Penangkapan, Penahanan, dan Penyiksaan
D.1. Penangkapan, Penahanan, dan Penyiksaan
Pada masa konflik di Aceh, baik pada masa DOM maupun periode operasi terpadu militer, pihak tentara Indonesia mendirikan pos-pos pemeriksaan di seantero Aceh. Pos itu bertujuan untuk mempermudah pengawasan dan mempersempit ruang gerak anggota GAM. Namun, seringkali pos ini menjadi tempat penyiksaan terhadap warga yang ditangkap dengan pelbagai alasan yang digunakan militer. Pos-pos itu dimanfaatkan pula oleh militer sebagai tempat pungutan liar untuk kendaraan yang melalui pos. Pasukan keamanan Indonesia seringkali melakukan kekerasan terhadap orang yang diberhentikan di pos jaga untuk ditanyai. Selama darurat militer, banyak pos yang didirikan di desa-desa dan membuat kekerasan terhadap penduduk desa meningkat tajam. 187
Sebagai salah satu contoh kasus adalah kasus yang terjadi di Pos Brimob yang terletak di PT. Wira Lanao, Aceh Timur. 188 PT. Wira Lanao diresmikan pada tanggal 30 Juli 1991 oleh Presiden Suharto melalui Menteri Perindustrian RI, Hartarto. Pada 28 Januari 2000, PT. Wira Lanao dibakar oleh orang tidak dikenal. Separuh lebih bangunan pabrik moulding (pengolahan/pembentukan kayu) Wira Lanao beserta ratusan ton kayu olahan hangus terbakar. Akibat kebakaran tersebut, PT. Wira Lanao terpaksa menghentikan usahanya dan mem-PHK 1.700 orang buruh tanpa memenuhi hak para buruh. Tindakan ini mengundang reaksi keras dari buruh dengan melakukan demonstrasi menuntut haknya dibayar penuh.
Aparat polisi dari brimob yang ditugaskan di Polres Aceh Timur lalu ditempatkan di depan PT. Wira Lanao. Keberadaan Pos Brimob di PT. Wira Lanao dikenal sebagai pos yang paling kejam di Kabupaten Aceh Timur pada saat itu. Mereka sering melakukan razia-razia di depan pos dan patroli ke desa-desa di sekitarnya. Setiap malam razia dilakukan. Seorang korban yang pernah ditangkap mengisahkan bahwa dirinya ditangkap dan ditahan di pos. Selama tahanan, dia dirantai seperti binatang. Dia juga mengalami penyiksaan dengan cara dipukul dan disetrum. Dia ditahan selama 15 hari. Selama itu, dia sempat melihat empat orang tahanan lain yang ditahan karena dituduh menggerakkan massa untuk menuntut referendum. Dalam tahanan, Arifin mendengar dari tahanan lain ada tahanan yang dibakar dalam timber (tempat pengawetan kayu). Seorang istri korban menceritakan: “Suami saya pernah ditangkap dan ditahan disitu, dipukul sampai babak belur. Kondisinya parah. Aparat sampai memasukkan moncong senjata ke dalam mulutnya. Tapi suami saya dilepaskan.” 189
187 Ibid, hlm. 24. 188 “Studi Kasus 123: Kekerasan di Dalam Pos Aparat Keamanan Saat Operasi Militer di Aceh”, Narasi Kasus
Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK. 189 Lihat Laporan KontraS Aceh, Di Balik Penemuan Dugaan Kerangka Manusia di Bekas PT. Wira Lanao, Langsa,
dapat diakses di Website KontraS: www.kontras.org, http://kontras.org/data/-Dibalik%20Penemuan%20 Dugaan%20Kerangka%20Manusia-%282%29.pdf.
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
Penahanan dan penyiksaan sering dialami oleh penduduk yang memiliki hubungan keluarga dengan orang yang dicurigai sebagai GAM oleh tentara Indonesia. Selain disiksa, tahanan seringkali dimintai uang tebusan agar mereka bisa dibebaskan. Salah seorang korban di daerah Pidie menceritakan bahwa, pada tanggal 22 Juni 1990, dia didatangi tentara saat sedang berada di rumahnya. Dia dibawa menggunakan kijang pick up hitam bersama 12 orang lainnya. Dia ditangkap karena dituduh menyembunyikan kakaknya yang disebut sebagai pelaku perampokan atau GPK. Dia bersama 12 orang lainnya dibawa ke pos jaga desa, kemudian dia dibawa ke Polsek dan ditahan selama dua jam. Dia ditanyai tentang keberadaan kakaknya. Setelah itu, korban dibawa ke Kodim dan selama dua jam dia dibawa ke Satgas Lamlo dengan mata ditutup dan tangan diborgol. Ia tiba pukul 23.00 dan menjalani pemeriksaan dan penyiksaan. Dia mengalami pemukulan di perut, kaki, dan bahu menggunakan balok. Dia juga dicambuk dengan kabel. Dia ditahan selama delapan hari. Saat akan dibebaskan, aparat meminta tebusan sebanyak Rp. 10 juta. Dia hanya menyanggupi Rp. 200 ribu. Akhirnya tebusan dibayarkan Rp. 750.000, -. Dia dipulangkan tanggal 31 Juni 1991 menggunakan kendaraan umum. 190
Selama operasi militer berlangsung, penduduk juga
Selain
rentan mengalami penahanan dan penyiksaan
disiksa, tahanan
berulang. Hal itu dialami oleh Tikamariah Usman, yang
seringkali dimintai
lebih dari sekali ditangkap dan disiksa bersama
uang tebusan
suaminya. Tikamariah menceritakan:
agar mereka bisa
“Waktu itu [1990] hari senin aku ke pasar, belanja.
dibebaskan.
Pulang ke rumah, tahu-tahu Kopassus sudah ada di rumah. ‘Ibu ke sini dulu.’ Naiklah aku ke mobil. Habis itu dibawa ke tanah lapang dekat sekolah.
Suami aku dijemput di rumah oleh orang lain. Tahu-tahu kami dibawa sampai di tempat dekat sungai. Kami disepak, rambut ditarik. Laki saya ditarik, disepak, dimasukkan ke gorong-gorong. Aku ditendang terus sampe muntah dan tak bisa bicara lagi, dihantam senjata di kepala, anting putus hilang semua. Aku dipegang, baju koyak. Abis itu diikat dibawa ke sungai, dilempar ke sungai biar kedinginan. Biar ngaku, orang mau ngaku apa orang tidak tahu salahnya. Kami dipendam di air [sampai] nggak bisa berenang. Suami aku ditarik, dipukul-pukul. Aku pingsan. Lalu kami dibawa ke Koramil dan Kodim. Laki saya entah ke mana dibawa. Pedih kita orang perempuan selama 7 hari rasanya 7 tahun, makan tidak karena kita nggak senang dikerjain seperti itu.
Tahun 2003, diambil lagi laki saya dari rumah di Bintang-Bintang, dibawa entah ke mana. Saya cari hampir 2 bulan tak dapat. Saya ke Rudal [Denrudal
190 (Ed) Nashrudin Marzuki dan Adi Warsidi. Op.cit., hlm. 58.
POLA KEKERASAN
Arhanud 001 Pulo Rungkom], karena ada kabar 8 orang ditahan di tempat itu. Pura-pura cari obat di rumah sakit. Aku bilang cari obat untuk orang tua di rumah. Jam 5 [sore] dikeluarkan 8 orang itu. Aku terus pulang, jumpa sama Pak Rusli [Danramil Bulo Brang Ara]. Aku bilang, ‘bagaimana itu laki kita sudah di Rudal?’ Pak Rusli tanya, ‘siapa bilang?’ Saya jawab, ‘bukan bilang Pak, saya lihat sendiri’. Dia menyuruh saya pergi ke Kopassus, minta bantuan. Kita sendiri pergi ke Kopassus, nekat padahal takut sekali. Sampe di Kopassus, aku ditanya, ‘ke mana Engkau?’ ‘Mau minta bantuan Bapak’, jawabku. Mungkin karena aku sudah nangis di situ, Kopassus bilang, ‘kalau ada di Rudal, kalau tidak ada kita minta ganti sama Ibu? Ini disuruh dengar, katanya tidak ada’. Saya bilang, ‘ada karena sudah lihat sendiri’. Kopassus telpon lagi, ‘kalau ada bilang ada kalau tidak ada bilang tidak ada karena sudah lihat sendiri bininya’. Abis itu telpon lagi, ‘bisa jam 8 datang lagi kemari jumpa sama lakinya’. Aku pulang ke rumah, besok Kopassus bilang pergi saja ke Kodim, di tempat tahanan.
Lalu datang lagi aparat ke rumah. Sampe masuk dia ke dalam, yang lain di luar, didempet aku ke dinding. Minta yang enak-enak katanya. Aku lawan orang itu, kugigit tangan dia. Ditendang aku sampe gigi ompong, tidak takut aku. Laki sudah diambil, masa ditanya-tanya lagi. Abis itu rumah saya dibakar sama orang itu. ... Aku dibawa lagi ke pos dipukul, ditaruh di lubang, disuruh ngucap biar mampus...” 191
Kekerasan seksual juga kerap terjadi di dalam operasi militer. Banyak perempuan mengalami penyiksaan dari tentara karena dianggap bekerja sama atau menyembunyikan keberadaan suami, ayah, atau saudara laki-lakinya yang dituduh sebagai anggota GAM. Ainon Mardiah menuturkan dalam dengar kesaksian:
“Pada April 2004, datang kesatuan 112 Komandan Edji Braka ke rumah, saya dibawa ke Pos Simpang Lima 112. Jam 3 sore, mulai diinterogasi tanya suami, saya jawab, ‘tidak tahu’, mereka tampar, lalu tanya teman suami, saya bilang, ‘tidak tahu’. Saya ditampar berpuluh-puluh kali, sehingga pipi saya bengkak. Mereka memukul di kepala dengan topi baja dan salah satu menendang saya. Sampai jam 8 [malam] saya tidak berhenti dipukul dan dihajar oleh mereka. Jam 8 malam mata ditutup dan tangan diikat dengan kabel dan dibawa entah ke mana. Mereka tanya keberadaan suami di mana dan teman suami di mana, mereka ancam bunuh saya. Mereka gali lobang dan bilang itu lobang kuburan saya. Lalu tanya keberadaan suami, saya bilang tidak tahu. Mereka lalu menancapkan senjata laras panjang di telinga kiri dan kanan dan suruh saya mengucap, kemudian ada suara letusan.
191 Kesaksian Tikamariah Usman dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan dalam Operasi Militer”, Jakarta, 26 November 2013.
142 MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
Saya tidak tahu suara letusan apa, saya pingsan. Jam 4 pagi, saya sadar dan mereka tanya makan saur atau tidak. Saya bilang bagaimana saya makan kalau mata ditutup, lalu mereka buka penutup mata. Mereka kemudian ajak saya, mereka cari markas GAM, saya bilang tidak tahu karena GAM bergerilya. Di dalam pos, anak buah mereka menarik saya, memeluk dan baju saya koyak, mereka mau perkosa saya. Saya berteriak sekuatnya, ‘Pak Edji Barka anak buah Bapak mau perkosa saya’, Pak Edji Barka menjawab, “alah kamu mau dikasih enak aja menjerit’, lalu saya katakan, “Bapak orang berpendidikan tapi harga dirinya nol, saya tidak punya pendidikan tapi saya punya harga diri’. Lalu Pak Edji memukul anak buahnya yang mengganggu saya. Pak Edji Barka kemudian berangkat operasi. Lalu anak buahnya Daud ancam mau bunuh saya dan mengeluarkan kata kotor karena melaporkan mereka. Setelah 7 hari di Pos 112, saya di bawa ke SGI [di Buloh Blang Ara], di situ saya disetrum, lalu seorang di antara mereka meramas payudara saya sekuat-kuatnya. Tiga hari di SGI, saya dibawa ke Kuala Simpang dan tidak boleh kembali ke kampung. Saya di Kuala Simpang disuruh tetap komunikasi dengan mereka, berpindah dari satu rumah saudara ke rumah saudara lain karena tidak punya apa-apa.” 192