Kekerasan Antar-Warga sebagai Bagian dari Strategi Militer

A. Kekerasan Antar-Warga sebagai Bagian dari Strategi Militer

Sejak awal berdiri, pemerintah Orde Baru telah menggunakan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat untuk ikut melakukan kekerasan terhadap kelompok lainnya. Penggunaan sebuah kelompok di masyarakat biasanya memanfaatkan sentimen negatif yang berkembang di masyarakat, atau meniupkan isu yang membuat suatu kelompok masyarakat terpancing untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok lainnya. Sementara itu, militer Orde Baru juga dengan sengaja membentuk kelompok yang dilatih secara militer untuk maksud tertentu. Mereka ini biasanya memiliki tugas memicu kekerasan pada saat terjadi situasi yang dianggap genting oleh pemerintah.

Pemanfaatan kelompok masyarakat untuk melakukan kekerasan bagi militer yang pertama kali diketahui adalah pada pembasmian kelompok kiri di tahun 1965-1966. Situasi saat itu, ketika masyarakat berada dalam kekalutan ekonomi dan perpecahan politik aliran, militer menebarkan isu-isu negatif terhadap PKI dan kelompok kiri lewat pengaturan pemberitaan di media massa. Kelompok masyarakat yang sebelum

291 Lihat Tajima, Yuhki, 2012, The Institutional Origins of Communal Violence: Indonesia’s Transition from Authoritarian Rule, New York: Cambridge University Press, hlm. 57-66.

292 Van Klinken, Gerry, Op.cit., hlm. 1. 293 Lihat Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan untuk Poso, 2009, Perempuan dalam Jeratan Impunitas:

Pelanggaran dan Penanganan, Jakarta: Komnas Perempuan, hlm. 14-19.

POLA KEKERASAN

pecahnya peristiwa 30 September sudah dalam kondisi tegang, bereaksi dengan melakukan perusakan dan penangkapan terhadap anggota PKI dan simpatisannya. Namun, kekerasan dalam skala lebih besar baru terjadi ketika tentara ikut turun ke lapangan.

Kelindan aksi kekerasan yang dilakukan kelompok masyarakat dan tentara dapat dilihat dari pola munculnya pembunuhan dan penghilangan paksa di beberapa kota di Jawa dan Bali. Kekerasan di Solo misalnya, baru terjadi ketika RPKAD datang ke Kota Solo dan menggelar rapat akbar pada pertengahan Oktober 1965. Hal yang sama terjadi juga di Bali. Sementara itu, di NTT, masyarakat dipaksa untuk terlibat dalam eksekusi tokoh PKI dengan ancaman. Hal ini terjadi di Sabu yang sebelum tentara masuk, tidak ada kasus pembunuhan terhadap para tokoh PKI. Salah seorang PNS di Sabu menceritakan pengalamannya terlibat dalam pembunuhan terhadap tokoh PKI yang disertai ancaman:

“Tanggal 29 itu, ke-31 orang sudah siap diikat tangannya di belakang. Saya kurang ingat lagi siapa yang mengikat. Cuma saya diminta untuk memegang tangan korban yang telah diikat dan dituntun ke tempat eksekusi. Saya mendapat bagian untuk memegang orang yang paling pertama di barisan pertama, yaitu saudara saya Mara. ... Dan setelah siap semua-semua, kita mendapatkan arahan dari tentara: ‘Kami tidak bertanggung jawab jika ada yang sempat melarikan diri, jadi orang pertama yang kami habisi adalah yang memegang korban.’ Jadi tidak ada komentar, apalagi kasihan. Ultimatumnya begitu saja, jadi silakan jalan. Siapa yang tidak tertekan dan coba-coba memberi peluang untuk melepaskan mereka? ... Setelah sampai lokasi, saya dan Wadu sebagai orang yang terdepan memegang korban yang akan dieksekusi, menurunkan Mara ke dalam lubang sambil dipegang tangannya. Dalam lubang sekitar dua meter. Setelah sampai, kami kasi duduk di dalam, lalu kami naik ke atas. Sementara kami naik dan kaki kami belum sampai di atas, masih tergantung dalam lubang, langsung ada cahaya seperti kilat yang disusul dengan bunyi dentuman. Setelah itu saya menoleh ke belakang, ternyata kepala dari Mara tidak ada lagi, hilang. Yang lainnya setelah saya di atas, menyusul satu per satu seperti yang pertama tadi.

