Posisi Warga Dihadapan Negara

D. Posisi Warga Dihadapan Negara

D.1. Warga menjadi Korban Komodifikasi Alam di Indonesia

Kasus-kasus yang dijabarkan sebelumnya memperlihatkan bahwa komodifikasi alam di Indonesia berlangsung melalui proses pengambilalihan tanah dan wilayah komunitas oleh pemerintah untuk ditetapkan menjadi tanah negara atau hutan negara. Setelah itu, pemerintah memberikan izin atau lisensi kepada perusahaan- perusahaan raksasa (pertambangan, kehutanan dan perkebunan) atau instansi pemerintah pemegang kawasan konservasi. Selama beberapa tahun terakhir, perampasan tanah terjadi dalam skala yang lebih masif, terkait dengan kesewenangan-wenangan pemerintah daerah yang menjadi lebih besar setelah diberlakukannya kebijakan desentralisasi. Kebijakan desentralisasi memberikan hak baru kepada pemerintah daerah, di antaranya hak untuk memberikan izin lokasi untuk perkebunan dan izin usaha pertambangan untuk perusahaan skala kecil. Perampasan tanah dalam skala yang lebih masif juga merupakan dampak dari kebijakan pemerintah pusat untuk membangun infrastruktur sebagai bagian awal proses reorganisasi dan rekonstruksi ruang geografis kepulauan nusantara dalam rangka menciptakan situs-situs produksi komoditas global dan memperlancar sirkulasi komoditas itu dari tempatnya diproduksi sebagai bahan mentah hingga menjadi bagian dari produksi barang jadi dan sampai ke konsumen.

Akibat komodifikasi alam ini, rakyat, khususnya

Beban ibu-

penduduk pedesaan, menjadi korban karena tanah dan

ibu dari keluarga

wilayah hidupnya masuk dalam kapling-kapling hutan

yang kehilangan

negara atau tanah negara, termasuk yang dialokasikan

tanah menjadi

untuk usaha raksasa di bidang pertambangan,

lebih berat karena

kehutanan, dan perkebunan. mereka kehilangan hak

dihantui oleh

atas tanah yang sudah lama mereka miliki dan kelola,

kekerasan seksual

mereka dicerabut dari caranya menjalankan hidup dan

yang dapat

terpaksa menjadi buruh harian lepas di perusahaan-

menghancurkan

perusahaan yang merampas tanah-tanah mereka.

integritas mereka

mereka juga harus kehilangan anggota keluarganya

sebagai manusia.

karena meninggal dalam memperjuangkan tanah mereka. Beban ibu-ibu dari keluarga yang kehilangan tanah menjadi lebih berat. Mereka lebih rentan karena

dihantui oleh ragam bentuk kekerasan seksual yang dapat menghancurkan integritas mereka sebagai manusia. Anak-anak mereka, terutama anak perempuan, digiring menjadi komoditas tenaga kerja formal di pabrik-pabrik maupun informal sebagai pekerja rumah tangga.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Rakyat juga kehilangan hak adat atas hutan dan berbagai sistem pengelolaan sumber daya yang sudah mereka pelihara secara tradisional selama ratusan tahun. Kebijakan pembentukan taman nasional di kawasan hutan dengan dalih konservasi alam telah merampas hak masyarakat adat atas tanah mereka dan merebut hak atas kekayaan alam yang sebelumnya bisa mereka akses dengan mudah. Kebijakan negara itu membuat hak atas kekayaan hutan sebagian besar mengalir masuk kepada suatu kelompok tertentu, sementara kerugian ditanggung oleh masyarakat setempat dan masyarakat adat. Hampir di semua kasus, kerugian yang ditanggung oleh rakyat, tidak pernah diganti oleh pemerintah. Keadilan tidak juga didapatkan rakyat hingga saat ini.

D.2. Warga Melakukan Perlawanan Atas Kebijakan Negara

Ketidakadilan ini direspon rakyat dengan melakukan perlawanan. Bentuk-bentuk perlawanan rakyat berbeda dari waktu ke waktu. Pada masa-masa awal, yaitu periode pembasmian (1965-1979), perlawanan rakyat sulit dikenali karena langsung dibasmi oleh aparat keamanan. Perlawanan di masa ini dengan mudahnya ditumpas oleh aparat keamanan dengan mengidentifikasikan perlawanan itu sebagai gerakan komunisme. Perlawanan rakyat mulai terlihat jelas dan tersebar di berbagai wilayah pada akhir tahun 1980an, dimulai dari kasus petani Jenggawah dan kasus Sugapa. Perlawanan ini dikenal sebagai perjuangan kewarganegaraan dari kelompok- kelompok penduduk dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Perlawanan rakyat yang lain adalah perjuangan untuk mendapatkan akses pada tanah pertanian dan hutan. Pada awalnya, mereka berjuang agar diakui sebagai warga negara yang memiliki status sebagai penyandang hak, subjek hukum, dan pemilik dari tanah dan wilayah hidupnya. Banyak ragam perjuangan kelompok rakyat, termasuk sah untuk melanjutkan akses atas sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Keabsahan (legitimacy) posisi mereka itu dikedepankan sebagai tema utama menghadapi arus besar pembasmian yang dilakukan oleh rezim militer yang otoritarian pada babak sebelumnya.

Jatuhnya rezim otoriter pada tahun 1998 memungkinkan rakyat secara serentak melakukan perlawanan dengan cara baru, yakni dengan mengambil kembali tanah- tanah yang dirampas pada periode sebelumnya. Okupasi-okupasi tanah dikenal sebagai reclaiming. Puncak perjuangan ini adalah suatu konser kampanye dan advokasi kebijakan nasional pembaruan agraria (land reform) dari Konsorsium pembaruan Agraria (KPA). Kasus-kasus perampasan tanah selalu menjadi jenis kasus pengaduan terbesar sepanjang periode Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pejuang HAM, aktivis, dan sarjana agraria dan pengelolaan sumber daya alam, bersatu padu menghasilkan TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan melancarkan kampanye pembentukan Komisi

POLA KEKERASAN

Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). Namun, semua itu harus kandas setelah Presiden Republik Indonesia, baik Megawati maupun Susilo Bambang Yudhoyono, memilih untuk tidak mengedepankan kebijakan perlindungan dan pemenuhan HAM para korban.

Petani di Tapos. Warga Desa Cibedug, Tapos, Bogor menggarap kembali lahan mereka pada 1998. Pada masa Suharto berkuasa, lahan tersebut digunakan sebagai areal peternakan sapi Tapos. (Foto: TEMPO/Robin Ong)

D.3. Warga Hidup Miskin dalam Kondisi Negara yang Sarat dengan KKN

Pada tahun 2004, Transparency International (TI) mengeluarkan sebuah laporan yang menempatkan Presiden Suharto di ranking pertama dalam daftar koruptor sedunia. 240

1. Suharto: $15-35 miliar (Indonesia, 1967-98)

2. Ferdinand Marcos: $5-10 miliar (Filipina, 1972-86)

3. Mobutu Sese Seko: $5 miliar (Zaire, 1965-97)

4. Sani Abacha: $2-5 miliar (Nigeria, 1993-98)

5. Slobodan Milosevic: $1 miliar (Yugoslavia, 1989-2000)

240 Transparency International, “Soeharto Koruptor Terkaya di Dunia”, diakses dari http://www.tempo.co/read/ news/2004/03/25/05541026/Soeharto-Koruptor-Terkaya-di-Dunia.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

6. J-C Duvalier: $300-800 juta (Haiti, 1971-86)

7. Alberto Fujimori: $600 juta (Peru, 1990-2000)

8. Pavlo Lazarenko: $114-200 juta (Ukraina, 1996-7)

9. Arnoldo Aleman: $100 juta (Nikaragua, 1997-2002)

10. Joseph Estrada: $78-80 juta (Filipina, 1998-2001) Sebuah laporan masyarakat sipil di Afrika Selatan membuat pengamatan tentang

hubungan antara represi dan korupsi, “Pada saat rezim apartheid berperilaku paling represif, pada saat itu juga (rezim tersebut) paling korup.” 241 Hubungan yang tak terpisahkan antara pelanggaran HAM dan perampasan kekayaan yang seharusnya dimiliki dan dinikmati oleh rakyat sudah sangat jelas tergambarkan dalam bab ini.

Pada pengujung masa kekuasaan Presiden Soekarno, perekonomian Indonesia dalam situasi genting dengan inflasi besar-besaran, devaluasi rupiah, dan pergulatan politik yang berdampak langsung pada kesehatan ekonomi. Namun, dalam waktu yang singkat rezim Orde Baru dapat mengembalikan perputaran ekonomi dengan mengumbar kekayaan alam serta sumber tenaga kerja yang murah, dan menerima bantuan ekonomi dari negara-negara Barat. Model pembangunan ini bermanfaat untuk mendorong “korupsi, kolusi, dan nepotisme” dalam berbagai bentuk:

• Berbagai badan usaha milik negara (yang dibentuk pada masa Soekarno) dapat dimanfaatkan untuk memberi posisi pada pensiunan tentara, mulai para jenderal sampai para mantan prajurit, dan orang-orang sipil yang dekat dengan Suharto, untuk memastikan loyalitas dan ketergantungan.

• Pemberian monopoli pada sektor swasta, dari cengkeh sampai mobil, pada

perusahaan keluarga atau orang-orang dekatnya. Pengelolaan kekayaan yang telah diraup melalui yayasan yang dikelola oleh Suharto

dan orang-orang dekatnya, tanpa adanya transparansi. 242

241 Lihat Hennie van Vuuren, 2006, Apartheid Grand Corruption: Assessing the Scale of Crimes of Profit in South

Africa from 1976 to 1994, Cape Town: Institute for Security Studies, dikutip oleh Ruben Carranza dalam “Plunder and Pain: Should Transitional Justice Engage with Corruption and Economic Crimes?”, The International Journal of Transitional Justice, Vol. 2, 2008, 310–330, doi: 10.1093/ijtj/ijn023

242 Ross McLeod, “Soeharto’s Indonesia: A Better Class of Corruption”, http://press.anu.edu.au//wp-content/

uploads/2011/06/7-2-A-1.pdf.

POLA KEKERASAN

Pramoedya Ananta Toer.

Pramoedya Ananta Toer membaca

surat pembebasannya sebagai tahanan politik dari Pulau Buru pada tahun 1979. (Foto: TEMPO/

Putu Setia)

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111