Rekayasa Kekerasan dan Represi terhadap Kelompok Kritis

A.1. Rekayasa Kekerasan dan Represi terhadap Kelompok Kritis

Pemerintah melakukan beragam cara dalam menghadapi kelompok- kelompok yang dianggap melawan penguasa, mulai dari melakukan penahanan, pemenjaraan, menebar ancaman dan teror, sampai penculikan dan pembunuhan. Demonstran diperlakukan sebagai penjahat. Mereka ditangkap, ditahan, dan diadili dengan pasal subversif dan/atau penghinaan kepada presiden. Banyak aktivis mahasiswa, politikus, ormas, dan bahkan tentara yang pernah dipenjara karena pasal ini. Tercatat seorang perwira militer, Letjen H.R. Dharsono, mantan Pangdam Siliwangi, yang dipenjara selama 8 tahun karena dituduh terlibat dalam peledakan Bank Central Asia (BCA) di Glodok, Jakarta Barat. Peledakan tersebut merupakan rentetan ketidakpuasan sekelompok orang atas penembakan ratusan

Protes Mahasiswa. Protes Mahasiswa jemaah pengajian di Tanjung Priok di depan gedung DPR/MPR tanggal 14

pada 1984.Pada saat itu H.R. Dharsono November 1998. Tampak Sri Bintang

ikut menandatangani pernyataan Pamungkas di antara pada demonstan.

keprihatinan dan menuntut (Foto: TEMPO/Robin Ong)

dibentuknya komite independen untuk mengusut tuntas kasus tersebut.

Para aktivis politik pun tidak luput dari sasaran. 249 Sri Bintang Pamungkas menjadi target setelah pada Maret 1994 membuka perkara tentang kredit yang melibatkan sebuah bank negara, keluarga Suharto, dan Menteri Penerangan Harmoko di PT Sritex, sebuah pabrik tekstil besar di dekat Solo, Jawa Tengah. Pada tahun 1995, ia dihukum 10 bulan penjara karena terlibat dalam demonstrasi kepada Suharto di Dresden, Jerman. Dalam pemeriksaan, tuduhan berubah menjadi penghinaan kepada presiden yang dilakukannya saat ceramah umum di Berlin. Yeni Rosa Damayanti, yang juga terlibat dalam demonstrasi di Dresden, pada Maret 1996 dipenjara 34 bulan karena dianggap menghina presiden.

249 “Studi Kasus 76: Penangkapan dan Penahanan Sejumlah Aktivis Pro-Demokrasi Era 1990an”, Narasi Kasus

Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

POLA KEKERASAN

204 MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Aktivis buruh juga tidak bebas dari penangkapan rezim Suharto. Tercatat Wilson, Ketua Departemen Pendidikan dan Propaganda Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), bagian dari Partai Rakyat Demokratik (PRD), dihukum penjara 5 tahun. Dita Indah Sari (Ketua PPBI Pusat), Coen Husein Pontoh (aktivis Serikat Tani Nasional), dan Mochamad Soleh (aktivis SMID cabang Surabaya) ditangkap aparat setelah memimpin aksi mogok ribuan buruh di kawasan Tandes, pada 8-9 Juli 1996. Aktivis buruh lain yang berkali-kali dipenjara adalah Muchtar Pakpahan. Ia tujuh kali ditahan dan tiga kali dipenjara karena pembelaannya terhadap buruh. Pada 12 Februari 1998, 18 anggota Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) Bogor yang juga anggota Solidaritas Indonesia untuk Amien Rais dan Megawati (SIAGA), ditangkap di sekretariat Aldera Bogor, di kawasan Ciheuleut.

Aparat militer juga merekrut warga sipil, sebagiannya adalah preman, untuk dijadikan pasukan paramiliter. Pasukan ini pernah digunakan saat Angkatan Darat melakukan pembasmian terhadap kelompok kiri pada tahun 1965-1966. Saat merasa perlu memperkuat cengkeramannya, pemerintah mendorong anak-anak muda untuk mendirikan berbagai organisasi kepemudaan yang berkaitan dengan institusi militer. Orde Baru mengunakan preman untuk menjaga kestabilan politiknya. Beberapa tokoh preman diorganisasi untuk melengkapi organisasi pemuda yang telah ada. Beberapa tokoh preman bahkan direkrut secara khusus untuk mendapatkan keterampilan dan pembekalan ilmu kemiliteran. 250

Sejumlah organisasi preman ini terlibat dalam rekayasa demi kepentingan politik penguasa. Misalnya rekayasa kerusuhan menjelang Pemilu 1982. Kerusuhan yang dikenal sebagai Peristiwa Lapangan Banteng meledak pada 18 Maret 1982, di mana terjadi bentrokan antara simpatisan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dengan pendukung Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta. Kerusuhan merembet ke luar lapangan. Aksi berubah menjadi perusakan dan penjarahan terhadap mobil, toko, dan gedung yang berada di sekitar lokasi kerusuhan. Aparat Brimob dan ABRI turun ke lapangan untuk mengendalikan massa. Setelah kejadian tersebut, aparat keamanan menangkap 318 orang, 274 orang di antaranya adalah pelajar. Mereka kemudian dilepaskan karena dianggap hanya ikut-ikutan dan masih di bawah umur. Sisanya, sebagian besar simpatisan PPP, diajukan ke pengadilan. Walau muncul desas-desus bahwa kerusuhan tersebut menelan korban tujuh orang meninggal, pemerintah menyatakan bahwa tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut.

Insiden yang direkayasa pihak intelijen itu tidak lain ditujukan untuk meraih simpati massa agar memilih Golkar pada Pemilu 1977. Hal ini dilakukan karena di beberapa wilayah, Golkar berhasil dikalahkan oleh PPP. Insiden itu juga disebut-sebut untuk

250 Lihat Loren Ryter, “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Man of Suharto’s Order”, dalam Benedict R.O’G.

Anderson et all. (ed.), 2002, Violence and the State in Suharto’s Indonesia, Ithaca: Cornell Southeast Asia Publication.

POLA KEKERASAN

menjegal Ali Sadikin yang digosipkan akan menyalonkan diri sebagai presiden. Dalam konferensi pers, Pangkopkamtib Sudomo mengatakan jika kerusuhan itu dipicu oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. 251

Namun, para preman yang dibina oleh intelijen

Petrus. Foto atas:

ini diragukan

Mayat yang diduga

kesetiaannya. Pada tahun

sebagai korban

1980an, aparat

penembakan

membersihkan para

misterius (Petrus) di

preman ini. Terjadi

Pondok Kelapa,

penculikan dan Jakarta Timur, 1984. pembunuhan yang

Foto bawah: Korban

menyasar para preman di

penembakan

beberapa daerah. Mereka

misterius tanggal 20

umumnya dibunuh dan

Mei 1983 di Rumah

mayatnya dibuang di

Sakit Cipto Mangunkusumo

tempat umum. Tindakan

(RSCM) Jakarta,

ini dilakukan menjelang 1983. (Foto: TEMPO/ dilaksanakannya Sidang Syahrir Wahab)

Umum MPR 1983. Dalam laporannya, Komnas HAM menyatakan bahwa pembunuhan terhadap para preman ini merupakan kebijakan resmi yang ditujukan sebagai shock therapy kepada masyarakat dan menunjukkan bahwa pemerintah bisa mengatasi kejahatan. 252 Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, para pelaku Petrus (penembak

misterius) terdiri dari aparat militer dan sipil. Aparat militer seperti Koramil, Kodim, Kodam/Laksusda, dan Garnizun. Mereka melaksanakan perintah di bawah koordinasi Pangkopkamtib. Lembaga tersebut berada di bawah komando dan

251 Yosep Adi Prasetyo, “Kebijakan Negara dan Situasi 1982-1983”, makalah tidak diterbitkan, Arsip KKPK. 252 “Studi Kasus 59: Pembunuhan Sewenang-wenang dan Penembakan Misterius di Jawa Tengah, DIY, dan

Jakarta”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

pengendalian presiden. Sedangkan aparat sipil yang diduga terlibat adalah Ketua RT, RW, dan lurah. Salah satu bentuk keterlibatan aparat sipil adalah memberikan daftar nama target kepada aparat militer. Ditemukan pola yang sama dalam melakukan eksekusi di berbagai tempat. Misalnya mayat korban Petrus biasanya ditemukan dengan tangan terikat ke belakang. Selain itu korban dieksekusi dengan cara ditembak langsung, dicekik, dilempar ke air terjun berpusaran, luweng, laut, dan lainnya. Tim juga menemukan alat untuk eksekusi berupa batang kayu dan tali tambang. Alat tersebut dibuat oleh orang yang terlatih, setidaknya mahir dalam tali- temali.

