Hukum Memfasilitasi Pembangunan ala Orde Baru
A.1. Hukum Memfasilitasi Pembangunan ala Orde Baru
Pembangunan hukum selama Orde Baru diletakkan dalam upaya mencapai berbagai tujuan politiknya, di antaranya ‘pertumbuhan’ dan ‘pembangunan’. Dalam bidang ekonomi, semasa pemerintahan Presiden Soekarno, terkait dengan Pasal 33 UUD 1945, sepanjang soal penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya ditafsirkan dengan melahirkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang bertujuan melakukan redistribusi tanah dan meratakan penguasaannya bagi rakyat. Pada masa itu UUPA adalah landasan utama pengaturan pertanahan, air, hutan, dan perkebunan.
Pada masa Orde Baru, corak pembangunan hukum
Hukum telah
terkait dengan sumber daya alam menghamba kepada
memberikan
kepentingan modal atau investasi. UU yang pertama
keuntungan untuk
kali dibuat oleh rezim Orde Baru adalah UU Nomor 1
mewujudkan dan
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan
mengabsahkan
empat bulan kemudian, terbentuk UU Nomor 5 Tahun
program-program
1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan dan UU
Orde Baru di
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
bidang ekonomi,
Pertambangan. Tiga UU tersebut menunjukkan arah
pembangunan
politik hukum perekonomian Orde Baru yang akan
sosial dan
ditopang modal asing sebesar-besarnya pada sektor
modernisasi, serta 387 Kehutanan dan Pertambangan. UU Penanaman stabilitas politik.
Modal kemudian terbukti menjadi sarana yang efektif
386 Abdul Hakim Garuda Nusantara, 1988, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), hlm. 36-37. 387 Yance Arizona, “Konstitusi dalam Intaian Neoliberalisme: Konstitusionalitas Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”, makalah disampaikan dalam Konferensi Warisan Otoritarianisme: Demokrasi Indonesia di Bawah Tirani Modal. Panel Tirani Modal dan Ketatanegaraan, 5 Agustus 2008
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
untuk melancarkan arus investasi, yang berdampak pada terjadinya berbagai pelanggaran HAM.
Negara juga melakukan klaim atas penguasaan tanah negara. UU No. 5/1967 yang secara diam-diam menganut asas domein verklaring (pernyataan tanah negara), menjadikan tanah di mana hutan itu tumbuh menjadi milik negara. Kebijakan ini memudahkan pemerintah merampas dan memberikan hak kepada para pengusaha untuk menanamkan modal di bidang usaha kehutanan, pertambangan, dan perkebunan besar. Dengan klaim tersebut, pemerintah tidak perlu mempertimbangkan hak-hak masyarakat atas tanah dan hutan. Akibatnya, sepanjang pemerintahan Orde Baru, merebak berbagai sengketa agraria antara pemerintah (negara) dengan pemilik modal yang berhadapan dengan petani atau masyarakat adat, dan masyarakat nyaris selalu dikalahkan. 388
“Kampung Cirompang luasnya 600 hektare, hasil pemetaan partisipatif masyarakat dan AMAN pada tahun 2008. Dari 600 hektare itu, sebanyak 50 hektare masih hutan, kami sebut Hutan Tutupan. Sebanyak 320 hektare hutan di zona pemanfaatan, kami sebut Lahan Garapan. Leluhur sudah membuka garapan di sana sejak dahulu, dari tahun 1920an. Yang jelas, sebelum kemerdekaan Indonesia leluhur kami sudah menempati lahan tersebut. Pada tahun 1978, waktu itu saya baru berumur 1 tahun, wilayah kami, yaitu wilayah adat yang 372 hektare dirampas oleh Perum Perhutani.
Pada tahun 1978, hutan adat Cirompang beralih fungsi menjadi hutan produksi. Implikasi atas perubahan ini berdampak pada akses masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan semakin terbatas. Pada tahun 2003, hutan produksi beralih menjadi hutan konservasi, sebagai perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 menyatakan bahwa semua areal masyarakat kasepuhan menjadi kawasan TNGHS yang mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai kewenangan dan keleluasan dalam menggarap lahan adat mereka. Hal inilah yang menjadi cikal bakal terjadinya konflik antara masyarakat dengan pengelola TNHGS.” 389
Selama periode 1967-1997, Orde Baru telah menghasilkan berbagai regulasi selama periode terkait tanah dan kekayaan alam, baik di sektor kehutanan, pertambangan, transmigrasi, pengairan, pemerintah desa, perikanan, konservasi, lingkungan hidup,
388 Hedar Laujeng, “Konsep Tanah Negara dan Hutan Negara: Warisan dari Zaman Feodal dan Zaman Kolonial”, makalah disampaikan dalam Diskusi Panel Paradigma Penguasaan Agraria di Indonesia, sebagai bagian dari Konferensi Warisan Otoritarianisme bertema “Mempertanyakan Transisi: Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia”, diselenggarakan oleh ELSAM, PUSDEP Universitas Sanata Dharma, dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), 17-19 November 2005, di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
389 Kesaksian Mursid Tunggara dalam Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan Atas Nama Sumber Daya Alam, Jakarta, 28 November 2013.
POLA KEKERASAN
dan lain-lain. Namun, berbagai regulasi tersebut lebih mempunyai semangat memfasilitasi eksploitasi dengan investasi skala besar ketimbang membela rakyat banyak dan lingkungan hidup. 390