Kekerasan terhadap Perempuan pada 1965-1966

A. Kekerasan terhadap Perempuan pada 1965-1966

Perjuangan perempuan Indonesia pada masa pra-1965

Negara

terkait erat dengan program-program negara bangsa

justru terus

seperti memberantas buta huruf, memperbaiki

mereproduksi

produksi penanaman padi, dan ikut aktif dalam front

berbagai praktik

pembebasan Irian Barat. Kaum perempuan itu

kekerasan

berorganisasi dalam Gerwani yang anggotanya

terhadap

mencapai 1 juta orang pada Agustus 1965. Kaum

perempuan,

perempuan dalam Gerwani bergerak dari satu tempat

menempatkan

ke tempat lain dan skala kerjanya meluas hingga ke

separuh warga

kalangan kaum buruh dan tani. Mereka menjadi guru

negaranya dalam

untuk anak-anak petani dan buruh. Mereka

posisi rentan.

berorganisasi untuk kaum perempuan di kalangan buruh perkebunan, pabrik, dan sawah. Di perkampungan miskin, Gerwani menjadi organisasi

perempuan yang aktif satu-satunya, karena organisasi lainnya hanya di kelas menengah. Juga, Gerwani memperhatikan undang-undang perkawinan, terutama tentang poligami dan perceraian. Pada 1950an hingga 1965 hampir seluruh perempuan di Indonesia terlibat dalam organisasi Gerwani. Hanya beberapa wilayah seperti Papua dan Maluku yang masih jarang ikut dalam Gerwani.

Akan tetapi peristiwa gerakan 30 September 1965 menjadi alasan Jenderal Suharto melakukan pembalasan dengan menghancurkan gerakan perempuan Gerwani. Dengan masif, cerita rekaan tentara tentang tindakan kebebasan seks dan kekerasan perempuan Gerwani di Lubang Buaya serta merta mendorong histeria anti-PKI pada akhir 1966. Anggota Gerwani di seluruh Indonesia dianggap sebagai setan yang tingkah lakunya sama dengan perempuan penyiksa jenderal. Perempuan yang

318 Komnas Perempuan dalam setiap laporannya selalu mengingatkan publik bahwa data yang dilaporkan hanyalah puncak dari gunung es.

319 Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2013 mengategorisasi ruang terjadinya kekerasan menjadi tiga wilayah, yaitu ranah personal, komunitas, dan negara.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

tinggal di daerah terpencil di Singaraja, Bali dan tidak pernah mendengar nama Lubang Buaya, disebut pelacur dan pembunuh. Banyak dari mereka yang dipaksa berpisah dengan anak dan suami. Hal itu, di antaranya, dialami oleh Ibu Jermini dari Denpasar, Bali yang terpisah dengan suaminya dan harus mengungsikan anak- anaknya ke rumah orang tuanya. Ketika itu PNI Tameng menyerang rumah keluarga dan membakarnya:

“Desember Bapak diambil. Entah siapa yang ngambil, malamnya Ibu nggak tau. Sudah itu, besoknya itu rumah dibakar. Setelah dibakar, Ibu terus langsung mencari Bapak ke kantor polisi, Bapak adanya di Kantor Polisi Lalu Lintas. Ibu ke sana, sudah itu sampai di sana, ya ngomong-ngomong sama polisi, nggak ada apa-apanya, Bapak memang dia dagang … Bapak kan diajak pulang. Setelah di rumah kan dia lihat, bapak lihat ininya, rumah- rumah yang terbakar, tapi nggak ada apa-apanya, masih tiang aja satu. Terus masih ngomong-ngomong. ‘Jangan, sudah Dik, nanti kalau selamat kita bangun lagi, jadi dibawa lagi ke sana, ke Polisi Lalu Lintas. Nah, sampai di sana itu, jadi Ibu nggak tau entah ke mana dibawa itu, Ibu paling down (sedih), mana rumah tidak ada, anak-anak enam, ini kecil-kecil. Itu baru lahir, ya tahun ‘65 itu baru lahir.” 320

