Keadilan yang Tak Tampak

E. Keadilan yang Tak Tampak

Pembasmian yang terjadi di Indonesia, baik yang dilakukan pada masa Orde Baru maupun masa setelahnya, dilaksanakan oleh aparat keamanan yang menggunakan sumber daya negara, dan seringkali dibantu oleh kelompok milisi yang dipersenjatai dan kebal hukum. Pada kurun waktu 1965-1966, nampak hubungan militer dan pelaku pembunuhan sangat erat. Hal tersebut terlihat dari waktu terjadinya kekerasan yang muncul tidak lama setelah militer datang. Di Solo misalnya, tindakan represi terhadap orang-orang kiri dimulai setelah pasukan RPKAD masuk ke kota dan menggelar rapat akbar di alun-alun kota yang berujung dengan pembakaran kota Solo. Hal yang sama juga terjadi di Bali dan NTT. Di Sabu, kehadiran tentara yang pada bulan Oktober sampai Desember 1965 disertai dengan terjadinya kekerasan seperti penangkapan, penahanan, teror, sampai pembunuhan. 205

203 (Ed) Nashrudin Marzuki dan Adi Warsidi, Op.cit., hlm. 251. 204 Ibid, hlm. 252. 205 Lihat (ed) Merry Kolimon dan Liliya Wetangterah, Op.cit., hlm. 141.

POLA KEKERASAN

Sementara itu, dalam melancarkan operasi militer di wilayah konflik, militer Indonesia membentuk dukungan sipil, baik dalam bentuk informan atau milisi. Hal ini tidak lepas dari penggunaan strategi teritorial dan intelijen selama operasi militer diberlakukan. Peran milisi di Timor Timur sangat besar seperti yang terjadi pada pembantaian di Gereja Suai. Sementara itu, penggunaan informan menjadi cara yang cukup sering dipakai di Aceh, dan dapat mengakibatkan terjadinya pembunuhan seperti yang terjadi di Jambo Keupok.

Pembasmian berkaitan dengan impunitas yang membuat para pelaku pelanggaran HAM yang berat lolos dari hukuman. Tindakan yang membuahkan kekerasan di Aceh, Papua, dan Timor-Leste telah meninggalkan kekebalan hukum terhadap pelaku (impunitas). Sejumlah pelaku pelanggaran HAM berat yang melakukan operasi militer telah lolos dari hukum. Sebagian besar dari mereka secara sengaja tidak dihadirkan atau disembunyikan dari pengadilan. Selain itu, pengadilan militer masih berlapis untuk menguak tabir keadilan. Bagi tingkatan perwira ke bawah sudah bisa dibongkar, akan tetapi untuk pangkat perwira ke atas belum bisa mencapai keadilan. Di pengadilan, untuk pangkat perwira ke atas tidak pernah disebut-sebut dalam pengadilan. Kekerasan yang dilakukan oleh militer seringkali berhenti di pengadilan militer yang tertutup.

Dampak langsung dari impunitas adalah ketidakmenentuan kondisi korban dan keluarganya, baik secara ekonomi maupun secara sosial dan politik. Pembasmian ini meninggalkan bekas yang mendalam di kalangan korban dan keluarga korban. Mereka sebagai korban

Pengadilan HAM Timtim. Mantan Pangdam Udayana yang menjadi terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM yang

dari kekerasan masa berat Timor-Timur. Mayjen Adam Damiri memberi

lalu belum komentar terhadap kesaksian mantan Panglima

mendapatkan Penguasa Darurat Militer Timor Timur Mayjen Kiki

penjelasan dan Syahnakri dalam pengadilan HAM Ad Hoc di Pengadilan

pengakuan dari Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 17 September 2002.

pemerintah. Kekerasan (Foto: TEMPO/ Amatul Rayyani)

di masa lalu, seperti

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

penghilangan terhadap Abd Rahman Dg Maselo pada tahun 1965 di Palu, meninggalkan luka mendalam bagi keluarganya hingga kini. Mariyam Labonu, istri Daeng Maselo, menceritakan kondisi keluarganya ketika suaminya hilang:

