Pemisahan Anak Secara Paksa dan TBO

C.4. Pemisahan Anak Secara Paksa dan TBO

Konflik yang berlarut-larut di Timor-Leste berdampak pada kehidupan anak-anak. Mereka yang kehilangan orang tua dan sanak saudara mengalami kelaparan dan hidup yang mencekam. Anak-anak setelah dipergunakan untuk tenaga bantuan operasi, kemudian dibawa ke luar Timor-Leste oleh tentara. Ada juga anak-anak yang dibawa dari panti asuhan oleh orang-orang sipil dan militer dengan tujuan meringankan beban lembaga panti asuhan. Namun ada pula pengambilan anak Timor-Leste dengan motif untuk memurnikan anak ini dari musuh mereka.

Terlepas dari beragam motif yang ada, “pemindahan paksa” anak-anak Timor Timur ke tangan orang-orang Indonesia dilakukan secara sistematis. Banyak orang tua

177 Laporan CAVR, Op.cit., “Pemindahan Paksa...”, par. 297.

POLA KEKERASAN

anak itu tidak bisa bertahan dari operasi pengepungan dan pemusnahan militer Indonesia. 178 Pertempuran sengit dan kesulitan ekonomi dan sosial yang menjadi beban sebagian besar masyarakat Timor-Leste membuat mereka terpaksa berpisah dengan anak-anaknya. Diperkirakan 4.000 anak diambil dari keluarga mereka dan dibawa ke Indonesia selama pendudukan militer di Timor Timur. Pemindahan anak- anak merupakan praktik yang disetujui pihak berwenang militer dan sipil. Praktik itu melibatkan individu dan institusi seperti militer, organisasi keagamaan dan sosial yang memfasilitasi proses itu.

Salah seorang anak yang diambil secara paksa dari keluarganya adalah Isabelinha Pinto. Ketika dipisahkan dari keluarganya, dia baru berumur 6 tahun. Pada masa kecil, Isabel telah dipaksa bekerja untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti mencuci. Menjelang remaja, ia menjadi korban pelecehan seksual dari tentara yang mengangkatnya. Pada masa remaja, dia berpindah-pindah mengikuti orang tua angkatnya. Dia juga bercerita sebenarnya anak-anak Timor-Leste yang dipindahkan paksa telah putus hubungan kebudayaan dengan kampung halamannya:

“Tahun ’79, saya ‘diadopsi’ dari keluarga saya. Nama saya Isabelinha Pinto. Saya diangkat sama tentara. Waktu itu nama saya diganti menjadi (nama keluarga tentara tersebut). Pada masa itu, orang tua angkat saya sampai tahun 1984 masih komunikasi dengan keluarga. Setelah putus hubungan, saya dibawa ke Menado. Kebetulan istri dari bapak yang mengangkat saya itu tidak suka punya anak perempuan. Tapi waktu diangkat dalam surat disebut mengangkat anak untuk menjadi anak kandung karena tidak punya anak perempuan. Tapi kenyataannya mereka tidak suka punya anak perempuan, dan saya dibawa ke Menado karena ibu itu tidak suka, jahat. … Sulit untuk dibicarakan. Saya dikirim ke Sulawesi sekolah di sana, dan waktu kelas 2, saya pindah lagi ke Jakarta. Apapun yang terjadi, saya harus sekolah, dan harus membiayai diri saya sendiri. Sempat dibiayai sebentar, tapi ibunya cemburu sama saya. Bapak itu ternyata setelah mengangkat anak, ada maksud di balik itu, dia mau saya jadi istrinya…” 179

178 Banyak anak-anak dipergunakan dalam Operasi Pagar Betis tahun 1978-79 oleh tentara Indonesia untuk menyapu kelompok perlawanan Fretilin. Sebagai tenaga bantu operasi, anak-anak tidak diberikan upah dan hanya makan satu kali. Lihat Op.cit., Pulangkan Mereka!, hlm. 278.

179 Kesaksian Isabelinha Pinto dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan dalam Operasi Militer”, Jakarta, 26 November 2013.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

“Adopsi”. Foto Isabelinha Pinto kecil saat akan diambil oleh anggota tentara Indonesia (duduk di sebelah kiri Isabelinha). Dua orang di sebelah kanan adalah keluarga dari Isabelinha.. (Foto: Anne-Cecile Esteve)

Dalam melancarkan operasi, militer Indonesia seringkali mempergunakan anak- anak sebagai Tenaga Bantuan Operasional (TBO). Meskipun, perwira tinggi mengumumkan bahwa operasi militer memanfaatkan laki-laki dewasa untuk TBO. Akan tetapi dalam kenyataan, setengah atau sepertiga TBO adalah anak di bawah umur 19 tahun. Pihak militer mempunyai alasan menggunakan TBO anak, yaitu dianggap lebih mudah untuk dikuasai secara mutlak. Anak-anak yang menjadi TBO sebagian direkrut secara paksa, dan ada juga yang bergabung untuk menyelamatkan diri dan keluarga dari ancaman dan kelaparan. Para TBO ditugaskan untuk memberi bantuan logistik, membawa amunisi, memandu tentara melalui wilayah yang tak dikenal, mengambil air, kayu bakar, dan keperluan lainnya. Tahun 1975 – 1979 berlangsung perekrutan TBO secara masif untuk mendukung Operasi Seroja. Joao Rui, baru berumur sembilan tahun waktu ia dijadikan TBO. Dia bekerja untuk operasi militer seperti budak. Ia menceritakan pengalamannya kepada CAVR:

“Kami berjalan lebih dari 12 jam setiap hari. Berangkat pukul 05.00 pagi dan berjalan sampai pukul 12.00. Kemudian istirahat dan makan siang, lalu kami berangkat lagi sampai malam hari. Besoknya berangkat lagi dan kami mondar-mandir di hutan begitu saja. Saya sudah mulai bawa barang berat pada waktu itu. … Lalu kami naik ke [Gunung] Matebian, hujan terus dan saya tidak bisa tidur karena semuanya basah. Kadang-kadang kami kembali

POLA KEKERASAN

kota dan mengambil beras, kadang-kadang heli yang antar. … Ada suatu gunung yang sulit sekali yang kami lewati dan ada yang jatuh … di perbatasan Uatu-Lari, di kaki gunung tersebut, kami istirahat dua hari, tetapi hujan lebat dan helicopter tidak dapat mencapai daerah kami selama dua hari dua malam. Kami kehabisan beras, rokok, pokoknya semua habis. Mereka tertekan hanya minum teh … ketika matahari sudah turun, kami mencari buah-buahan, kelapa, dan sebagainya, dan tiba-tiba helicopter turun. Tentara sudah menurunkan isyarat asap dan helicopter itu menjumpai kami dan memberikan beras. Tiba-tiba saja semua TBO yang lebih tua melarikan diri. Mereka sudah tahu jalan dan kembali ke desa mereka. Sesuatu yang sulit kami [anak-anak kecil] lakukan—kami di tengah hutan dan dari mana kami mengetahui jalan? Malam itu ketika komandan kompi memerintahkan kami untuk mengambil beras, baru diketahui ada dua TBO yang hilang. Satu TBO lainnya juga meninggalkan kesatuan kami, sehingga yang tinggal hanya dua. TBO yang lain itu berumur 16 atau 17, dan saya sendiri berumur delapan atau sembilan.” 180

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111