Dalam sekejap, puluhan ribu perempuan yang semula normal dan terhormat di kampung-kampung menjadi sasaran kekerasan massal dan serangan militer. Mereka ditahan, disiksa, dibunuh, dan dianiaya secara tidak manusiawi. Kehidupan mereka berubah 180 derajat. Dalam laporannya, Komnas Perempuan menemukan pola tindakan aparat keamanan yang melakukan penyiksaan seksual dan perkosaan terhadap perempuan sejak mereka ditangkap. Temuan Komnas Perempuan juga menyebutkan pola kekerasan yang dialami perempuan di antaranya penelanjangan, pemaksaan menari atau berdiri dalam keadaan telanjang, pemerkosaan yang dialami

juga oleh perempuan hamil atau baru melahirkan, dan perbudakan seksual. 321

A.1. Penganiayaan, Penghinaan, dan Bentuk Kekerasan Seksual Lainnya

Pada perkembangan selanjutnya, kekerasan demi kekerasan harus dialami oleh kaum perempuan. Mereka menjadi sasaran dalam penghancuran kelompok yang dianggap berseberangan dengan penguasa. Salah satu kelompok yang menjadi sasaran penghancuran pada 1965 adalah Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI).

320 Josepha Sukartiningsih, 2004, “Ketika Perempuan Menjadi Tapol”, dalam (ed) Roosa, John, Ayu Ratih, & Hilmar Farid, Tahun Yang Tak Pernah Berakhir. Memahami Pengalaman Korban ’65: Esai-Esai Sejarah Lisan, Jakarta: ELSAM, TRK, dan ISSI, hlm. 98.

321 Lihat Laporan Pemantauan HAM Perempuan, 2007, “Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Gender:

Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965”, Jakarta: Komnas Perempuan, hlm. 162-163.

POLA KEKERASAN

Banyak anggota perempuan IPPI yang ditangkap dan ditahan. Saat ditangkap, diperiksa maupun selama ditahan, mereka mendapat kekerasan seperti penyiksaan seksual dan perkosaan. Sumarmiati menceritakan:

“Hari kedua, diperiksa berdua, mereka bilang mau mengaku atau tidak kalau kalian ini gerpol PKI. Lalu diberi pilihan, mengaku sebagai PKI malam atau saya telanjangi, itu bukan pilihan. Mereka menelanjangi saya dan laki- laki itu juga ditelanjangi. Saya disuruh berpangkuan dalam keadaan telanjang atau mengaku. Saya kemudian diangkat dan dipangkukan dengan laki-laki tersebut dalam posisi berhubungan seks. Mereka tertawa dengan puasnya. Selama di Wirogunan, saya sering dibon oleh CPM untuk diperiksa. Satu saat dipanggil kembali, dalam pertanyaan mereka, mengaku sebagai Gerpol atau tidak. Dalam pemeriksaan, saya ditelanjangi, kepala saya ditekan dan disuruh mencium kelamin mereka satu per satu, ada delapan orang di dalam ruangan itu.” 322

Para Penyintas. Foto Kiri: Sumarmiati berada di toko kelontong miliknya yang menjadi sumber penghidupan dia kini. Foto Kanan: Migelina Markus, salah seorang penyintas dari Nusa Tenggara Timur. (Foto: Anne-Cecile Esteve)

Ibu Samsumini salah satu perempuan yang ditahan, disiksa, dan mengalami penghinaan pada tahun 1965, menceritakan pengalamannya:

“Waktu itu saya masih mahasiswa dan aktif di IPPI. Sekolah kami di Bogor diserang. Kemudian kami diberitahu kita bisa pulang, ini merupakan masalah internal dalam tentara. [Tapi] saya ditangkap dan disiksa, sampai saya pingsan. Saya dimasukkan ke dalam truk, dengan cara yang begitu tidak manusiawi, dibawa ke pos militer. Saya ‘dibon’ di polisi militer, pada malam hari. Tengah malam, seorang CPM dan sopirnya membawa saya. Saya menolak dan mencoba mengetuk jendela. Dia memukul saya dengan

322 Kesaksian Sumarmiati dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Perempuan”, Jakarta, 25 November 2013.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

pistolnya. Saya pingsan. Ini terjadi dua, tiga kali. Suatu malam, saya dibawa ke tempat yang penuh dengan banyak pria mengenakan ikat kepala. Saya disuruh duduk. Saya dituduh bahwa saya dari Jakarta dan telah membunuh para jenderal. Saya dipukuli.

