Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Penganut Agama Minoritas dan Aliran Kepercayaan

B.2. Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Penganut Agama Minoritas dan Aliran Kepercayaan

Tak lama setelah berkuasa, Suharto memprakarsai lahirnya konsensus nasional yang di kemudian hari menjadi dasar legitimasi sistem demokrasi Pancasila. Dalam kaitannya dengan pembersihan golongan kiri, pemerintah Orde Baru menuduh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terlibat di belakang Gerakan 30 September. Tuduhan itu diikuti dengan meningkatnya sentimen anti-Tionghoa. Aksi anti-Tionghoa semakin meningkat dengan tuntutan pengusiran orang Tionghoa dari daerah tertentu. Di Lhokseumawe, Aceh, orang Tionghoa diusir keluar dari rumah mereka masing-masing dan dijemur di bawah sinar matahari selama lebih dari lima jam. Warga laki-laki dipaksa untuk membuka bajunya, kemudian tubuhnya disiram berbagai macam cat atau ditulisi slogan anti-Tionghoa setelah dipukuli terlebih dahulu. Di Kota Medan tembok penuh coretan anti-Tionghoa, antara lain “Orang- Orang Tionghoa Pulang” dan “Sekali Tionghoa Tetap Tionghoa”.

Sikap anti-Tionghoa ini merembet kepada diskriminasi agama dan adat istiadat yang dianut oleh orang Tionghoa. Meskipun Kong Hu Cu dinyatakan sebagai salah satu agama dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, agama ini dilarang pada masa Orde Baru lewat Inpres No. 14/1967 yang berlaku saat ditetapkan pada 6 Desember 1967. 274 Inpres tersebut menyatakan bahwa tata cara ibadah Cina yang memiliki aspek kultural yang berpusat pada negeri leluhurnya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan. Inpres ini juga melarang perayaan dan pesta adat istiadat Cina di depan umum. Inpres ini juga memandatkan pengamanan dan penertiban, terkait kebijakan ini diatur oleh Menteri Dalam Negeri bersama Jaksa Agung.

Sebelum Inpres ini, telah muncul Instruksi Kabinet Presidium No. 127/U/KEP/1966 tentang Kebijakan Penggantian Nama untuk WNI yang memiliki nama Tionghoa. Selain itu, terbit juga Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang isinya “untuk mencapai

273 Kesaksian Azwar Kaili dalam Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Ideologi dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Jakarta, 27 November 2013.

274 “Studi Kasus 118: Diskriminasi dan Pembatasan terhadap Penganut Kong Hu Cu”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

uniformitas dari efektivitas, begitu pula untuk menghindari dualisme di dalam peristilahan di segenap aparat Pemerintah, baik sipil maupun militer, ditingkat Pusat maupun Daerah kami harap agar istilah ‘Cina’ tetap dipergunakan terus, sedang istilah “Tionghoa/Tiongkok ditinggalkan.” Selain itu, muncul pula Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 tentang larangan mengimpor, memperdagangkan, dan menyebarkan semua jenis barang cetakan dalam bahasa dan aksara Tionghoa. 275 Tidak hanya itu, gerak-gerik masyarakat Cina pun diawasi oleh sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang

menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin). 276

Keseluruhan aturan dan kebijakan ini membuat masyarakat Tionghoa tersudut dan tidak leluasa menjalankan kegiatan keagamaan/keyakinan tradisi mereka seperti Kong Hu Cu. Larangan penggunaan aksara Cina juga berarti menghambat penyebaran buku-buku keagamaan/keyakinan yang berisi aksara Cina. Selain itu, ekses larangan ini adalah mereka kesulitan menjalankan perkawinan. Mereka juga mendapat kesulitan memperoleh pekerjaan dan pendidikan. Hal ini pula yang menyebabkan banyaknya umat Kong Hu Cu yang berpindah agama. Diperkirakan, akibat sikap diskriminasi pemerintahan Orde Baru, saat ini umat Kong Hu Cu hanya berjumlah 2 juta orang. 277

Sementara itu, penganut agama yang tergolong sebagai aliran kepercayaan, mendapatkan berbagai diskriminasi. Pada umumnya mereka tidak memiliki KTP sehingga tidak dapat memperoleh surat nikah dan akte kelahiran anak, serta kesulitan mengakses program pemerintah seperti layanan kesehatan dan bantuan ekonomi. Kalaupun ada yang memiliki KTP, kolom agama di KTP yang kosong menimbulkan stigma kafir bahkan ateis. Di sekolah, Anak-anak mereka harus memilih satu dari enam agama yang diakui oleh negara, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu, dan Kong Hu Cu. Selain itu, mereka juga sulit mendirikan rumah ibadah. Mereka tidak bisa dimakamkan di pemakaman umum. Stigma dan diskriminasi terhadap aliran kepercayaan dapat ditelusuri dalam UU 1/ PNPS/1965, pada penjelasan poin 2 menyatakan,

“Namun, hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama. Di antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai agama. Dari

275 Aimee Dawis, (2010), Orang Tionghoa Indonesia: Mencari Identitas, Jakarta: Gramedia, hlm. 45. 276 “Masyarakat Cina di Indonesia”, Tabloid DeTak News, 24 Januari 2001. 277 “Minoritas di Balik Pluralitas”, redaksi ActaSurya, 7 April 2009. htttp://www.actasurya.com/minoritas-di-balik-

pluralitas/

POLA KEKERASAN

239

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/ kepercayaan masyarakat yang menyalahgunakan dan/atau mempergunakan agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan agama-agama yang ada.”

Pasca-reformasi, desakan untuk mengubah kebijakan diskriminatif terhadap mereka yang dianggap menganut aliran kepercayaan, menguat. Meski demikian, perubahan tersebut masih bersifat diskriminatif seperti UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pasal 61 UU ini menyatakan bahwa, KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua. Selain itu keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Lihat pula Pasal 81 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan “Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan. Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat Kepercayaan.” Pengaturan semacam ini mengakibatkan penghayat kepercayaan yang tidak memiliki organisasi tidak dapat dicatat perkawinannya. Terdapat beberapa perkawinan yang dapat dicatat meskipun saat itu keyakinan yang digunakan sebagai dasar perkawinan belum diakui sebagai agama, antara lain Perkawinan antara Gumirat Barna Alam dan Susilawati pada tahun 1996, berdasarkan kepercayaan hukum adat Sunda, di Kantor Catatan Sipil Jakarta Timur. Juga perkawinan antara Prialin dan Endang pada tahun 1989, berdasarkan aliran kepercayaan, di Kantor Catatan Sipil Pati.

Dewi Kanti, salah seorang penganut agama Djawa

“Kami

Sunda atau Sunda Wiwitan, menceritakan diskriminasi

menyadari agama

panjang yang dialami oleh para penganut agama ini.

apapun intinya

Dia menceritakan,

sama, tapi kami

“Saya merupakan generasi ketiga pelestari

punya prinsip.”

spiritual yang disebut agama Djawa Sunda. Latar belakang agama Djawa Sunda diawali keadaan

pada zaman penjajahan di mana ketertindasan sebagai bangsa memunculkan pemahaman bahwa ada yang salah di bangsa ini. Sehingga

POLA KEKERASAN

terjadi penggalian spiritual yang digali oleh seorang tokoh yang bernama Madrais pada 1890an. Ini jadi fondasi melakukan perlawanan budaya terhadap penjajah. Perlawanan budaya ini diperhitungkan Belanda dan peluang menghancurkan gerakan ini adalah dengan diadu domba dengan kelompok lain dan dinyatakan sebagai aliran sesat, penyembah api, dan tidak bertuhan. Ketika masa DI/TII, kami mengalami peristiwa di mana gerombolan itu masuk rumah adat kami dan berusaha membakar, namun puji rahayu rumah adat kami terselamatkan. Setelah periode 50an, masa Republik Indonesia Serikat, saat itu mulai muncul arah angin baru di mana organisasi kebatinan ada ruang bergabung dalam ruang Organisasi Kebatinan Indonesia dan kami jadi anggota. Namun, dalam perjalanan selanjutnya, legalitas sebagai organisasi menjadi tantangan ketika Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) dibentuk pada tahun 1964. Dengan SK Bakorpakem, agama Djawa Sunda dibubarkan. Perkawinan dikriminalisasi, bahkan puluhan pasang yang telah menikah dipenjara, termasuk ayah saya. Pada tahun 1964 beliau ditangkap dan diarak keliling jalan raya di Kuningan, dibiarkan untuk dicaci maki dan dilempari batu dan ditodongkan senjata dengan pengawal senjata.

Tahun 1965 ada PNPS yang hanya mengakui agama resmi dan itu semakin memojokkan kami. Kakek saya melakukan perenungan dan mendapat pewahyuan, kami harus melindungi di bawah cemara putih, yang waktu kakek memahami berlindung di bawah cemara putih adalah berlindung di Kristen dan Katolik. Kakek memiliki kesepakatan dengan pimpinan Gereja Katolik Kuningan, bahwa kami tetap menjalani tradisi kepercayaan. Tahun 1976, karena sejarah rumah adat kami dinaikan statusnya sebagai cagar budaya dan pemerintah pusat mau membantu memperbaiki, pihak gereja Katolik memutuskan tidak menempati rumah ibadah kami sebagai gereja. Pada peristiwa peringatan tahun baru Syura, ayah meminta liturgi gereja supaya Pastor menggunakan atribut Kesundaan, awalnya disepakati, namun pada hari H pastor tidak menggunakan. Ayah saya keluar dari gereja, tanpa diperintah warga lain mengikuti. Di situlah gejolak ada ketidakcocokan di antara kami. Kami menyadari agama apapun intinya sama, tapi kami punya prinsip, kami Katolik tapi Katolik yang nyunda, tapi tidak disepakati. Pada tahun 1982, setelah keluar dari Katolik, ayah kami mendirikan Paguyuban Adat untuk melestarikan tradisi spritual. Tetapi Kejaksaan Jawa Barat kembali mengeluarkan SK 44 tentang larangan perkawinan liar, dasarnya mendapat masukan dari masyarakat.

Dengan pelarangan dan pembedaan, bahwa kami aliran sesat oleh Muslim, kami dihina oleh misionaris di Jawa Barat. Tantangan luar biasa itu tetap kami hadapi. Anak-anak kami mengalami kekerasan psikis setelah keluar

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

POLA KEKERASAN

SK Kejati tahun 1980. Pada semua upacara bendera anak-anak jangan masuk paseban karena itu aliran sesat. Setelah 17 tahun pelarangan Seren Taun, ada perubahan mata pencaharian di komuitas kami. Ketika kami menanam varietas lokal untuk persembahan dalam acara tersebut, banyak anggota komunitas yang patah arang, untuk apa lagi tanam varietas lokal, toh upacara kami dibungkam. Momentum reformasi, kami menampilkan jati diri kami, kebetulan kakak saya melakukan upacara pernikahan adat. Seren Taun dihidupkan lagi. Dari sisi administratif, diskriminasi KTP [tetap ada], perkawinan dianggap masih dianggap liar, menghasilkan akte kelahiran tertulis lahir seorang perempuan dan secara hukum dihilangkan dari silsilah ayah kandung. Sebagai generasi muda saya mau menunjukan bahwa saya berharap agar ada penghargaan terhadap para leluhur nusantara kita lahir sebagai bangsa bukan atas keinginan kita. Manusia lahir dari ibu yang mewariskan peradaban baik spiritual maupun kebudayaan. Saya ingin menjadi saksi meski dianggap berbeda dan aneh.” 278

Diskriminasi juga dialami oleh jemaah Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat. 279 Di NTB warga Ahmadiyah beberapa kali diusir . Pertama, tahun 2001, pasca-pembakaran masjid Ahmadiyah di Bayan. Pada kejadian ini 1 orang meninggal, 1 luka parah dengan bacokan, dan semua warga Ahmadiyah diusir dari Bayan. Pada tahun 2002 jemaah Ahmadiyah di Pancor, Lombok Timur, diserang. Terjadi pembakaran dan penjarahan dari rumah ke rumah. Saat itu pemerintah memberikan pilihan bahwa warga Ahmadiyah boleh tetap di Pancor asalkan keluar dari Ahmadiyah atau tetap meneguhi keyakinannya tapi meninggalkan Pancor. Pada tahun inilah warga Ahmadiyah pertama kali menghuni asrama Transito, Mataram. Pada tahun 2006 jemaah Ahmadiyah di Ketapang, Lingsar, Lombok Barat, diserang dan diusir. Hingga tahun 2013 ini, 130 orang belum dapat kembali ke kampung halamannya dan masih tinggal di Transito dengan kondisi yang tidak layak. Kekerasan terhadap anggota jemaah Ahmadiyah Indonesia di berbagai daerah seolah mendapatkan justifikasi dengan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Nasrudin Ahmadi, salah seoranga anggota Jemaah Ahmadiyah wilayah Lombok, menceritakan kekerasan yang dialami oleh kelompoknya.

“Penyerangan yang dialami oleh warga Ahmadi dimulai sejak tahun 1998 di Desa Keruak, Lombok Timur (Lotim). Terjadi penyerangan pada 22 Juni 2001

278 Kesaksian Dewi Kanti dalam Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Ideologi dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Jakarta, 27 November 2013.

279 “Studi Kasus: Penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

di Dusun Sambielen, Kecamatan Bayan, Lotim, kerugian 22 rumah dirusak,

80 orang diusir, 24,1 hektare tanah terlantar. Meninggal satu orang Ahmadi, yaitu Papuq Hasan. Serangan yang lebih besar pada tahun 2002, secara simultan, berhari-hari (5-6 hari) dan tepat sasaran, padahal selama ini warga Ahmadi bermukim di berbagai tempat, rumah-rumah berbaur dengan masyarakat non-Ahmadi yang padat, selama 32 tahun sangat kondusif. Uniknya saat terjadi penyerangan (2002), sang penyerang tahu persis mana rumah-rumah warga Ahmadi dan yang bukan. Penyerangan skala lebih besar, lebih 130 rumah diserang, dijarah, dan dibakar, ada 2-3 masjid dibakar. Yang menyerang, mereka yang mencintai nabinya, Muhamamad, yang mengklaim agamanya Islam. Kami mengalami 13 kali pembakaran dan amuk massa. Saya sampaikan yang besar-besar saja, ini data polisi NTB.” 280

Penyerangan JAI. Polisi membendung massa yang melakukan penyerbuan kampus Mubarak milik Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jln. Raya Parung No 72, Pondok Udik, Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat, 15 Juli 2005. (Foto: TEMPO/ Arie Basuki)

280 Kesaksian Nasrudin Ahmadi dalam Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Ideologi dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Jakarta, 27 November 2013.

POLA KEKERASAN

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111