Pembatasan Informasi dan Ide
A.3. Pembatasan Informasi dan Ide
Pembatasan Media Massa Sejak awal berdiri, Orde Baru melakukan pembungkaman secara sistematis
terhadap pers. Pasca-Peristiwa 1965, 46 dari 163 surat kabar ditutup dengan paksa. Selama Orde Baru berkuasa, terdapat dua peraturan perundang-undangan yang mengatur media, yaitu UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang menjadi acuan surat izin terbit (SIT) dan UU No. 21 Tahun 1982 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). 267 Mekipun UU No.11 Tahun 1966 seolah-olah bersifat demokratis karena menyebutkan “terhadap pers tidak dikenakan sensor dan pembredelan” dan “tidak diperlukan Surat Izin Penerbitan,” bahkan kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin, tetapi pasal berikutnya membatasi ketentuan ini. Pasal 20 ayat 1 huruf a menentukan bahwa selama masa peralihan berlakunya undang-undang ini penerbitan pers diwajibkan memiliki SIT, sampai ketentuan ini dicabut oleh pemerintah atau DPR. Pasal 11 menentukan penerbitan pers yang bertentangan dengan Pancasila dilarang. Menurut ketentuan UU saat itu, Dewan Pers diketuai oleh Menteri Penerangan. Selain itu, juga terdapat surat izin cetak yang dikeluarkan oleh Laksus Pangkopkamtib.
Rezim Orde Baru mengubah UU 11/1966 dengan UU 21/ 1982. Dalam UU ini pasal pidana bertambah, demikian juga hukumannya. Selain itu, muncul kewajiban bagi pers untuk memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan keterlibatan pemerintah dalam mengkontrol pers semakin gamblang. Pemerintah kemudian menerbitkan Permenpen No. 1/Per/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Saat itu dikenal pula istilah “budaya telepon”, yaitu pers yang melanggar akan mendapat teguran langsung dari penguasa.
267 “Studi Kasus 36: Pembungkaman dan Pembredelan Media Massa yang Melawan Orde Baru”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
POLA KEKERASAN
Departemen Penerangan sesungguhnya merupakan lembaga kontrol negara terhadap media dan pemberitaan. Mereka melakukan pemanggilan dan intimidasi terhadap pemimpin redaksi dan membredel media. Salah satu media yang pernah mengalami represi dan ancaman langsung dari Mabes ABRI Cilangkap adalah Majalah Jakarta-Jakarta saat menurunkan investigasi mengenai korban kekerasan Peristiwa Santa Cruz yang terjadi pada 12 November 1991. Saat itu, pimpinan kelompok Kompas-Gramedia, Jakob Oetama, bahkan menawarkan pengembalian SIUPP majalah Jakarta-Jakarta kepada Menteri Penerangan Harmoko. Namun, Harmoko menolak dan “hanya” meminta agar tiga redaktur yang dianggap bertanggung jawab atas penurunan berita tersebut dicopot. Sejak awal 1990 sudah menjadi kelaziman bahwa setiap instansi militer bisa mengeluarkan imbauan baik melalui faksimili, pesan pager, maupun telepon ke kantor redaksi yang berisi permintaan agar media tak memberitakan hal-hal tertentu yang dianggap akan merugikan instansi militer, negara, mempermalukan keluarga Cendana, atau bermuatan konflik SARA.
Secara prinsip, pemerintah Orde Baru menjalankan lima model kontrol terhadap pers. Pertama, kontrol untuk memasuki sektor industri media bagi para pelaku bisnis, antara lain melalui penciptaan penghalang politik bagi yang ingin turut ambil bagian. Selain hambatan ekonomi yang alamiah dari pasar dan berbagai ketentuan finansial, penguasa Orde Baru juga menciptakan ketentuan politik bagi mereka yang ingin menjadi pemain pasar dalam industri media, antara lain dengan kebijakan pemberlakuan SIUPP secara selektif berdasar kriteria politik tertentu. Kedua, kontrol terhadap individu dan kelompok pelaku profesional (wartawan) melalui mekanisme seleksi dan ketentuan, antara lain keharusan menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), juga kontrol penunjukkan individu-individu untuk menduduki jabatan tertentu dalam media milik pemerintah. Ketiga, kontrol terhadap isi serta pemberitaan melalui berbagai mekanisme. Keempat, kontrol terhadap sumber daya, berupa monopoli kertas oleh pihak yang memiliki kedekatan dengan penguasa, antara lain Bob Hasan dengan Aspex Papers-nya. Kelima, kontrol terhadap akses terhadap pers, berupa pencekalan tokoh-tokoh oposan tertentu agar tidak tampil dalam pemberitaan.
Wartawan juga tidak lolos dari jeratan penjara. Dua anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yaitu Ahmad Taufik dan Eko Maryadi, serta office boy Sekretariat AJI, Danang Kukuh Wardoyo dijebloskan ke penjara pada Maret 1995. 268 Mereka dituding menerbitkan buletin gelap tanpa izin. Taufik dan Eko dipenjara masing- masing 3 tahun. Sedangkan Danang dihukum 20 bulan. Menyusul Andi Syahputra, mitra penerbit yang mencetak buletin AJI, dipenjara 18 bulan sejak Oktober 1996.
268 “Studi Kasus 76: Penangkapan dan Penahanan Sejumlah Aktivis Pro-Demokrasi Era 1990an”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
Pengendalian Mahasiswa Selain media, pemerintah juga melakukan pembatasan kegiatan kemahasiswaan.
Setelah melakukan demonstrasi untuk menentang kebijakan pemerintah, seperti pembangunan TMII dan Malari, menjelang Pemilu 1977, mahasiswa melancarkan gerakan masif untuk menolak pencalonan kembali Suharto sebagai presiden. Bahkan, mahasiwa ITB dan UI mengeluarkan dokumen Buku Putih Perjuangan Mahasiswa Indonesia. Belajar dari pengalaman, gelombang protes mahasiswa pada 1977 tersebut tidak keluar dari lingkungan kampus. Namun, hal ini mendorong tentara untuk masuk menyerbu ke dalam kampus.
Pasca-gelombang demonstrasi tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Daoed Joesoef, memberlakukan ketentuan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang melarang semua aktivitas politik praktis di kampus. Kebijakan ini mengakhiri kampus sebagai pusat gerakan mahasiswa. Dewan Mahasiswa dibubarkan dan diganti dengan Badan Koordinasi Kemahasiswaan dengan menjadikan Pembantu Rektor III (urusan kemahasiswaan) menjadi pembina lembaga baru para wakil mahasiswa. Mahasiswa dilarang melakukan aksi demonstrasi dan sebagai gantinya dianjurkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan penelitian. Meski di sejumlah kampus kota besar di Jawa masih muncul perlawanan mahasiswa, penguasa Orde Baru akhirnya berhasil ”menormalkan” kampus.
Konsep NKK/BKK ini kemudian diperkuat oleh Nugroho
Semua
Notosusanto melalui penerapan konsep Wawasan
mahasiswa
Almamater pada tahun 1980 saat ia dipilih menjadi
baru diwajibkan
Rektor Universitas Indonesia. Kampus menjadi wilayah
mengikuti
yang benar-benar steril dan tak boleh dimasuki oleh
penataran
sejumlah tokoh yang dikenal vokal. Pada tahun 1980an
Pedoman
sejumlah orang yang namanya masuk dalam daftar
Penghayatan
hitam, dilarang untuk berbicara di kampus. Mereka,
dan Pelaksanaan
antara lain, Pramoedya Ananta Toer, WS Rendra, Emha
Pancasila (P4).
Ainun Najib, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Adnan Buyung Nasution, Roekmini K. Astoeti, Arief Budiman, Arbi Sanit, dan George Junus Aditjondro. Berbagai
terbitan mahasiswa di kampus yang tadinya dikenal garang, juga dinyatakan dilarang. Sebagai gantinya, pimpinan universitas menerbitkan media yang langsung dikontrol oleh rektor. Semua penerbitan harus mengajukan permohonan surat tanda terdaftar (STT) di Departemen Penerangan di tingkat lokal. Semua mahasiswa baru diwajibkan mengikuti penataran Pedoman Penghayatan dan Pelaksanaan Pancasila (P4) di mana mereka harus mendengarkan ceramah-ceramah yang disampaikan para Manggala, yang sebagian adalah anggota militer, secara top-down. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan
POLA KEKERASAN
mengeluarkan surat keputusan bersama tentang pembentukan resimen mahasiswa (Menwa) di kampus-kampus di Indonesia. Para pimpinan satuan mahasiswa umumnya memiliki hubungan organisasional model matriks dengan rektorat di satu pihak dan pimpinan Komando Daerah Militer (Kodim) di lain pihak. Dengan pola seperti ini banyak anggota Menwa yang berdasar talent scouting saat pendidikan dasar (latsar) kemiliteran direkrut menjadi anggota atau agen intelijen. Para anggota intel kampus ini biasanya memberikan laporan secara rutin kepada pihak Kodim mengenai situasi keamanan di kampus dan nama-nama para mahasiswa yang dianggap “bermasalah”.
Kontrol terhadap Penerbitan dan Peredaran Buku Penerbitan buku dan perkembangan dunia ilmiah adalah hal yang saling berkaitan.
Buku adalah masa depan. Pada bukulah seharusnya orang menuliskan pengalaman, angan-angan, dan pengetahuannya. Pada bukulah generasi masa depan seharusnya menemukan catatan-catatan tentang kehidupan dan polah tingkah makhluk yang pernah hidup sebelum mereka. Pemerintah Orde Baru bisa disebut sebagai pemegang rekor dalam pelarangan buku. Selama hampir 31 tahun, Orde Baru telah melarang lebih dari 2.000 judul buku. Pelarangan pertama dimulai tak lama setelah Peristiwa Gerakan 30 September, yaitu pada 30 November 1965. Saat itu Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Bidang Teknis Pendidikan, Drs. K. Setiadi Kartohadikusumo, melarang penerbitan 70 judul buku. Pelarangan ini disusul dengan pelarangan membabi-buta terhadap semua karya dari 87 pengarang yang dituduh sebagai bagian kelompok kiri yang harus dilibas habis dari bumi Indonesia yang bersendikan Pancasila. Kebijakan ini tampaknya terus berlangsung hingga kini, yaitu melarang buku bukan karena isinya tapi lebih karena “noda politik” si penulis, editor, dan penerbit, sama sekali tak ada hubungannya dengan isi buku.
Batas ketentuan “mengganggu ketertiban umum” pun
Kejaksaan
nyaris tak berbatas, yaitu semua hal yang bertentangan
Agung membuat
dengan konstitusi, hukum, dan norma-norma yang
sebuah
hidup dalam masyarakat, yang dapat mengakibatkan
ketentuan yang
terganggunya kehidupan ideologi, politik, ekonomi,
memungkinkan
sosial, dan budaya pertahanan dan keamanan. Rincian
dirinya memasuki
yang ada hanya menjelaskan “bertentangan dengan
semua wilayah
Pancasila dan UUD 1945; yang mengandung dan
secara tak
menyebarkan ajaran atau faham Marxisme/Leninisme-
terbatas yang bisa
Komunisme yang dilarang oleh TAP MPR No. XXV/
dipakai untuk
MPRS/1966; merusak kesatuan dan persatuan
melarang terbitan
masyarakat, bangsa dan negara RI; merusak
apa saja.
kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan nasional; tulisan atau gambar yang merusak akhlak
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
dan memajukan percabulan/pornografi; memberikan kesan anti-Tuhan, antiagama dan penghinaan terhadap salah satu agama yang diakui di Indonesia; yang merugikan dan merusak pelaksanaan pembangunan yang tengah dilaksanakan dan hasil-hasilnya yang telah dicapai, menimbulkan pertentangan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA); bertentangan dengan GBHN.”
Namun, bukan hanya itu, karena Kejaksaan Agung masih memasukkan poin “dan lain-lain” dalam rincian ketentuan tersebut. Artinya, Kejaksaan Agung membuat sebuah ketentuan yang memungkinkan dirinya memasuki semua wilayah secara tak terbatas yang bisa dipakai untuk melarang terbitan apa saja. Setiap kali mengeluarkan larangan, pihak Kejaksaan Agung selalu mencantumkan sejumlah “pasal-pasal karet” dalam poin “mengingat”. Pasal-pasal itu, antara lain, tercantum dalam Undang-Undang Anti-Subversi yang lebih dikenal sebagai UU Nomor 4 PNPS/1963, suatu undang-undang yang keberadaannya sangat kontroversial. Pasal- pasal yang bisa dipakai melarang buku juga ada di sejumlah undang-undang dan keputusan Presiden, misalnya UU Nomor 5 Tahun 1991 atau Keppres Nomor 55 tahun yang sama. Para pengedar buku terlarang pun bisa diancam dengan UU Subversi, seperti yang pernah dialami tiga aktivis kelompok studi di Yogyakarta (1989) yang ditangkap dan disiksa setelah mengedarkan karya Pramoedya Ananta Toer. Setelah buku yang dilarang dimasukkan dalam domain subversif, orang yang mengedarkannya bisa dianggap berupaya menggoyah sendi-sendi negara kesatuan RI. Padahal, dalam rapat Polkam, para petinggi negara selalu melaporkan situasi keamanan dan politik dalam “keadaan aman, tertib, mantap, dan terkendali”.
Kontrol terhadap Film dan Kesenian Rakyat Selain seksi perfilman Kopkamtib, pemerintah Orde Baru meneruskan kebijakan
zaman kolonial yang Belanda dan pemerintahan Soekarno yang membentuk badan sensor. Pasca-Peristiwa Gerakan 30 September, terjadi pembersihan terhadap semua unsur kiri di tubuh Badan Sensor Film (BSF). Pada awalnya keanggotaan BSF pada zaman Orde Baru terdiri dari 24 orang perwakilan pemerintah dan 9 orang dari partai politik. Namun, secara bertahap, pemerintah Orde Baru mengalihkan kontrol lembaga sensor yang tadinya berada di tangan para wakil masyarakat kepada para agen keamanan, terutama kepolisian dan BAKIN. Situasi ini kian menguat sepanjang kurun 1972-1982 saat Ali Murtopo menjadi Menteri Penerangan. Pada era Ali Murtopo, BAKIN mempunyai dua orang perwakilan dalam BSF. Setiap film yang diproduksi atau diimpor harus terlebih dulu diserahkan kepada BSF untuk ditonton oleh komite yang terdiri dari tiga anggota. Jika anggota komite tidak bisa mencapai kesepakatan, maka film harus dipresentasikan pada pleno anggota dewan. Jika produser dan importir film ditolak oleh ketiga anggota komite, mereka bisa meminta ditinjau ulang oleh anggota dewan.
POLA KEKERASAN
Pada pertengahan 1970an pemerintah membuat regulasi yang mengatur kemungkinan adanya intervensi pemerintahan lokal dalam mengawasi film. Hal ini disusul dengan dibentuknya Badan Pembinaan Perfilman Daerah (Bapfida) pada tahun 1975. Bapfida ditunjuk oleh gubernur dan dikepalai oleh kepala wilayah departemen, termasuk aparat keamanan. Pada tahun 1977, kewenangan Bapfida ditambah dengan kewenangan untuk menyensor film yang diputar di wilayahnya. Kalau BSF bertugas untuk menggunting adagan film yang memiliki potensi berbahaya, maka Bapfida memiliki kewenangan untuk melarang peredaran sebuah film di tingkat provinsi.
Berbagai upaya untuk mengontrol film melalui praktik
Semua
sensor dilakukan pemerintah Orde Baru. Pada tahun
film yang
1977 pemerintah menyusun sebuah pedoman sensor
mempromosikan
sistematis yang pertama, disusul Dewan Film Nasional
analisis atau
(lembaga yang didanai pemerintah) menerbitkan Kode
ideologi politik
Etik Produksi Film Nasional pada tahun 1981. Dalam
yang dipandang
seminar tentang Kode Etik Produksi Film pada 1981,
mengganggu
Jenderal Sutopo Juwono yang juga adalah KaBAKIN
stabilitas
menjelaskan tentang larangan sebuah film, yaitu tidak
nasional, secara
boleh ada muatan konflik antarkelompok yang
otomatis akan
umumnya dimulai dari kesenjangan antara ”kaya dan
dilarang.
miskin”. Aspek politik dari Pedoman Sensor yang akan melarang sebuah film adalah apabila dianggap berbahaya bagi ”politik dalam dan luar negeri” atau
”bertentangan dengan kebijakan pemerintah”. Kode etik juga menyatakan bahwa tanggung jawab sebuah film untuk menghilangkan semua pernyataan yang memerosotkan kepercayaan masyarakat pada lembaga pengadilan, terutama larangan bagi penghinaan pada aparat penegak hukum dan ketertiban, serta larangan memperlihatkan aparat kepolisian yang dibunuh oleh penjahat. Ini termasuk cerita tentang penculikan, di mana pada akhir film sang anak yang diculik harus kembali dalam keadaan selamat.
Pada tahun 1992 BSF diganti menjadi Lembaga Sensor Film (LSF). Pada kenyataannya, lembaga baru ini tidak mengalami perubahan yang berarti dan tetap harus bertanggung jawab kepada menteri penerangan. Cara kerja LSF juga tertutup dan bersifat rahasia. LSF memiliki kewenangan yang lebih besar, bukan sekadar menyensor film tapi juga bertanggung jawab untuk menyensor semua materi audio visual yang diedarkan, ditayangkan, atau disiarkan di Indonesia. Pada tahun 1994 pemerintah Orde Baru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film. Peraturan tersebut menyatakan bahwa semua film yang mempromosikan sebuah analisis atau ideologi politik atas tuduhan-tuduhan yang keliru, yang mungkin dipandang mengganggu stabilitas nasional, secara
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
otomatis akan dilarang. Pemerintah juga membuat berbagai aturan penyensoran yang lebih detil, komprehensif, dan bersifat publik.