Pada Tabel 13 dari pola saluran I, II, dan IIIa, pola saluran yang memiliki persentase
farmer’s share terbesar adalah pola saluran I yaitu 68 persen. Besarnya proporsi
farmer’s share pada saluran ini dikarenakan, saluran tataniaga yang dilalui relatif lebih pendek dari pada pola saluran II, dan IIIa, dimana petani
langsung menjual hasil panennya ke pedagang grosir. Sedangkan persentase farmer’s share pada pola saluran II dan IIIa, masing-masing adalah 58 persen dan
53 persen. Pada pola saluran IIIb, persentase
farmer’s share saluran ini adalah 77 persen. Besarnya proporsi
farmer’s share ini dikarenakan harga jual petani yang cukup tinggi yaitu Rp 2.910 per kilogram dan rendahnya margin pemasaran yang
diambil oleh pedagang grosir pada saluran ini yaitu sebesar Rp 275 per kilogram. Margin terbesar pada saluran ini terdapat pada pedagang pengumpul yaitu Rp 523
per kilogram. Diantara saluran IV, V, dan VI, pola saluran yang memiliki persentase
farmer’s share terbesar adalah saluran IV yaitu sebesar 82 persen. Hal ini disebabkan harga jual akhir pada pola saluran ini lebih rendah dari pola saluran V
dan VI yaitu Rp 3.600 per kilogram. Sedangkan besarnya farmer’s share pada
saluran V dan VI masing-masing adalah 79 persen dan 74 persen. Harga jual akhir pada kedua saluran ini relatif lebih tinggi yaitu Rp 3.720 per kilogram dan Rp
4000 per kilogram karena tujuan pemasaran dari kedua saluran ini adalah daerah Palembang dan Lampung sehingga membutuhkan biaya pemasaran yang lebih
tinggi.
6.5.3 Rasio Keuntungan dan Biaya
Indikator lain untuk menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditas adalah dengan menghitung rasio keuntungan terhadap biaya. Rasio keuntungan
terhadap biaya digunakan untuk mengetahui penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya yang diperoleh pada masing-masing lembaga pemasaran yang
terlibat dalam setiap saluran pemasaran. Untuk rasio keuntungan terhadap biaya pada komoditi kentang di Kecamatan Kayu Aro dapat dilihat pada Tabel 14.
Berdasarkan Tabel 14 pada saluran pemasaran I diketahui bahwa biaya yang dikeluarkan lembaga tataniaga kentang sebesar Rp 362,2 per kilogram.
Tabel 14. Rasio Keuntungan terhadap Biaya pada Saluran Tataniaga Kentang di
Kecamatan Kayu Aro, Kerinci
Lembaga Tataniaga
Saluran Tataniaga I
II IIIa
IIIb IV
V VI
Pedagang Pengumpul
π
i
RpKg -
622 523
523 563
684 958
Ci RpKg -
94,7 91,6
91,6 92,9
91,9 98,5
Rasio πiCi -
6,5 5,7
5,7 6,0
7,4 9,7
Pedagang Grosir
π
i
RpKg 181
303 110
84 -
- -
Ci RpKg 219,3
371,9 164,6
190,7 -
- -
Rasio πiCi 0,8
0,8 0,6
0,4 -
- -
Pedagang Pengecer
π
i
RpKg 807
582 1.137
- -
- -
Ci RpKg 142,9
142,9 562,7
- -
- -
Rasio π
i
Ci 5,6
4,0 2,0
- -
- -
Total
π
i
RpKg 988
1.507 1.771
608 563
684 958
Ci RpKg 362,2 609,5
818,9 282,4
92,9 91,9
98,5 Rasio π
i
Ci 2,7 2,5
2,2 2,1
6,1 7,4
9,7
Keterangan : Ci : Biaya pemasaran untuk tiap lembaga pemasaran
πi : Keuntungan lembaga pemasaran
. Biaya terbesar ditanggung oleh pedagang grosir yaitu sebesar Rp 219,3 per kilogram dan biaya pemasaran terendah ditanggung oleh pedagang pengecer
yaitu sebesar Rp 142,9 per kilogram. Pedagang grosir mengeluarkan biaya pemasaran yang cukup besar karena banyaknya perlakuan pembiayaan yang
dilakukan oleh pedagang ini seperti biaya angkut, biaya transportasi, biaya komunikasi, biaya bongkar muat dan biaya penyusutan. Keuntungan terbesar
terdapat pada pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 807 per kilogram, sedangkan besarnya keuntungan yang diperoleh pedagang grosir adalah Rp 181 per kilogram.
