Lembaga Peradilan sebagai Alat Kekuasaan

B. Lembaga Peradilan sebagai Alat Kekuasaan

Pada awal masa Orde Baru, Suharto menjanjikan akan mengembalikan supremasi hukum dengan menjamin pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dengan mengembalikan kekuasaan kehakiman yang lepas dari campur tangan kekuasaan di luar lembaga yudikatif. Namun, dalam perkembangannya, kekuasaan kehakiman di masa pemerintahan Suharto, terutama sejak masuk dekade 1970an terjadi intervensi eksekutif ke lembaga peradilan. Pada dekade ini terbentuk UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang mengulangi pengebirian kekuasaan kehakiman dan menimbulkan dualisme dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, yang pada sisi teknis peradilan berada di bawah Mahkamah Agung (MA) dan sisi administratif berada di bawah kendali Departemen Kehakiman. 397

396 Ibe Karyanto, “Pendidikan sebagai Alat Kekuasaan”, makalah disampaikan dalam Konferensi Warisan

Otoritarianisme bertema “Mempertanyakan Transisi: Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia”, diselenggarakan oleh ELSAM, PUSDEP Universitas Sanata Dharma, dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), 17-19 November 2005, di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

397 A. Muhammad Asrun, “Pembelengguan Kekuasaan Kehakiman di Masa Suharto: Kajian Sejarah Hukum”, makalah disampaikan pada Konferensi Warisan Otoritarianisme bertema “Mempertanyakan Transisi: Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia”, diselenggarakan oleh ELSAM, PUSDEP Universitas Sanata

POLA KEKERASAN

Sebagai kepala pemerintahan, Suharto berhasil memengaruhi pelaksanaan kekuasaan kehakiman melalui pola-pola pembuatan peraturan yang memberi keuntungan kepada eksekutif. Suharto mengkooptasi organisasi Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) melalui Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin oleh Letjen. Ali Murtopo, sehingga organisasi ini menerima pengaturan administrasi hakim di bawah Departemen Kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor

14 Tahun 1970, yang strategis untuk menjegal kemandirian hakim. Intervensi eksekutif terhadap lembaga peradilan ini merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 24-25 UUD 1945. Penjelasan pasal-pasal tersebut menyatakan kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Ketentuan kedua pasal UUD 1945 tersebut melarang cabang-cabang kekuasaan negara lainnya memengaruhi kekuasaan dalam bentuk dan cara apapun.

Di tengah runtuhnya kemandirian kekuasaan kehakiman, yang juga meruntuhkan lembaga-lembaga peradilan, pelaksanaan hukum atau berbagai proses peradilan masa Orde Baru tak lepas dari berbagai intervensi militer. Intervensi tersebut khususnya terhadap kasus-kasus yang terkait dengan upaya untuk memastikan agenda-agenda politik Orde Baru, menyinggung kekuasaan pemerintah, mengamankan investasi dan modal, serta terhadap kasus-kasus yang melibatkan pejabat publik atau keluarganya. Intervensi tersebut dilakukan secara langsung selama proses peradilan atau melalui berbagai rekayasa yang melibatkan aparat penegak hukum lainnya, yakni kepolisian dan kejaksaan serta badan-badan pemerintah lainnya. Aktor penting dalam

Para Petinggi Militer. Ali Moertopo intervensi militer selama Orde Baru tahun 1978. (Foto: TEMPO/Susanto adalah lembaga yang dikenal sebagai Pudjomartono) Kopkamtib yang mempunyai tugas untuk

“memulihkan keamanan dan ketertiban”.

Dharma, dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), 17-19 November 2005, di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Sesaat setelah Peristiwa 1965, diberlakukan

Intervensi

pembasmian terhadap orang-orang yang dituduh PKI,

eksekutif terhadap

termasuk menghukum pemimpin PKI dan orang-orang

lembaga peradilan

yang dituduh terlibat PKI. Dalam proses ini, dibentuk

ini merupakan

pengadilan yang juga menjadi ruang untuk

pelanggaran

meneguhkan dominasi militer, yakni Mahkamah Militer

terhadap UUD

Luar Biasa (Mahmilub). Mahmilub mengadili sejumlah

1945, khususnya besar petinggi PKI, dengan proses peradilan yang Pasal 24-25 sepenuhnya di bawah kontrol militer atau Kopkamtib. UUD 1945. Tercatat, berbagai vonis yang dijatuhkan dalam

Mahmilub tersebut adalah hukuman penjara dan hukuman mati.

