Kemandekan Mekanisme Hukum

D.1. Kemandekan Mekanisme Hukum

Di luar kebijakan strategis yang bersifat jangka panjang, pemerintah periode awal reformasi mengambil langkah untuk mendorong akuntabilitas hukum bagi kasus- kasus pelanggaran HAM masa lalu. Langkah ini diawali dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998, oleh pemerintahan Habibie di tahun 1998. Dalam laporannya, TGPF menyimpulkan adanya tindakan kejahatan HAM dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998. Presiden Habibie juga mengeluarkan Keputusan Presidan (Keppres) No. 88 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Indepeden Pengusutan tindak kekerasan di Aceh, untuk melakukan penyelidikan atas dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia selama penerapan daerah operasi militer (DOM) dan pembunuhan Tengku Bantaqiah. 410 Tercatat, selama periode 1999-2004 terdapat 13 penyelidikan resmi terhadap pelanggaran HAM berat. Sepuluh penyelidikan dilakukan oleh Komnas HAM, dan lainnya melalui komisi-komisi yang ditunjuk oleh presiden maupun parlemen. 411

Dari serangkaian peristiwa yang diselidiki, salah satunya yang akhirnya diajukan ke pengadilan adalah kasus penyerangan di Beutong Ateuh tahun 1999 melalui peradilan koneksitas. Peradilan ini mempunyai kecatatan serius karena penyerangan tersebut merupakan bagian dari strategi operasi militer di Aceh dengan tujuan mengintimidasi dan meneror penduduk sipil sehingga seharusnya ditempatkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan diadili di pengadilan militer. Persidangan koneksitas digelar pada April 2000 dengan menghadirkan dua pejabat militer dan tiga warga sipil, serta 24 terdakwa berpangkat rendah, dan gagal menghadirkan komandan dalam penyerangan tersebut. 412

Penggunaan peradilan koneksitas juga terjadi dalam kasus penyerangan kantor PDI pada tahun 1997. Para terdakwa yang diajukan ke pengadilan adalah sejumlah warga sipil dan perwira rendah dari militer dan kepolisian, meski dalam penyelidikan sebelumnya terdapat nama-nama perwira militer dan polisi yang harus bertanggung jawab. Pengadilan ini menghukum ringan para terdakwa, tanpa sanggup menyentuh komandan militer dan polisi sebagaimana yang disebutkan dalam laporan penyelidikan sebelumnya.

410 Lihat ELSAM, 2005, Tutup Buku dengan Transisional Justice? Menutup Lembaran HAM 1999-2004 dan Membuka Lembaran Baru 2005, Jakarta: Institute for Policy Research and Advocacy. 411 Suzannah Linton, 2007, Accounting for Atricities in Indonesia, Singapore Year Book of International Law, Vol. 11. Lihat juga Laporan KontraS dan ICTJ, 2011, “Keluar Jalur: Keadilan Transisi di Indonesia Setelah Jatuhnya Suharto”.

412 “Studi Kasus 92: Pembantaian Tengku Bantaqiah dan Murid-Muridnya di Beutong Ateuh, Aceh Barat”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Penggunaan pengadilan koneksitas dalam mengadili berbagai kasus yang dapat dimasukkan dalam kategori ‘kejahatan serius’ menjadi titik awal adanya impunitas. Terjadi tarik-menarik tentang bagaimana mengadili kejahatan-kejahatan yang terjadi, antara penggunaan pengadilan koneksitas dan pengadilan militer, di satu sisi dengan pengadilan HAM. Pengadilan koneksitas dan pengadilan militer terbukti tidak mampu menghadirkan para komandan militer atau pembuat kebijakan dalam serangkan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan gagal mengungkap kebenaran yang utuh dari kejahatan yang terjadi. Tercatat, sejumlah peradilan militer digelar, di antaranya untuk kasus penculikan aktivis 1997-1998, penembakan mahasiswa Trisakti, pembunuhan Theys H. Eluay, dan kesemuanya gagal dalam menghadirkan keadilan dan pengungkapan kebenaran. Problem hukum dan yurisdiksi pengadilan inilah yang terus mewarnai kemandekan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu maupun yang terjadi pada 5 tahun awal reformasi.

Keluarga Orang Hilang. Keluarga korban penculikan aktivis 1997-1998 melakukan aksi menuntut penuntasan kasus penghilangan paksa atas keluarga mereka. (Foto: ELSAM)

Sejalan dengan kegagalan pengadilan koneksitas dan peradilan militer, harapan ditumpukan dengan adanya mekanisme yang memungkinkan adanya akuntabilitas dari berbagai kejahatan yang terjadi. Sejak tahun 2000, serangkaian kebijakan yang dibentuk untuk menyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui pengadilan HAM

ad hoc dan KKR. Berturut-turut terbentuk UU No. 26/2000 yang mempunyai yurisdiksi atas kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan, pembentukan pengadilan HAM dan KKR di Papua dengan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2004, terbentuk UU No. 27/2004 tentang KKR, yang mengatur

POLA KEKERASAN

tentang pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu, mekanisme penyelesaian di luar pengadilan, dan rehabilitasi kepada korban.

Pada tataran implementasi, kedua mekanisme tersebut mengalami hambatan dan kemandekan. Dari sisi pengadilan, hanya dua kasus yang diajukan ke pengadilan HAM ad hoc, yakni perkara pelanggaran HAM yang berat di Timor Timur pada tahun 1999 dan Tanjung Priok 1984, dan satu pengadilan HAM untuk kasus Abepura pada tahun 2000. Ketiga pengadilan tersebut gagal menghukum pelaku dan menghadirkan keadilan, meski berhasil menghadirkan para perwira tinggi di militer dan kepolisian ke pengadilan. Berbagai analisis menyebutkan bahwa pengadilan masih belum mampu melepaskan diri dari intervensi kekuasaan, dan pengadilan tersebut memang didesain untuk gagal, terlihat dari ketidakseriusan pemerintah dalam mendukung pengadilan ini, termasuk dari pihak Jaksa Agung yang melakukan penuntutan. Pengadilan masih lemah dari sisi administrasi pengadilan dan kemampuan para hakim dalam mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat.

Dalam konteks sekarang, impunitas semakin menguat

Impunitas

dengan adanya penolakan Kejaksaan Agung untuk

semakin menguat

menindaklanjuti berbagai penyelidikan yang telah

dengan adanya

dilakukan oleh Komnas HAM. Terdapat tujuh hasil

penolakan

penyelidikan Komnas HAM yang kini tidak

Kejaksaan

ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung, di antaranya kasus

Agung untuk

Trisaksi, kasus Semanggi I dan II, kasus Talangsari

menindaklanjuti

1989, dan kasus penghilangan paksa tahun 1997-1998.

berbagai

Alasan Jaksa Agung adalah untuk pelanggaran HAM

penyelidikan yang

yang terjadi sebelum tahun 2000, belum ada

telah dilakukan

rekomendasi dari DPR, dan masih ada berbagai hal

oleh Komnas yang harus dilengkapi oleh Komnas HAM. Namun,

HAM. Jaksa Agung tidak konsisten, misalnya dalam kasus

penghilangan paksa tahun 1997-1998 yang telah mendapatkan rekomendasi DPR untuk membentuk

pengadilan HAM ad hoc juga tidak dilaksanakan. Hingga kini presiden pun belum menerbitkan keputusan untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk peristiwa tersebut. 413

Pada titik inilah muncul masalah impunitas, ketidakmungkinan—de jure atau de facto—untuk membawa pelaku pelanggaran HAM mempertanggungjawabkan perbuatannya, baik dalam proses peradilan kriminal, sipil, administratif, atau disipliner karena mereka tidak dapat dijadikan objek pemeriksaan yang

413 Lihat juga ASASI, “Penghilangan Paksa 1997-1998: Rekomendasi Tanpa Atensi”, Edisi November-Desember 2011. Dokumen dapat diakses di www.elsam.or.id

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

memungkinkan terciptanya penuntutan, penahanan, pengadilan dan, apabila dianggap bersalah, penghukuman dengan hukuman yang sesuai, dan untuk melakukan reparasi kepada korban-korban mereka. 414

Sejalan dengan kegagalan di level pengadilan, pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU KKR karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan lebih khusus bertentangan dengan hukum HAM dan hukum humaniter internasional. MK memandatkan untuk membentuk UU KKR baru yang lebih sesuai dengan hukum HAM internasional dan konstitusi. 415 Keputusan ini menggagalkan upaya untuk membuka serangkaian pelanggaran HAM masa lalu melalui mekanisme pencarian kebenaran. 416

Pembatalan UU KKR dan kegagalan pengadilan HAM memperbesar problem impunitas di Indonesia. Terdapat pandangan bahwa pembuatan upaya pembentukan pengadilan HAM dan KKR tampaknya lebih banyak digunakan oleh pemerintah untuk kebutuhan politik diplomatisnya, ketimbang untuk menyelesaikan problem di masa lalu, membela para korban, apalagi untuk mencari keadilan dan kebenaran. Praktiknya terkesan akan melegalisasi praktik impunitas, di mana para pelaku kejahatan HAM tidak akan pernah dihukum, tapi justru mendapatkan pengampunan. Pola-pola impunitas itu adalah pertama, pelaku sama sekali tidak disentuh oleh proses hukum; kedua, pelaku dibebaskan oleh hakim dalam proses pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, maupun kasasi; ketiga, kasus dipeti-eskan atau dibiarkan mengambang dengan alasan-alasan teknis yuridis-prosedural. 417

Mandeknya dua mekanisme tersebut menjadikan proses akuntabilitas pelanggaran HAM yang berat di Indonesia kian tidak jelas. Tidak ada perkembangan khusus terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu dan akuntabilitas untuk sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi pasca-tahun 2000. Semua proses yang tengah berjalan, mandek di tengah jalan. Padahal, berdasarkan pada Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM), peningkatan upaya penyelesaian pelanggaran HAM yang berat adalah salah satu rencana yang dicanangkan pada periode 2004-2009,

414 Lihat Serangkaian Prinsip Anti-Impunitas yang disusun oleh Louis Joinet. Lihat juga Laporan Diane Orentlicher,

Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights Through Action to Combat Impunity.

415 Lihat putusan terhadap perkara 006/PUU-IV/2006. Putusan terhadap judicial review yang dilakukan oleh

sejumlah organisasi (LSM) dan korban atas sejumlah pasal dalam UU KKR dan bukan untuk membatalkan keseluruhan UU KKR. Analisis selengkapnya lihat dalam tulisan “Ketika Prinsip Kepastian Hukum Menghakimi Konstitusionalis Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu: Pandangan Kritis Atas Putusan MK dan Implikasinya bagi Penyelesaian Pelanggaran HAM di Masa Lalu”, ELSAM, 19 Desember 2006.

416 Pada tahun 2006, setelah tertunda hampir 2 tahun, proses seleksi anggota KKR ini telah berjalan namun belum diajukan presiden untuk diseleksi oleh DPR.

417 Ikohi, Resolusi Kongres II Ikohi, “Stop Impunitas dan Kekerasan Negara, Tegakkan Hak-Hak Korban Sekarang Juga”, 7-10 Maret 2006.

POLA KEKERASAN

dan Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai sarana penyelesaian pelanggaran HAM yang berat. 418

Di tengah kebuntuan tersebut, Komnas HAM terus melakukan penyelidikan sejumlah kasus pelanggaran HAM masa lalu, di antaranya Peristiwa 1965-1966 dan Peristiwa Pembunuhan Misterius (Petrus) 1982-1985. Dua laporan tersebut telah diselesaikan dan lagi-lagi Kejaksaan Agung tidak menindaklanjutinya hingga kini. Pada November 2013 Komnas HAM membentuk Tim Penyelidikan ‘pro-yustisia’ untuk perkara pelanggaran HAM di Aceh.

Lembaga lainnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terus memberikan bantuan medis dan rehabilitasi psikososial kepada para korban pelanggaran HAM masa lalu. 419 Praktis, bantuan LPSK inilah menjadi satu-satunya upaya pemulihan untuk para korban pelanggaran HAM yang berat dalam kerangka ‘negara’. Selain itu, pemberian hak atas bantuan kepada korban ini, secara terbatas, merupakan pengakuan ‘negara’ bahwa mereka adalah korban.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111