Memang sejak awal sudah disetir oleh arahan bahwa tidak boleh ada rasa simpati dengan korban atau tidak suka dengan pembunuhan tersebut. Tidak boleh menunjukkan rasa kasihan, dan bila perlu, menunjukkan sikap mengecam dan mengutuk korban. Akhirnya perasaan itu beralih walaupun tidak suka dengan pembunuhan itu dan tidak sampai hati melihat saudara kita dibunuh. Tidak [ada teriakan] karena teriakan itu merupakan sikap menolak, jadi semua diam dan

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

hening. Disuruh saja [oleh tentara] untuk berdoa sebelum ditembak: ‘Berdoalah jika kamu masih yakin Tuhan itu ada.’’” 294

Penggunaan tenaga sipil untuk kepentingan militer juga

Pada saat

digunakan pada daerah konflik seperti di Aceh dan

Timor Timur telah

Papua. Di Aceh, militer kerap menggunakan informan

menjadi sorotan

sipil sebagai dasar tindakan mereka. Tidak jarang para

dunia, militer

informan yang disebut Cuak ini turut melakukan tindak

membutuhkan

kekerasan terhadap warga sipil yang dituduh sebagai

tangan lain dalam

anggota GAM. Hal ini menimbulkan ketegangan dan

menghadapi

rasa saling curiga di antara anggota masyarakat.

kelompok pro-

Dalam beberapa kasus, Cuak seringkali dianiaya dan

dibunuh oleh penduduk sipil. kemerdekaan di 295 Timor Timur.

Penggunaan masyarakat sipil sebagai paramiliter sangat jelas terlihat di Timor Timur. Milisi di Timor-

Leste sudah ada sejak lama, saat masyarakat masih dipimpin oleh para tokoh adat. Pada saat itu milisi terbentuk sebagai bentuk kesetiaan masyarakat terhadap Liurai mereka. Namun, milisi yang terbentuk di sekitar tahun 1998 dan 1999 memiliki tujuan berbeda. Mereka umumnya terkait dengan institusi militer, sebagian adalah kelompok yang dibina oleh militer sejak masa pendudukan Indonesia di Timor Timur. Kelompok ini termasuk Hansip (Pertahanan Sipil), Ratih (Rakyat Terlatih), Wanra dan Kamra, serta TBO (Tenaga Bantuan Operasi). Selain memiliki hubungan dengan aparat sejak 1970an, sebagian dari mereka juga pernah mendapat latihan militer di tahun 1990an.

Peran militer dalam pembentukan milisi ini sangat jelas terlihat. Salah satu indikatornya adalah kehadiran aparat dan perwira militer dalam acara pelantikan atau pembentukan kelompok milisi. Bahkan para pejabat militer mengakui bahwa mereka mempersenjatai kelompok tertentu di masyarakat. Tindakan militer membentuk milisi ini terkait dengan keputusan Indonesia untuk mengurangi jumlah pasukan militernya di Timor Timur yang saat itu akan mengadakan referendum. Selain itu, pada saat Timor Timur telah menjadi sorotan dunia, militer membutuhkan tangan lain dalam menghadapi kelompok pro-kemerdekaan di Timor Timur. Militer berusaha menampilkan milisi ini sebagai kelompok yang terlahir secara spontan atas inisiatif masyarakat. Namun banyak ditemukan bukti bahwa kelompok milisi ini telah dibina dan dipersiapkan sebelumnya, dengan memiliki senjata otomatis yang

294 (Ed) Merry Kolimon dan Liliya Wetangterah, 2012, Memori-Memori Terlarang: Perempuan Korban dan Penyintas Tragedi ‘65 di Nusa Tenggara Timur, Kupang: Yayasan Bonet Palupir, hlm. 144-145.

