Pemindahan Paksa dan Kelaparan

C.3. Pemindahan Paksa dan Kelaparan

Tahun 1978-79, pasukan Indonesia dengan gencar menyelenggarakan operasi militer untuk menyerang pertahanan perlawanan di Timor Timur. Warga yang menyerah,

170 Ibid, par. 510. 171 Kesaksian Domingos Pinto de Araújo Moniz dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan dalam Operasi

Militer”, Jakarta, 26 November 2013.

POLA KEKERASAN

turun dari wilayah pegunungan yang dikuasai oleh Fretilin dalam kondisi yang memprihatinkan. 172 Dalam laporannya, CAVR menemukan bahwa: “Militer Indonesia gagal menjamin kebutuhan dasar dari mereka yang menyerah dan tanpa akses tempat berlindung. Mereka kekurangan makanan, air bersih, dan kesehatan yang memadai di kamp-kamp yang dikontrol tentara, ribuan orang meninggal.” Tome da Costa Mangalhaes, salah seorang pengungsi di wilayah Alas, Manufahi memberikan kesaksiannya pada CAVR:

“Kami tinggal di Uma Metan selama tiga bulan. Di sana saya melihat banyak penduduk sipil sekitar 8.000 yang dikonsentrasikan di sana. Mereka berasal dari Aileu, Maubisse, Same, Ainaro, Manatuto, Dili, Liquiça, dan Viqueque. Mereka sangat menderita karena lapar, sakit, dan tidak ada pakaian. Selama tiga bulan di sana, kami tidak diperbolehkan keluar dari batas antara satu sampai dua kilometer, karena mereka mencurigai kami melakukan kontak dengan Fretilin. Di Uma Metan tidak ada air minum. Untuk mengambil air harus diantar oleh Hansip dan Tentara, dan hanya orang-orang yang masih kuat saja yang bisa kembali lagi ke tempat semula, yang tidak kuat bisa meninggal di jalan dan dibiarkan saja di sana di tempat-tempat yang terjal. Kami diberi makanan tetapi hanya jagung sebanyak satu kaleng kecil untuk satu orang selama satu minggu. Karena itu kami hanya bisa masak sebanyak satu genggaman tangan untuk dua hari. Karena itu banyak orang yang tidak tahan lapar dan akhirnya antara 5 – 6 orang meninggal dalam satu hari karena lapar. Dan mereka yang makan jagung yang sudah rusak akhirnya kena berbagai penyakit seperti kaki dan tangan bengkak, sakit perut, dan TBC. Begitu kena sakit tidak lama kemudian meninggal. Tentara tidak memberi obat untuk mengobati orang- orang yang sakit dan mati setiap hari. Siapa saja yang masuk di sana hampir bisa dipastikan bahwa akan meninggal, kecuali nasibnya beruntung. Tentara memang sengaja menghukum orang-orang siang dan malam dan tidak memperbolehkan mereka keluar untuk mencari makanan, mengambil air, dan mencari kayu bakar. Tentara juga tidak memberi makan orang, mengobati orang yang sakit, karena itu orang meninggal karena kelaparan, kehausan, dan penyakit, sehingga selama satu minggu orang yang meninggal bisa sampai 40 orang.” 173

Saksi dari desa Ahic, Viqueque menceritakan apa yang mereka alami sesudah turun gunung dan menyerah. Kekerasan berlangsung di mana-mana, dan berakibat pada kelaparan. Pihak Palang Merah kesulitan untuk memberikan bantuan. Pendidikan sekolah tutup, karena tidak ada guru yang mau mengajar di sekolah.

172 “Studi Kasus 34: Pengepungan dan Kelaparan Selama Operasi Militer di Timor Timur”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK. 173 Laporan CAVR, Op.cit., “Pemindahan Paksa dan Kelaparan”, par. 176.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

“Pada tahun 1979, kami menyerah di kota lama Lacluta. Di sana sekitar 500 orang mati kerena kelaparan dan kekurangan obat-obatan untuk TBC, busung lapar [marasmus], dan diare. Banyak dari yang meninggal sudah tidak mempunyai keluarga lagi untuk menguburkan mereka. Sebagian meninggal di dalam kamp dan sebagian meninggal ketika mereka keluar ke hutan mencari makanan. Kuda dijual hanya dengan harga Rp. 1.000, - ditambah dua rantang nasi dari Hansip. Kalung emas dapat diperdagangkan dengan 1 rantang nasi. Sebagai penukar makanan, anak-anak perempuan dapat dipaksa menikah dengan Hansip dan ABRI, meskipun mereka telah menikah secara sah. ABRI dan camat memutuskan untuk memindahkan setiap orang dari Kota Lama Lacluta ke Desa Dilor. Di Desa Dilor, pemimpin politik dan anggota Falintil disiksa dan dibunuh. Semua laki-laki yang berusia di atas 15 tahun diwajibkan melapor ke pos-pos militer pada pagi dan malam hari, dan melakukan tugas ronda di malam hari. Jika mereka tidak patuh, semua harta benda mereka dicuri, dan mereka bisa disiksa (direndam di air kotoran selama tiga jam, diminta berjalan di semak-semak berduri, berdiri di atas batu bara, atau digantung dengan kepala ke bawah). Perempuan seringkali diperkosa dan dipaksa “kawin” dengan anggota Hansip dan ABRI tanpa ada komitmen dari keluarga korban; banyak anak- anak yang lahir dari kawin paksa ini ditinggalkan begitu saja. Pada tahun 1979 – 1980, kami menerima bantuan dari Palang Merah Indonesia. Kami diperkenankan ke kebun-kebun, namun hanya berjarak kurang dari 1 kilometer dari Dilor, dan hanya dengan meminta izin perjalanan kepada pihak keamanan. Seringkali terjadi kerja paksa tanpa dibayar. Tidak ada pendidikan karena tidak ada fasilitas dan guru. Anak-anak usia sekolah

direkrut secara paksa menjadi anggota TBO (Tenaga Bantuan Operasi).” 174

Pada 1979, Tentara Indonesia akhirnya memperbolehkan beberapa organisasi kemanusiaan internasional untuk masuk memberikan bantuan. Situasi krisis yang berlarut-larut untuk mendapatkan bantuan. Desakan dari kunjungan 9 duta besar pada September 1978 tidak dipedulikan oleh aparat Indonesia selama satu tahun. Pada April 1979, Catholic Relief Services (CRS) memperkirakan 200.000 orang dalam “kondisi kekurangan gizi pada tingkat serius atau kritis”.

Seperti halnya para tahanan politik ‘65 yang dibuang dan dipenjarakan ke Pulau Buru, aparat keamanan Indonesia mulai menggunakan Pulau Atauro sebagai “pulau penjara” sejak tahun 1980, setelah kasus Marabia, dan upaya perlawanan lainnya; Viqueque, Ainaro, dan Kararas. 175 Sebagai tindakan pembalasan, aparat keamanan

174 Ibid, hlm. 65-66. 175 “Studi Kasus 64: Pembuangan dan Penahanan Sewenang-Wenang ke Pulau Atauro Timor Timur 1980”, Narasi

Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

POLA KEKERASAN

memindahkan ribuan penduduk, kebanyakan anak-anak dan perempuan, dari wilayah-wilayah di mana terjadi penyerangan oleh kelompok Falintil terhadap tentara Indonesia. Para tahanan dan kemudian keluarga orang-orang yang ditengarai adalah anggota Falintil dipindahkan secara masif, dengan alasan “memisahkan ikan dari air” – maksudnya, memotong pemberian makanan dan dukungan masyarakat pada kelompok gerilyawan.

Para tahanan dan keluarga mereka dinaikkan kapal

Keluarga

perang (dikenal sebagai 501, 502, 504, LCM 01/01) atau

dari orang-orang

dipindahkan dengan pesawat. Antara tahun 1980 –

yang ditengarai

1986, sekitar 3.000 – 4.000, bahkan ada estimasi

anggota Falintil

setinggi 6.000 orang, dipindahkan secara paksa ke

dipindahkan

Atauro. Pada 1986, semua orang “dibebaskan” dan

secara masif,

disediakan transportasi untuk memulangkan mereka.

dengan alasan

Sebanyak 17 keluarga memilih untuk tinggal di Atauro,

“memisahkan

setelah menandatangani sebuah pernyataan tertulis.

ikan dari air”.

Waktu yang paling sulit bagi para tahanan terjadi pada saat kedatangan pertama dari Dili (3 September 1980) sampai dengan kedatangan ICRC (26 April 1982)

hampir dua tahun kemudian. Beberapa saksi menyatakan bahwa selama ini, 350 orang meninggal karena sakit disebabkan oleh kekurangan gizi.

Seorang kepala desa, Faustino, masih berada di kelas 4 pada saat itu, mengingat kematian 5 – 6 anak per hari. Ayah dari Sabika, salah seorang komandan Falintil di Aileu, juga meninggal di pembuangan. Tentara Indonesia menyediakan makanan yang tidak mencukupi, sekitar 900 gram jagung berkualitas buruk per keluarga setiap minggu. Mereka yang meninggal dikuburkan di sebuah lokasi di belakang kota kecamatan, Villa.

Atauro adalah pulau penjara yang telah digunakan sejak masa kolonial Portugis. Pada periode pendudukan Jepang juga dipergunakan bagi tahanan pejuang kemerdekaan. Ketika pendudukan Timor Timur oleh militer Indonesia, Atauro dimanfaatkan kembali sebagai penjara. Kebijakan pendudukan militer Indonesia memenjarakan basis pendukung para pejuang di masa yang akan datang. Oleh karena itu, banyak anak-anak dan perempuan yang ditahan di Atauro adalah keluarga dari pejuang-pejuang Timor-Leste. Kebutuhan pokok untuk makan di Atauro tidak terjamin, seringkali terjadi kelaparan di sana. 176 Acapkali seandainya saudaranya aktivis perlawanan yang sedang berjuang di hutan, maka adiknya sebagai sandera ditahan di Atauro. Joana Pereira, ketika itu berusia 13 tahun, merupakan contoh tawanan yang disandera. Karena kakaknya sedang berjuang di

176 “Penjara Atauro”, dalam Chega!, Laporan CAVR, hlm. 257-258.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

hutan, maka adiknya yang menjalankan “hukuman”. Mereka yang dipindahkan ke Atauro bercerita kepada CAVR:

“Pada tanggal 29 Agustus 1981, Koramil Quelicai mengatakan kepada kami, siapa yang masih memiliki keluarga di hutan harus mendapatkan hukuman. Pihak Koramil kemudian mendaftarkan nama-nama orang. Setelah beberapa hari, saya melihat nama-nama yang dipasang pada sebuah tripleks di depan Kantor Desa, baru saya mengetahui kalau kami akan dihukum di Ataúro. Saat itu saya berumur 13 tahun, Mateus Pereira masih kecil berumur sekitar sembilan tahun (kami berdua dihukum di Atauro karena kakak kami Pascoal Pereira (Nixon) masih di hutan). Pada tanggal 30 Agustus 1981, Komandan Koramil Quelicai membawa kami dengan pengawalan empat truk bersenjata menuju pelabuhan Laga, Baucau. Pada 1 September 1981, kami diberangkatkan ke Ataúro dengan kapal perang 511. Sampai di sana, saya dan adik saya tinggal secara terpisah, dia tinggal di rumah dengan nomor 22 bersama 60 orang, saya tinggal di rumah nomor 24 dengan 70 orang. Kami tinggal dalam sebuah rumah yang tidak ada apa- apanya, atap rumah ditutup dengan seng, dindingnya ditutup dengan terpal, tidak ada tempat tidur. Waktu kami memulai hidup di Ataúro, saya dan Mateus hanya makan makanan yang kami bawa dari Quelicai. Satu bulan kemudian kami baru mendapatkan jatah makanan berupa jagung sebanyak tiga kaleng (ukuran kaleng sarden) dari tentara. Jatah makanan tersebut kami terima dua minggu sekali per kepala keluarga (KK). Kondisi demikian menyebabkan terjadinya kelaparan. Orang yang paling banyak meninggal adalah mereka yang dari Lospalos dan Viqueque. Dalam sehari yang meninggal 2 – 5 orang, yang paling banyak adalah anak-anak dan orang

tua.” 177

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111