Hukum sebagai Alat Kontrol
A.2. Hukum sebagai Alat Kontrol
Hukum juga dikreasi sebagai mekanisme untuk mengontrol masyarakat. Secara sistematis Orde Baru melakukan pembungkaman dan kontrol melalui berbagai cara, termasuk membentuk berbagai hukum untuk mendukung kebijakan kontrol tersebut.
Pembatasan Informasi. Demonstrasi menentang pemberlakuan SIUPP kepada media. (Foto: ELSAM)
Kontrol terhadap kebebasan berekspresi: pelarangan buku dan barang cetakan lainnya 391
Orde Baru membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat berupa pelarangan terhadap buku-buku dan barang cetakan, yang melanjutkan masa pemerintahan Soekarno. Pada 14 September 1956, muncul Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat selaku penguasa militer, yang berisi pelarangan untuk mencetak, menerbitkan, dan sebagainya, terbitan yang mengandung kekejaman, persangkaan,
390 Usep Setiawan, “Warisan Otoritarianisme di Lapangan Agraria: Praktik-Praktik Penguasaan dan Pengelolaan Agraria di Indonesia”, makalah disampaikan dalam Konferensi Warisan Otoritarianisme bertema “Mempertanyakan Transisi: Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia”, diselenggarakan oleh ELSAM, PUSDEP Universitas Sanata Dharma, dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), 17-19 November 2005, di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
391 Lebih lengkap lihat Jaringan Kerja Budaya, 1999, Menentang Peradaban: Pelarangan Buku di Indonesia, ELSAM.
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, mengandung penghinaan, atau memuat pemberitaan yang membuat keonaran di masyarakat. Berbagai media massa terkena dampak peraturan tersebut, di antaranya pemimpin Redaksi Bintang Timur dan Mochtar Lubis yang memimpin harian Indonesia Raya.
Rezim Orde Baru kemudian membentuk Penetapan
Penyitaan
Presiden No. 4/1963 tentang Pengamanan Barang
barang cetakan
Tjetakan Jang Isinja Dapat Mengganggu Ketertiban
yang telah
Umum sebagai UU No. 4/PNPS/1963 melalui UU No.
dilarang
5/1969. Ketentuan ini mengatur tentang pelimpahan
dilakukan oleh
wewenang melarang buku dan pendefinisian
Kejaksaan, bekerja
‘ketertiban umum’ kepada Jaksa Agung dan
sama dengan
menghapus semua ketentuan lain yang berkenaan
kepolisian atau
dengan pelarangan buku. Dampaknya, hampir seluruh
aparat keamanan
mekanisme untuk melarang diserahkan ke Jaksa
yang ‘mempunyai
Agung, di mana semua penerbit dan percetakan
wewenang
mengirimkan contoh cetakan kepada kejaksaan
memelihara
setempat paling lambat 48 jam setelah dicetak, dan
ketertiban umum’.
penyitaan barang cetakan yang telah dilarang dilakukan oleh Kejaksaan, bekerja sama dengan kepolisian atau aparat keamanan yang ‘mempunyai
wewenang memelihara ketertiban umum’. Setelah adanya perubahan politik pada tahun 1965, pelarangan juga dilakukan
Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan pada 30 November 1965. Pelarangan tersebut menyatakan bahwa untuk mengadakan tindak lanjut dalam upaya menumpas ‘Gerakan 30 September’ khususnya di bidang mental ideologi, dipandang perlu melarang buku-buku pelajaran, perpustakaan, dan kebudayaan yang dikarang oleh oknum-oknum dan kegiatan ormas atau orpol yang dibekukan untuk sementara waktu. Pelarangan ini diperluas jangkauannya terhadap buku yang dikarang oleh sejumlah nama yang dicantumkan dalam lampiran pelarangan tersebut.
Pada saat itu, Kopkamtib memiliki wewenang besar untuk menggunakan semua peralatan represif dan aparat pemerintah lainnya dalam menjalankan tugasnya, termasuk kewenangan memberikan instruksi kepada Kejaksaan Agung untuk menjatuhkan larangan, jika tidak melakukannya sendiri. Pasca-1965, Angkatan Darat dan elemen-elemen pendukung Orde Baru lainnya, membentuk sejumlah keputusan penting menyangkut pelarangan buku, salah satunya adalah TAP XXV/MPRS/1966 yang membubarkan PKI dan melarang ajaran-ajaran Maxisme-Leninisme/ Komunisme.
