Penggusuran dan Pemindahan Paksa

A.2. Penggusuran dan Pemindahan Paksa

Sama seperti kasus perampasan tanah, penggusuran dan pemindahan penduduk terjadi karena wilayah konsesi pertambangan yang diberikan pemerintah kepada perusahaan tumpang tindih dengan wilayah pemukiman dan penghidupan penduduk asli. Di Kelian, Kutai Barat, Kalimantan Timur, orang-orang Kelian yang tinggal di daerah Muara Bayaaq dipindahkan secara paksa ke daerah Kampung Baru pada tahun 1987 karena tempat tinggal mereka berada di dekat daerah pertambangan emas PT KEM (Kelian Equatorial Mining). 212 PT KEM merupakan perusahaan tambang bentukan Rio Tinto, perusahaan tambang asal Australia dengan PT Buana Jaya Raya Indonesia, perusahaan tambang lokal asal Jakarta. PT KEM mendapatkan izin tambang di wilayah Kelian seluas 86.233,5 hektare dari pemerintah Indonesia pada tahun 1985. 213

Sejak awal kedatangan Rio Tinto ke wilayah Kelian pada awal tahun 1970an, perusahaan ini tidak mau mengakui keberadaan penduduk asli Kelian sekalipun orang Kelian sudah menjadi penambang emas di sepanjang Sungai Kelian sejak tahun 1937. Sebelum perusahaan ini datang ke Kelian, terdapat sekitar 2.000-4.000 orang Kelian yang menggantungkan hidupnya dengan menjadi penambang emas di wilayah itu. Mereka dikenal dengan sebutan pangerebo. Penyangkalan ini bertujuan menghindari pembayaran kompensasi atas kerugian penduduk asli Kelian yang kehilangan mata pencahariannya karena aktivitas PT KEM.

211 Lihat B. Giay dan Y. Kambai, 2003, Yosepha Alomang, Pergulatan Seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan, Abepura: ELSHAM Papua. 212 “Studi Kasus 44: Konflik Masyarakat Adat dengan PT Kelian Equatorial Mahakam (KEM) di Kelian, Kalimantan Timur”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK. 213 Kontrak karya PT KEM ditandatangani oleh Presiden Suharto dalam SK Nomor B-06/Pres/1/1985 pada 21

Februari 1985.

POLA KEKERASAN

Sejak resmi mendapatkan izin dari pemerintah, PT KEM mengeluarkan surat larangan penambangan emas, pembukaan ladang, perkebunan, atau kegiatan pertanian di Prampus, daerah aliran Sungai Kelian, yang merupakan wilayah kerja aktif perusahaan. Tindakan perusahaan ini dikuatkan oleh surat Camat Long Iram. Sebelum PT KEM melakukan tahapan studi kelayakan, Camat meminta para pangerebo untuk meninggalkan lokasi tambang rakyat dengan alasan keamanan dan rencana operasi tambang PT KEM di kawasan tersebut.

Penggusuran orang-orang Kelian sudah mulai dilakukan pemerintah sejak tahun 1982. Penggusuran ini memuncak pada tahun 1987 ketika PT KEM mengumumkan bahwa keberadaan tambang rakyat tidak pernah ada secara formal. Tercatat bahwa sepanjang tahun 1982 hingga 1991, ada sekitar 500-an pondok pangerebo yang dibongkar paksa dan dibakar oleh aparat keamanan bersama petugas PT KEM. PT KEM mendapat dukungan dari tentara dalam mengamankan operasinya sehingga wilayah operasi PT KEM terus-menerus dijaga oleh tentara dalam kurun waktu yang cukup lama.

Area Operasi Kelian. Pertambangan emas PT Kelian Equatorial Mining (KEM) milik Australia di Kalimantan Timur, 1991. (Foto: TEMPO/ Hidayat S.G)

PT KEM juga diduga terlibat dalam aksi pembakaran kampung-kampung pangerebo di Kalimantan Timur. Beberapa orang yang melakukan protes atas aksi PT KEM dimasukan ke dalam penjara oleh aparat kepolisian. Tidak kurang dari 379 rumah milik penduduk lokal dibakar oleh perusahaan dengan bantuan aparat keamanan. Selain pembakaran rumah penduduk, perusahaan ini juga memiliki catatan pelanggaran berupa perkosaan dan pelecehan seksual oleh pekerja PT KEM terhadap perempuan desa.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Peristiwa serupa juga terjadi di Kalimantan Tengah. PT Indo Muro Kencana (PT IMK) merupakan perusahaan tambang milik Archipelago Resources, perusahaan tambang asal Australia 214 , yang memiliki izin operasi di wilayah kaki Gunung Puruk Kambang, Serujan Timur, Kabupaten Murung Raya. Perusahaan ini mendapatkan izin kontrak karya dari Presiden Suharto pada tahun 1985. 215 Keputusan Suharto ini memberikan ruang bagi PT IMK untuk melakukan eksploitasi penambangan emas di Kecamatan Permata Intan, Murung, dan Tanah Siang, Kabupaten Barito Utara.