295 Lihat Hasil Laporan Dokumentasi Koalisi NGO HAM Aceh dalam (ed) Nasrun Marzuki dan Adi Warsidi, 2011, Fakta Bicara: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005, Banda Aceh: Koalisi NGO HAM Aceh.

POLA KEKERASAN

hanya dimiliki militer dan mereka bergerak dengan cepat dan konsisten di berbagai tempat.

Tanda pertama bahwa kekerasan akan dilakukan oleh para anggota milisi terjadi pada bulan November 1998 ketika ABRI dan anggota milisi Ablai, yang banyak di antaranya adalah pegawai negeri pemerintah daerah setempat, membalas serangan Falintil atas Koramil di Alas, Distrik Manufahi. Dalam serangan itu, militer dan milisi juga menyasar penduduk sipil yang mengungsi di Gereja Alas.

Milisi semakin aktif melakukan aksi teror terhadap

Dalam

masyarakat menjelang referendum. Di Liquica, Milisi

serangan itu,

Besi Merah Putih (BMP) melakukan penyerangan

militer dan milisi

terhadap sekitar 2.000 orang pengungsi di Gereja

juga menyasar

Katolik Liquiça. Milisi Besi Merah Putih (BMP) dengan

penduduk sipil

dukungan aparat militer dari Kodim Liquiça, Koramil

yang mengungsi

Maubara, Brimob, Kopassus, dan Batalyon 143 dari Dili

di Gereja Alas.

mengepung gereja. Pastor pemimpin paroki, Pastor Rafael dos Santos, menolak permintaan Eurico Guterres, pimpinan milisi Aitarak dari Dili untuk

menyerahkan Kepala Desa Dato, Jacinto da Costa Pereira, bersama dengan beberapa orang lain yang dianggap pemimpin gerakan pro-kemerdekaan di Liquiça. Herminia Mendes, seorang pengungsi yang saat itu masih remaja, memberikan kesaksiannya:

“Pada pagi hari tanggal 5 April 1999, saya sedang berjalan kaki dari kantor Sospol di Liquiça ke rumah saya ketika saya bertemu dengan teman saya Lukas dari Flores, Indonesia. Dia mendorong saya untuk cepat pulang ke rumah dengan mengatakan: ‘Saya mendengar bahwa milisi Besi Merah Putih kini sudah berada di perbatasan Liquiça dan Maubara.’ Saya memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. ... Saat (saya) bertemu dengan Padre Rafael, Kepala Desa Jacinto da Costa, datang dan memberitahu kami bahwa seorang pemuda telah dibunuh dan yang lainnya luka-luka dalam sebuah serangan oleh milisi dan militer. Menjelang sore kami meninggalkan kediaman Pastor Rafael. Ketika sampai di rumah, saya langsung mendatangi Aquelina untuk mendapatkan informasi lebih jauh. Aquelina tinggal di dekat papan tanda ‘Selamat Datang’ di Liquiça. Begitu sampai di rumahnya, saya mendengar suara-suara tembakan yang datang dari arah Pukalaran. Saya langsung pulang ke rumah dan mendapati bahwa keluarga saya telah lari ke gereja di Liquiça. Lalu saya bergabung dengan mereka di sana. Banyak orang yang bersembunyi di gereja itu, termasuk orang-orang dari Desa Dotasi, Guilu, Leopa, Caimeo Atas, dan Caimeo Bawah.

Selama dua hari kami tinggal di dalam gereja itu, kami tidak bisa buat apa- apa, melainkan terus-menerus berdoa. Kami tidak bisa tidur pada malam

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

hari, dan di luar gereja para milisi terus mengganggu kami dengan ancaman dan kata-kata kotor. Pada pukul 09.00 pagi, pada tanggal 6 April, Eurico Guterres dan anak buahnya datang ke kantor gereja di Liquiça untuk berbicara dengan Padre Rafael dan Padre José. Kami mendengar bahwa, selama pertemuan itu Eurico Guterres mengatakan bahwa dia akan mengajukan sebuah permintaan kepada Bupati Leoneto Martins. Eurico mengatakan bahwa jika Leoneto memenuhi tuntutan milisi, maka milisi akan membiarkan para warga untuk pulang ke rumah dengan aman. Tetapi pertemuan Eurico dengan Leoneto tidak menghasilkan jaminan itu. Pada awalnya, Brimob tiba seolah untuk menyelamatkan orang-orang. Kenyataannya, Brimob-lah yang justru memulai tembakan. Sekitar jam

01.00 siang, Milisi Besi Merah Putih bersama polisi dan militer menyerang gereja. Kemudian mereka melepaskan tembakan ke udara guna memberikan sinyal kepada milisi untuk memasuki gereja, dan kemudian mereka mulai menembaki orang-orang. Dengan mengenakan topeng yang menutupi wajah mereka, milisi dan militer kemudian menyerang dengan kapak, pedang, pisau, bom, dan senjata api. Polisi menembak kakak lelaki saya, Felix, dan milisi membacok saudara-saudara sepupu saya, Domingos, Emilio, serta seorang bayi berusia 8 bulan.

Karena Brimob dan militer membantai orang-orang yang bersembunyi di kantor pastor, maka semua orang kini mulai berlarian keluar gereja, berusaha menemukan tempat untuk bersembunyi dan menyelamatkan diri. Saya pergi bersama istri Emilio, dan kami bergerak menuju Kesusteran. Saat pergi, kami melihat Miguel masih hidup, tetapi Loidahar dan seorang lainnya dari Maubara tergeletak mati di dekat lonceng gereja. Milisi, polisi, dan militer telah mempersiapkan sebuah truk untuk mengangkut orang- orang ke rumah bupati. Ketika kami tiba, milisi melanjutkan aksinya dan terus memukuli serta menikam warga sipil. Beberapa orang tewas di rumah bupati. Untunglah ada seorang perawat yang merawat orang-orang yang terluka. Setelah sekitar tiga jam, Agustinho, seorang pegawai negeri di Maubara mengumumkan kepada masyarakat dengan mengatakan: ‘Pulanglah ke rumah kalian dan naikkanlah bendera Indonesia. Dan ikatkanlah bendera Indonesia ke tangan kanan kalian untuk menunjukkan bahwa kita siap mati demi bendera ini.’” 296

Penyelidikan KPPHAM menyimpulkan bahwa setidaknya 30 orang dibunuh dalam pembantaian tersebut. Namun pada saat Pastor Rafael kembali dari markas Kodim, mayat-mayat telah dibersihkan. Menurut penyelidikan KPPHAM, mayat-mayat tersebut diangkut dalam 7 truk dan 4 mikrolet, termasuk truk Hino milik TNI, dan

296 Laporan CAVR, Chega!, Bab 7, “Pembunuhan dan Penghilangan Paksa”, hlm. 269-270, par. 774-778.

POLA KEKERASAN

dikuburkan atau dibuang di tempat yang tak diketahui sampai dengan sekarang. Sedangkan temuan CAVR mengatakan bahwa perkiraan jumlah korban adalah 60 – 100 orang. Penyelidik PBB yang tergabung dalam tim forensik Serious Crimes mencoba melakukan penggalian di beberapa lokasi, namun sampai dengan sekarang mayat-mayat tersebut belum ditemukan.

Milisi Timor-Timur. Foto kiri: Anggora milisi pro-integrasi saat melakukan patroli dengan menggunakan sepeda motor di kota Dili. (Foto: TEMPO/Robin Ong)Foto kanan: Seorang anak berdiri di depan reruntuhan rumah yang dibakar milisi pro-integrasi pasca referendum di Dili. (Foto: UN Photo).

Dua minggu berselang dari pembantaian di Gereja Liquiça, milisi Besi Merah Putih dan Aitarak beraksi kembali di Dili. Pada tanggal 17 April, gabungan milisi melakukan apel akbar di depan kantor gubernur di Dili, dipimpin langsung oleh Joao Tavares dan Eurico Guterres. Acara ini menghadirkan sekitar 5.000 orang dan diliput oleh media massa. Hadir juga Gubernur Timor Timur, Abilio Soares, Bupati Dili, Domingos Soares, Komandan Korem Timor Timur, Kolonel Tono Suratman, serta Kapolda Timbul Silaen. Dari Liquiça, para anggota Besi Merah Putih hadir bersama anggota Koramil Maubara dan Koramil Liquiça yang membaur di dalam rombongan milisi tersebut.

Eurico Guterres di depan kamera dan publik, menyatakan bahwa kelompok anti- integrasi adalah lawan yang harus “disikat”. Ia juga secara provokatif menyatakan bahwa keluarga Carrascalao adalah pengkhianat. Setelah upacara usai, kelompok milisi bersama dengan anggota TNI bergerak keliling Kota Dili sambil melakukan aksi-aksi intimidasi dan kekerasan, khususnya pada lokasi-lokasi yang dianggap pro- kemerdekaan. Kelompok tersebut kemudian menuju rumah Manuel Carrascalao, yang tidak jauh dari lokasi kantor gubernur. Waktu itu Manuel Carrascalao dan anak perempuannya, Cristina Carrascalao tengah berada di bandara udara. Saat kelompok milisi mendatangi rumah, Manelito Carrascalao, putra Manuel Carrascalao yang baru berumur 17 tahun mencoba meredakan suasana. Namun Manelito juga menjadi korban penyerangan dan meninggal dunia karena ditembak dan ditikam.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Milisi juga melakukan kekerasan dan teror di Suai pada

Bupati Suai

bulan April 1999, yang menyebabkan ratusan

mengatakan

masyarakat mencari perlindungan di Gereja Suai. 297

bahwa para

Pada bulan Juli 1999, dilaporkan sekitar 700 orang

pengungsi adalah

telah mengungsi ke gereja tersebut. Angka ini

“sebuah kelompok

meningkat menjadi 2.500 pada 19 Agustus menyusul

politik dan harus

terjadinya serangan baru. Tim Penyelidik Kejahatan

dibubarkan”.

Berat memperkirakan 27 – 200 orang menjadi korban pembantaian di Gereja Suai. Tiga pastor yang

memimpin Paroki Suai; Pastor Hilario Medeira, Francisco Soares, dan Tarsius Dewanto telah berulang kali mengorganisir bantuan kemanusiaan untuk para pengungsi. Pada sebuah pertemuan, Bupati Suai mengatakan pada salah seorang pastor Gereja Suai bahwa para pengungsi adalah “sebuah kelompok politik dan harus dibubarkan”. Ia kemudian menutup akses air bersih ke Gereja Suai selama beberapa hari. Namun kemudian dinyalakan kembali setelah ada protes dari staf UNAMET.

Pada 6 September 1999, dua komandan milisi Laksaur, Egidio Manek dan Olivio Moruk berangkat dari Koramil Salele sekaligus markas Laksaur, dan mengumpulkan para anggota milisi di Kodim Suai. Di sana, mereka bergabung dengan komandan Laksaur lainnya, Martenus Bere dan Pedro Teles. Para komandan milisi meninggalkan Kodim Suai dengan bersenjata laras panjang, sedangkan anggota milisi menggunakan pedang, parang, serta senjata tajam lainnya. Mereka kemudian bertemu dengan Bupati Herman Sudyono, yang bergabung dalam penyerangan sambil membawa senjata laras panjang dan berpakaian TNI. Feliciana Cardoso, salah seorang yang selamat dalam pembantaian Gereja Suai, memberikan kesaksiannya pada CAVR:

“Setelah keluarga saya ikut jajak pendapat pada tanggal 30 Agustus 1999, kami langsung mengungsi ke gereja. Pada waktu itu, Suai dikuasai oleh sebuah kelompok gabungan, yakni milisi Laksaur dan Mahidi (Mati Hidup Integrasi), TNI, dan Kontingen Polisi Lorosae. Pada sore hari tanggal 6 September, gabungan milisi mulai menembak. Mereka menyerang rakyat yang berkumpul di sekolah SMA, dan membunuh banyak orang. Kemudian mereka menuju gereja. Jendela-jendela dipecahkan dan pintu dihancurkan. Kemudian mereka menyerbu gereja dan memerintah bahwa semua rakyat harus keluar dan menyerah. Sebagian di antara kami, termasuk saya dan ketiga anak saya, tetap tinggal dalam gereja. Sebagian lain keluar, termasuk suami saya. Para milisi mulai menembak orang yang keluar dari gereja.

297 “Studi Kasus 71: Pembunuhan Tiga Pastor Pelindung Pengungsi di Gereja Suai, Timor Timur”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

POLA KEKERASAN

Saya tidak tahu bagaimana, tapi suami saya sempat kabur dan melarikan diri ke dalam kamarnya Pastor Hilario, di belakang gereja. Yang lain dimusnahkan oleh tim Laksaur/Mahidi….

Ketika milisi mulai membakar gereja, kami lari ke rumah pastor di samping gereja. Pada saat itu, saya sudah tidak bisa lihat suami saya. Saya melihat Pastor Francisco mengangkat tangannya, dengan mengatakan kepada milisi: ‘Cukup! Jangan menembak lagi! Kita semua orang Timor. Berhenti!’ Pastor teriak ketika dia melihat korban-korban yang sudah jatuh, namun milisi tidak perhatikan teriakannya. Kemudian seorang milisi dari Desa Raimea di Covalima, menuju Pastor Francisco. Milisi tersebut berpura-pura untuk peluk pastor, terus mengawal dia ke Gua Bunda Maria. Sambil mereka kembali, ia menembak pastor. Namun Pastor Francisco tidak meninggal langsung, dan ia mengambil parang dan tikam Pastor Francisco di dadanya. Pada saat itu, pastor meninggal.

Saya melihat suami saya sedang lari dari kamar pastor ketika dia dengar bunyi tembakan. Emosinya tinggi sekali pada saat melihat pastor sudah ditembak. Ada sekelompok milisi di luar gereja yang membawa senjata dan parang. Mereka mulai menembak ke arah suami saya, tapi senjatanya tidak meletus. Salah satu anggota milisi bertanya pada suami saya: ‘Kenapa tidak lari?’ Suami saya jawab: ‘Saya seorang laki-laki! Biar saya ditembak di tanah saya sendiri! Viva Xanana Gusmão! Viva Timor-Leste!’ Kemudian milisi tersebut mengangkat parangnya dan menusuk suami saya di pinggul kirinya, dan parang itu keluar pada sebelah kanan. Dia juga membacok bahu kirinya, kaki kirinya, dan tangan kanannya, dua kali. Sekitar pukul

04.00 sore, suami saya menarik napas terakhir. Siapa yang masih selamat diperintah keluar [dari gereja]. Kami didorong,

ditendang dengan bot, diinjak, dan dipukul. Mereka mengarahkan senapan dan parang kepada kami sepanjang jalan dari gereja ke kantor Kodim 16. … Selama kami berada di Kodim, kami dihina, diejek, dan dikasih makan sisa- sisa. Saya bersama perempuan yang lain tidak makan, karena kami takut diracun. Pada tanggal 13 September 1999 … Kasdim memerintah kami harus dipindahkan ke Betun [Timor Barat] dengan empat buah truk. … Tapi di persimpangan jalan di Camenasa [Suai, Covalima], kami ditinggalkan di pinggir jalan.” 298

298 Laporan CAVR, Chega!, Bab. 3, “Sejarah Konflik”, hlm. 151.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Penyerangan Gereja Suai. Reruntuhan Gereja Suai yang dibakar dan bekas pembakaran mayat yang tewas oleh milisi. (Foto: Galuh Wandita)