Malam keempat, tidak ada laki-laki muda. Tapi kemudian mereka datang, tujuh orang dengan satu jaksa. Saya ditelanjangi, katanya untuk menemukan tato PKI. Saya mencoba untuk menghentikan mereka ketika mereka melepaskan pakaian saya. Mereka bermain dengan saya … Jaksa mengatakan kepada mereka untuk memakai pakaian saya kembali. Lalu ia pergi. Mereka kemudian menyetrum saya … Hal ini terjadi berulang kali. Akhirnya saya dipindahkan ke Penjara Bulung di Semarang dan penyiksaan fisik berhenti, tetapi siksaan mental jalan terus.” 323

Penyiksaan dan penghinaan juga dialami oleh Sumarmiati, seorang guru lulusan IKIP Yogyakarta. Saat itu dia berada di tahanan CPM Yogyakarta pada April 1969, setelah sebelumnya dia ditangkap dan disiksa di tempat kosnya. Sumarmiati dimasukkan ke sel bersama seorang laki-laki. Tangan mereka diborgol dan dijadikan satu. Suatu ketika beliau disiksa bersama-sama dengan laki-laki tersebut.

“… Dengan badan sakit semua akhirnya saya demam. Kami hanya diizinkan keluar sel kalau hendak buang air. Jadi kami berganti-gantian agar borgol sering dilepas. Malam ketiganya saya dipanggil sama si ini, ditanyakan apakah kenal dengan orang yang diborgol bersama saya. Saya jawab tidak kenal, dia juga menjawab tidak kenal. Akhirnya kami disuruh memilih. Pilih telanjang atau mengaku. Pilih telanjang atau kalian mau mengaku sama- sama gerilya politik? Sekali lagi jawab ini … saya diangkat lalu diposisikan berpangkuan dengan dia dalam keadaan telanjang … kami tetap menjawab tidak kenal. Tapi mereka tetap tidak percaya.” 324

Kekejaman lain harus dialami oleh Sri Sulistiyowati yang menjadi penghuni tetap penjara Bukit Duri selama 11 tahun. Pada 29 September 1965, Sri sedang dalam tugas meliput perjalanan Wakil Perdana Menteri Soebandrio di Sumatera Utara. Ketika rombongan menerima kabar pembunuhan jenderal dan perwira Angkatan Darat, mereka langsung menuju Jakarta. Sri juga bagian dari rombongan itu. Di luar dugaan, setiba di Jakarta dia langsung disuruh menyelamatkan diri agar tidak ditangkap Angkatan Darat. Sri terpaksa berpisah dari suaminya. Pada 18 Juli 1968, dia ditangkap setelah menyusul suaminya ke Blitar Selatan.

Saat ditangkap, dia sempat ditahan di markas Operasi Trisula di Lodaya, lalu dipindahkan ke Penjara Perempuan Malang. Dari Malang dikirim ke Tim Pemeriksa

323 Catatan Proses Pengaduan di Komnas Perempuan, 29 Mei 2005. 324 Wawancara dengan Sumarmiati, Yogyakarta, 27 Mei 2013, Arsip KKPK.

POLA KEKERASAN

Pusat (Teperpu) bentukan Kopkamtib. Di tempat ini, ia mengalami penyiksaan yang dikenal dengan sebutan “cincin setrum”. Menurut Sri, alat itu terbuat dari tembaga berbentuk cincin yang dihubungkan dengan aliran listrik dari generator. Untuk menyiksa tahanan, cincin dipasangkan ke jari tangan, kaki, payudara, atau alat kelamin. Biasa juga dipasangkan pada beberapa tahanan sekaligus, lalu disetrum bersama-sama. Sri juga bersaksi tentang yang dialami oleh Ketua Gerwani Surabaya bernama Puji Astuti. Perempuan ini ditangkap lalu diserahkan kepada 7 hansip untuk diperkosa beramai-ramai. Dia terjangkit penyakit yang diduga kanker hingga meninggal di penjara. Setelah enam bulan di penjara Teperpu, Sri dipindahkan ke Bukit Duri.