Penebitan buku maupun majalah juga mendapatkan imbas dari pelarangan. Pada Desember 1978, Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro mengeluarkan
POLA KEKERASAN
keputusan melarang impor, perdagangan, dan peredaran segala barang cetakan dengan aksara Cina. 392 Pada Januari 1979, aturan tersebut diperketat dengan Keputusan Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika yang melarang aksara Cina dalam penerbitan pers dan non-pers di Indonesia, dengan dasar adanya kawat dari Kopkamtib. Pembatasan ini diperkuat lagi pada Juni 1979 oleh Jaksa Agung yang melarang peredaran barang cetakan dengan bahasa dan aksara Cina Mandarin atau dialek lainnya. 393
Pada awalnya pelarangan buku dilakukan serampangan oleh berbagai instansi dan umumnya melibatkan militer dan terpusat di Kopkamtib. Pada tahun 1968-1977, Kejaksaan Agung sebagai pemegang kuasa, tercatat hanya mengeluarkan 10 surat keputusan melarang. Sejak tahun 1978, peran Kejaksaan Agung semakin penting dan lebih aktif dalam melakukan pelarangan. Dalam perjalanannya, terdapat 2 lembaga yang secara langsung menghubungkan Kejaksaan dengan aparat keamanan dan birokrasi sipil, yakni Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida), yang tugasnya antara lain berkoordinasi dengan seluruh aparat negara di tingkat daerah untuk mencegah dan menganggulangi gangguan ketenteraman dan ketertiban di masyarakat. Di tingkat provinsi, lembaga ini terdiri dari jaksa tinggi, gubernur, pangdam, kapolda, dan di tingkat kabupaten terdiri dari kepala kejaksaan negeri, bupati atau walikota, dandim, dan kapolres. Dalam forum ini, gangguan keamanan seperti peredaran buku-buku ‘berbahaya’, sering dibicarakan dan menjadi bahan pertimbangan kejaksaan setempat untuk mengambil tindakan. Lembaga lainnya adalah Bakorstanas sebagai pengganti Kopkamtib, yang mempunyai tugas hampir mirip dengan Muspida, namun tekanannya lebih besar pada aspek keamanan.
Pada tahun 1989, muncul keputusan membentuk clearing house yang berfungsi meneliti isi sebuah buku dan memberi rekomendasi langsung kepada jaksa agung. Pembentukan clearing house ini tidak menyelesaikan masalah penindakan sepihak dari lembaga lain, sehingga semakin menunjukkan pemerintah Orde Baru sebagai rezim pelarangan, yang bertujuan mengontrol pikiran dan pendapat masyarakat.
Kontrol terhadap Perempuan Dalam rangka mendukung adanya stabilisasi politik dalam negeri, setelah
membersihkan panggung politik dari organisasi-organisasi berideologi kiri dan menertibkan warga dengan politik masa mengambang, Orde Baru makin memperkuat ketertiban warga dengan menggunakan peran “yang dilekatkan” pada perempuan untuk mendukung stabilisasi politik ini.
392 Surat Keputusan Menteri No. 286/KP/XII/78 393 SK No. Kep-029/JA/6/1979
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
Dalam upaya menjaga jalannya dan suksesnya
Orde
“ideologi pembangunan” ini pula dilakukan
Baru makin
maksimalisasi peran perempuan yang lain. Dalam
memperkuat
politik pangan misalnya, untuk menjaga kelangsungan
ketertiban
pembangunan mutlak diperlukan jaminan
warga dengan
keseimbangan antara supply and demand di bidang
menggunakan
pangan. Artinya, dibutuhkan adanya jaminan
peran “yang
pengendalian penduduk sehingga jumlah pangan yang
dilekatkan” pada
tersedia dapat memenuhi kebutuhan, bila tidak, hal ini
perempuan untuk dapat memicu gejolak sosial. Kepentingan ini bertemu mendukung dengan kepentingan negara dunia pertama yang juga
tengah melakukan usaha pengendalian penduduk
stabilisasi politik.
dunia yang mendorong penggunaan sistem family planning atau keluarga berencana.
Berkaitan dengan hal ini, perempuan menjadi salah satu sarana penting. Secara resmi, program ini dicanangkan sebagai progam nasional oleh pemerintah. Program ini juga dimasukkan dalam salah satu “program pembangunan” yang penting sepanjang era 70an sampai bahkan 80an dan ia memiliki jangkauan yang sangat luas dan melibatkan banyak organisasi masyarakat. Peran perempuan semakin diintegrasikan ke dalam program pemerintah yang sebenarnya tidak memungkinkan mereka mengambil inisiatif lain untuk membela nasib. Ini berarti secara perlahan- lahan, konsep “citra perempuan” yang sebelumnya memperoleh pembenaran dari agama tersebut, lambat laun menjadi sebuah instrumen negara dalam menciptakan “kebenaran umum” yang diakui seluruh warga. Peneguhan dalam ajaran agama semakin mengukuhkan “kebenaran umum”, sebagaimana dikehendaki oleh negara.