Di tingkat lokal, terjadi peradilan terhadap orang-orang yang dituduh PKI dan pendukung Soekarno, misalnya terhadap orang-orang yang ditangkap di dalam Operasi Trisula Blitar dan terhadap kelompok pendukung Soekarno di Bali yang ditangkap tahun 1965 dan diadili tahun 1973. Di Palu, terjadi pengadilan terhadap 13 tahanan politik yang diklasifikasikan sebagai Golongan A (pemimpin PKI) oleh Pengadilan Negeri (PB) Palu tahun 1975. Di Palu, orang-orang yang diadili tersebut yang sebelumnya telah ditahan selama 10 tahun, dan kemudian divonis antara 14 sampai 18 tahun.

Meski ada yang menjalani proses peradilan, lebih banyak yang dituduh terlibat dengan PKI mengalami penangkapan, pemeriksaan, dan penahanan sewenang- wenang dan tanpa proses hukum, serta mengalami berbagai tindak kekerasan selama di tahanan. Penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dan biasanya hanya berupa perintah verbal dari komandan militer. 398 Tindakan ini melibatkan aktor-aktor penegak hukum baik dari kepolisian maupun kejaksaan. Setelah bertahun-tahun di dalam tahanan, mereka dilepaskan secara bertahap dengan hanya dibekali surat pembebasan, tanpa pernah diadili namun menjalani hukuman penjara. Tindakan sewenang-wenang ini salah satunya menimpa Mujayin. Dia bersaksi,

“Saya ditangkap dan ditahan di Jakarta tahun 1965, berpindah tempat mulai dari Cipinang, Salemba, dan Pulau Buru tahun 1969-79. Karena kategori Golongan B dibuang ke Pulau Buru. Saya rombongan pertama yang dibuang ke Pulau Buru dan rombongan terakhir yang dibebaskan. Pulau Buru dijadikan tempat pembuangan berdasarkan Surat Keputusan Pangkopkamtib No 009 Tahun 1969 yang menetapkan Pulau Buru sebagai tempat tinggal sementara bagi tahanan G 30 S Golongan B dan menunjuk Jaksa Agung menyelenggarakan pemanfaatan Golongan Tahanan B di Pulau

398 Julie Soutwood dan Patrick Flanagan, 2013, Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum dan Propaganda

1965-1981, Jakarta: Komunitas Bambu, hlm.135.

POLA KEKERASAN

Buru ... [saya] dibebaskan tahun 1979. Bunyi surat pembebasan tahun 1979, “Melaksanakan perubahan penahanan atas diri saya, Mujayin, dari tahanan

G 30 S berasal dari Pulau Buru, dari tahanan penuh untuk dikembalikan ke masyarakat.” Selama 14 tahun, menurut surat pembebasan ini, kami ditahan. Apakah tindakan ini sewenang-wenang atau tidak? Silakan menilai. Kami berusaha mencari keadilan dan jawaban, apa salahku? Sampai sekarang belum terjawab. Selain ditahan dan dibunuh, tapol juga dililit dengan peraturan diskriminatif sampai ke anak cucunya. Supaya Orba dianggap sah membasmi orang PKI dan keluarganya, maka pada tahun 1981 diterbitkan Instruksi Mendagri No. 32 Tahun 1981, dikatakan bekas tapol tidak bisa jadi PNS, guru. Dan pada KTP ditulis bekas tapol dibubuhi ET. Tahun 1995 ada penghapusan kode ET di KTP. Tapi bagi tapol usia 60 ke atas tidak mendapat KTP seumur hidup. Baru pada tahun 2006, dikeluarkan UU Adminduk yang menyatakan tapol dapat KTP seumur hidup.” 399