Di Penjara Bukit Duri, selain penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi lainnya juga harus dialami perempuan yang ditahan. Di antara para tahanan, banyak perempuan yang sedang hamil dan tidak mendapat perawatan medis. Pertolongan justru datang dari perempuan sesama tahanan. Bahkan tidak jarang anak-anak terpaksa ikut ditahan karena kedua orang tua mereka ditahan. Ibu Muji, menceritakan pengalamannya ketika ditahan di Penjara Bukit Duri:

“... [K]emudian saya dipindahkan ke Penjara Bukit Duri. Kami satu kamar mestinya untuk orang 1, [tapi] diisi bertiga. Satu tidur di tempat tidur, lalu yang lebih muda tidur di bawah. Ibu-ibu yang ditahan banyak yang punya anak dan bayi atau anak yang bersekolah ikut ibunya karena ibu-bapak mereka ditahan. Ada anak kelas 1 mengalami disel, Ibu hamil juga ada. Kebetulan Ibu Salawati Daud, seorang perawat yang ditahan, menolong ibu melahirkan dengan alat apa adanya. Ada 150 orang di Penjara Bukit Duri.” 325

Bentuk pelanggaran lain yang dialami tahanan perempuan ‘65 adalah pemindahan paksa ke lokasi pembuangan. Mereka mengalami perbudakan dan berjuang untuk bertahan hidup. Lokasi yang paling terkenal adalah Pulau Buru, Maluku. Sebanyak 600an istri tahanan politik bersama anak-anak mereka mengalami pemindahan paksa ke Pulau Buru. Ibu Mimin, salah seorang perempuan yang dipindah paksa mengikuti suami ke Pulau Buru, bercerita:

“Saya dibuang ke Pulau Buru. Ketika suami saya

“Kami

ditangkap pada tahun 1967, kami tinggal di

terpaksa mencuri

Bandung. Pada tahun 1971, suami saya dipindah

kepunyaan kami

ke Nusakambangan selama sekitar 3 bulan dan

sendiri, apa yang

kemudian di Pulau Buru. Kemudian saya

kami tanam,

menerima surat yang menyatakan bahwa kami

kami curi.”

akan dikirim ke Buru atas permintaan suami saya.

325 Kesaksian Mujiati dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan Atas Nama Ideologi dan Agama”, Jakarta, 26 November 2013.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Bersama perempuan lainnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, kami bertemu di Tanjung Perak. Kami tiba 23 Juli. Kami rombongan yang pertama ini menjadi korban yang berat … kami terpaksa mencuri kepunyaan kami sendiri, apa yang kami tanam, kami curi. Jika ketahuan pengawal kami dihukum. Hampir semua ibu yang produktif melahirkan anak di Pulau Buru, … terpaksa … kami berdua, saya dan tetangga dari Sukabumi bergantian memberi susu kepada anak kami berdua.” 326

Perempuan di Pulau Buru. Para perempuan anggota keluarga tahanan politik di Pulau Buru saat melaksanakan pernikahan massal. (Foto: Repro/Anne-Cecile Esteve)

Pulau Buru bukan satu-satunya lokasi pembuangan tahanan politik ‘65. Ibu Sainah menceritakan tentang pengalamannya di kamp pembuangan Argosari, di Kalimantan Timur:

“Saya adalah anggota Gerwani. Saya berjuang untuk hak-hak perempuan, mendirikan tempat penitipan anak, dan bekerja untuk memberantas buta huruf. Saya ditahan, kemudian menjalankan wajib lapor 3 kali seminggu ke markas militer dan polisi. Saya dipaksa untuk mengakui hal-hal yang saya tidak tahu, termasuk tentang kebakaran di sebuah lokasi. Saya diminta untuk mendidik, membangun. Saya tidak disuruh untuk melakukan hal-hal buruk. Saya ditahan dari tahun 1968 sampai 1975, bersamaan 1.280 tahanan lainnya. Ada sekitar 45 perempuan, sisanya adalah laki-laki. Kami

326 “Studi Kasus 79: Ibu-Ibu Korban ‘65 Mencari Keadilan: Penyiksaan dan Perkosaan terhadap Tahanan Perempuan 1965”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