Ketentuan tersebut semakin merugikan perempuan beberapa tahun kemudian, khususnya mulai tahun 1978. Saat itu masyarakat dunia mulai mengembangkan konsep Women in Development, yang mendorong besarnya tingkat partisipasi perempuan di wilayah publik. Ketentuan-ketentuan dalam RUU Perkawinan itu mengakibatkan kerugian di berbagai bidang seperti dalam kebijakan pengupahan yang diskriminatif antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan mendapat upah lebih rendah daripada laki-laki karena kedudukan mereka sebagai istri yang menempatkannya lebih rendah daripada suami; dalam komponen upah untuk buruh perempuan tidak ditemukan komponen tunjangan untuk suami karena mereka dianggap sebagai pencari nafkah tambahan saja, padahal di lain pihak suami mendapatkan tunjangan untuk istri.
Pada tahun 1974 terbentuk UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU ini mengukuhkan pembagian kerja secara seksual, yakni posisi suami adalah kepala keluarga, sedangkan istri adalah ibu rumah tangga. Juga lahir PP 10 yang membatasi pegawai pemerintah dan ABRI berpoligini. Dengan dikukuhkannya
POLA KEKERASAN
pembagian kerja secara seksual ini, menempatkan posisi suami lebih tinggi dibandingkan dengan istri, yang berdampak melemahkan posisi tawar para istri dalam keputusan kerumahtanggaan. Karena itu, pegawai pemerintah dan ABRI tetap ditemukan berpraktik poligini dan PP 10 acap kali kehilangan daya otoritatif. 394
Kontrol terhadap Perempuan. Unjuk rasa anti Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan di Gedung MPR/DPR, Jakarta, 1973. (Foto: TEMPO/ Syahrir Wahab)
Pasal 31 (3) UU Perkawinan menegaskan pembagian kerja secara seksual sangat ketat, yang mengatur tentang peran istri dan suami, yaitu suami adalah kepala keluarga, sementara istri adalah ibu rumah tangga. Sementara Pasal 34 menyebutkan tugas istri adalah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, dan tugas suami adalah melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya.
Pembagian peran privat dan publik antara perempuan dan laki-laki ini menyebabkan tidak sederajatnya hak perempuan di masyarakat. Karena perempuan bukan dianggap sebagai pencari nafkah utama, maka ketika bekerja, perempuan tidak mendapat tunjangan atau tunjangannya lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki. Pasal tersebut telah menutup mata terhadap kenyataan di masyarakat bahwa
394 Ruth Indiya Rahayu, “Militerisme Orde Baru dan Ideologi Konco Wingking: Pengukuhan Ideologi Perempuan Indonesia secara Pemaknaan Ksatria Jawa”, makalah disampaikan dalam Diskusi Panel Paradigma Penguasaan Agraria di Indonesia, sebagai bagian dari Konferensi Warisan Otoritarianisme bertema “Mempertanyakan Transisi: Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia”, diselenggarakan oleh ELSAM, PUSDEP Universitas Sanata Dharma, dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), 17-19 November 2005, di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
banyak perempuan yang menjadi kepala rumah tangga. Situasi ini juga membuka peluang bagi kapitalisme untuk menindas perempuan dengan pembenaran peraturan negara. Dampak pernyataan ini, untuk pekerjaan yang sama pendapatan perempuan lebih kecil karena tidak dianggap sebagai pencari nafkah utama. 395
Kontrol terhadap Lembaga Pendidikan Pemerintahan Orde Baru mendapatkan jalan mulus untuk meraih kekuasaan dan
memastikan seluruh pihak yang dianggap lawan-lawan politiknya mati, baik dalam arti harfiah maupun secara sosio-politis. Pada Sidang Umum MPRS, terbit ketetapan MPR yang langsung berkaitan dengan perubahan pengajaran di sekolah, yakni TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966 yang menyatakan agama menjadi mata pelajaran di sekolah mulai dari sekolah dasar sampai universitas negeri.
Kemudian, seiring dengan meningkatnya gerakan mahasiswa pada tahun 1977-1978, yang mengkritik Suharto, dinilai sebagai gerakan yang membahayakan kekuasaan dan mengingatkan Suharto untuk menempatkan pendidikan sebagai bagian dari alat kepentingannya. Pendidikan, baik dalam proses maupun isi, menjadi alat untuk menundukkan sikap dan keyakinan politik para siswa. Sejumlah cara dilakukan Suharto untuk menjadikan pendidikan menjadi alat kekuasaan yang efektif, di antaranya pelarangan kegiatan politik, terutama bagi para mahasiswa.
Pemberlakuan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan
Pendidikan,
Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), menjadikan
baik dalam
pelarangan tersebut berjalan efektif dan praktis
proses maupun
mematikan kegiatan politik di kampus perguruan
isi, menjadi
tinggi. Menteri Pendidikan membentuk SK
alat untuk
No.0156/U/1978, yang mengarahkan mahasiswa hanya
menundukkan
pada jalur akademik dan menjauhkannya dari aktivitas
sikap dan
politik karena dinilai dapat membahayakan posisi
keyakinan politik
rezim. Selain itu, Pangkopkamtib Sudomo juga
para siswa.
membekukan Dewan Mahasiswa dan sebagai gantinya membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK Menteri P&K No. 037/U/1979,
kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi Tahun 1978 tentang
395 Maria Hartiningsih, “Mengais Remah-Remah: ‘Kebertahanan’ Ekonomi Perempuan”, makalah disampaikan
dalam Diskusi Panel Paradigma Penguasaan Agraria di Indonesia, sebagai bagian dari Konferensi Warisan Otoritarianisme bertema “Mempertanyakan Transisi: Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia”, diselenggarakan oleh ELSAM, PUSDEP Universitas Sanata Dharma, dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), 17-19 November 2005, di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
POLA KEKERASAN
Pokok-Pokok Pelaksanaan Penataan Kembali Lembaga Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Dengan konsep NKK/BKK ini, peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerja sama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Cara lain yang digunakan adalah menambah muatan pelajaran ideologis. Di tingkat perguruan tinggi, perubahan kurikulum terjadi dengan diberlakukan ketentuan wajib bagi setiap mahasiswa untuk mengikuti penataran P4, sebagaimana diatur dalam penjelasan TAP MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Di sekolah dasar dan menengah, diberlakukan mata pelajaran wajib Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Keterangan tentang PSPB terdapat dalam TAP MPR No. II/MPR/1983 tentang GBHN. Di luar pelajaran PSPB, materi pelajaran dalam buku-buku lain seperti PPKN, bermuatan ideologi kekuasaan, dengan memberikan pelajaran yang sarat dengan muatan ideologis penguasa seolah-olah sudah menjadi jaminan bahwa setiap murid akan bersikap dan berperilaku seperti para penguasa.
Para Petinggi Militer. Dari kiri, Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana Sudomo, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Poniman, Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) Jenderal M. Jusuf, dan Panglima ABRI (Pangab) L.B. Moerdani dalam upacara perpisahan Jenderal M. Jusuf sebagai Menhankam di Parkir Timur Senayan, Jakarta, 1983. (Foto: TEMPO/Ilham Soenharjo)
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
Orde Baru juga melakukan screening dan kontrol terhadap kegiatan ‘klandestin’ yang dilakukan para pelajar, terutama mahasiswa. Screening dilakukan berkaitan dengan kemungkinan keterlibatan para pelajar, utamanya mahasiswa, dengan keturunan keluarga partai terlarang. Sedangkan kontrol kegiatan mahasiswa dilakukan dengan menggunakan Badan Intelejen sebagai perpanjangan tangan. 396
Paket UU Politik Tahun 1985 Pada tahun 1985, Orde Baru mengeluarkan lima UU Politik, yakni 1) UU No. 1/1985
tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota- Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No. 4 Tahun 1975 dan UU No. 2 Tahun 1980; 2) UU No. 2 Tahun 1985 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No. 5 Tahun 1975; 3) UU No. 3 Tahun 1985 tentang Perubahan atas UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya; 4) UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum; dan 5) UU 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Paket UU tersebut merupakan UU yang mengukuhkan supremasi lembaga kepresidenan dan unsur eksekutif untuk menutup peluang perimbangan kekuasaan, dan didesain untuk mempertahankan monopolistik eksistensi rezim Orde Baru. Paket UU ini juga merupakan jalan mulus bagi proses pembentukan format politik rezim Orde Baru yang otoriter dan hegemonik.