Pelepasan Tahanan Politik. Tahanan politik yang dibebaskan dari Pulau Buru, tiba dengan menggunakan kapal LST di Surabaya, Jawa Timur, 28 Desember 1977. (Foto: TEMPO/ Eddy Herwanto)

Pada tahun-tahun setelahnya, intervensi militer juga terus berjalan, khususnya terhadap kasus-kasus yang terkait dengan politik. Pada tahun 1974, setelah meletusnya Peristiwa Malari 1974, terjadi penangkapan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai penggerak peristiwa tersebut. Mereka di antaranya Syahrir dan Hariman Siregar, yang ditangkap oleh aparat Corps Polisi Militer (CPM) dan kemudian ditahan di Rumah Tahanan CPM, dan diinterogasi di bawah tekanan psikologis. Syahrir kemudian ditahan di Rumah Tahanan Militer Guntur, Jakarta Selatan, dan diajukan ke pengadilan atas dakwaan tindak subversif yang merongrong kewibawaan pemerintah yang sah (Pasal 1 ayat (1) ke-1 UU No. 11/PNPS/1963). Pada proses persidangan, jaksa gagal membuktikan dakwaannya, namun hakim tetap

399 Kesaksian Mujayin dalam Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Ideologi dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Jakarta, 27 November 2013.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

menyatakan Sjahril bersalah dan divonis 6 tahun 6 bulan penjara. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta mengurangi hukuman menjadi 4 tahun penjara, namun Mahkamah Agung kembali menghukum 6 tahun 6 bulan penjara. Kasus yang dialami Syahrir sekali lagi menujukkan intervensi militer dalam proses peradilan, karena Sjahrir adalah masyarakat sipil, namun ditangkap oleh aparat intelijen militer dan ditahan di rumah tahanan militer.

Pada tahun 1981 terbentuk UU No. 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang bertujuan memberikan perlindungan terhadap hak tersangka atau terdakwa. Secara UU ini tegas memberikan pembedaan kewenangan antara polisi, jaksa, dan pengadilan dalam proses peradilan pidana. Namun, faktanya, berbagai kasus peradilan pidana terus bermunculan dan tak mampu membendung intervensi militer, baik dalam konteks penangkapan, interogasi, dan penahanan.

Pada tahun 1984, terjadi Peristiwa Tanjung Priok yang diikuti berbagai penangkapan, di antaranya terhadap A.M. Fatwa dan H.R. Dharsono karena kritik mereka terhadap cara-cara brutal tentara dalam menangani demonstrasi di Tanjung Priok ini. Fatwa ditangkap aparat intel militer atas perintah Kepala Staf Harian Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah Jakarta Raya dan sekitarnya (Laksusda Jaya) di bawah Surat Perintah No. SPP/10-1/KAMDA/IX/1984. Fatwa kemudian dibawa ke markas CPM Guntur dan selama proses itu mengalami sejumlah tindak kekerasan. Fatwa kemudian dibawa ke INREHAB. Dalam perjalanan ke sana ia dibawa dengan mata tertutup dan tangan diborgol. Untuk kepentingan pemeriksaan lanjutan, Laksusda Jaya menyerahkan Fatwa kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada 3 Oktober 1984. Pada awalnya Fatwa juga ditahan di Rumah Tahanan Militer di Jakarta. Keterlibatan militer dalam proses pemeriksaan merupakan pelanggaran KUHAP. Fatwa diadili dan dikenai tuduhan melanggar tindak pidana subversi, dan dijatuhi hukuman penjara selama 18 tahun. 400

Pengadilan terhadap Fatwa merupakan proses pembentukan stabilitas yang diinginkan oleh Orde Baru. Pemenjaraan Fatwa, yang dikenai tuduhan subvesi, tidak terlepas dari aktivitasnya mengkritik pemerintahan Orde Baru. Pada periode tahun 80an ini, sejumlah kasus juga menunjukkan dominasi dan intervensi militer dalam proses peradilan, di antaranya dalam kasus Talangsari 1989.