POLA KEKERASAN

ditempatkan di sebuah kamp kerja paksa. Kami makan satu mangkuk kecil nasi dengan 2 sendok kecil sayuran. Kami tidur di atas tikar busuk. Ada seorang anak perempuan usia 12 tahun, ia ditahan karena ia disuruh menari. Saya membawa bayi saya berusia 18 bulan. Ketika saya dibebaskan, saya memilih tidak pulang karena takut kami akan mengalami diskriminasi.” 327

A.2. Pemerkosaan dan Perbudakan Seksual

Sebagian besar perempuan yang ditahan kemudian mengalami pemerkosaan atau dipaksa melakukan permintaan aparat dengan ancaman. Perlakuan tersebut dialami oleh tahanan perempuan dengan maksud untuk mengakui hal-hal yang sebenarnya tidak diketahui oleh mereka. Ibu Sarbinatu, misalnya, dipaksa dipisahkan dari suami dan anak dan dipaksa mengaku tentang keterlibatannya dengan peristiwa di Lubang Buaya. Dia tidak pernah pergi ke Jakarta, apalagi ke Lubang Buaya. Namun, dia mendapatkan siksaan berat dan akhirnya membuat pengakuan palsu karena tidak tahan siksaan.

”Entah berapa kali saya harus datang ‘menghadap’

Kondisi

atau dibon ke tempat-tempat penahanan yang lain

mereka semakin

untuk dipakai sebagai alat permainan nafsu

rentan karena

mereka itu. Tuduhan mereka tetap masih yang itu-

tidak adanya

itu juga: Gerwani, Lubang Buaya, dan Genjer-

perlindungan

Genjer. Mereka berdalih tidak puas dengan

yang memadai,

pengakuan saya. Sebagai istri seorang tokoh PKI,

baik dari keluarga

tidak mungkin saya hanya sebagai anggota Lekra

maupun aparat di

dan IPPI. Lama-lama saya merasa, semua itu

lingkungan sekitar

hanyalah dalih mereka belaka. Adapun niat

mereka.

mereka sebenarnya tak lain untuk bisa menikmati tubuh saya, dengan melampiaskan nafsu hewaniah semau-mau mereka, dan dengan

demikian memamerkan kekuasaan mereka sambil menghancurkan saya sebagai pribadi, kawan-kawan saya seorganisasi, dan organisasi kami itu sendiri. ‘Sudah, Pak! Silakan saja, apa mau bapak-bapak!’ Saya benar- benar merasa tak bisa apa-apa lagi. Menjelaskan tidak mungkin, apalagi membantah. ‘Tuliskan sesuka hati bapak-bapak. Saya akan menandatanganinya.’” 328

327 Loc.cit. 328 Dengan cara seperti itu, semua pembuktian menjadi palsu dan semua cerita juga menjadi palsu. Untuk hal ini

lihat Sarbinatun, 2006, “Laki-Laki Dimanfaatkan Tenaganya Perempuan Seluruh-Luruhnya”, dalam (ed) Hersri Setiawan, Kidung untuk Korban: Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol Sala, Solo: Parkoba-Solo, hlm. 45-77.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Bagi perempuan di Alor, NTT, masa setelah pembantaian terhadap orang-orang PKI merupakan babak baru yang kelam dalam kehidupan mereka. Para istri yang suaminya dibunuh dipaksa melakukan wajib lapor dan kerja paksa yang disertai penyiksaan dan pemerkosaan. 329 Mereka rata-rata harus berjalan kaki antara 7 sampai 24 kilometer atau berperahu untuk pergi ke pulau lain setiap kali mereka dipanggil untuk melapor ke kantor Buterpra. Wajib lapor ini berlangsung antara 2 sampai 3 tahun. Mama Koba, salah satu perempuan yang menjalani wajib lapor, menceritakan pengalaman seorang kawannya, Mama Dora:

