Penyerangan terhadap Kelompok “Islam Politik”

B.1. Penyerangan terhadap Kelompok “Islam Politik”

Pada awal 1980an pemerintah Suharto bersikap sangat kritis sekaligus represif terhadap kelompok “Islam Politik”. Kata-kata “ekstrem kanan”, “NII”, “mendirikan Negara Islam”, “SARA” dan “Anti-Pancasila” sangat gencar dituduhkan pada kelompok “Islam Politik”. Berbagai kelompok yang dianggap masuk dalam “Islam Politik” ditangkapi dan dipenjarakan, termasuk dikirim ke Nusakambangan. Kalangan umat Islam, khususnya keluarga besar eks-Masyumi, merasa sangat kecewa atas sikap dan kebijakan pemerintahan Orde Baru pada rentang tahun 1970an. Orde Baru telah melarang kehadiran kembali Masyumi, sementara Ali Murtopo dan kawan-kawan, selaku invisible government, melakukan rekayasa politik untuk mengubah status Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) sebagai partai politik dengan dukungan penuh ABRI dan birokrasi. Hal lain yang patut dicatat adalah adanya slogan atau doktrin yang disiapkan Ali Murtopo dan kawan-kawan yang kemudian selalu didengung-dengungkan di tengah masyarakat

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

bahwa “Islam sangat membahayakan kelangsungan hidup Pancasila”, bahwa “Politik No, Pembangunan Yes”. Rakyat harus menjadi floating mass. Bagi pegawai negeri dan karyawan BUMN, berlaku asas monoloyalitas mutlak kepada Golkar, bukan kepada bangsa dan negara.

Kebijakan asas tunggal bagi partai politik dan organisasi massa dan keagamaan mengundang reaksi keras dari kelompok “Islam Politik”. Penolakan terhadap kebijakan asas tunggal oleh kelompok Islam berbuntut tindakan keras oleh aparat. Aparat juga melakukan penyerangan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap membangkang dan tidak menaati kebijakan azas tunggal. Salah satu kelompok yang disasar oleh kebijakan ini adalah kelompok Usrah dan Komando Jihad (Komji). Kelompok Usrah dengan tegas menolak asas tunggal Pancasila. Pemimpinnya, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan subversif. 269 Penangkapan dan pemenjaraan secara intensif juga dilakukan terhadap anggota Komji setelah munculnya peristiwa pembajakan pesawat DC-9 Wolya Garuda Indonesia pada 28 Maret 1981 di Malaysia. 270 Para anggota Komji di berbagai wilayah di Indonesia diburu dan ditangkap dengan tuduhan melakukan kegiatan makar dan subversif. Walau tidak ada data pasti tentang jumlah orang yang menjadi korban, setidaknya tercatat sebanyak 306 orang ditahan di Jawa Timur dan

80 orang di antaranya diadili. Jumlah orang yang diadili di daerah lain adalah 114 orang di Jakarta, 85 orang di Jawa Barat, 35 orang di Jawa Tengah, dan 49 orang di Sumatera Selatan. Ada yang dihukum mati, dipenjara, atau direkrut menjadi informan tentara.

Penyerangan juga dilakukan terhadap kelompok masyarakat dengan latar konflik tanah. Bukti ini, misalnya, ditemukan dalam kasus penyerangan terhadap kelompok warga yang dituduh sebagai aliran sesat di Haur Koneng, Desa Sinargalih, Kecamatan Bantarrujeg, Majalengka, pada Juli 1985. 271 Dalam penyelidikan tim LBH Bandung, ditemukan bukti bahwa kelompok yang diserang oleh satuan Sabhara, Brimob, dan SST Yonif 321/Majalengka itu merupakan korban fitnah. Serangan tersebut mengakibatkan 8 orang tewas, termasuk Abdul Manan, pemimpin kelompok, dan 2 anak-anak. Sebelum peristiwa ini, Abdul Manan terlibat konflik tanah dengan kepala dusun setempat. Kepala dusun menuduh kelompok ini sebagai aliran sesat yang melawan pemerintah dan tidak membayar pajak.