Pada saluran II, total biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 609, 5 per kilogram. Biaya pemasaran pada saluran II dilakukan oleh pedagang pengumpul,
pedagang grosir dan pedagang pengecer, diantara ketiga lembaga tataniaga yang
terlibat pada saluran II pedagang grosir yang lebih banyak mengeluarkan biaya yaitu sebesar Rp 371,9 per kilogram. Hal ini dikarenakan pedagang grosir
melakukan perlakuan biaya yang lebih banyak dibandingkan pedagang pengumpul ataupun pedagang pengecer. Pedagang grosir pada saluran II menjual
kentang ke pedagang pengecer di daerah Jambi, mereka banyak melakukan pembiayaan yang cukup besar diantaranya biaya transportasi, biaya tenaga kerja,
biaya penyusutan, biaya komunikasi, biaya bongkar muat, biaya restribusi pasar dan biaya sewa kios. Keuntungan yang diperoleh oleh pedagang grosir adalah
sebesar Rp 303 per kilogram. Sementara itu keuntungan terbesar pada saluran II didapat oleh pedagang pengumpul yaitu sebesar Rp 622 per kilogram, dimana
biaya pemasaran yang dikeluarkan pedagang pengumpul adalah sebesar Rp 94,7 per kilogram. Pedagang pengumpul biasanya hanya mengeluarkan biaya untuk
proses pengangkutan, penyortiran, penyusutan, dan proses pengemasan ulang. Pedagang pengecer pada saluran II mendapatkan keuntungan pemasaran sebesar
Rp 582 per kilogram dengan biaya pemasaran sebesar Rp 142,9 per kilogram. Pada saluran IIIa, total biaya pemasaran kentang dari pedagang pengumpul
hingga pengecer adalah Rp 818,9 per kilogram. Biaya pemasaran terbesar, dikeluarkan oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 562,7 per kilogram.
Besarnya biaya pemasaran pada tingkat pedagang pengecer ini disebabkan oleh tingginya biaya penyusutan yang harus ditanggung oleh pedagang pengecer jika
terjadi penurunan permintaan kentang dari konsumen akhir. Selain itu pedagang pengecer juga harus mengeluarkan biaya restribusi pasar dan biaya pengemasan.
Keuntungan terbesar juga diperoleh oleh pedagang pengecer adalah sebesar Rp 1.137 per kilogram, yang mana keuntungan pemasaran yang diperoleh pedagang
pengecer ini dipengaruhi oleh harga jual yang lebih tinggi dari harga jual pedagang pengecer pada saluran I dan II. Pedagang pengumpul mendapat
keuntungan pemasaran sebesar Rp 523 per kilogram dengan biaya pemasaran sebesar Rp 91, 6 per kilogram. Keuntungan pemasaran terendah pada saluran ini
terdapat pada pedagang grosir, yaitu sebesar Rp 110 per kilogram dengan biaya pemasaran sebesar Rp 164, 6 per kilogram. Besarnya biaya pemasaran yang harus
dikeluarkan oleh pedagang grosir disebabkan, pedagang grosir pada saluran IIIa ini membayar biaya transportasi yang lebih tinggi dari pedagang grosir pada
saluran tataniaga lainnya. Selain itu, pedagang grosir juga melakukan pembiayaan untuk biaya penyusutan, biaya tenaga angkut, biaya sewa kios, dan biaya kemas.
Total biaya pemasaran pada saluran IIIb adalah Rp 282,4 per kilogram. Saluran IIIb hanya melibatkan pedagang pengumpul dan pedagang grosir, dengan
tujuan pemasaran selanjutnya adalah daerah luar kota Riau. Biaya pemasaran terbesar ditanggung oleh pedagang grosir yaitu Rp 190,7 per kilogram. Pedagang
grosir pada saluran ini juga mendapatkan keuntungan pemasaran terendah yaitu Rp 84 per kilogram. Sedangkan pedagang pengumpul menanggung biaya
pemasaran terendah yaitu sebesar Rp 91,6 per kilogram, dan mendapatkan keuntungan pemasaran terbesar dari lembaga lainnya yaitu Rp 523 per kilogram.
Saluran IV, V, dan VI merupakan pola saluran yang melibatkan satu lembaga tataniaga yaitu pedagang pengumpul. Hal ini disebabkan karena
keterbatasan sumberdaya peneliti untuk meneliti lebih lanjut lembaga tataniaga kentang selanjutnya yang berada di luar daerah Jambi. Ketiga saluran ini,
memiliki tujuan pemasaran kentang ke daerah Riau, Palembang dan Jambi. Total biaya pemasaran masing
– masing saluran adalah Rp 92,9, Rp 91,9, Rp 98,5 per kilogram. Hal ini berarti saluran VI memiliki biaya pemasaran terbesar di antara
dua pola saluran lainnya. Ini disebabkan karena volume kentang yang dijual lebih sedikit dari saluran lainnya sehingga biaya pemasaran menjadi lebih tinggi.
Sedangkan untuk keuntungan pemasaran dari ketiga saluran ini masing – masing
adalah Rp 563, Rp 684, dan Rp 958 per kilogram, dan saluran VI merupakan saluran dengan keuntungan pemasaran terbesar dari saluran lainnya.
Peninjauan rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran suatu saluran dikatakan efisien apabila penyebaran nilai rasio keuntungan terhadap biaya pada
masing-masing lembaga pemasaran merata. Artinya setiap satu satuan rupiah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran akan memberikan keuntungan
yang tidak jauh beda dengan lembaga pemasaran lainnya yang terdapat pada saluran tersebut. Pada Tabel 15, terdapat tiga jenis pola saluran yang memiliki
perbedaan pada lembaga pemasaran akhir yang terlibat. Pada saluran I, II, dan IIIa, terdiri dari lembaga pemasaran akhir yang sama, yaitu pedagang pengecer.
oleh karena itu, perbandingan rasio keuntungan terhadap biaya pada ketiga saluran ini dapat dilakukan. Saluran IIIb, memiliki lembaga tataniaga akhir pedagang
grosir, sehingga rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran ini tidak dapat dibandingkan dengan pola saluran lainnya. Sedangkan saluran IV, V, dan VI
memiliki lembaga tataniaga akhir yang sama yaitu pedagang pengumpul, sehingga ketiga lembaga ini dapat dibandingkan nilai rasio keuntungan terhadap biaya
pemasarannya. Pada saluran I, II, dan IIIa nilai total rasio keuntungan terhadap biaya
pemasaran kentang terbesar terdapat pada saluran I yaitu sebesar 2,7. Maka untuk setiap 1 satuan rupiah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran akan
menghasilkan keuntungan sebesar 2,7 rupiah. Rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran terbesar ditingkat lembaga pemasaran terjadi pada tingkat pedagang
pengumpul pada saluran IIIa sebesar 5,7 dan rasio terkecil terdapat pada pedagang grosir pada saluran IIIa sebesar 0,6. Berdasarkan uraian diatas maka dapat
disimpulkan bahwa saluran pemasaran yang memiliki rasio πiCi adalah saluran I
sebesar 2,7, hal ini dikarenakan rantai pemasaran pada saluran ini lebih pendek, dan biaya pemasaran yang dikeluarkan juga lebih kecil.
Nilai total rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran IIIb adalah 2,1. Maka untuk setiap 1 satuan rupiah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga
pemasaran akan menghasilkan keuntungan sebesar 2,1 rupiah. Rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran terbesar ditingkat lembaga pemasaran terjadi pada
tingkat pedagang pengumpul pada saluran IIIb sebesar 5,7 dan rasio terkecil terdapat pada pedagang grosir pada saluran IIIb sebesar 0,4.
Pada saluran IV, V dan VI nilai total rasio keuntungan terhadap biaya terbesar terdapat pada saluran VI yaitu sebesar 9,7 yang berarti setiap 1 satuan
rupiah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran akan menghasilkan keuntungan sebesar 9,7 rupiah. Hal ini dikarenakan harga jual kentang pada
saluran VI lebih tinggi dari dua saluran lainnya, sehingga keuntungan pemasaran yang didapat juga lebih tinggi.
6.5.4 Efisiensi Tataniaga