“Mmmm itu ada banyak perempuan yang begitu ko, termasuk Mama Dora. Dia pung suami dibunuh. Dia [diperkosa] sampai punya anak satu, tapi meninggal. Dia juga sudah meninggal. Banyak-banyak [diperkosa], tapi kita omong bagaimana? Kita tinggal di situ, jadi orang [polisi yang baik menguatkan kami] … bilang, ‘mana-mama dong jang takut-takut’. Dong [korban perkosaan] jalan bagaimana? Ko kita semua masuk di situ baru diperkosa, asal kita pung diri selamat. Kita pung laki dong hilang habis baru dong bikin begitu.” 330

Para perempuan yang dipaksa berpisah dengan suami, karena dibunuh atau dipenjara, hidup dalam penderitaan panjang. Selain dipaksa wajib lapor seperti para perempuan di Alor, para perempuan tersebut seringkali menjadi korban pelecehan dan perbudakan. Kondisi mereka semakin rentan karena tidak adanya perlindungan yang memadai, baik dari keluarga maupun aparat di lingkungan sekitar mereka. Kondisi saat itu membuat siapapun takut untuk turun tangan membantu. Salah seorang tahanan politik yang dibebaskan pada tahun 1979 harus menemukan kenyataan bahwa istrinya meninggal dengan cara mengenaskan saat suaminya ditahan. Sang suami menceritakan:

“Setelah di rumah, adik saya bilang, ‘Kak gini, kakak perempuan itu ketika mati [ia] menderita, asal malam ya diambil dari kelurahan sana, disuruh tidur di sana, ya, disuruh pijit, disuruh macam-macam. Nanti kalau tidak ke kelurahan, ya, ABRI ke sini. Di balai-balai sana disuruh memijat, nanti tidur di sana, ya baliknya pagi, Kak. Jadi kakak perempuan lama-lama ‘kan seperti menderita, gini. Kalau tidak seperti itu, nanti ya orang-orang kayak gitu malam pada main ke sini, nanti, ya, tidur di sini.’ ... Terus itu … bangsanya … dulu disebutnya OPR [Organisasi Perlawanan Rakyat], tapi sudah berubah menjadi Garuda. Garuda-garuda itu kalau malam, saya tidak paham, pokoknya kalau sudah di sini, nanti ada yang tidur di sini, yang lain pulang. Nanti malam, lain lagi. Lama kelamaan, istri saya terus badannya

329 “Studi Kasus 21: Pembantaian Orang yang Dituduh Anggota PKI dan Kerja Paksa Perempuan di Alor, NTT”,

Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK. 330 Lihat (ed) Merry Kolimon dan Liliya Wetangterah, 2012, Memori-Memori Terlarang Perempuan Korban dan

Penyintas Tragedi ’65 di Nusa Tenggara Timur, NTT: Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT), hlm. 312.

POLA KEKERASAN

kurus, kurus, kurus, perutnya terus besar. [Ia] meninggal tahun ’77, [pada tahun] ‘79 saya kembali. Terus saya mendapat laporan dari RT saya sendiri, ‘Istrimu itu orang yang prihatin, yang menderita hatinya. Saat mau mati [istri bertanya], Bapak kapan sih … kembalinya?’” 331

Kamp Plantungan. Para tahanan politik perempuan dengan berbagai aktivitas mereka selama berada di kamp Plantungan. (Foto: Repro/AJAR)

Perkosaan dan perbudakan seksual juga terjadi di kamp-kamp tahanan khusus perempuan. Sumarmiati menceritakan kondisinya saat dirinya ditahan di kamp khusus perempuan Plantungan selama beberapa tahun:

“Tahun ‘71 saya dipindahkan ke kamp Plantungan bersama 500 ibu dari Jawa. Di Plantungan tidak ada lagi penyiksaan fisik tapi teror psikis. Kami dianggap manusia tidak bermoral, pemberontak. Kami tidak cocok dengan pembimbing mental di Plantungan, pembimbing menghamili tapol dan melahirkan 2 anak. Bagaimana kami bisa percaya pada pembimbing itu? Karena banyak hal yang tidak bisa kami terima, akhirnya tahun ‘76 kami dibuang ke Penjara Bulu, Semarang karena dikatakan kami tidak bisa dibina oleh pembina.” 332

331 Laporan Pemantauan HAM Perempuan, Op.cit., hlm. 124-125. 332 Kesaksian Sumarmiati, Op.cit.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111