kualitas susu yang dihasilkan, agar memperoleh harga yang lebih tinggi berdasarkan yang disyaratkan oleh IPS, terutama dalam proses perawatan sapi
perah dan alat yang digunakan. Keterbatasan modal menjadi alasan bagi peternak untuk tetap menggunakan alat-alat sederhana, seperti ember bekas, milk cain
tempat penampungan susu yang sudah rusak dan tidak memiliki tutup. Perbaikan sistem budidaya menurut pendapat peternak akan menimbulkan tambahan biaya
bagi usahaternak.
2.4. Kebijakan Negara Maju di Bidang Persusuan
Komoditi peternakan khususnya susu merupakan komoditas yang memiliki nilai strategis dan bahkan politis bagi negara produsen susu, seperti New
Zeland, Australia, Amerika Serikat, dan Eropa. Berbagai bentuk kebijakan dilakukan oleh pemerintah negara produsen untuk dapat meningkatkan produksi
susu dan memasarkannya ke negara lain, khususnya negara berkembang termasuk Indonesia. Subsidi yang diberikan oleh negara maju terhadap peternakan
merupakan bukti perlindungan. Pakpahan 2004 dalam Karo-Karo 2007 menyebutkan bahwa setiap sapi di negara-negara produsen mendapat subsidi
sebesar US 1.00-US 2.00 per ekor per hari untuk pakan atau dalam bentuk lainnya. Pemberian subsidi tersebut dilakukan dalam bentuk green box, amber box
subsidi input dan output, ataupun blue box bantuan langsung, kebijakan- kebijakan tersebut adalah kebijakan yang ‘disepakati’ di dalam WTO World
Trade Organization . Negara maju memiliki dana untuk ketiga bentuk subsidi
tersebut dan dalam pelaksanaannya tetap mengatakan tidak akan mendistorsi pasar. Sedangkan negara berkembang yang hanya memiliki dana dalam bentuk
subsidi amber box, diprotes negara maju karena menurut mereka akan mendistorsi pasar.
Kondisi tersebut tentunya akan memberikan konsekuensi pengembangan usaha sapi perah di negara masing-masing. Menurut PSE-KP Litbang Departemen
Pertanian 2009 menyebutkan terdapat lima perilaku negara maju yang berupaya untuk melindungi produksinya dan mengupayakan komoditasnya masuk ke pasar
negara-negara berkembang. Adapun kelima perilaku tersebut adalah: pertama, menekan negara berkembang menurunkan tarif, sementara negara maju
melakukan non tarif barrier dengan sanitary phytosanitary SPS, Non-Trade Concerns
NTCs, lingkungan hidup, dan pandangan masyarakat. Kedua, melakukan lobi dengan pemerintah negara-negara berkembang yang memiliki
kemampuan untuk memutuskan agar tercipta kerjasama bilateral untuk menembus pasar negara berkembang. Ketiga, Membagi negara-negara berkembang yang
sebelumnya bergabung ke dalam G20 dan G33, sehingga kekuatan negara berkembang akan semakin lemah dan dengan demikian akan semakin mudah
untuk menembus pasar negara-negara berkembang yang rendah dari segi produksi susu dan pemenuhan asupan nilai gizi. Keempat, negara-negara maju lebih
cenderung untuk menurunkan tarif impor minor dan mempertahankan tarif produk utama. Kelima, negara maju ternyata memanfaatkan Multinational Corporation
MNC yang memiliki cabang-cabang di negara berkembang untuk mengakses pasar negara berkembang tersebut.
Kebijakan yang diterapkan oleh negara maju untuk melindungi komoditas susu dan produk turunannya adalah dengan menetapakan tarif bea masuk ataupun
non tarif yang berbentuk hambatan teknis. Menurut Litbang Departemen
Perdagangan 2009 negara-negara maju seperti Canada, Amerika Serikat, dan Australia menerapkan kebijakan untuk memproteksi komoditas susu dan turunan
dari serbuan produk sejenis dari negara lain. Faktanya Amerika Serikat menerapkan tarif masuk sebesar 17.50-18.50 persen untuk produk susu dan
turunannya, Canada menerapkan tarif bea masuk sebesar tujuh persen, sedangkan negara Australia menetapkan zero tariff untuk komoditas susu, namun
menetapkan non tariff barrier dalam bentuk sanitary certificate, dan manufacture certificate
.
2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu