Kekerasan yang Berlarut dan Peran Negara
C. Kekerasan yang Berlarut dan Peran Negara
Pecahnya kekerasan antar-warga dalam skala besar cukup mengejutkan banyak pihak. Banyak kalangan menilai bahwa kekerasan ini merupakan buah dari kombinasi hilangnya mekanisme peringatan dini di tingkat komunitas dalam menanggapi ketegangan sosial pada masa Orde Baru dengan keterbukaan ekspresi yang terjadi secara tiba-tiba pada masa transisi demokrasi di Indonesia. Pola penyeragaman dan pengendalian kehidupan sosial yang dipraktikkan pemerintah Orde Baru telah membuat berbagai tradisi yang memupuk ikatan sosial antar- komunitas dan pencegahan konflik menghilang dari ingatan kolektif masyarakat. Kondisi ini membuat masyarakat tergagap ketika dihadapkan kepada dinamika sosial politik yang bergerak cepat saat transisi politik berlangsung.
Konflik di Maluku misalnya, sungguh mengejutkan
Kemunculan
karena di sana sebenarnya hidup tradisi pela-gandong;
kelompok orang
gandong, yaitu ikatan persaudaraan antar-dua desa
tak dikenal ini
atau lebih karena keturunan dari leluhur yang sama,
mengingatkan
dan pela, yaitu ikatan persaudaraan di luar garis
pada proses yang
keturunan. Tradisi ini menjadikan keluarga-keluarga
serupa saat pecah
dengan agama yang berbeda sebagai satu keluarga
kerusuhan di
besar yang saling hormat-menghormati. Tradisi ini
Jakarta pada Mei
telah berlangsung ribuan tahun sehingga Maluku
1998. terkenal sebagai simbol kerukunan umat beragama
bagi Indonesia. Namun, tradisi ini seolah tidak memiliki makna lagi saat kekerasan demi kekerasan muncul di Maluku.
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
Dari berbagai kasus kekerasan antar-warga tersebut, terlihat adanya benang merah yang mengaitkan latar belakang konflik dan penyebab meluasnya konflik sehingga menjadi berlarut-larut dan menimbulkan korban yang tidak sedikit. Kaitan pertama yang terungkap adalah adanya temuan bahwa kekerasan di Ambon dan Poso menanjak setelah adanya provokasi dan kedatangan sekelompok orang dari luar daerah. Secara fisik, penampilan mereka dapat dikatakan mirip sehingga menimbulkan dugaan bahwa orang-orang yang melakukan provokasi dalam kerusuhan di Jakarta juga melakukan hal yang sama di Ambon. Kemunculan kelompok orang tak dikenal ini mengingatkan pada proses yang serupa saat pecah kerusuhan di Jakarta pada Mei 1998. Kelompok tersebut bergerak dengan mengeluarkan isu-isu sensitif dan memancing warga untuk melakukan aksi kekerasan. Jika di Jakarta mereka meneriakkan sentimen anti-Tionghoa, maka di Poso dan Maluku mereka meneriakkan hal-hal yang berkaitan dengan kebencian berdasarkan kelompok agama.
Pada tahap awal, respon pasukan keamanan dapat dikatakan tidak cukup baik dalam menanggapi kekerasan yang terjadi. Jumlah anggota pasukan yang minim, lokasi kekerasan yang tersebar di berbagai wilayah, dan sulitnya melakukan identifikasi kelompok yang melakukan penyerangan merupakan sebagian kecil dari berbagai kendala yang dihadapi oleh pasukan keamanan. Pengiriman pasukan secara besar- besaran dilakukan saat konflik sedang mencapai puncak. Di beberapa wilayah, kedatangan pasukan keamanan, baik dari TNI maupun Brimob, cukup dapat menurunkan tensi kekerasan. Namun, ditemukan pula keterlibatan pasukan keamanan dalam konflik lewat dukungan logistik terhadap kelompok tertentu. Bahkan, beberapa pengakuan menyebutkan bahwa sejumlah
Rekayasa Kerusuhan. Artikel di media penyerangan terhadap target tertentu massa yang membahas tentang
justru diinisiasi oleh pasukan rekayasa dalam kerusuhan di Ambon. keamanan, seperti penyerangan ke (Foto: ELSAM) Desa Soya di Ambon pada April 2002.
