Analisis Keterpaduan Pasar Analisis Efisiensi Tataniaga

yang dipasarkan adalah sebanyak 197 kilogram menunjukkan tingginya kontinuitas pemasaran pada saluran V ini.

6.5.5 Analisis Keterpaduan Pasar

Indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi harga dalam suatu tataniaga dapat diukur dengan analisis keterpaduan pasar. Keterpaduan pasar menunjukkan seberapa jauh pembentukkan harga suatu komoditi pada tingkat lembaga tataniaga tertentu dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lain. Selain itu, melalui analisis ini dapat diketahui apakah suatu sistem pasar telah bekerja secara efisien atau apakah pasar telah terintegrasi secara sempurna. Pada penelitian ini dilakukan analisis keterpaduan pasar secara vertikal antara pasar petani dengan Pasar Induk Tanjung Bajurai. Pemilihan Pasar Induk Tanjung Bajurai sebagai pasar acuan didasarkan pada pertimbangan bahwa berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang pedagang grosir luar daerah menyebutkan bahwa mereka mendapatkan informasi harga dari pedagang pengumpul, yang mana pedagang pengumpul mendapatkan informasi harga jual untuk daerah Kerinci berasal dari pedagang grosir dan pengecer di Pasar Induk Tanjung Bajurai, Sungai Penuh. Informasi harga yang mereka dapatkan menjadi acuan harga jual kentang di luar daerah Kerinci. Data yang digunakan diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Kerinci. Data harga ini merupakan harga bulanan komoditi kentang dari bulan Januari 2007 sampai bulan Desember 2011 Lampiran 7 dan 8. Hasil estimasi persamaan regresi keterpaduan pasar pada dua pola tersebut dapat dilihat pada Lampiran 9. Pengolahan data dianalisis dengan menggunakan model Indeks of Market Connection IMC melalui pendekatan model Autoregressive Distributed Lag yang diduga dengan Metode Kuadrat Terkecil Biasa Ordinary Least Square, OLS. Hasil olahan data tingkat keterpaduan pasar produsen dengan Pasar Induk Tanjung Bajurai maupun dengan Pasar Induk Kramat Jati dapat dilihat pada Tabel 17. Hasil estimasi parameter koefisien  1 pada pola A adalah sebesar 0,770 namun nilai P-Valuenya adalah 0,000 Lampiran 9. Model akan signifikan jika nilai P Value lebih kecil dari nilai taraf nyata, dalam hal ini yaitu sebesar lima persen. Hal ini berarti berapapun harga yang terjadi di tingkat petani pada bulan lalu berpengaruh nyata pada penentuan harga bulan berikutnya, dimana peningkatan perubahan harga pada bulan lalu sebesar 100 persen, cateris paribus, akan meningkatkan harga pada bulan berikutnya sebesar 77 persen pada taraf kepercayaan lima persen. Lain halnya dengan nilai koefisien  3 sebesar 0,133 dengan P-Value 0,084 Lampiran 9 yang menunjukkan bahwa pada taraf kepercayaan lima persen peningkatan perubahan harga di pasar acuan, pasar Induk Tanjung Bajurai Sungai Penuh tidak berpengaruh nyata pada peningkatan harga di pasar produsen. Tabel 16. Hasil Olahan Data Keterpaduan Pasar Produsen dengan Pasar Induk Tanjung Bajurai untuk Komoditi Kentang 2007 – 2011 Uraian Nilai  1 0,770  2 0,176  3 0,133 IMC b 1 b 3 5,789 R 2 73,6 Fhitung 51,02 DW 1,702 t hitungjangka pendek 9,39 t tabeljangka pendek 1,645 t hitungjangka panjang 9,47 t tabeljangka panjang 1,645 Keterangan :  1 = parameter variabel harga kentang di pasar produsen pada waktu t-1  2 = indikator keterpaduan pasar jangka panjang  3 = parameter variabel harga kentang di Pasar Induk Tanjung Bajurai pada waktu t-1 Keseimbangan jangka panjang  2 sempurna ditunjukkan oleh nilai  2 sama dengan satu. Semakin dekat nilai parameter dugaan b 2 dengan satu, maka keterpaduan jangka panjang akan semakin baik. Nilai  2 sama dengan satu juga dapat diartikan bahwa pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna, sedangkan apabila nilai  2 kurang dari satu menunjukkan pasar dalam kondisi tidak bersaing sempurna. Namun, apabila nilai  2 lebih besar dari satu maka perubahan harga pada pasar acuan akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan harga di pasar lokal. Dengan kata lain, akan terjadi keterpaduan jangka panjang antara harga di pasar acuan dengan harga dipasar lokal. Pasar kentang di Kecamatan Kayu Aro berada dalam kondisi tidak bersaing sempurna karena memiliki nilai  2 yang lebih kecil dari satu. Parameter dugaan untuk nilai koefisien  3 sebesar 0,133 dengan P-Value 0,084 Lampiran 9. Hal ini berarti, perubahan harga minggu lalu dipasar acuan Pasar Induk Tanjung Bajurai tidak akan berpengaruh di pasar lokal pasar di tingkat petani kentang Kecamatan Kayu Aro. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan jarak pasar acuan dengan pasar lokal tidak memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya perubahan harga minggu lalu di pasar acuan terhadap minggu ini pasar lokal. Berdasarkan hipotesis uji-t, maka dapat diukur tingkat keterpaduan jangka pendek dan jangka panjang. Hipotesis uji-t untuk koefisien  1 memiliki t-hitung lebih besar dari t-tabel, sehingga hipotesis nol ditolak pada taraf nyata lima persen. Artinya tidak terdapat keterpaduan jangka pendek antar perubahan harga di pasar acuan, yaitu Pasar Induk Tanjung Bajurai dengan perubahan harga di pasar lokal produsen di Kecamatan Kayu Aro. Indikator keterpaduan jangka pendek dapat dilihat dari nilai IMC. Berdasarkan hasil analisis keterpaduan pasar pada Tabel 16, diketahui nilai IMC sebesar 5,789, hal ini berarti bahwa tidak terjadi keterpaduan pasar jangka pendek karena nilai IMC lebih besar dari satu. Keterpaduan pasar jangka pendek akan terjadi jika nilai IMC lebih kecil dari satu. Berdasarkan uji-t untuk melihat keterpaduan jangka panjang dengan melihat indikator dari variabel  2 menunjukkan bahwa secara statistik hipotesis nol ditolak karena nilai t-hitung lebih besar dari t-tabel pada taraf kepercayaan lima persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga di pasar lokal tidak terpadu dengan harga di pasar acuan dalam jangka panjang. Selain itu, indikator tidak adanya keterpaduan jangka panjang dapat dilihat dari nilai koefisien b 2 yang lebih kecil dari satu, yaitu sebesar 0,176. Keterpaduan jangka panjang akan terjadi apabila nilai koefisien b 2 sama dengan satu. Uji F-hitung digunakan untuk uji hipotesis model dugaan secara bersama- sama yang menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya ada satu dari peubah bebas pada persamaan berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebasnya pada taraf lima persen. Hal ini dapat dilihat dari nilai P-value model yang lebih kecil dari 0,05. Pengujian autokorelasi hasil uji Durbin-Watson bernilai 1,702, hal ini berarti secara statistik terima Ho pada taraf nyata lima persen. Dari hasil tersebut menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat autokorelasi error yang berpola pada pengujian tingkat pertama. Uji multikolinearitas yang dilakukan terhadap model yang diduga dengan melihat Varian Inflation Factor VIF. Hasil VIF menunjukkan bahwa semua variabel yang memiliki nilai VIF 10, menunjukkan tidak adanya gejala multikolinearitas antar masing-masing variabel bebas. Berdasarkan hasil analisis keterpaduan pasar melalui pendekatan analisis harga di tingkat petani yang berperan sebagai pasar lokal selaku pengikut harga dan tingkat pedagang pengecer yang berperan sebagai pasar acuan selaku penentu harga, dapat diketahui bahwa pasar di tingkat petani kentang di Kecamatan Kayu Aro dengan Pasar Induk Tanjung Bajurai di Sungai Penuh tidak terpadu baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya perubahan harga di Pasar Induk Tanjung Bajurai sebagai pasar acuan tidak sampai kepada pasar di tingkat petani. Hal ini menunjukkan bahwa dilihat dari indikator efisiensi harga, sistem tataniaga kentang di lokasi penelitian belum efisien. Hasil dari penelitian Rachma 2008 mengenai keterpaduan pasar cabai merah antara pasar petani di Desa Cibereum dengan Pasar Induk Caringin Bandung juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat keterpaduan pasar baik jangka pendek maupun keterpaduan pasar jangka panjang. Hal ini berarti bahwa sistem tataniaga cabai merah di Desa Cibereum belum efisien. Begitu juga dengan hasil penelitian Agustina 2008 mengenai keterpaduan pasar kubis antara pasar petani Desa Cimenyan dengan dua pasar acuan yaitu Pasar Induk Caringin Bandung dan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta memperlihatkan pasar petani terpadu dalam jangka pendek dengan kedua pasar acuan, namun tidak terpadu dalam jangka panjang. Hal ini menandakan bahwa pada jangka pendek informasi perubahan harga di kedua pasar acuan sampai ke pasar di tingkat petani. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penentuan pasar acuan. Penelitian ini memilih pasar induk lokal sebagai pasar acuan didasarkan pada informasi yang diperoleh dari wawancara dengan pedagang luar daerah mengenai sumber informasi harga kentang yang mereka dapat. Sedangkan penelitian Rachma 2008 dan Agustina 2008 memilih pasar induk lokal dan juga pasar induk luar daerah didasarkan pada besarnya volume cabai merah dan kubis yang disalurkan ke pasar acuan yang dipilih. VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan