Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output

ketiga daerah penelitian dimana rata-rata upah harian kerja pria dibayarkan Rp. 25 000. Selain itu komponen pajak tidak diperhitungkan sebagai biaya pada analsis ekonomi sedangkan pada analisis finansial komponen tersebut dihitung sebagai biaya.

6.2.3. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output

Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output dapat dijelaskan melalui indikator-indikator seperti nilai Koefisien Proteksi Efektif EPC, Transfer Bersih TB, Koefiesien KeuntunganProfit Coefisien PC, dan Rasio Subsidi bagi Produsen SRP. Hasil Perhitungan indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output pada pengusahaan susu sapi perah di Provinsi Jawa Barat yang dilihat dari ketiga lokasi penelitian ditunjukkan pada Tabel 22. Tabel 22. Nilai Koefisien Proteksi Efketif, Transfer Bersih, dan Koefisien Keuntungan, dan Rasio Subsidi bagi Produsen Pada Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal di Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat No Indikator Kec. Lembang Kec. Pangalengan Kec. Cikajang 1 Koefisien Proteksi EfektifEPC 0.80 0.80 0.70 2 Transfer BersihTB Rpl -741.80 -760.10 -1 236.80 3 Koefisien KeuntunganPC 0.50 0.20 0.20 4 Rasio Subsidi bagi ProdusenSRP -0.20 -0.20 -0.30 Nilai EPC merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi suatu komoditas dalam negeri. Nilai ini menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC untuk kedua produk susu sapi perah lokal sebesar 0.80 untuk Kecamatan Lembang, dan Kecamatan Pangalengan, serta Kecamatan Cikajang memiliki nilai EPC sebesar 0.74 hampir sama dengan Kecamatan Lembang. Nilai EPC di ketiga lokasi penelitian yang kurang dari satu, menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input-output tidak berjalan dengan efektif atau menghambat produsenpeternak dalam pengusahaan menghasilkan susu sapi segar. Nilai EPC di Kecamatan Cikajang yang lebih kecil bila dibandingkan dari Kecamatan Lembang dan Kecamatan Pangalengan menunjukkan bahwa pengusahaan sapi perah di lokasi ini kurang efektif bila dibandingkan di Lembang dan Pangalengan. Hal ini dimungkinkan, karena di kedua lokasi ini akses peternak untuk mendapatkan inputnya mudah, begitupun pemasaran susu dengan harga yang lebih tinggi. Transfer bersih TB menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan peternak, apakah merugikan atau menguntungkan peternak. Nilai transfer bersih merupakan selisih dari nilai keuntungan privat dengan nilai keuntungan sosial. Nilai transfer bersih untuk pengusahaan susu sapi perah diketiga lokasi bernilai negatif. Nilai transfer bersih sebesar Rp. 741.80 per liter Kecamatan Lembang, Rp. 760.10 per liter Kecamatan Pangalengan, dan Rp. 1 236.80 per liter Kecamatan Cikajang. Surplus produsen yang hilang untuk peternak di Kecamatan Cikajang lebih besar, bila dibandingkan di Kecamatan Lembang dan Pangalengan. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa belum terlihatnya insentif ekonomi untuk meningkatkan produksi susu sapi segar lebih transfer bersih yang diperoleh di masing-masing lokasi penelitian, yakni Rp. 741.80 untuk Kecamatan Lembang, Rp. 760.10 untuk Kecamatan Pangalengan, sebesar Rp. 1 236.80 untuk Kecamatan Cikajang dibandingkan keuntungan apabila tidak ada intervensi pemerintah. Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial. Koefisien keuntungan merupakan indikator yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output, kebijakan input asing, dan input domestik net policy transfer Nilai PC yang dihasilkan pada penelitian ini adalah sebesar 0.50 Kecamatan Lembang, 0.20 Kecamatan Pangalengan dan Cikajang. Secara keseluruhan memiliki nilai lebih kecil dari satu yang berarti keuntungan produsen dengan intervensi dan distorsi sebesar 50 persen untuk Kecamatan Lembang, 20 persen untuk Kecamatan Pangalengan dan Kecamatan Cikajang. Nilai PC tersebut juga menunjukkan bahwa produsen di masing-masing lokasi penelitian harus mengeluarkan dana kepada konsumen IPS sebesar 50 persen dan 80 persen, sehingga secara keseluruhan kebijakan pemerintah tidak memberikan insentif kepada produsen dan membuat keuntungan yang diterima oleh produsen lebih rendah dibandingkan dengan tanpa ada kebijakan. Nilai rasio subsidi bagi produsen merupakan indikator yang menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan penerimaan atas pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan pemerintah. Nilai SRP untuk ketiga lokasi penelitian bernilai negatif yakni sebesar 0.20 Kecamatan Lembang dan Pangalengan, dan 0.30 Kecamatan Cikajang. Hal ini menunjukkan kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini, menyebabkan produsen susu mengeluarkan biaya produksi lebih besar 20 persen Kecamatan Lembang dan Pangalengan, dan 30 persen untuk Kecamatan Cikajang dari oppurtinity cost untuk produksi. Nilai keseluruhan yang negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah berpengaruh negatif terhadap struktur biaya produksi, karena biaya yang diinvestasikan peternak lebih besar daripada nilai tambah keuntungan yang diterima peternak sendiri kebijakan pemerintah merugikan peternak susu di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan dampak divergensi kebijakan pemerintah terhadap input- output menunjukkan bahwa pengusahaan usahaternak ini dalam jangka panjang akan memberikan kerugian pada produsen, karena produsen mengeluarkan biaya dari yang seharusnya. Hal ini tentunya menjadi salah satu faktor penyebab mengapa investor tidak tertarik untuk menginvestasikan modalnya pada usahaternak sapi perah. Disamping usahaternak tersebut menghadapi risiko usaha yang cukup tinggi dilihat dari karakteristik produk, membutuhkan modal yang besar peternak yang mampu memproduksi susu secara langsung, dan rendahnya teknologi. Sehingga dengan demikian usahaternak menjadi kurang menarik, sehingga yang menjalankan usahaternak adalah peternak rakyat dengan modal terbatas. Kondisi tersebut juga karena keharusan untuk meneruskan usaha yang diwariskan oleh orang tuanya, sehingga tidak terdapat pilihan lain. Hal ini dapat dibuktikan bahwa mayoritas peternak memiliki usia di bawah 50 tahun dan 20- 57.70 persen peternak memiliki pengalaman rata-rata selama 1-12 tahun untuk mengelola usahaternaknya.

6.3. Perubahan Keuntungan dan Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi