Pemerkosaan dan Eksploitasi Seksual
C.2. Pemerkosaan dan Eksploitasi Seksual
Pemerkosaan dan eksploitasi seksual terhadap perempuan di Poso dan Ambon terjadi baik pada saat konflik sedang berlangsung maupun saat proses pemulihan keamanan pasca-konflik. Salah satu kasus perkosaan saat konflik sedang berlangsung di Poso adalah perkosaan di Malei-Lage pada Desember 2002. 359 Saat
peristiwa itu terjadi, korban sedang bersama suami menginap di pondok untuk berkebun. Sebelum
Pada
mengalami pemerkosaan, suaminya dibunuh.
awalnya, kehadiran
Pemerintah menyikapi konflik di Ambon dan Poso
pasukan disambut
dengan mengirimkan pasukan keamanan dalam
baik oleh
jumlah besar ke kedua wilayah tersebut. Pasukan
warga. Namun,
tersebut ditempatkan di pos yang berada di lingkungan
kehadiran mereka
penduduk. Kebijakan ini dinilai efektif untuk meredam
juga mendorong
gejala konflik di antara warga. Pasukan keamanan juga
terjadinya
membangun relasi yang intens dengan warga lewat
kekerasan
berbagai kegiatan atau mengikuti “keluarga angkat”
seksual terhadap
dengan penduduk sekitar. Pada awalnya, kehadiran
perempuan.
pasukan ini disambut baik oleh warga. Namun, kehadiran mereka juga mendorong terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan. 360 Di Ambon,
357 Kesaksian Masrin Toana dalam “Dengar Kesaksian KKPK” di Palu, 27 Desember 2012. 358 Komnas Perempuan, 2009, Op.cit., hlm. 161. 359 “Studi Kasus 87: Kekerasan Seksual dalam Konflik Poso, Sulawesi Tengah”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM
1965-2005, Database KKPK. 360 Loc.cit.
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
banyak perempuan yang dipacari oleh anggota pasukan keamanan dan dipaksa berhubungan seksual dengan janji akan dinikahi. 361
Komnas Perempuan mencatat, dari 60 kasus kekerasan terhadap perempuan terkait penempatan aparat keamanan di Poso, 58 kasus di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Hampir semua kasus tidak diselesaikan secara hukum. Bahkan, perempuan yang mendapat kekerasan harus juga berhadapan dengan intimidasi yang dilakukan tidak hanya oleh pelaku, tetapi juga oleh institusi pelaku. Komandan mendatangi korban dan keluarganya dan menyerahkan sejumlah uang sebagai kompensasi. Korban dan keluarganya kemudian dipaksa menandatangani surat perjanjian damai. Hal ini dimungkinkan karena tidak adanya sistem perlindungan bagi saksi dan korban. 362
Iin Tungka seorang gadis Poso, pada 2002 mengalami kekerasan dari pihak aparat keamanan, saat itu dia berumur 20 tahun. Iin Tungka menceritakan pengalaman hidupnya yang pahit, ketika konflik Poso berkobar:
“Tahun 2002, di desa saya ditempatkan 17 aparat Brimob dari Polda Kalimantan Timur. Saya dibujuk oleh salah satu anggota Brimob untuk melakukan hubungan seksual. Dia berjanji akan menikahi saya. Saya juga disuruh cuci pakaian dan masak untuk dia dan teman-temannya. Pas saya hamil, si anggota Brimob ini ingkar janji. Dia meninggalkan saya. Sebelum pulang ke Kalimantan, dia sempat berjanji akan datang menjemput saya dan menikah. Kenyataannya, sampai usia kehamilan 6 bulan, tidak ada kabar. Bayi saya lahir prematur dan kemudian meninggal.
Saya pernah lapor hal ini ke Provost Brimob Kalimantan Timur. Saya pikir mereka akan bantu saya, ternyata saya malah disuruh mengurus sendiri ke Kalimantan. Mereka bilang itu urusan anggota Brimob, bukan urusan kesatuannya. Orang tua, tetangga, masyarakat di sekitar saya menganggap saya ini perempuan nakal. Karena itu saya sangat sering mengalami kekerasan fisik dan psikis karena masa lalu. Bahkan saya sering dipukul oleh suami. Selalu dikatai, ‘bagaimana kamu dulu dan awalnya bagaimana’.” 363
Pelapor Khusus Komnas Perempuan untuk Poso juga mencatat terjadi perkosaan terhadap IK, berusia 13 tahun, anak perempuan lokal di Poso, oleh aparat TNI dari Batalyon 711/Raksatama Palu, yang bertugas di Kabupaten Morowali pada tahun 2003. Penempatan aparat keamanan di Kabupaten Morowali dalam rangka menjaga
361 “Studi Kasus 104: Perempuan dalam Pusaran Konflik Ambon”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005,
Database KKPK. 362 Laporan Pemantauan Komnas Perempuan, 2009, Op.cit., hlm. 40. 363 Kesaksian Iin Tungka dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Perempuan”, Jakarta, 25
November 2013.
POLA KEKERASAN
keamanan akibat konflik Poso yang meluas hingga ke wilayah Mayumba, Kabupaten Morowali. Berikut terdapat gambaran kasus perkosaan yang dialami anak perempuan Poso yang didokumentasi oleh Pelapor Khusus:
“Kopka N, aparat TNI Yonif 711 Palu, sudah biasa datang berkunjung di rumah korban, Bn, siswi SMP kelas 2 yang berusia 14 tahun. Letak pos jaga tempat Kopka N bertugas memang persis di sebelah rumah Bn. Kopka N berhubungan baik dengan keluarga korban dan menjadikan Bn sebagai ‘adik angkatnya’.
Suatu siang di bulan Januari 2003, dengan berpakaian loreng dan membawa senjata, Kopka N masuk kamar Bn. Ketika itu Bn sedang tidur siang. Kopka N membekap mulut Bn, menindih tubuhnya, dan memperkosanya. Kopka N kemudian mengancam Bn agar tidak memberitahukan siapapun tentang kejadian tersebut. Perkosaan terulang sampai tiga kali, dan selalu pada siang hari di mana Bn sendirian di rumah sementara orang tuanya di kebun.” 364
Sementara itu, kekerasan di Ambon terkait dengan kehadiran pasukan keamanan terjadi pada Mei 2001. Waktu itu para pelaku mendatangi perempuan yang sedang berbincang dengan pacarnya di pantai. Pacar korban disuruh menanggalkan pakaian, ditarik ke dalam laut, dan dipukuli. Korban diperkosa secara bergantian. Ketika mencari pertolongan, korban bertemu dengan dua orang laki-laki yang justru hendak memerkosanya lagi. Untung saja ia berhasil menyelamatkan diri. Didampingi ibunya, korban melaporkan peristiwa tersebut ke polisi. Namun, ketika penyelidikan berlangsung, kasus terpublikasi luas lewat media massa setempat. Karena peristiwa terjadi di pantai pada malam hari, perhatian publik terpecah. Sebagian masyarakat justru menyalahkan korban atas peristiwa tersebut. 365