Pada periode 90an, militer masih terus mengintervensi proses peradilan sipil. Pada tahun 1993, terjadi kasus pembunuhan terhadap Marsinah, seorang buruh perempuan di Sidoarjo. Dalam proses pemeriksaan, terjadi pelanggaran hukum di mana sejumlah orang yang dituduh melakukan pembunuhan ditangkap dan ditahan

400 A.M. Fatwa, 2000, Demi Sebuah Rezim: Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

POLA KEKERASAN

orang-orang berpakaian preman, tanpa surat perintah penangkapan dan penahanan, yang diduga bukan aparat kepolisian. 401 Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Mochtar Pakpahan ditangkap oleh aparat intel militer beberapa hari setelah kerusuhan buruh di Medan pada 14 April 1994. Majelis hakim PN Medan mengukum Pakpahan 3 tahun penjara atas dakwaan mengerahkan buruh untuk melakukan kerusuhan dan Pengadilan Tinggi Medan menguatkan putusan itu. Dalam pemeriksaan kasasi di MA, hakim menyatakan Pakpahan tidak terbukti bersalah dan dibebaskan. Proses peradilan pun diintervensi melalui pengajuan peninjauan kembali (PK) oleh Kejaksaan yang tidak dikenal dalam KUHAP. Dalam pemeriksaan di tingkat PK Mahkamah Agung membatalkan putusan majelis hakim kasasi dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan.

Wartawan harian Bernas Fuad Muhammad Syafruddin (Udin) dibunuh oleh orang tak dikenal pada 16 Agustus 1996. Pembunuhan ini diduga keras terkait dengan aktivitasnya sebagai wartawan. 402 Proses penyelidikan kasus ini dilakukan dengan penuh kejanggalan, disertai dengan teror dan intimidasi kepada pihak yang ingin mengungkap kasus ini. Peradilan kasus ini membawa nama Iwik sebagai tersangka tunggal, yang dianggap sebagai rekayasa polisi dan mengada-ada. Istri Udin yang melihat langsung pembunuh Udin, keterangannya tak digubris oleh polisi. Sementara pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang diduga terkait dengan peristiwa ini, misalnya Bupati Bantul saat itu, Sri Roso Sudarmo, dan bawahannya, hanya merupakan formalitas belaku. Para pelaku sesungguhnya tak tersentuh. 403 Marsiyem, istri Udin, menyampaikan kesaksiannya.

“Saat ini batas waktu kasus tersebut hampir 18 tahun, dan jika lebih dari waktu tersebut kasus ini sudah tidak bisa dituntut secara hukum. Kapolda DIY yang sudah berganti sekitar 15 kali, belum juga bisa melengkapi berkas penanganan kasus ini. Sementara berdasarkan surat yang diterima AJI Indonesia pada 15 Agustus 2012 dikirim oleh Kepolisian atas kasus pembunuhan Udin dikirim oleh AJI Indonesia pada 30 Juli 2012, Polda DIY memberikan penjelasan berikut, pada poin empat, polisi Yogyakarta masih yakin bahwa Dwi Sumaji alias Iwik adalah pelaku utama. Kemudian menyatakan pada poin berikutnya bahwa hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Polda DIY belum mendapatkan bukti signifikan dan telah mencoba untuk mengirim surat resmi ke pengadilan militer Semarang untuk meminta salinan hasil pemeriksaan Sri Roso Sudarmo. Kemudian pada 30 Agustus 2012 Yogyakarta polisi mengirim surat sekali lagi untuk AJI

401 Todung Mulya Lubis, “Marsinah”, Tempo, 30 Oktober 1993. 402 “Studi Kasus 89: Pembunuhan Wartawan Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin (Udin), di Yogyakarta”,

Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK. 403 Heru Hendratmoko (ed.), 1997, Terbunuhnya Udin, Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen dan Institut Studi Arus Informasi.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Indonesia kembali jawaban yang sama dengan surat yang disampaikan oleh Indonesia AJI menyatakan bahwa sejak rilis Iwik, polisi telah membentuk tim untuk menyelidiki kasus ini dan sampai bahwa saat ini masih belum menemukan bukti kuat yang mengarah kepada pelakunya.” 404