“Bulan Mei saya dengar dia sama-sama dengan temannya sudah hilang. Banyak kabar angin. Jadi saya bingung. Tapi saya besarkan hati anak-anak ... saya bilang sama dorang jangan didengar. ... Selama ini biasa kalau dorang tanya papanya, saya tidak tau juga mau jawab apa. Cuma anak saya yang pertama itu, Gagar, mungkin dia sudah mengerti. Baru itu ada lagi kabar dari Pak Bantam yang tentara di Baiya itu. Dia kasih tahu anak saya Gagar itu, dia cerita semua. Dia bilang tidak usah lagi kamorang cari-cari papamu, bukan di bawa ke Manado, bukan juga dibawa dengan kapal Rusia, tapi sudah di eksekusi, ditembak. ... Seandainya kehilangan atau misalnya kematian suamiku itu melalui proses hukum yang berlaku, karena kesalahannya misalnya, saya sangat ikhlas, tapi dengan keadaan seperti ini di mana keadilan itu.” 206

Pembasmian gerakan kiri pasca-30 September 1965 mempunyai dampak terhadap perkembangan organisasi warga di Indonesia. Organisasi sipil seperti serikat buruh, petani, perempuan, dan guru mengalami kehancuran. Organisasi gerakan dari masyarakat senantiasa dicurigai sebagai organisasi yang tumbuh dari sisa-sisa komunisme. Berulang kali rezim militer Orde Baru menyelenggarakan “bersih lingkungan” untuk menutup ruang gerak dari masyarakat yang dicurigai masih dipengaruhi oleh warisan PKI dan partai kiri. Negara dalam keadaan darurat tetap ditegakkan agar pendekatan keamanan bisa diselenggarakan.

Di NTT, pembasmian terhadap guru dan kaum terpelajar lain justru menjadi bumerang bagi perkembangan masyarakat di sana. Para guru perempuan dipaksa untuk kembali ke ruang sempit di rumah tangga. Perempuan di Sabu tidak lagi berperan sebagai guru yang mengajar di sekolah-sekolah. Mereka kehilangan pekerjaan dan lingkungan. Pemecatan terhadap guru-guru yang dilakukan oleh negara berakibat pada merosotnya kualitas pendidikan. 207 Pemecatan guru-guru yang dituduh PKI tidak hanya berlaku di NTT, tetapi terjadi di tempat lain di Jawa. Selama bertahun-tahun, sekolah kehilangan tenaga pengajar yang handal. Pengganti tenaga guru yang dipecat seringkali guru yang tidak mempunyai pengalaman mengajar. Bahkan di beberapa sekolah, pengganti guru adalah para pelaku kekerasan. 208

206 Kesaksian Mariyam Labonu dalam “Dengar Kesaksian KKPK” di Palu, 27 Desember 2012. 207 Untuk hal ini lihat investigasi yang menarik; Paoina Bara Pa dan Dorkas Nyake Wiwi, 2012, “Penghancuran

Perempuan Guru Sabu – Raijua oleh Negara”, dalam (ed) Mery Kolimon dan Liliya Wetangterah, Op.cit., hlm. 125-186.

208 Situasi ini yang memperkokoh benteng impunitas. Wawancara dengan Sumbino, 14 September 2011, Boyolali, Jawa Tengah.

POLA KEKERASAN

Para perempuan yang mendapat penyiksaan dan kekerasan seksual jarang memberikan kesaksian, sebagai akibat dari trauma dan stigma yang melekat pada diri mereka. Situasi ini pula yang membuat pelaku merasa bebas untuk bertindak sewenang-wenang. Rezim militer yang keji dengan menggunakan penyiksaan terhadap perempuan terus berulang dan tanpa pelaku mendapatkan hukuman.

Selain itu korban dan keluarga korban yang telah dibebaskan dari hukuman penjara oleh rezim Orde Baru, di masyarakat masih berlaku stigma “tidak bersih lingkungan”. Stigma itu berdampak bagi korban dan keluarganya sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Di kalangan warga di lingkungan tempat tinggal korban, secara tidak langsung tidak mau membantu korban dan keluarga, karena takut dianggap “tidak bersih lingkungan”. Demikian pula anak korban senantiasa menjadi pergunjingan di masyarakat sebagai anak komunis. Juga, mereka masih sulit untuk mendapatkan pekerjaan, terutama untuk bekerja di lingkungan pegawai negeri atau ketentaraan dan kepolisian. Dibatasinya ruang pekerjaan bagi korban dan keluarga korban dari pengaruh kebijakan keadaan darurat yang diciptakan negara. Bisa dikatakan, korban dalam sepanjang hidupnya mengalami kehidupan yang darurat alias tidak menentu. Situasi seperti itu pada korban dan keluarganya memperkuat landasan impunitas terhadap pelaku. Kokohnya benteng impunitas membuka ruang bagi keberulangan pelanggaran HAM yang berat.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111