCR dan DRC
yang lebih kecil bila dibandingkan dari seluruh skenario yang dilakukan di ketiga lokasi penelitian. Penetapan tarif tersebut akan memberikan perlindungan
terhadap susu segar dalam negeri dari susu impor, dan akan memberikan insentif bagi pelaku usahaternak.
6.4. Kebijakan Alternatif terhadap Peningkatan Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi Perah