269 “Studi Kasus 110: Penangkapan dan Penahanan Sewenang-wenang terhadap Aktivis Usrah”, Narasi Kasus

Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK. 270 “Studi Kasus 114: Operasi Komando Jihad: Penangkapan dan Penahanan Sewenang-wenang terhadap Anggota

Komando Jihad”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK. 271 “Studi Kasus 113: Penyerangan terhadap Warga Sipil di Haur Koneng, Majalengka, Jawa Barat.” Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005. Database KKPK

POLA KEKERASAN

Komando Jihad. Abdullah Sungkar (memakai peci) dan Abu Bakar Baasyir, anggota Komando Jihad saat diadili di Sukoharjo, Jawa Tengah. (Foto: TEMPO/ Kastoyo Ramelan)

Peristiwa Tanjung Priok. Petugas sedang menurunkan jenazah dari apotik Tanjung dan toko onderdil mobil yang di bakar masa pada peristiwa Tanjung Priok, Jakarta Jumat 14 September 1984 (Foto: TEMPO/Bambang Suharto)

Kasus kekerasan terhadap kelompok Islam lainnya adalah peristiwa penembakan di Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984. Peristiwa ini bermula dengan ditahannya empat orang warga Tanjung Priok yang diduga terlibat pembakaran sepeda motor Babinsa. Mereka ditangkap oleh Polres Jakarta Utara, kemudian dipindahkan dan ditahan di Kodim Jakarta Utara. Pada 12 September 1984 Amir Biki, salah satu tokoh masyarakat setempat, mengadakan tabligh akbar di Jalan Sindang.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Dalam ceramahnya, ia menuntut aparat keamanan untuk membebaskan empat orang jemaah Mushala As-Sa’adah yang ditahan di Kodim Jakarta Utara. Seusai pengajian, massa bergerak ke markas Kodim untuk menuntut pembebasan warga yang ditahan. Husein Safe, salah seorang korban, menuturkan dalam kesaksiannya.

“Peristiwa Tanjung Priok berawal dari masuknya seorang Babinsa ke Mushala As-Sa’adah tanpa buka sepatu dan mencari brosur masyarakat. Kemudian Babinsa menyirami brosur tersebut dengan air comberan. Masyarakat marah dan mengejar Babinsa yang bernama Pak Herman yang kemudian melarikan diri. Motornya tertinggal dan motor dibakar massa. Pengurus mushala kemudian dibawa ke Kodim selama 3 hari, dipukul. Almarhum Amir Biki kemudian menggelar pengajian di Jalan Sindang, menuntut masyarakat jangan ditahan di Kodim, kalau bisa di Polres. Alamarhum Amir Biki memberi waktu sampe jam 11 malam, ternyata tidak dipenuhi Kodim. Maka pada jam 11 malam saya disuruh untuk menggiring jemaah pengajian ke Kodim. Jemaah yang ikut 5000 orang. Sampai di depan Kodim Jakarta Utara dihadang regu Lanhanud, kami disuruh berhenti. Amir Biki masih di belakang. Saya sedang mengatur teman saya, tapi langsung ditembak tanpa peringatan, ditembak di kaki saya dalam jarak 1 meter. Setelah itu tembakan kayak dalam perang, banyak yang luka, bergelimpangan yang mati. Ketika almarhum Amir Biki datang, ada yang tentara teriak, ‘Amir Biki datang, habisin!’, maka bunyi senjata semakin keras, sekitar 10-15 menit. Kalau ada yang teriak Allahu Akbar, langsung ditembak. Maka saya diam, pura-pura mati. Aaya diseret ke pinggir jalan kayak kambing tuh. Sampai di pinggir jalan saya dilempar ke mobil. Di atas truk saya mendengar hitungan tentara, ada 28 orang dengan saya. Selama dalam perjalanan saya tidak berteriak karena ada pengawalan tentara.” 272

Peristiwa Tanjung Priok.

