Penyerangan terhadap Warga Sipil dan Pembunuhan

B.1. Penyerangan terhadap Warga Sipil dan Pembunuhan

Pada tahun-tahun menjelang Pepera, terjadi kekerasan dan bentrokan antara tentara Indonesia dengan OPM. Tentara Indonesia juga seringkali melancarkan serangan militer terhadap warga sipil. Berdasarkan cerita para korban, terungkap bahwa operasi militer semakin intens dilakukan pada bulan-bulan menjelang Pepera dilaksanakan.

Di Manokwari, Organisasi Papua Merdeka dibentuk tahun 1965 untuk merespons represi tentara Indonesia. Pada 28 Juli 1965, pasukan OPM menyerang pos militer Indonesia di Arfai. Dalam pertempuran itu, 18 tentara Indonesia dan 4 personel OPM tewas. Kemudian OPM melancarkan serangan-serangan lainnya di wilayah Kepala Burung (Manokwari dan Sorong). Serangan itu dibalas oleh tentara Indonesia dalam sebuah operasi yang disebut Operasi Sadar. Serangan itu juga menyasar warga sipil di Kebar, Saukorem, Prafi, Ransiki, Wefiani, Wekari, dan Saukorem. Tentara

POLA KEKERASAN

memaksa penduduk untuk wajib lapor, membakar desa, menyita hewan ternak, dan melakukan serangan udara, salah satunya merusak atap gereja di Kebar. 112

Banyak penduduk melarikan diri ke hutan, hidup tanpa makanan, perumahan, atau obat yang memadai. Salah seorang warga Manokwari, AE, menceritakan pengalamannya mengungsi ke hutan, ketika terjadi penyerangan di Manokwari. Ia bercerita:

“Mulai terjadi peristiwa Awom di Arfai pada 28 Juli 1965. Jadi pada malamnya peristiwa itu, keluarga dan masyarakat banyak mengungsi ke hutan untuk selamatkan diri. Saya ikut rombongan sepanjang kali. Sampai di suatu tempat, oii kami bertemu rombongan besar, itu semua pelarian ketemu. Semua suku dari 9 suku, duduk di bawah pohon, anak-anak menangis. Kami lari terus masuk hutan ... Saya dan istri yang sedang hamil tua, jadi kami terpaksa dipisahkan dari rombongan. Sampai di Kroaer, istri melahirkan anak perempuan pada hari Sabtu 31 Juli 1965. Setelah istri melahirkan, kami lanjutkan pelarian naik gunung ... sampai di satu kampung, kepala desa tahan kami di situ. Selama ini kan tidak ada bahan makanan, jadi mereka kasih sagu kepada kami. Dua pohon sagu ditebang lalu dipotong, diramas sampai menjadi bekal untuk kami, setelah itu baru kami melanjutkan pelarian.” 113

Penyerangan dan penembakan juga terjadi di Paniai. 114 Di Komopa, tentara Indonesia menembak mati tokoh adat bernama Owaka Nawipa bersama 13 orang lainnya. Selain kasus penembakan terhadap penduduk sipil, militer juga melakukan perkosaan dan penghancuran harta dan ternak. Serangan ini dipicu oleh adanya perlawanan di Komopa, Pasir Putih tahun 1969, yang melibatkan ratusan aparat pemerintah. Perlawanan yang dipimpin Karel Gobay itu berlangsung 3 bulan.

“Peristiwa di Komopa, Pasir Putih. Korbannya, Gibobi Gobay, Nawipatuma, Nawipa, Tenouye, Dumay, dan Bunay. Korban-korban itu ditembak pada waktu peristiwa di mana rakyat menuntut kebebasan. … Waktu itu rakyat juga ‘keras’ untuk meminta kebebasan, sedangkan tentara juga menganggap bahwa ini sudah wilayah Indonesia. Banyak orang yang mati. Saya tidak bisa sebut jumlah. Sedangkan saya punya kampung saja, saya lupa [berapa] anak-anak yang mati.” 115

112 “Studi Kasus 26: Kekerasan Operasi Militer di Manokwari, Papua Barat”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

113 Kesaksian AE dalam “Dengar Kesaksian Tertutup KKPK di Jayapura”, 9 Desember 2013. 114 “Studi Kasus 27: Kekerasan dalam Operasi Militer di Paniai, Papua, 1960-1969”, Narasi Kasus Pelanggaran

HAM 1965-2005, Database KKPK. 115 Wawancara dengan PAN002, September 2011, Arsip KKPK/ELSHAM Papua.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Penduduk di Biak juga mengalami serangan militer dari tahun 1962, termasuk kedatangan pasukan payung Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dari September hingga November. Pada 1963, operasi ini diikuti penembakan dan pembunuhan terhadap pihak yang dianggap sebagai penentang integrasi. 116 Seorang saksi menceritakan: “Kami tidak bermaksud masuk atau lari ke hutan. Tapi Indonesia datang dengan senjata menakutkan. Kami, masyarakat lari masuk hutan, baru dia kejar dan bunuh di hutan.” Seorang perempuan yang lari ke Mandoriai karena takut mendengar kabar bahwa tentara akan datang ke Orkdori, menceritakan pengalamannya saat di pelarian sebagai berikut:

“Waktu tentara operasi sampai di Nasifu tempat kami berkebun, karena rumah- rumah di kebun kosong, mereka bakar dan musnahkan semua kebun, terus mereka memburu kami. Tentara mengejar sampai di Mandoriai tempat kami bersembunyi, mereka menyerang dan langsung menembak kami dalam rumah. Waktu kami ditembak pagi-pagi sekali, waktu itu kami semua masih dalam keadaan tidur. Tentara menembak, kami langsung kaget dan loncat dan lari. Saya kena tembak di tangan kiri. Waktu kami ditembak ada 6 orang yang kena tembak, 3 orang menderita luka tembak sampai meninggal. Setelah itu kami lari masuk hutan, selama kami bersembunyi di hutan tidak makan dan minum yang baik. Pada siang hari, kami sembunyi di hutan dan malam hari kami datang tidur di pondok-pondok yang dibuat untuk berteduh. Di hutan kami makan daun-daun genemo dan daun lain untuk bisa bertahan.” 117

Periode antara tahun 1984-1993, digelar operasi

“Kami tidak

keamanan di wilayah Pantai Timur, Kabupaten

bermaksud

Jayapura. Wilayah ini membentang dari Distrik Bonggo

masuk atau lari

hingga Distrik Sarmi. Wilayah ini berkaitan dengan

ke hutan. Tapi

beberapa peristiwa kekerasan yang bergolak di

Indonesia datang

Jayapura. Peristiwa pertama adalah penahanan dan

dengan senjata

pembunuhan Arnold Ap. Dia adalah seorang seniman,

menakutkan.”

pengarang lagu, dan penyiar radio populer yang dibunuh tahun 1984. 118

Sekitar tahun 1985-1986, beberapa kampung di Distrik Pantai Timur dibakar oleh tentara dari Kesatuan Yonif 751 Jayapura dan Yonif Pattimura/Ambon. Tindakan ini dilakukan untuk memperingatkan Awom dan anggota agar menyerahkan diri. Seorang korban dari peristiwa ini memberi kesaksian tentang situasi yang

116 “Studi Kasus 28: Kekerasan dalam Operasi Militer di Biak, Papua, 1962-1969”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

117 Lihat Op.cit., “Masa Lalu yang Tak Berlalu”, hlm. 16-17. 118 Arnold Ap tewas dibunuh dalam sebuah operasi yang dilakukan oleh Kopassandha, namun tidak diketahui

bagaimana pasukan ini melakukan itu. Lihat Op.cit., Pulangkan Mereka!, hlm. 301.

POLA KEKERASAN

mencekam. Sebelum pembakaran, warga kampung diperingatkan oleh OPM untuk segera mengungsi ke hutan. Setelah sekitar seminggu di hutan, penghuni kampung mulai pulang, meski masih dicekam ketakutan. Ketika mau ke kebun atau ke mana saja, tentara terus ikut mengawasi ruang gerak penduduk. Kalau tentara tidak ikut, warga diberi karcis dan wajib keluar pukul 08.00 dan pulang kembali harus tepat waktu. Kalau tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan, akan mendapat hukuman. Hukuman bagi laki-laki adalah direndam di laut atau kali, sedangkan perempuan dipukul/ditampar.

Tahun 1987 dibentuk operasi Rabene [Rakyat Bela Negara] untuk memburu Melkias Awom di Biak Barat. Pada tahun 1993, ketika pasukan tentara memburu Melkias Awom, mereka membunuh Soleman Daundi. Peristiwa itu berlangsung di kampung Napdori, saat Awom dan Soleman diserang. Soleman ditembak mati oleh batalyon TNI 753-752. Setelah dibunuh, tentara memotong kepala dan tangan Soleman, lalu potongan kepalanya dibawa keluar dan dipertontonkan dari kampung ke kampung di Biak Barat. Sementara ayahnya (Alfius Daundi) ditahan di Kodim Biak Numfor dan disetrum. Selain Soleman, Aleks Daundi juga ditembak di hutan namun jasadnya tidak pernah ditemukan.

Sementara itu, di Paniai pada tahun 1980an digelar operasi militer dengan sasaran Tadius Yogi dan kelompoknya. 119 Sejumlah saksi dan korban menjelaskan banyak warga sipil yang ditahan, dikejar, dan disiksa, gereja dan rumah dibom dari udara dan dibakar. Perempuan diperkosa dan anak-anak dipaksa bekerja sebagai pengangkut barang. Pasukan yang waktu itu beroperasi di Paniai terdiri dari batalyon Hasanuddin, Kopassus, Batalyon 753, dan Brimob. Seorang saksi ketika berumur 12 tahun menceritakan bagaimana operasi brutal tentara dalam mencari Yogi:

“Ada tiga pesawat pemburu datang [dari Jakarta]. Pesawat Pemburu yang pertama, turunkan gernat [bom] dari pesawat di Ipakiye, di tengah-tengah gereja KINGMI. Pemburu yang kedua, membuang gernat, dan jatuh di tengah-tengah TPN-OPM, di Etendini. Pada waktu itu, TPN-OPM bubar. Lalu tentara campuran [gabungan] datang ke Madi, dan masuk ke rumah Pesta Adat, kemudian membakarnya. Dan mereka juga membakar rumah-rumah rakyat. Tentara menangkap serta mencurigai masyarakat, di kampung- kampung, yang sedang bekerja di lapangan (kebun), bila tidak menemukan Yogi. Bahkan rakyat yang tidak cukur kumis, yang tidak mandi, dan yang tidak berpakaian ditangkap oleh ABRI, lalu ditembak, dipukul, dan dipenjarakan. Tanpa salah, rakyat diperlakukan seperti itu?” 120

119 “Studi Kasus 27: Kekerasan dalam Operasi Militer di Paniai, Papua”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965- 2005, Database KKPK. 120 Wawancara dengan PAN006, September 2011, Arsip KKPK/ELSHAM Papua.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Tindak kekerasan dan intimidasi juga banyak dialami

“Mereka

oleh anggota keluarga OPM. Seperti yang dialami oleh

bilang, saya

istri dan ketiga anak Leo Ap (mantan tentara Yonif 751

punya laki kacau,

Sentani) yang dikenakan wajib lapor setiap hari. Leo Ap

jadi jangan

dibunuh dalam sebuah insiden baku tembak dengan

terima bantuan

tentara di dekat kampung halamannya di Biak. Pada

yang datang ke

pameran pembangunan Biak tahun 1987, potongan

kampung. Baru

kepala Leo Ap ditaruh di dalam kaca dan ditutup kain

saya bilang, biar

putih dalam ruang khusus di stand TNI dan akan

sudah. Saya hidup

dibuka jika ada pengunjung yang ingin melihat.

sendiri, Tuhan

Sementara, istri Leo Ap mendapatkan perlakuan

ada.”

diskriminasi dari aparat kampungnya jika ada penyaluran bantuan dari pemerintah. Istri Leo Ap dianggap oleh pemuka desa sebagai pengacau

kampung. 121 Istri Leo Ap menceritakan: “Waktu dia meninggal di hutan itu, potong dia pu leher, badannya tinggal. ...

Masyarakat dan tentara bawa dia pu kepala pake perahu antar ke Wardo. Baru lanjutkan dia pu kepala ke kota. ... Satu minggu baru saya keluar dari hutan. Minggu kedua saya baru ke kota. Saya ke kota, masuk ke pameran. ABRI dong pameran di situ. Saya jalan liat kamar-kamar sampai kamar yang terakhir. Saya masuk di situ, di dalam dong pamer dia pu foto-foto. ... [Waktu] saya angkat kepala baru saya lihat, air mata saya jatuh. ‘Tuhan kenapa begini, kau badan begini baru kepala ada itu. Tapi dong bunuh dia itu kepala tidak ada.’ Suami pu kepala itu dong pamer, pake kain putih dong tutup kepala.’ Habis itu saya tinggal di kampung, dengan anak yang terakhir ini. Saya jualan sampai jam 2 pagi. Karena bantuan-bantuan yang dong drop ke kampung dong tidak mau saya terima. Mereka bilang, saya punya laki kacau, jadi jangan terima bantuan-bantuan yang datang ke kampung. Baru saya bilang, biar sudah. Saya hidup sendiri, Tuhan ada.” 122

Pada masa reformasi, tindakan sewenang-wenang juga masih dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia di Papua. Hal ini terjadi ketika aparat kepolisian melakukan penyisiran terhadap warga Abepura pada 7 Desember 2000 sebagai buntut dari penyerangan Mapolsekta Abepura dan pembakaran ruko. Kelompok penyerang diduga menggunakan atribut ciri khas masyarakat Pegunungan Tengah. Akibat penyerangan itu, seorang anggota polisi terbunuh dan dua lainnya luka. Pada waktu yang berdekatan terjadi penyerangan dan pembunuhan satpam di kantor Dinas Otonomi Kotaraja. Polres Jayapura menggelar operasi pengejaran dan penyisiran

121 Op.cit., “Masa Lalu yang Tak Berlalu”, hlm. 20. 122 Kesaksian IM dalam “Dengar Kesaksian Tertutup KKPK di Jayapura”, 9 Desember 2013.

POLA KEKERASAN

dan kemudian melakukan penangkapan, penyiksaan, pembunuhan kilat, penganiayaan, dan perampasan harta benda. 123

Polisi melakukan penyisiran dan pengejaran dengan menyasar tiga asrama mahasiswa yakni Ninmin, Yapen Waropen, dan Ikatan Mahasiswa Ilaga. Di samping itu, operasi itu juga menyasar pada tiga pemukiman penduduk sipil yaitu di Skyline, Kotaraja, dan Abepantai. Dalam penyisiran itu, pelajar dan mahasiswa dipukul, ditendang, dan dilempar ke dalam truk untuk dibawa ke Mapolsek. Di asrama Yapen Waropen, seorang mahasiswa terserempet peluru. Tindakan serupa juga dilakukan oleh aparat kepolisian di pemukiman penduduk sipil. Satu penduduk Skyline, Elkius Suhuniap, meninggal di tempat.

Pada Februari 2001, Komnas HAM membentuk KPP HAM Abepura. Kasus Abepura masuk dalam kategori pelanggaran HAM yang berat berdasarkan hasil penyelidikan KPP HAM tersebut. Kemudian sesuai amanat UU 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, maka kasus Abepura telah disidangkan di Pengadilan HAM Makassar. Namun proses persidangan sangat lambat dan tertutup. Hakim kemudian memvonis bebas kedua terdakwa yaitu Kombes Polisi Drs. Johny Wainal Usman (Komandan Satuan Brimob Polda Irian Jaya) dan Ajun Kombes Polisi Drs. Daud Sihombing (selaku pengendali dan pelaksana perintah operasi).

123 “Studi Kasus 100: Penyerangan dan Penembakan di Asrama Mahasiswa di Abepura, Papua”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

POLA KEKERASAN

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111