POLA KEKERASAN
Kekerasan semakin parah ketika terdapat kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan kemiliteran atau memiliki senjata standar militer yang ikut terlibat dalam konflik. Pada saat Jakarta memanas di tahun 1998, elit militer dan sipil merespons kuatnya desakan mahasiswa dengan memobilisir dan membentuk kelompok keamanan sipil bernama Pam Swakarsa. Mereka menjadi kelompok yang berhadap-hadapan dengan mahasiswa dan warga dalam berbagai demonstrasi di tahun 1998-1999. Saat demonstrasi mereda, sebagian anggota kelompok ini bergabung dan membentuk Front Pembela Islam (FPI). FPI kemudian sering melakukan aksi penyisiran atau penggerebekan yang seringkali diikuti dengan tindak kekerasan kepada pihak yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Lalu pada akhir tahun 2000 ketika situasi di Jakarta mulai tenang, muncul kelompok radikal baru bernama Laskar Jihad yang memiliki ide untuk melakukan misi jihad di Maluku. Laskar Jihad ini dipimpin oleh Jafar Umar Thalib, yang pernah ikut berperang di Afghanistan. Kelompok ini merupakan kelompok yang jauh lebih disiplin dan ideologis dibanding FPI. Kehadiran Laskar Jihad di Poso dan Ambon membawa pengaruh besar dalam keberlanjutan kekerasan di sana.
Terdapat indikasi bahwa sekelompok faksi di tubuh militerlah yang melatih anggota Laskar Jihad sekaligus memberikan dukungan senjata. Saat berada di Maluku, anggota Laskar Jihad terlihat bergerak dengan menggunakan senjata standar militer dan bahkan —dalam beberapa kejadian— mendapat dukungan langsung dari anggota pasukan keamanan. Keleluasaan Laskar Jihad dalam melakukan tindakannya di berbagai wilayah konflik menunjukkan kaitan antara mereka dengan pejabat militer. Walaupun tidak terdapat bukti nyata bahwa militer merupakan pihak yang membentuk Laskar Jihad, namun perekrutan kelompok sipil untuk kepentingan militer atau politik penguasa dapat terbaca sebagai pola yang dipakai secara berulang oleh militer Indonesia sejak 1970an dengan memanfaatkan ketegangan komunal yang ada di masyarakat. Hal seperti ini juga terlihat jelas di Timor Timur pada masa referendum.
Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menghentikan konflik. Setelah sebelumnya pengiriman pasukan keamanan dalam jumlah besar tidak begitu saja meredakan konflik, pemerintah berinisiatif untuk mengajak pihak-pihak yang terlibat dalam konflik untuk berdamai. Setelah melewati berbagai upaya perdamaian yang gagal menghentikan kekerasan, pemerintah berhasil mendudukkan para pihak yang berkonflik di Poso untuk membahas perjanjian damai antar-komunitas dalam Deklarasi Malino pada Desember 2001 yang menyepakati 10 butir kesepakatan. Sementara itu, di Maluku tercapai kesepakatan damai dalam Perjanjian Malino II. Setelah konflik usai dan sebagai bentuk tindak lanjut Perjanjian Malino II, pemerintah membentuk Tim Penyelidik Independen Nasional (TPIN) Maluku. Namun meski tim ini telah menyerahkan laporannya kepada presiden pada bulan April 2003, pemerintah tidak pernah mengumumkan hasilnya kepada publik.
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
Paramiliter. Foto Kiri Atas: Pelantikan anggota Kamra di parkir timur Senayan, Jakarta. (Foto: TEMPO/Robin Ong) Foto Kiri Bawah: Mobil Pam Swakarsa yang dibakar massa di Jalan Proklamasi, Jakarta, 1998. (Foto: TEMPO/Donny Metri) Foto Kanan: Anggota Pertahanan Sipil (Hansip) berjalan sambil memanggul senjata di salah satu desa di Timor Timur pada tahun 1986. (Foto:TEMPO/Rizal Pahlevi)
Beberapa pihak menilai bahwa walaupun Perjanjian
Perekrutan
Malino dan Malino II dapat menurunkan konflik, namun
kelompok
potensi kekerasan masih terus menghantui warga di
sipil untuk Sulawesi Selatan dan Maluku. Proses perjanjian yang kepentingan elitis –dihadiri hanya oleh para elit komunitas yang militer atau politik berkonflik, dan tidak adanya informasi terbuka
mengenai perdebatan atau diskusi selama perjanjian
penguasa dapat
berlangsung— dinilai menjadi negosiasi kepentingan
terbaca sebagai
kalangan elit saja dan tidak menyentuh akar persoalan
pola yang dipakai
yang ada di masyarakat. Sementara itu, di luar
secara berulang
perjanjian damai yang dilakukan oleh pemerintah,
oleh militer
masyarakat sendiri sebenarnya sudah mulai
Indonesia sejak
melakukan proses rekonsiliasi arus bawah yang lebih
1970an.
mengena dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Salah satu proses rekonsiliasi itu adalah “Gerakan Damai Baku Bae” yang berhasil membuka ruang dialog
POLA KEKERASAN
antara komunitas Kristen dan Islam yang berkonflik di Maluku. Gerakan ini juga membuka ruang bagi kedua komunitas untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh konflik, baik itu sosial maupun ekonomi.