Pangab/Pangkopkamtib LB Moerdani didampingi Pangdam V Jaya Mayjen Try Sutriso dan Menpen

Harmoko saat jumpa pers

tentang kerusuhan di Tanjung Priok, Kamis 13 September 1984. (Foto: TEMPO/Ilham Soehanjo)

272 Kesaksian Husein Safe dalam Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Ideologi dan Kebebasan

Beragama dan Berkeyakinan, Jakarta, 27 November 2013.

POLA KEKERASAN

Dari BAP petugas RSPAD Gatot Subroto didapatkan keterangan bahwa jumlah korban luka 55 orang, korban meninggal 23 orang, 9 orang dapat dikenali identitasnya, dan 14 orang tidak diketahui identitasnya. Sembilan jenazah tersebut adalah Amir Biki, Zainal Amran, Kasmoro bin Ji’an, M. Romli, Andi Samsu, Tukimin, Kastori, M. Sidik, dan Kembar Abdul Kohar. Setelah sembuh, korban luka yang dirawat di RSPAD Gatot Subroto langsung ditahan di Kodim Jakarta Pusat, Laksusda

V Jaya, Pomdam V Jaya, dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis. Selama dalam penahanan, para korban mengalami penyiksaan.

Pemerintah kemudian membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili para pelaku kekerasan ini. Pengadilan dimulai pada 15 September 2003 dengan menyidang kan 14 terdakwa yang dibagi ke dalam 4 berkas perkara. Walaupun pengadilan memutus bersalah 2 terdakwa, R. Butar-butar dan Sutrisno Mascung, pengadilan tingkat banding dan kasasi membebaskan mereka. Pada akhirnya, tidak ada satupun pelaku yang dihukum dalam peristiwa ini. Intervensi pelaku melalui jalan islah—yang membuat sebagian besar korban mencabut kesaksian di tingkat penyelidikan dan penyidikan—merupakan fenomena menonjol dalam pengadilan HAM ini, yang anehnya juga menjadi salah satu alat pertimbangan yang signifikan bagi hakim.

Dalam putusannya, majelis hakim juga memutuskan pemberian kompensasi dan rehabilitasi terhadap para korban Tanjung Priok. Dalam berkas perkara R. Butar Butar, majelis hakim tidak menyebutkan secara rinci jumlahnya dan mendasarkan pada usaha untuk memenuhi rasa keadilan, masyarakat dan korban juga sudah cukup lama menderita dengan kompensasi yang proses serta jumlahnya ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku. Sementara dalam berkas terdakwa Sutrisno Mascung dan kawan-kawan disebutkan bahwa korban mendapatkan kompensasi sebesar Rp1.015.500.000 (satu milyar lima belas juta lima ratus ribu rupiah) yang diberikan kepada 13 korban sebagai bentuk ganti rugi yang harus diberikan oleh negara sesuai dengan mekanisme dan tata cara pelaksanaan yang telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002.

Dengan Namun, dengan bebasnya terdakwa di tingkat banding

maupun kasasi, berdampak pada ketidakjelasan

bebasnya

pemberian kompensasi dan rehabilitasi tersebut.

terdakwa di

Majelis hakim juga tidak menyinggung persoalan hak

tingkat banding

korban dalam putusan bebasnya. Akibatnya,

maupun kasasi,

pemberian kompensasi “seolah-olah” digantungkan

berdampak pada

pada aspek kesalahan terdakwa dan bukanlah bagian

ketidakjelasan

dari hak yang melekat dalam diri korban.

pemberian kompensasi dan

Kekerasan lain terjadi di Talangsari, Lampung, ketika

rehabilitasi.

militer melakukan penyerbuan dan pembunuhan

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

terhadap kelompok Warsidi pada 7 Februari 1989. Penyerbuan ke perkampungan Cihideung, Talangsari, Lampung, itu dihadiri Muspika, Kepala Desa Rajabasa Lama, Kepala Dusun Talangsari III, Danramil Way Jepara Kapten Sutiman bersama dua regu pasukan.