Di ujung kekuasaanya, pada tahun 1996 rezim Orde Baru menangkap pendukung PDI pro-Megawati. Para pendukung Megawati yang berada di Sekretariat DPP PDIP Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, diserang dan dilanjutkan dengan berbagai penangkapan. Tak kurang dari 215 pendukung dan simpatisan PDI Megawati dibawa ke Polda Metrojaya dan 124 orang dijadikan terdakwa. Di persidangan, sebanyak 115 orang dihukum penjara 4 bulan 3 hari, 1 orang dihukum 1 bulan 10 hari, dan 8 orang dibebaskan. Mereka dianggap melawan perintah petugas untuk membubarkan diri dan membentuk kerumunan. Proses persidangan dilakukan dengan melanggar sejumlah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dan berjalan dengan tidak adil. 405 Pihak penyerbu tidak ada yang dibawa ke pengadilan.

Berbagai kasus di atas, hanya merupakan sejumlah

Pengadilan

kasus menonjol, yang belum merepresentasikan

digunakan

berbagai kasus lain, namun telah menunjukkan

sebagai alat

bagaimana pengadilan digunakan sebagai alat

kekuasaan

kekuasaan dan menyasar hampir semua kalangan

dan menyasar

yang kritis terhadap pemerintah, dan bagaimana

hampir semua

militer terus mengintervensi peradilan. Kasus-kasus

kalangan yang

lain, misalnya terkait dengan perampasan tanah,

kritis terhadap

kebebasan beragama atau keyakinan, juga tidak

pemerintah.

terlepas dari intervensi militer. Indonesia Legal Resources Center (ILRC) mencatat bahwa setidaknya

37 orang diadili sejak 1968 hingga 2012 karena dianggap melakukan penodaan agama berdasarkan UU 1/PNPS/1965. 406

Pada masa Orde Baru hukum juga tidak tegak jika menyasar sejumlah kasus yang melibatkan pejabat pemerintah atau keluarganya, sebagaimana sejumlah kasus- kasus yang diduga terjadi rekayasa dan manipulasi, misalnya kasus Sum Kuning di Yogyakarta. Kasus ini cukup menghebohkan pada tahun 1971, ketika seorang wanita bernama Sumarijem atau yang biasa disebut Sum Kuning diperkosa oleh sekelompok orang. Dalam kasus tersebut polisi berupaya menutup-nutupi persoalan dan mencari kambing hitam untuk ‘menyelamatkan’ sekelompok putra perwira-

404 Kesaksian Marsiyem dalam Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Pembela HAM, Jakarta, 29

November 2013. 405 Fahmi Fahim dan Amiruddin, 1997, Mengadili Arus Bawah, ELSAM. 406 “Studi Kasus 119: Pemidanaan terhadap Keyakinan Atas Dasar Penodaan Agama”, Narasi Kasus Pelanggaran

HAM 1965-2005, Database KKPK.

POLA KEKERASAN

perwira Angkatan Darat yang menurut pers adalah pelaku perkosaan tersebut. Sampai hari ini, pemerkosa Sum Kuning masih gelap. 407

Secara umum, terjadi intervensi negara yang sangat kuat terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang seharusnya independen. Intervensi negara dilakukan baik melalui produk perundang-undangan seperti UU Nomor 14 Tahun 1970 maupun intervensi terhadap proses peradilan. Intervensi di tingkat proses peradilan tampak sekali dengan keterlibatan aparat intel militer, mulai dari proses penangkapan sampai penempatan tersangka di rumah tahanan militer, sekalipun yang bersangkutan adalah warga negara sipil yang tunduk pada hukum pidana umum, bukan hukum pidana militer. Intervensi militer dalam mata rantai proses hukum memberi bukti kuat pembelengguan kekuasaan kehakiman, karena militer memang mesin politik represif yang ampuh bagi rezim Orde Baru di bawah Suharto.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111