Peristiwa lain yang terkait dengan rekayasa pemerintah adalah kerusuhan pada 15 Januari 1974, yang lebih dikenal dengan Malapetaka Lima Belas Januari atau Malari. 253 Pada hari itu, di Jakarta terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa terhadap pemerintahan Suharto. Demonstrasi tersebut mempersoalkan dominasi Jepang dalam ekonomi Indonesia. Para mahasiswa menilai bahwa pertumbuhan ekonomi lewat penanaman modal asing justru menyebabkan kesenjangan ekonomi. Mereka menunjukkan protes tersebut dengan menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei yang berkunjung ke Jakarta pada 14-17 Januari 1974. Mahasiswa menyambutnya dengan demonstrasi di Halim Perdanakusuma. Namun, mahasiswa tidak berhasil karena dijaga ketat oleh aparat. Saat akan kembali, PM Jepang berangkat dari istana tidak menggunakan mobil, melainkan diantar Presiden Suharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

Pada hari itu, demonstrasi mahasiswa berubah menjadi kerusuhan. Jakarta dipenuhi asap hitam dan bara api yang berasal dari mobil-mobil buatan Jepang yang dibakar mahasiswa dan ribuan masyarakat. Pusat pertokoan yang dikenal dengan Proyek Senen di Jakarta, pun dibakar. Lebih kurang 807 buah mobil dan 200 sepeda motor dari berbagai merek Jepang dirusak dan dibakar, 144 bangunan dirusak, 11 orang mati, 100 orang luka-luka, 17 luka parah, 775 orang ditangkap. Sebanyak 160 kilogram emas dari berbagai toko di daerah Pecinan, mulai Senen sampai Glodok di Jakarta Barat, dijarah.

Pemerintah menahan para tokoh gerakan mahasiswa dan masyarakat yang dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut. Mereka diadili dengan tuduhan makar dan dijatuhi hukuman penjara mulai dari 1,8-6 tahun. Sebanyak 12 media dibredel, 8 di antaranya media yang berada di Jakarta.

253 “Studi Kasus 37: Kekerasan dalam Peristiwa Malapetakan 15 Januari (Malari) di Jakarta”, Narasi Kasus

Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

POLA KEKERASAN

Peristiwa Malari. Pasar Senen, Jakarta terbakar saat kerusuhan tanggal 15 Januari 1974. (Foto: TEMPO/Syahrir Wahab)

Sementara itu, Ali Murtopo, pimpinan Opsus, menuduh eks-PSII dan eks-Masyumi atau ekstrem kanan sebagai dalang peristiwa tersebut. Meskipun para tokoh peristiwa Malari diadili, tidak bisa dibuktikan tokoh eks-Masyumi terlibat di situ. Demikian juga dengan mahasiswa, sampai saat ini tidak ada bukti yang

Persidangan Aktivis Malari. Hariman Siregar menujukkan bahwa para duduk sebagai terdakwa dalam persidangan

perkara Malari di Pengadilan Negeri Jakarta, mahasiswa terlibat dalam

1974. (Foto: TEMPO/Zulkifli Lubis) kerusuhan tersebut. Bahkan muncul dugaan bahwa

peristiwa tersebut terjadi sebagai ekses dari rivalitas insitusi militer di bawah kendali Suharto. Belakangan, Soemitro, Pangkopkamtib saat itu, menyatakan bahwa ada kemungkinan kalau Ali Murtopo sendiri yang mendalangi peristiwa Malari.

Peristiwa tersebut memiliki dampak yang cukup besar. Suharto memberhentikan Soemitro dan mengambil alih jabatan Pankopkamtib. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Sementara Kepala Bakin, Sutopo Juwono, digantikan oleh Yoga Soegomo. Suharto menyusun ulang kekuatannya dan melakukan berbagai langkah

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

yang lebih represif. Salah satunya adalah pengendalian kegiatan mahasiswa lewat NKK/BKK.

Peristiwa rekayasa kerusuhan lain yang cukup menonjol adalah penyerbuan ke kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 27 Juli 1996 yang dikenal sebagai peristiwa Kudatuli. 254 Pada saat itu PDI mengalami perpecahan pasca-kongres di Medan yang menghasilkan dualisme kepemimpinan, yaitu kubu Soerjadi dan Megawati Soekarnoputri. Sebelumnya, massa pendukung Megawati menggelar rapat terbuka dan orasi di depan kantor PDI selama beberapa hari. Pada 27 Juli pagi, massa pendukung Soerjadi yang didukung oleh pemerintahan Suharto melakukan pengambilalihan kantor secara paksa dan mengakibatkan bentrokan fisik. Kantor PDI rusak, sejumlah kendaraan terbakar dan muncul korban jiwa. Komnas HAM mencatat sebanyak 5 orang tewas, 23 orang hilang, dan 149 orang terluka. Dari lima korban yang tewas, Komnas HAM menemukan seorang di antaranya, Sariwan, meninggal akibat tembakan. Korban tewas lainnya, Asmayadi, meninggal akibat pukulan benda tumpul, Suganda Siagian meninggal akibat luka bakar, Slamet meninggal akibat benda tumpul, Uju bin Asep diduga terkena serangan jantung. Pemda DKI menyebutkan bahwa nilai kerugian materiil sebesar Rp100 miliar.

Pemerintah menuding Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai otak kerusuhan itu. Para pimpinan PRD diburu dan ditangkapi. PRD dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Namun, dalam proses pengadilan, mereka dituduh melakukan tindakan subversif berkaitan dengan kegiatan PRD mereka pimpin, bukan dalam kaitan dengan kerusuhan di kantor PDI. Pemerintah juga mengadili para pelaku kerusuhan. Jaksa mendakwa bahwa sebagian besar pelaku penyerangan adalah pengangguran yang direkrut oleh Lettu Suharto, Serma Ratiman, Kol. CZI (Purn.) Budi Purnama, dan Mochammad Tanjung. Pengadilan hanya mendakwa lima orang pelaku, yaitu Kol. CZI (Purn.) Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya), Lettu Suharto (mantan Komandan BKI-C Detasemen Intel Kodam Jaya), Mochammad Tanjung (buruh), Jonathan Marpaung (wiraswasta), dan Rahimi Ilyas alias Buyung (karyawan ekspedisi). Namun, hakim hanya menjatuhkan vonis 2 bulan kepada satu orang terdakwa.

254 “Studi Kasus 77: Penyerangan dan Perusakan Kantor PDI di Jakarta, 27 Juli 1996 (Peristiwa Kudatuli)”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

POLA KEKERASAN

Kerusuhan 27 Juli. Foto atas: Bentrokan massa dengan aparat pada peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 di Jl. Diponegoro, Jakarta (Foto: DR/Rully Kesuma). Foto bawah: Polisi mengawasi massa yang sedang melakukan perusakan di kantor PDI. (Foto: ELSAM)

Komnas HAM menyatakan bahwa dalang peristiwa tersebut sebenarnya dari pihak militer. Komnas HAM mencatat bahwa terdapat pertemuan pada 24 Juli 1996 di Kodam Jaya, dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono (sekarang Presiden RI). Pada rapat itu hadir Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

PDI oleh Kodam Jaya. Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo, untuk melakukan penyerbuan. Komnas HAM melihat rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-kongres Medan.

Kerusuhan 27 Juli. Anggota Komnas HAM Baharuddin Lopa, Albert Hasibuan SH dan NN saat meninjau kantor DPP PDI Jl. Diponegoro setelah diserbu pada kerusuhan 27 Juli 1996 (Foto: DR/Rully Kesuma)

Di samping melakukan rekayasa kerusuhan, aparat militer juga melakukan tindakan represif terhadap demonstrasi yang dilakukan kelompok mahasiswa. Tidak jarang terjadi penyusupan dan provokasi saat demonstrasi berlangsung, yang menjadi pembenaran bagi aparat untuk melakukan pembubaran paksa. Para tokoh demonstrasi juga ditangkap. Kasus kekerasan terhadap demonstran yang pertama kali terjadi pada era Orde Baru adalah penangkapan terhadap tokoh demonstran yang menentang pembanguan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada tahun 1972. 255 TMII merupakan proyek yang muncul atas ide ibu Tien Suharto dan membutuhkan areal lahan seluas 165 hektare. Untuk mendirikan taman ini, pemerintah menggusur tanah rakyat. TMII direncanakan menghabiskan biaya sebesar 10,5 Milyar. Para

255 “Studi Kasus 38: Penangkapan Aktivis yang Menolak Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII),

Jakarta”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

POLA KEKERASAN

mahasiswa dan intelektual memprotes pembangunan ini. Para pemrotes menilai proyek ini hanya menghamburkan uang di tengah perekonomian yang masih sulit.

Pembangunan

TMII. Foto atas: Aparat berjaga di Jalan Cendana untuk menghadang para pengunjuk rasa yang menolak pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). (Foto: TEMPO/Hasanta) Foto bawah: Ny. Imelda Marcos didampingi Ibu Tien Soeharto saat mengunjung TMII, April 1974 (Foto:

TEMPO/Syahrir

Wahab)

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Suharto memerintahkan penahanan terhadap empat pimpinan demonstrasi dan menahannya selama sebulan. Pada demonstrasi di Jakarta awal 1972, para demonstran diserang oleh sekelompok preman. Dalam sebuah pidato Suharto menyatakan ancaman kepada siapa pun yang melakukan protes. Dia menambahkan, kekuatan anti-TMII benar-benar ingin menggulingkan pemerintah dan menyingkirkan Angkatan Bersenjata dari wilayah adminsitrasi legislatif. Dia berkomentar bahwa aktivis-aktivis tersebut telah diorganisasi oleh orang itu-itu juga sejak tahun 1968. Dia mengancam untuk menggunakan seluruh kekuatan Angkatan Bersenjata untuk menghajar para pemrotes bila mereka melanjutkan tindakan mereka menyalahgunakan demokrasi.

Pada masa reformasi, ketika rezim kekuasaan berganti, kekerasan terhadap demonstran kembali terjadi. 256 Peristiwa tersebut terjadi pada 12 Mei 1998, ketika aparat menembaki empat mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie, saat berlangsung demonstrasi menuntut turunnya Suharto. Sebelum peristiwa penembakan tersebut, gelombang demonstrasi telah berlangsung selama beberapa bulan di hampir setiap kota di Indonesia. Tercatat korban luka mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Penembakan keempat mahasiswa tersebut disusul dengan meletusnya kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal sebagai Kerusuhan Mei 1998.

Selama 8-14 November 1998 kembali terjadi kekerasan terhadap mahasiswa yang berdemonstrasi. Mereka menolak sidang istimewa yang dinilai inkonstitusional serta meminta presiden untuk mengatasi krisis ekonomi. Aksi ini direspon aparat dengan penembakan yang menyebabkan 18 orang meninggal, 5 orang di antaranya mahasiswa, yaitu Teddy Mardani, Sigit Prasetya, Engkus Kusnadi, Heru Sudibyo, dan BR Norma Irmawan. 257 Sementara korban luka mencapai 109 orang, baik masyarakat maupun mahasiswa. Peristiwa ini diingat sebagai Tragedi Semanggi I.

Setahun kemudian, pada 24 September 1999, mahasiswa kembali melakukan demonstrasi besar-besaran. Mereka menolak rencana pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya karena dianggap bersifat otoriter, mirip dengan UU Subversif. Aparat keamanan kembali menembaki mahasiswa, relawan kemanusiaan, tim medis, dan masyarakat sehingga menyebabkan sebanyak 11 orang meninggal di seluruh Jakarta. Salah satunya adalah Yap Yun Hap yang ditembak di bilangan Semanggi, Jakarta. Sementara itu, korban luka mencapai 217 orang. 258 Peristiwa ini dikenal sebagai Tragedi Semanggi II.

256 “Studi Kasus 70: Penembakan Mahasiswa Trisakti dan Penembakan di Jembatan Semanggi (TSS) I dan II”,

Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965=2005, Database KKPK. 257 Lihat Kertas Posisi KontraS, 2006, Kasus Trisakti, Semanggi I dan II: Penantian dalam Ketidakpastian, Jakarta: KontraS, hlm. 1. 258 Loc.cit.

POLA KEKERASAN

Peristiwa Semanggi.

Foto atas: Bentrokan antara mahasiswa dengan polisi Anti-Huru Hara dan Brimob saat unjuk rasa mahasiswa di dekat gedung MPR/ DPR, Senayan, Jakarta, 1998. Foto bawah: Seorang mahasiswa mengangkat kedua tangannya di depan barisan tentara saat kerusuhan di sekitar Jembatan Semanggi, Jakarta, 1998. (Foto: TEMPO/ Rully Kesuma)

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111