“Saat kejadian saya sedang memenuhi panggilan Pak Camat [Way Jepara] yang jaraknya sekitar 40 kilometer dari rumah. Ada suatu tuduhan dari menteri, saya mendidik anak-anak kesehatan yang sebenarnya yang ada di rumah saya waktu itu pendidikan baju pengantin tapi yang melakukan orang lain bukan saya, memang penuh gadis di rumah saya. Itu dituduhkan kepada saya.

Saya dimasukan dalam sel, di situ ada orang berlumuran darah. Setelah 2 jam di sel saya dan kawan tadi dirantai dan dimasukan ke mobil oleh Danramil, dengan alasan situasi lagi tidak damai dan ditahan dulu di Kodim. Setelah diperiksa saya dibawa ke sebuah ruangan, di situ anak-anak dipukul, ada yang pingsan rupanya. Jam 11 malam kami dipindahkan ke Rajabasa Lama, ada 40 orang semua tangan diborgol. Pagi-pagi datang pasukan kira-kira 1 kompi melihat anak-anak tahanan, semua pasukan menonjok anak-anak. Satu minggu di Rajabasa Lama dipindah ke LP Tanjung Karang jam 11 malam. Besok kami dipanggil ke Korem untuk diinterogasi. Selama 3 bulan di tahanan Korem. Terakhir didatangkan Tim Kejaksaan untuk sidang untuk tahanan. Kejaksaan tanya Korem kenapa Pak Azwar ditahan karena kesalahannya nol. Dua hari setelah itu saya dikirim ke Panti Sosial Lempasing, ada 10 hari saya di situ dan diberikan surat bebas dengan menyatakan saya terlibat. Dikasih uang lima ribu rupiah untuk ongkos pulang.

Sampai di rumah atap hancur. Istri ke Sumatera Barat untuk kasih tahu keluarga bahwa saya ditangkap tanpa ketahuan kesalahan, tetapi dia malah ditangkap bersama anak saya yang berusia 12 tahun, dituduh pelarian, kepalanya dihantamkan ke tembok dan ditahan di Padang. Saya ke Padang, istri sudah di rumah orang tua saya dan semua berkas disobek. Istri saya disiksa di tahanan di Padang sampai dia seperti orang gila. Waktu itu datang komandan dari Medan yang mengamankan ibu dan menyuruh dipindahkan ke Korem dengan anak. Saya sampai ke Padang dan bawa pulang istri dan anak-anak saya. Mau makan, makanan tidak punya. Saya lalu tinggalkan istri dan tempat berteduh untuk cari hutang beras, malam itu rumah saya dibakar. Anak-anak tidur di bawah rumah terbakar. Dalam peristiwa itu rumah tiga, kios satu, dan mobil terbakar.

Selama empat tahun, istri saya menderita gatal tidak bisa sembuh kalau ada tamu datang, besoknya saya dibawa ke Korem dan ditanya siapa yang datang. Keluarga saya ketakutan. Anak-anak tidak diterima sekolah di sana.

POLA KEKERASAN

Dua anak saya diterima di sekolah di Jakarta atas nama anak yatim, setelah besar dia malu karena ayah masih hidup tapi disebut yatim, sekarang sudah SMA, anak lain sudah tamat SMA. Istri saya bekerja membantu orang melahirkan. Yang mati di Talangsari, anak saya 11 tahun dan sampai sekarang tidak ditemukan, ada empat orang anak lain yang bersama dia lari ke satu rumah yang kemudian dibakar. Dalam investigasi dengan KontraS, ada tulang belulang yang ditemukan di rumah itu.” 273

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111