Operasi pertambangan PT IMK menuai protes dari masyarakat adat yang sudah mendiami kawasan sekitar Gunung Puruk Kambang, Barito Utara, selama bertahun- tahun. 216 Bagi masyarakat adat Dayak dan umat agama Kaharingan, Gunung Puruk Kambang merupakan kawasan yang sangat suci dan sakral. Operasi PT IMK menciptakan pencemaran lingkungan padahal kawasan itu sudah ditetapkan sebagai situs cagar budaya pada tahun 1994. Pencemaran lingkungan terjadi di beberapa sungai yang terletak di dekat kawasan itu, seperti Sungai Pute, Manawing, dan Mangkahui. Penghilangan sungai di Pit Sarujan juga terjadi, seperti Sungai Sarujan, Salampong, Lahing, Kalang Tantatarai, Takukui, Sangiran Lika, Sangiran Ma’lu, Tino, Hanjung, Mahaloe, dan Nangor.

Pemberian konsesi ini membuat konflik yang

Lingkungan

berkepanjangan antara PT IMK dengan masyarakat

hutan menjadi

adat setempat. Operasi penambangan PT IMK

“supermarket”

membuat bentang lahan hutan yang ada di Gunung

dan “apotik”

Puruk Kambang berubah dan mengakibatkan

bagi masyarakat

terjadinya gejolak sosial. Sebelum PT IMK masuk ke

Dayak. Kini,

wilayah ini, lingkungan hutan menjadi “supermarket”

fungsi itu sudah

dan “apotik” bagi masyarakat Dayak. Kini, fungsi itu

tidak ada lagi.

sudah tidak ada lagi, sebagaimana yang dituturkan oleh Thomas Wanly,

“Dulu ikan, binatang buruan, burung-burung, sayur-sayuran, dan obat-obatan sampai peralatan rumah tangga, juga perlengkapan ritual adat gratis dari hutan dengan aturan pemanfaatan terbatas dengan penuh kearifan.” 217

Tidak hanya itu, ribuan masyarakat Dayak Siang, Murung, dan Bakumpai kehilangan ladang karena ladang mereka menjadi wilayah operasi PT IMK. Mereka mendapat

214 Archipelago Resources saat ini menjadi pemilik PT IMK. Perusahaan ini membeli saham PT IMK dari Aurora

Gold, perusahaan tambang asal Australia juga. Sekalipun sudah berganti kepemilikan, Aurora Gold masih bertanggung jawab atas reklamasi semua lubang tambang yang ada di wilayah operasi PT IMK.

215 Kontrak karya PT IMK ditandatangani oleh Presiden Suharto dalam SK bernomor B-07/Pres/1/1985 pada 21 Januari 1985. Kontrak karya ini berlaku selama 30 tahun, sejak Februari 1985 hingga Februari 2014. 216 “Studi Kasus 45: Perampasan dan Perusakan Tanah Adat Dayak Siang oleh PT Indo Muro Kencana (IMK) di

Kalimantan Tengah”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK. 217 Thomas Wanly, “Perkumpulan Punan Arung Buana”, diakses dari http://nusantara-mancanegara.pelitaonline.

com/news/2013/03/25/indo-murokencana-hancurkan-kawasan-cagar-budaya-dayak#.Ucku1GAkj3B .

POLA KEKERASAN

ganti rugi yang sangat minim sehingga harus hidup dengan menjadi penambang liar. Mereka digusur sedikit demi sedikit sejak tahun 1982. Sebagian masyarakat melakukan protes dengan tetap bertahan di atas lahan tambang milik mereka. Protes ini direspon PT IMK dengan meminta kekuatan satuan Brigade Mobil (Brimob) untuk membuat masyarakat adat meninggalkan lahan tambang mereka. Aparat yang ada di lokasi langsung membongkar rumah-rumah penduduk dengan menggunakan linggis dan martil, bahkan ada dugaan kalau sebagian rumah diratakan dengan tanah menggunakan alat-alat berat yang disediakan oleh PT IMK.

Peristiwa itu menimbulkan ketegangan serius, bahkan sebagian masyarakat yang tidak sempat diangkut truk memilih lari ke hutan dan mengungsi ke kampung- kampung terdekat. Tindakan kekerasan itu tampaknya dilakukan dengan persiapan panjang, dan masih menjadi bagian peristiwa serupa yang terjadi pada 29 Maret 2000. Saat itu, masyarakat adat penambang di lokasi tambang Serujan dipaksa meninggalkan wilayah itu dengan todongan senjata dari aparat keamanan bersenjata laras panjang. Selain itu, ada pengumuman tertulis dari Bupati Barito Utara tentang Penegasan Pengumuman Penertiban Penambang Tanpa Izin di Areal Kontrak Karya PT IMK yang menyatakan bahwa semua penambang di areal PT IMK harus segera meninggalkan lokasi penambangan terhitung mulai 3 Juni 2000. Penambang yang masih bertahan, terutama di lokasi Permata, Betmen, dan Halubai, akan dianggap sebagai penambang tanpa izin (PETI) yang melawan hukum dan akan ditindak tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di Luwuk, Sulawesi Selatan, masyarakat adat Karunsi’e

“Ditembak

di Kampung Dongi harus tergusur dari tanah leluhur

saya mati siap

mereka karena aktivitas penambangan PT International

membela hak

Nickel Indonesia (PT Inco), sebuah perusahaan

anak cucu saya,

tambang asal Kanada, sejak tahun 1967. Beberapa

daripada mati

tahun sebelum kedatangan PT Inco, masyarakat adat

ditembak karena

Karunsi’e meninggalkan tempat tinggal mereka yang

korupsi.”

terletak di Kampung Dongi karena merasa keselamatan mereka terancam akibat peristiwa pemberontakan DI/TII dan dilanjutkan dengan peristiwa

Gerakan 30 September pada masa itu. Mereka baru kembali pada tahun 1967 setelah kondisi di sana mulai tenang. Ketika sampai di Kampung Dongi, mereka menemukan bahwa PT Inco telah beroperasi di sana dengan melakukan penambangan bijih nikel. Pemerintah telah melakukan kontrak karya dengan PT Inco di kampung mereka tanpa pernah berkonsultasi lebih dahulu dengan masyarakat adat Karunsi’e sebagai pewaris wilayah adat itu. Masyarakat adat Karunsi’e melakukan protes dengan mencoba menduduki lahan mereka, namun protes mereka ditanggapi dengan aksi kekerasan dari aparat keamanan. Jardin Kololi, anggota masyarakat adat Karunsi’e, menuturkan peristiwa tersebut.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

“PT Inco masuk dan mulai mengelola nikel. Tambang di sana [adalah] kedua terbesar di dunia dan [PT Inco] masuk atas izin pemerintah pusat dan [meng]klaim bahwa tanah kami mereka sudah bayar dan masuk dalam kontrak karya mulai 1968. Kami tidak bisa buat apa-apa. Kami takut, apalagi ada korban peristiwa 1965 sehingga kami diam. Pada Mei 1999 kami coba tanya ke pemerintah dan dihalangi. Ketika saya datang ke Dongi, sudah digusur semuanya. Pada tahun 1967 dibakar [oleh] gerombolan DI/TII, dan tahun 1978 sudah digusur PT Inco dan dijadikan lapangan golf. Kami bertanya bagaimana bisa pemerintah lebih memilih investor asing daripada melindungi kami. Pada Mei 2002, kami mengajak beberapa teman. Kami bertindak menduduki lahan, tapi yang terjadi [adalah] kami menjadi bulan- bulanan polisi dan dibawa ke sana kemari, diinterogasi, dan puncaknya tanggal 17 April 2003, Kapolsek Nuha Let 1, Abdul Tamimi, datang ke tempat kami. Saya sedang [men]cangkul [ketika] dia datang dengan anggotanya bersenjata lengkap dan perintah tembak. Saya buka baju dan bilang, ‘Siap, Pak! Ditembak saya mati siap membela hak anak cucu saya daripada mati ditembak karena korupsi.’

Saya disiksa, diseret, dan dibuang ke mobil polisi lalu dibawa ke kantor security terdekat [bersama] seorang kemenakan saya, perempuan. Kami diintimidasi dari pagi sampai jam 4 sore dan kami pulang jalan kaki. Selama beberapa bulan ditangkap, [kami] dipanggil kembali, diinterogasi selama 3 bulan. Saya dimasukan ke tahanan, tidak pernah ditanya apa kesalahan [saya]. Terakhir, saya ditangkap dengan tuduhan melawan pemerintah, melawan PT Inco, dan menyerobot tanah perusahaan. Bagaimana bisa? Ini tanah saya. Saya ditanya camat apa [saya] ada sertifikat? Saya bilang saya punya nenek moyang tidak tahu sertifikat dan beberapa tahun kami tidak pernah diberi kesempatan hidup layak. Terakhir, saya dipanggil dan disuruh keluar dari lokasi. Saya juga beruntung sudah ada yang mau mengikuti saya. Di lokasi tempat saya sekarang sudah ada 54 KK [kepala keluarga]. Yang lain masih bertebaran di luar karena masih takut dengan intimidasi di masa lalu.

Kami tidak punya tanah lagi. Sawah sudah ditenggelamkan. Air kami yang dulu untuk sawah tapi sekarang jadi air mata. Kami menonton kekayaan alam kami dibawa keluar. Daerah saya terkaya di Sulawesi Selatan karena targetnya 100 ton nikel per bulan dan kami sampai sekarang tidak bisa kami nikmati. Keadaan perempuan-perempuan kami yang dulu bisa ada kegiatan, sekarang ini tidak bisa lagi karena tidak ada hutan tidak ada sawah. Banyak kawin kontrak di sana; kawin 3 bulan cerai lagi. Banyak kafe di pinggir jalan, katanya dilindungi.” 218

218 Kesaksian Jardin Kololi dalam Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan Berbasis Sumber Daya Alam, Jakarta, 28 November 2013.

POLA KEKERASAN

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111