Selain proses perjanjian yang elitis, persoalan lain yang cukup besar adalah lemahnya pemerintah dalam mencari dalang di balik berbagai kekerasan dan menuntaskan akar persoalan dari konflik di masyarakat. Beberapa pihak menengarai bahwa kelemahan ini terkait dengan lemahnya posisi pemerintah terhadap pihak yang ingin melindungi para pelaku. Tiadanya informasi yang jelas tentang kekerasan yang terjadi dan pertanggungjawaban dari pelaku membuat tidak adanya kepastian hukum bagi korban kekerasan, keluarga, dan kerabatnya untuk mendapatkan kembali hak-haknya. Para korban juga masih harus berhadapan dengan stigma dan prasangka negatif dari lingkungan mereka. Proses penuntasan kasus sangat tergantung pada iktikad baik atau political will dari pejabat yang sedang memimpin. Ketiadaan penuntasan kasus kekerasan juga memberikan peluang terulangnya kekerasan di masa yang akan datang. Para pelaku yang masih bebas dan mempunyai kekuasaan dalam kehidupan sosial politik memiliki kesempatan untuk mengulangi tindak kekerasannya. Hal ini membuat korban dan keluarga mereka memiliki kerentanan untuk mendapat kekerasan berulang.
Kekerasan yang berulang dan belum pulihnya rasa aman serta kepercayaan masyarakat terhadap pasukan keamanan nampak nyata saat pecahnya kembali kekerasan di Desa Waringin di Ambon pada September 2011. Baihajar Tualeka, seorang aktivis perdamaian yang bekerja untuk membangun perdamaian di Ambon sejak konflik di tahun 2000 menceritakan bahwa konflik di tahun 2011 tersebut seperti menghancurkan segala jerih payah yang dilakukan oleh masyarakat untuk membangun perdamaian di Ambon. Dia bercerita:
“Sebelum kerusuhan di Bulan September 2011, awalnya muncul beberapa isu dan selebaran menjelang pemilihan Walikota Ambon bahwa akan terjadi konflik di Ambon, Ambon akan di-Islamisasi dan Kristenisasi. Masyarakat mulai mengurangi interaksi dengan komunitas lain, dampak psikologis mulai dirasakan. ... Ketika itu inisiasi ibu-ibu mendatangi kantor polisi, namun tidak ditanggapi oleh aparat yang bertugas saat itu. Bahkan ketika audiensi dengan Kapolres Pulau Ambon PP Lease di tahun 2011, beliau mengatakan bahwa, ‘sulit menyelesaikan persoalan yang terjadi di Ambon, karena akan dianggap berpihak kepada kelompok tertentu atau tidak netral’. Bila aparat tidak serius, maka masyarakat di wilayah konflik kian resah, lemahnya penegak hukum, tidak adanya jera kepada pelaku, menyebabkan masyarakat main hakim sendiri. Jarak Waringin dengan Polres Pulau Ambon, hanya berjarak kurang lebih 1 km. Pemukiman ini berada dalam pusat kota, akses ke pihak kepolisian dan TNI sangat dekat.
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
Waringin merupakan daerah yang mix di Kota Ambon, sejak terbakar beberapa kali, masyarakatnya mulai pesimis untuk kembali, pilihan opsi untuk relokasi di tempat lain, mereka menolak karena lahan yang mereka tempati adalah warisan para leluhur mereka dari Buton yang sudah lama menetap di Ambon. ... Pada tahun 2009, para ibu di pemukiman ini bersepakat untuk menjadikan Waringin sebagai situs memorialisasi, sebuah tempat untuk mengingatkan agar kejadian kerusuhan serupa tidak berulang di masa mendatang. Untuk itu mereka menamakan gang di pemukiman itu dengan nama-nama yang memberikan pesan damai seperti Gang Damai, Gang Anti-Kekerasan, Gang Kebersamaan, dan Gang Kebangkitan. Penamaan gang ini bertujuan untuk memelihara damai berkelanjutan antar-komunitas dengan harapan konflik tidak berulang lagi. ... Pada September 2011, ketika daerah Waringin terbakar untuk ketiga kalinya, butuh waktu lama bagi warga untuk meyakinkan diri kembali membangun Waringin. Dari ibu-ibu di Waringin, gagasan Napak Damai ini berawal. Kali pertama Napak Damai dilakukan pada tahun 2012 dimaksudkan untuk membangun ketahanan masyarakat dan merekatkan kembali hubungan
antar-warga yang terkoyak akibat konflik.” 315
315 Kesaksian Baihajar Tualeka dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Pejuang HAM”, Jakarta, 29 November 2013.
POLA KEKERASAN
Perkosaan dalam Kekerasan Mei 1998.
Salah satu pertokoan di Jakarta yang menjadi tempat terjadinya perkosaan saat kerusuhan di bulan Mei 1998. (Foto: TEMPO/Rully Kesuma)
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA