Problem Hukum dan Reformasi yang “Belum Tuntas” di Lembaga Peradilan

D.4. Problem Hukum dan Reformasi yang “Belum Tuntas” di Lembaga Peradilan

Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu selalu mengemukakan adanya sejumlah masalah ‘teknis’ hukum. Permasalahan tersebut antara lain, pertama, UU No. 26/2000 yang memberikan kewenangan terhadap DPR untuk merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc menjadi polemik terus-menerus, khususnya tentang alur pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Padahal, putusan MK telah memperjelas alur pembentukan pengadilan HAM ad hoc tersebut. Keputusan MK memperjelas tahapan rekomendasi yang dikeluakan oleh DPR, yakni setelah adanya penyelidikan oleh Komnas HAM dan penyidikan oleh Jaksa Agung, karena MK menganggap kata ‘dugaan’ melanggar kepastian hukum, sehingga untuk memberikan kepastikan hukum tersebut, dalam memberikan rekomendasi DPR perlu melihat hasil penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Jaksa Agung. 425

Kedua, bolak-balik berkas hasil penyelidikan Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung menjadi salah satu permasalahan menahun tanpa penyelesaian. Sejumlah argumentasi dikemukakan Jaksa Agung untuk menolak hasil penyelidikan Komnas HAM, yang bertolak belakang dengan penerimaan Jaksa Agung untuk tiga perkara pelanggaran HAM yang telah diajukan ke pengadilan. Pada periode 2004-2013, praktis tidak ada perkara pelanggaran HAM baru yang diajukan ke pengadilan.

Pengadilan Militer. Anggota Kopassus yang didakwa terlibat dalam kasus penculikan aktivis 1997-1998 menjalani sidang di Pengadilan Militer. (Foto: TEMPO/Rully Kesuma)

425 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-V/2007

POLA KEKERASAN

Ketiga, kewenangan pengadilan HAM terhadap kasus-kasus yang telah diadili sebelumnya. Dalam sejumlah kasus, misalnya penembakan mahasiswa Trisaksi dan penculikan aktivis telah disidangkan di peradilan militer, yang dianggap telah selesai, dan jika kasusnya diadili kembali akan terjadi double jeopardy. Sementara Komnas HAM juga melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus tersebut, berdasarkan delik yang berbeda, yakni kejahatan terhadap kemanusiaan dengan merekomendasikan sejumlah nama untuk dimintai pertanggungjawaban. Alasan inilah yang sering kali digunakan oleh Jaksa Agung dalam menolak melanjutkan penyelidikan Komnas HAM.

Keempat, terkait dengan kewenangan peradilan, dalam sejumlah kasus yang sebetulnya merupakan pelanggaran HAM yang berat dan pelakunya adalah pihak militer, penanganannya sering kali dilakukan dengan peradilan militer. Pilihan penggunaan peradilan militer ini cukup efektif dalam mencegah peristiwa kejahatan diselidiki oleh Komnas HAM dan membawa pelakunya ke pengadilan HAM. Terlebih, pengadilan militer masih belum direformasi sebagaimana mandat UU TNI dan prosesnya masih dalam kontrol institusi militer sepenuhnya.

Kelima, regulasi menyulitkan para korban untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi, karena bergantung pada mekanisme pengadilan. Sementara merujuk pada pengalaman yang telah dibentuk, pengadilan gagal menghukum pelaku dan memberikan keputusan final tentang kompensasi atau restitusi kepada para korban. Saat ini belum ada lagi pembentukan pengadilan HAM, mustahil korban akan mendapatkan kompensasi dan restitusi. Satu-satunya mekanisme yang memungkinan korban mendapatkan pemulihan adalah bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dari LPSK.

Dengan berbagai permasalahan hukum tersebut, institusi peradilan belum mampu memberikan penyelesaian yang memadai. Keputusan MK yang memberikan kepastian tentang proses pembentukan pengadilan HAM ad hoc tidak dipatuhi. MA pun seharusnya mampu memberikan ‘fatwa’ yang mampu menyelesaikan polemik tersebut. Namun, kedua institusi tersebut juga masih menghadapi sejumlah permasalahan, yaitu merupakan lembaga yang masih memerlukan reformasi dalam sejumlah hal.

Reformasi lembaga-lembaga peradilan yang belum ‘tuntas’, telah menyumbang kegagalan berbagai upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu atau sejumlah kasus yang terjadi setelah reformasi. Pada awal reformasi, dengan adanya regulasi tentang pemisahan kekuasaan peradilan dengan eksekutif, melalui adanya perubahan UU Kekuasaan Kehakiman, lembaga peradilan diharapkan mampu menjadi lembaga yang independen. Namun, tampaknya lembaga peradilan ini masih belum mampu sepenuhnya memberikan keadilan kepada para korban.

352

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

MA tercatat sebagai lembaga yang justru membebaskan seluruh terdakwa kasus pelanggaran HAM yang diajukan ke pengadilan HAM. Dalam kasus Timor Timur misalnya, dua terdakwa yang dijatuhi pidana, yakni Abilio Soares dan Eurico Guterres, dibebaskan oleh MA pada tingkat PK. MA telah memberikan kualitas putusan yang buruk dan tidak berhasil melakukan koreksi atas kesalahan pengadilan di bawahnya, termasuk dalam memberikan kepastian hukum. Terdapat masalah yang cukup serius di MA dan badan-badan peradilan di bawahnya terkait dengan kepasitas dalam mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan. Kegagalan dalam menghukum pelaku kejahatan kemanusiaan di Abepura pada tahun 2000, yang perkaranya diadili di pengadilan HAM Pengadilan Negeri Makassar telah membuktikan hal tersebut.

Kondisi badan-badan peradilan masih belum mampu mengadili berbagai kasus yang mempunyai dimensi politik tinggi dan melibatkan aparat militer. Sejumlah kasus yang diajukan ke pengadilan melalui berbagai badan peradilan, terbukti tidak sepenuhnya mampu membongkar sejumlah kasus dan menghadirkan pelaku-pelaku yang seharusnya dapat dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kasus peradilan koneksitas dan peradilan terhadap kasus Beutong Ateuh telah menunjukkan kegagalan pengadilan. Demikian juga dalam sejumlah kasus lainnya, misalnya pembunuhan terhadap Theys H. Eluay, pembunuhan Munir, dan berbagai kasus yang terjadi selama Orde Baru.

Badan-badan peradilan saat ini hanya berada dalam ‘level’ memberikan keputusan yang memadai terkait dengan sejumlah kebijakan. MA baru-baru ini memberikan keputusan yang baik terkait dengan uji materiil peraturan masa lalu yang bertentangan dengan HAM, yakni Keppres No. 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G30S Golongan C. MA mengabulkan permohonan ini dan menyatakan bahwa Keppres harus dibatalkan. MA menyatakan bahwa Keputusan Presiden RI Nomor 28 Tahun 1975 tanggal 25 Juni 1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G30S Golongan C, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. 426 Demikian pula dengan MK yang memberikan putusan terkait dengan hak politik dari mantan tahanan politik.

426 Keppres tersebut bertentangan dengan sejumlah UU, yakni i) Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) Perubahan kedua UUD 1945, Pasal 28 D ayat (3) Perubahan kedua UUD 1945, dan Pasal 28 I ayat (2) Perubahan kedua UUD 1945; ii) Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang KekuasaanKehakiman; iii) Pasal 23 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian; iv) Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM; dan v) Pasal 26 Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

DI SINI NANTI AKAN DIIISI JUDUL BUKU

Bersama Keluarga.

Naomi Massa, penyintas kekerasan seksual saat operasi militer di Papua bersama keluarga tercinta. Anak dan keluarga adalah sumber kekuatan Naomi saat melewati

masa sulit. (Foto: Selviana Yolanda)

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111