lebih awal dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan sehingga harus memiliki daya saing kuat untuk mengantisipasi masuknya bahan baku susu impor. Oleh
karena itu, harga SSDN yang berlaku harus merupakan harga pasar yang kompetitif, terutama jika dipertimbangkan ancaman dari produsen susu dunia dari
negara tetangga seperti Australia dan New Zealand. Sejak November tahun 2008, untuk mengatasi permasalahan kurangnya
supply susu serta tingginya harga susu di tingkat konsumen, pemerintah
melakukan program peningkatan daya saing industri susu di dalam negeri yaitu dengan memberikan insentif fiskal berupa penanggungan bea masuk oleh
pemerintah atas impor barang dan bahan olah industri pengolahan susu Permenkeu No. 145PMK.0112008. Namun, hal tersebut juga diperparah
dengan dikeluarkannya kebijakan terbaru mengenai penghapusan tarif impor masuk dari lima persen menjadi nol persen berdasarkan Permenkeu
No. 19PMK.0112009 pada April dan efektif diberlakukan sejak 1 Juni 2009. Kondisi ini memberikan implikasi bahwa IPS memiliki pilihan yang kuat dalam
menentukan harga kontra karena harga susu impor bubuk jauh lebih murah hingga 15 persen dari susu lokal, serta memperburuk kondisi peternak sapi perah,
karena mendapatkan harga yang lebih rendah dan posisi tawar yang lemah.
2.3. Struktur Pasar Susu Segar Dalam Negeri Indonesia
Peta perdagangan internasional menyebutkan bahwa Indonesia merupakan net consumer
. Sampai saat ini industri pengolahan susu nasional masih sangat bergantung pada impor bahan baku. Apabila kondisi tersebut tidak dibenahi
dengan membangun sebuah sistem agribisnis berbasis peternakan yang baik, maka
Indonesia akan terus menjadi negara pengimpor hasil ternak khususnya susu sapi Daryanto, 2009. Permasalahan yang dihadapi oleh usahaternak sapi perah, tidak
hanya akibat ketidakmampuan usahaternak untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Setidaknya menurut Ilham dan Swastika 2001 konsumsi susu segar
masyarakat masih terbatas, sehingga pemasaran susu segar tergantung pada IPS. Penentuan harga yang dilakukan sepihak oleh IPS. Diperkirakan sekitar
88-91 persen produksi susu usahaternak sapi perah rakyat dipasarkan ke IPS. Harga jual susu tersebut ditentukan berdasarkan syarat teknis atau kualitas susu
yang dicerminkan oleh kandungan total solid susu 11-12.5 persen. Fakta dilapangan menyebutkan hal tersebut dilakukan dengan mengukur Berat Jenis
BJ, kandungan lemak susu, dan kandungan bakteri dibawah satu juta. Mekanisme penentuan harga dilakukan secara sepihak IPS. Peternak hanya
menerima harga yang telah ditentukan oleh IPS, berdasarkan kriteria yang disebutkan diatas. Bahkan koperasi primer maupun GKSI tidak mempunyai
kekuatan dalam menentukan harga susu, karena keberadaannya hanya bersifat sebagai perantara yang memperoleh fee untuk tiap liter susu yang di pasarkan ke
IPS. Saat ini IPS hanya akan membeli bila harga SSDN lebih murah dari bahan baku impor. Bila terjadi sebaliknya, dengan dicabutnya sistem rasio, diduga IPS
akan lebih memilih untuk menggunakan bahan baku asal impor. Hingga saat ini belum ada upaya IPS menjalin kemitraan agar produksi SSDN dapat bersaing
dengan produk impor. Hal ini disebabkan masih ada keterkaitan antara IPS sebagai usaha multinasional dengan industri persusuan di masing-masing negara
investorprodusen Ilham dan Swastika, 2001.
Kondisi tersebut menyebabkan struktur pasar susu segar dalam negeri cenderung mengarah ke oligopsoni. Hal ini dibuktikan bahwa jumlah persahaan
yang tergabung dalam IPS terdapat 12 perusahaan. Adapun keduabelas perusahaan tersebut adalah: PT. Nestle Indonesia, PT. Foremost Indonesia,
PT. Friesche Vlag Indonesia, PT. Indomlik, PT. Ultra Jaya, PT. Dafa, PT. Sari Husada, PT. Nutricia Indonesia, PT. Pantja Niaga, Ltd, PT. Sugizindo, PT.
Mirota, dan PT. Indolakto Direktorat Jenderal Peternakan, 2009. Perusahaan-perusahaan tersebut bergabung dalam IPS, dimana fungsi IPS
melakukan kordinasi dalam hal penentuan jumlah susu yang akan dibeli dan penentuan harga berdasarkan tingkat kualitas. Fenomena ini mengindikasikan
adanya potensi anti persaingan berupa abuse of dominant position dari IPS sekaligus potensi praktek monopsoni yang tidak sehat, Siregar, 2009. Walaupun
pada dasarnya peternak bergabung dalam koperasi dan GKSI Gabungan Koperasi Susu Indonesia, namun koperasi belum mampu meningkatkan posisi tawar dan
mengimbangi IPS. Beberapa alasan yang menyebabkan rendahnya posisi tawar peternak dan koperasi adalah: pertama, terbukanya pasar susu impor yang
memberikan alternatif bahan baku susu bagi IPS, sehingga dengan tidak adanya kewajiban untuk membeli susu bagi peternak, IPS akan semakin leluasa untuk
memanfaatkan bahan baku impor. Kedua, karakterisktik susu yang merupakan produk agribisnis memiliki ciri perishable, yakni produk yang relatif cepat rusak
bila tidak ditanganidiolah lebih lanjut. Ketiadaan unit pengolahaan susu yang memadai yang dimiliki oleh koperasi dan tidak terdapatnya pasar alternatif selain
IPS menyebabkan peternak atau koperasi harus menjual susunya kepada IPS. Ketiga, rendahnya pengetahuan dan pemahaman peternak untuk meningkatkan
kualitas susu yang dihasilkan, agar memperoleh harga yang lebih tinggi berdasarkan yang disyaratkan oleh IPS, terutama dalam proses perawatan sapi
perah dan alat yang digunakan. Keterbatasan modal menjadi alasan bagi peternak untuk tetap menggunakan alat-alat sederhana, seperti ember bekas, milk cain
tempat penampungan susu yang sudah rusak dan tidak memiliki tutup. Perbaikan sistem budidaya menurut pendapat peternak akan menimbulkan tambahan biaya
bagi usahaternak.
2.4. Kebijakan Negara Maju di Bidang Persusuan