Kekerasan terhadap Hak Reproduksi Perempuan
E. Kekerasan terhadap Hak Reproduksi Perempuan
Di bawah rezim Suharto, program Keluarga Berencana dilaksanakan sebagai program resmi pemerintah untuk mengendalikan pertambahan penduduk. Pengendalian ini dilakukan dengan cara menggunakan alat kontrasepsi yang digunakan terhadap perempuan. Pada 1968, pemerintah mendirikan Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN), yang kemudian menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 1970.
Pada 1980an, pemerintah merekrut peserta Keluarga Berencana (KB) yang disebut akseptor melalui program “Safari KB” dengan melibatkan berbagai institusi pemerintah dan organisasi seperti BKKBN, ABRI, Dinas Kesehatan, Dharma Wanita,
372 Loc.cit. 373 Kesaksian Aleta Ba’un dalam “Dengar Kesaksian KKPK” di Kupang, 27 April 2013.
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
dan PKK. Cakupan wilayah Safari KB cukup luas, dan disertai penetapan target untuk menggaet ribuan akseptor KB dalam waktu singkat. Safari KB merupakan bentuk kampanye untuk menanamkan motivasi ber- KB dan pelayanan secara kilat kepada mereka yang telah ikut atau menjadi peserta KB. Dalam praktiknya, penggalangan perempuan untuk pemasangan alat kontrasepsi dikemas dalam program pengobatan massal, seperti dituturkan Tineke Rumkabu:
“Sebelumnya menjelang 5 Oktober 1996, datang petugas dari BKKBN Biak. Waktu itu ada 3 orang ibu-ibu saya lupa nama mereka, sama kepala kantor BKKBN, Dokter Anshor, mereka datang ke Posyandu. Waktu itu di Posyandu di kantor desa. Mereka bilang supaya kita datang ke
Keluarga Berencana. Seorang kantor Angkatan Laut untuk pengobatan pria menunjukkan alat massal sekalian kader Posyandu akan kontrasepsi spiral saat kampanye terima honor. Tanggal 5 Oktober kita ke Keluarga Berencana (KB) di Jawa
Barat, 17 Februari 1972. (Foto: kantor Angkatan Laut, disuruh naik
TEMPO/ Harun Musawa) berpasang-pasangan (2 orang) untuk saling bersihkan bagian perut sampai di
mulut rahim. Pengobatan massal di Biak biasanya setiap tahun dari Angkatan Laut menjelang 5 Oktober, dari Angkatan Laut [katanya] untuk membatasi kelahiran, untuk mencegah perpadatan penduduk. Angkatan Laut bikin program dari tahun 1980. Sebelum kitorang, mama-mama cerita ada yang dipasang ‘spiral’ di Angkatan Laut, lalu ada petugas juga dari BKKBN.” 374
Program KB ini memiliki tiga sasaran, yaitu memperluas pemakaian kontrasepsi, meningkatkan keberlangsungan penggunaan alat kontrasepsi, dan melembagakan KB dan norma keluarga kecil. Pada pelaksanaannya, program ini lebih menonjolkan perluasan pemakai alat kontrasepsi dengan menetapkan sistem target. Target nasional ditetapkan secara berkala berdasarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). 375
Banyak kalangan yang mengkritik pelaksanaan sistem ini. Setiap bulan Maret, yaitu bulan terakhir masa fiskal di Indonesia, ribuan pejabat turun desa untuk mencari
374 Wawancara dengan Tinneke Rumbaku, 10 Desember 2013, Arsip KKPK/Komnas Perempuan. 375 Lihat Komnas Perempuan, 2009, Op.cit., hlm. 95.
POLA KEKERASAN
akseptor baru. Sistem target jumlah akseptor yang besar telah dicapai dengan menimbulkan dampak buruk terhadap status kesehatan reproduksi perempuan, melalui penggunaan alat kontrasepsi yang tanpa pemeriksaan terlebih dahulu, yang bisa menentukan apakah perempuan cocok atau tidak menggunakan alat kontrasepsi tersebut, atau apakah mereka bisa mengikuti KB pada saat tertentu, termasuk juga tidak ada pemberitahuan mengenai efek samping penggunaan alat kontrasepsi. Dampak buruk terhadap kesehatan reproduksi perempuan juga disampaikan oleh Dorkas Nyake Wiwi, anak dari korban penyerapan kebijakan KB di di wilayah Sabu, NTT:
“Pada tahun 1994, Mama mulai mengalami nyeri kepala hingga berujung pada sakit kepala yang hebat, badan kram seperti digigit kalajengking, demam yang berkepanjangan, kehilangan nafsu makan, ketegangan urat, dan yang paling parah mengalami perdarahan terus-menerus setiap hari. Makin lama perut Mama semakin membesar. Kemudian Mama mengalami pendarahan hebat dan terus-menerus berbentuk gumpalan seperti hati ayam. Darah yang keluar terlalu banyak sampai pembalut tidak cukup untuk menahannya sehingga kami akhirnya hanya membiarkannya mengalir di atas kain yang Mama pakai. Setiap sore, Mama selalu demam dan badannya menggigil, dan urat-uratnya menegang sehingga kami anak-anaknya harus memijat seluruh tubuh Mama dengan menggunakan minyak. Kami berusaha untuk mengatasi penderitaan Mama itu tapi tidak pernah berhasil.” 376
Keluarga Berencana. Akseptor/peserta keluarga berencana yang menderita sakit akibat tidak cocok memakai spiral, di Desa Montong Betok, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 1983. (Foto: TEMPO/Muchlis D.J. Tolomundu)
376 Kesaksian Dorkas Nyake Wiwi dalam “Dengar Kesaksian KKPK” di Kupang, 27 April 2013.
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
Selain rendahnya prosedur kesehatan, pemasangan KB seringkali disertai dengan pemaksaan kepada perempuan yang menolak untuk ikut menjadi akseptor. Dorkas lebih jauh menjelaskan:
“Program Keluara Berencana mulai dilaksanakan di Kabupaten Sabu-Raijua sejak tahun 1992. Program ini dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan dan dijalankan melalui Puskesmas. Pada waktu itu, semua ibu yang punya anak lebih dari dua diwajibkan mengikuti program KB. Bila menolak, maka akan dipaksa oleh tentara. Susuk KB itu dimasukkan di bawah kulit di lengan atas, bentuknya sebesar korek api. Susuk KB itu dipasang seperti kipas dengan lima buah kapsul sesuai lama waktu KB.” 377
Kondisi serupa juga dialami oleh perempuan di Biak, Papua. Tinneke Rumkabu menyampaikan tentang penggalangan perempuan untuk menjadi akseptor KB:
“Ada 50 orang perempuan dari Distrik Biak Kota mulai dari Waroi sampai di Mokmar, Desa Anggraidi. Perempuan dijemput paksa untuk ‘operasi cincin’ dan bilang mau ‘periksa kandungan’, petugas bilang kalau anak lebih dari 2 maka tidak dapat akses pendidikan dan bantuan dari pemerintah, jadi anak
2 saja, jadi ibu-ibu takut dan ikut.” 378
Bentuk-bentuk tekanan tersebut merupakan faktor pendorong keberhasilan pelaksanaan program KB di Indonesia. Pemaksaan dianggap efektif untuk membantu menciptakan iklim yang mengarahkan pendapat kepada pengendalian kelahiran dan berusaha mempengaruhi orang yang tidak berpartisipasi dan mendukung program ini.
Kualitas pelayanan kesehatan perempuan dalam
Kualitas
kebijakan penerapan KB juga diperburuk oleh
pelayanan
rendahnya kemampuan teknis para petugas di
kesehatan
lapangan. Ketiadaan alat di rumah sakit lokal
perempuan
menyebabkan dokter atau petugas kesehatan tidak
dalam kebijakan
mampu mengeluarkan alat kontrasepsi jenis tertentu.
penerapan KB
Dalam kasus lainnya, ketika akseptor KB di Sabu
juga diperburuk
meminta ke petugas Puskesmas agar mengeluarkan
oleh rendahnya
susuk dari dalam tubuhnya, petugas Puskesmas
kemampuan
menolak melakukannya dengan alasan petugas
teknis para
kesehatan yang memasang alat tersebut sudah
petugas di
dimutasi.
lapangan.
377 Loc.cit. 378 Wawancara dengan Tinneke Rumbaku, Op.cit.
POLA KEKERASAN
Laporan tentang dampak penggunaan kontrasepsi yang membahayakan kesehatan reproduksi perempuan masih terus terjadi hingga tahun 2005, seperti diceritakan Ibu Wagiyem dari Boyolali, Jawa Tengah, sebagai berikut:
“... sudah tujuh tahun saya pasang spiral, akhir-akhir ini saya sering merasa sakit di bagian perut, dulu saya sempat periksakan ke dokter di Boyolali tapi kata dokter tidak ada kaitan dengan soal spiral. Karena sakitnya terus terasa, kemudian saya periksakan lagi ke rumah sakit terdekat di tempat anak saya di Jakarta. Ternyata dokter bilang kalau spiral harus diambil dengan operasi, sampai saat ini saya belum punya biaya untuk operasi.” 379
Perempuan lain juga bercerita tentang saudara mereka yang melahirkan bayi dengan spiral ada di kepala bayi itu, padahal ibu itu sudah memakai spiral sejak lama. Dia menjadi takut memakai spiral dan sekarang memakai KB Suntik. Setiap 3 bulan sekali dia ke bidan desa. Tapi setelah memakai suntik, dia menstruasi terus- menerus. Beberapa ibu-ibu lain juga mengeluhkan pengalaman yang mereka alami setelah ikut KB suntik. Badannya terus-menerus bertambah gemuk sehingga menyebabkan kesulitan dalam bekerja. Badan yang terlalu gemuk membuatnya tidak cekatan dalam bekerja. Di samping itu, beberapa ibu-ibu mengeluh tentang tekanan darah tinggi setelah mengikuti program KB. 380 Umumnya perempuan yang menjadi penerima KB tidak mendapatkan informasi yang memadai tentang dampak alat KB terhadap tubuh mereka.