bawang merah yang lebih besar sehingga menghasilkan keuntungan total yang lebih besar pula.
2.5.2 Penelitian mengenai Analisis Keterpaduan Pasar
Agustina 2008 menganalisis keterpaduan pasar kubis antara pasar produsen-pasar Induk Caringin dan pasar produsen - pasar Induk Kramat Jati.
Analisis keterpaduan pasar kubis ini menggunakan metode Autoregressive Distributed Lag model dan Index of Market Connection IMC. Hasil analisis
keterpaduan pasar menunjukkan bahwa pada kedua pola analisis tersebut memiliki keterpaduan jangka pendek dengan nilai IMC masing-masing 1 yaitu
0,920 dan 0,228. Nilai koefisien b
2
pada masing-masing analisis 1 yaitu 0,459 dan 0,674. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada keterpaduan jangka panjang
antara kedua pola tersebut. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis ini adalah tidak bersaing
sempurna. Rachma 2008 melakukan analisis keterpaduan pasar cabai merah antara
pasar petani di Desa Cibereum dengan Pasar Induk Caringin Bandung sebagai pasar acuan. Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan nilai IMC 1, yaitu
sebesar 2,205 artinya tidak ada keterpaduan jangka pendek dan nilai koefisien 2b memiliki nilai 1, yaitu sebesar 0,275 menunjukkan tidak ada keterpaduan jangka
panjang. Hal ini menunjukkan bahwa struktur pasar yang terjadi dalam tataniagacabai merah ini adalah tidak bersaing sempurna. Persaingan yang tidak
sempurna dalam tataniaga cabai merah ini menunjukkan bahwa sistem tataniaga cabai merah di lokasi penelitian belum efisien.
Dari hasil-hasil penelitian terdahulu dapat dilihat bahwa pada umumnya sistem tataniaga komoditas hortikultura di Indonesia belum efisien. Hal ini dapat
dilihat dari sebaran margin yang tidak merata diantara lembaga tataniaga yang terlibat. Petani sebagai produsen memperoleh bagian yang lebih kecil
dibandingkan dengan pedagang. Selain itu juga, informasi harga pasar dari tingkat pedagang tidak dapat disalurkan dengan baik kepada pasar di tingkat petani.
Artinya, diantara kedua tingkat pasar tersebut tidak terdapat keterpaduan pasar. Alat analisis yang paling banyak untuk menganalisis tingkat keterpaduan
pasar adalah dengan menggunakan model Ravallion dan Heytens 1986. Model
ini dapat mengurangi kelemahan model analisis korelasi harga yang menganggap perubahan harga di tingkat konsumen dengan produsen bergerak pada waktu yang
sama. Dengan demikian diharapkan hasil analisis dengan mempertimbangkan perubahan harga pada waktu sebelumnya dapat lebih menunjukkan kondisi
sebenarnya. Atas pertimbangan tersebut, untuk menganalisis tingkat keterpaduan pasar digunakan alat analisis model Ravallion dan Heytens 1986.
Terdapat beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu terletak pada komoditas, waktu dan lokasi tempat penelitian
dilakukan. Pada penelitian ini dianalisis keterpaduan pasar kentang, yaitu pasar lokal produsen dengan menggunakan satu pasar acuan yaitu Pasar Induk
Tanjung Bajurai Sungai Penuh.
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Konseptual