Menjelang akhir kekuasaannya, Orde Baru masih melakukan upaya rekayasa politik dengan menggunakan kelompok preman. Kerusuhan Mei ‘98 merupakan kekerasan yang diduga sebagai strategi militer untuk menundukkan gerakan mahasiswa dan mempertahankan kekuasaan Orde Baru. Namun harga yang harus dibayar dari penerapan strategi itu adalah kematian dan penderitaan ribuan warga miskin, termasuk etnis Tionghoa. Laporan TGPF Peristiwa Kerusuhan Mei ‘98 menyatakan bahwa kekerasan yang terlihat seolah-olah sebagai kekerasan horizontal tersebut sebenarnya dipicu oleh pengerahan milisi yang dibantu militer. Muncul pula indikasi bahwa penembakan atas 4 mahasiswa Trisakti merupakan bagian dari strategi untuk memicu kerusuhan. Militer memerlukan kondisi dan alasan yang memungkinkan mereka melakukan penertiban dan menumpas gerakan mahasiswa dengan tuduhan mendalangi kerusuhan dan mengganggu ketertiban umum. Terdapat pula bukti bahwa menjelang terjadinya kerusuhan, banyak orang-orang tidak dikenal dengan perawakan tegap ikut dalam kerumunan massa dan melakukan provokasi, termasuk memancing warga masyarakat yang sedang menonton untuk memasuki pertokoan dan melakukan perusakan. Indikasi lain menunjukkan kesengajaan militer memanfaatkan pusat perekonomian menjadi tempat kerusuhan. Isu kesenjangan ekonomi di perkotaan dan kaitannya dengan sentimen anti-Tionghoa disebar. Kedua isu tersebut berhasil memancing terjadinya penjarahan dan penghancuran yang dilakukan oleh warga miskin di perkotaan terhadap berbagai pertokoan dan perkantoran yang diduga dimiliki oleh Tionghoa.

Kerusuhan ini terjadi dalam konteks kehidupan ekonomi yang sedang sulit menyusul terjadinya krisis multidimensi di Indonesia. Beban berat akibat krisis ekonomi

POLA KEKERASAN

membuat banyak perusahaan industri gulung tikar dan menyebabkan angka pengangguran membengkak dalam waktu singkat. Persediaan sembilan bahan pokok (sembako) semakin langka dan harga-harga kebutuhan sehari-hari terus meroket. Krisis di sektor ekonomi itu berkelindan dengan krisis politik yang sebenarnya sudah mulai terlihat di tahun-tahun sebelumnya. Kelompok masyarakat bermunculan menyuarakan perlawanan setelah hasil Pemilu pada tahun 1997 kembali dimenangkan Golkar, dan disusul dengan penetapan Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia untuk ke-7 kalinya. Pada saat itu, telah muncul pula suara dari beberapa elit politik yang menilai tahun 1997 sebagai waktu yang baik bagi Suharto untuk mengakhiri kekuasaannya. Friksi juga terjadi di lingkungan militer antara anggota militer faksi nasionalis dengan kelompok yang dikenal sebagai perwira hijau karena kedekatan mereka dengan Islam. Dari luar elit politik, perlawanan yang ditunjukkan para mahasiswa dan kaum cendekiawan semakin menguat. Demonstrasi bermunculan di berbagai kampus, bahkan melebar sampai ke luar kampus dengan melibatkan kelompok lain seperti buruh, petani, dan kaum miskin urban. Demonstrasi terjadi hampir di semua kota besar di Indonesia.

Kerusuhan Mei ‘98 dipicu oleh tewasnya 4 mahasiswa Trisakti yang ditembak oleh aparat militer pada saat demonstrasi tanggal 12 Mei 1998. Saat itu, mahasiswa sedang melakukan demonstrasi di dalam kampus. Pada awalnya mahasiswa akan melakukan long march menuju gedung DPR/MPR, namun diurungkan karena kondisi yang tidak kondusif. Di luar dugaan, saat barisan mahasiswa bergerak kembali menuju kampus, mulai terdengar letusan senapan. Mereka dikejar oleh aparat yang mengarahkan tembakan ke arah mahasiswa yang sudah berada di dalam kampus. Dari kronologi kejadian, diketahui bahwa saat mahasiswa sedang melakukan negosiasi di luar kampus dan saat mereka kembali ke dalam kampus, terdapat beberapa orang yang melakukan provokasi dengan mengeluarkan kata-kata kotor dan ejekan ke arah mahasiswa. Tak lama sesudah kejadian itu, terdengar letusan senjata api.

Dalam laporan TGPF, teridentifikasi bahwa terdapat provokator yang berusaha memancing mahasiswa keluar kampus dan mengajak bergabung dengan warga berkerumun menyaksikan demonstrasi. Menjelang kerusuhan, banyak orang tak dikenal –di kemudian hari mereka diidentifikasi sebagai preman— berdatangan dan bergabung dengan warga yang berkerumun di sekitar kampus. 299 Tim Relawan untuk Kemanusiaan menyebutkan bahwa orang-orang tersebut mempunyai ciri-ciri khusus yang mengindikasikan ciri perawakan anggota militer. 300 Sebagian dari mereka mengenakan seragam sekolah atau menggunakan atribut perguruan tinggi. Mereka

299 Samsu Rizal Panggabean & Benyamin Smith, 2009, Explaining Anti-Chinese Riots in Late 20 th Century Indonesia, (Art) in World Development, Vol. 39, No. 2, hlm. 231-242.

300 Lihat Ringkasan Eksekutif Seri Dokumen Kunci Komnas Perempuan, 1999, Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998, Jakarta: Komnas Perempuan.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

datang berombongan dengan menggunakan kendaraan. Saksi di sekitar Klender, Jakarta Timur, dan beberapa lokasi lain di Jakarta menjelaskan para provokator itu datang dengan membawa pentungan dan jeriken berisi bahan bakar.

Kerusuhan Mei 1998. Foto kiri: Mobil-mobil yang dibakar massa di Jalan Matraman Jakarta Pusat pada 14 Mei 1998. Foto kanan: Mobil yang dibakar pada kerusuhan Mei 1998 dengan latar belakang Citraland Mall, Grogol, Jakarta.. (Foto: TEMPO/Rully Kesuma)

Hal yang sama juga ditemukan dalam demonstrasi dan kerusuhan di berbagai kota lainnya seperti di Medan, Solo, Surabaya, Bandung, dan Lampung. Keterangan saksi di Solo menjelaskan ciri seorang provokator yang berhasil diidentifikasi terlihat dari ciri fisik dan logat bicaranya yang menunjukkan berasal dari luar Jawa. Saat berada di tengah kerumunan, mereka berteriak-teriak mengajak mahasiswa untuk keluar kampus dan memancing warga melakukan perusakan fasilitas dan pembakaran kendaraan. Dalam setiap ajakan tersebut, terdapat teriakan-teriakan yang menunjukkan sentimen anti-Tionghoa.

Perusakan dan pembakaran kemudian diarahkan untuk menyasar toko milik Tionghoa. Selain perusakan dan pembakaran, terdapat bukti bahwa terjadi perkosaan massal terhadap perempuan dari etnis Tionghoa. Selama beberapa hari

POLA KEKERASAN

demonstrasi yang disertai dengan perusakan di

Tidak adanya

beberapa kota, sama sekali tidak ada tindakan aparat

tindakan dari

militer untuk melakukan pengamanan. Tidak adanya

aparat militer

tindakan dari aparat militer bukan saja merupakan

bukan saja

bentuk pembiaran yang mengakibatkan kerusakan

merupakan

besar, tetapi juga mengindikasikan keterlibatan aparat

bentuk pembiaran,

militer dalam rencana maupun aksi tersebut. Selain

tetapi juga

warga keturunan Tionghoa, korban meninggal lainnya

mengindikasikan

adalah rakyat urban yang dibakar hidup-hidup di dalam

keterlibatan

pusat pertokoan. Data Tim Relawan untuk

aparat militer Kemanusiaan menunjukkan selain pelajar, kebanyakan dalam aksi korban yang meninggal berasal dari kelas bawah atau

keluarga berekonomi lemah. Korban kebanyakan

tersebut.

bekerja di sektor informal seperti kuli bangunan, pedagang makanan keliling, sopir, kernet angkutan,

pekerja bengkel. Mereka umumnya adalah warga sekitar yang bermaksud melihat demonstrasi atau kerusuhan. Namun mereka terpancing ajakan sekelompok orang untuk melakukan perusakan barang dan bangunan, disusul dengan tindakan menjarah sebelum kemudian membakar gedung atau barang-barang lain. Pemerintah memberikan stigma penjarah kepada para korban dan menuduh bahwa merekalah pelaku kerusuhan.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111