Hukum pada Masa Transisi: 1998-2005

C. Hukum pada Masa Transisi: 1998-2005

Reformasi tahun 1998 yang menandai komitmen baru dalam tataran kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, membuka sejumlah tuntutan perubahan. Berbagai tuntutan tersebut di antaranya pergantian kepemimpinan nasional, tuntutan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, reformasi politik dan ekonomi, dan dihapuskannya dwi fungsi ABRI dan penyingkiran militer dari ruang sosial, ekonomi, dan politik. Tuntutan lain adalah keadilan dari para korban pelanggaran HAM yang terjadi selama pemerintah Orde Baru.

Sejak tahun 1998, sejalan dengan pergantian kepemimpinan, terbentuk kebijakan untuk mendorong upaya-upaya pemenuhan keadilan dan arah pembangunan demokrasi di Indonesia. Secara bertahap, terbentuk berbagai kebijakan yang memberikan arah baru bagi masa depan Indonesia. Salah satu perubahan fundamental adalah adanya amandeman UUD 1945, Ketetapan MPR, dan sejumlah UU yang yang telah memperkuat landasan prinsip-prinsip demokrasi, negara hukum, dan perhormatan terhadap HAM.

Komitmen kebangsaan tentang arah pembangunan Indonesia telah dituangkan dalam 4 kali amandemen, di antaranya memberikan pemenuhan hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945, dan dalam berbagai Ketetapan MPR, antara lain Ketetapan MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia, Ketetapan MPR No.

V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, serta Ketetapan MPR No. VII Tahun 2011 tentang Visi Indonesia Masa Depan. Berbagai Ketetapan

407 “Studi Kasus 81: Pemerkosaan dan Pengadilan yang Tidak Adil terhadap Sumarijem (Sum Kuning), Yogyakarta”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

tersebut telah jelas menunjukkan arah dan agenda reformasi untuk menuju Indonesia yang demokratis, menjunjung tinggi hukum, dan menghormati HAM.

Melihat paradigma hukum di masa reformasi, terdapat keinginan untuk mewujudkan supremasi hukum dengan sasaran “terciptanya harmonisasi peraturan perundang- undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan”. Hal ini tertuang dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999- 2004, yang dijabarkan dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rancangan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM). Pada tahun 2000, terbentuk UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) periode 2000-2004.

Dalam periode 1999- 2003 terbentuk 175 UU (tahun 1999 ada 66 UU, tahun 2000 ada

38 UU, tahun 2001 ada 22 UU, tahun 2002 ada 33 UU dan 2003 [sampai Oktober] ada

26 UU). Pada periode ini, terbentuk sejumlah regulasi yang signifikan, terkait dengan HAM, di antaranya UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan ratifikasi instrumen internasional HAM, yakni Kovensi Anti Penyiksaan (CAT) tahun 1998 dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) tahun 1999. Demikian pula pada periode 2004-2005, terbentuk UU No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, perubahan UU Kekuasaan Kehakiman yan memisahkan tegas kekuasaan eksekuti dan yudikatif untuk memastikan kemandirian peradilan, dan ratifikasi 2 kovenan HAM, yakni Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Namun, dalam proses tersebut juga terjadi tarik-menarik dalam menentukan arah dan paradigma pembangunan hukum nasional. Pada awal reformasi, tidak terjadi perubahan berarti dalam praktik politik dan orientasi kekuasaan di masa Orde Baru maupun sesudahnya, karena orientasi utama masih pada usaha memperebutkan kekuasaan dan bukannya efektivitas penggunaan kekuasaan. Juga secara substantif praktik politik di era reformasi masih berorientasi kepada kepentingan negara dan belum bergerak ke arah kepentingan masyarakat sipil. Dalam menentukan skala kepentingan misalnya, keutuhan teritorial negara jauh lebih penting ketimbangan keutuhan sosial masyarakat sipil, yang tecermin dalam penentuan masalah separatisme GAM di Aceh dinilai jauh lebih gawat dan berbahaya bagi negara dibandingkan dengan masalah disintegrasi sosial yang terjadi di Maluku, Poso, dan Kalimantan Barat yang mengakibatkan terjadinya konflik komunal dan menimbulkan korban jiwa yang cukup banyak.

Oleh karena itu, kekerasan di Aceh terus terjadi, misalnya penyerangan terhadap pesantren yang dikelola oleh Tengku Bantaqiah di Beutong Ateuh pada tahun 1999. Kasus ini dibawa ke pengadilan koneksitas yang digelar di Banda Aceh yang menjatuhkan hukuman terhadap 24 anggota TNI dan seorang warga sipil dengan

POLA KEKERASAN

dengan tuduhan melakukan penembakan “dalam keadaan terpaksa”. Kejahatan yang dilakukan dikategorikan sebagai kejahatan biasa dan bukannya kejahatan HAM yang berat. Proses peradilan yang hanya berakhir dengan divonisnya para pelaku lapangan yang melakukan pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah dan para santrinya, tanpa terbongkarnya motif peristiwa, dan pelaku yang paling bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. 408 Pada tahun 2003, terjadi penetapan status Darurat Militer di Aceh melalui Keppres No 28/2003 yang mulai berlaku pada 19 Mei 2003 yang didasarkan pada UU No 23/1959 tentang Negara dalam Keadaan Darurat. Demikian juga terjadi berbagai peristiwa kekerasan di Papua, di antaranya pembunuhan tokoh politik di Papua, Theys H. Eluay.

Tuntutan untuk dihapuskannya dwi fungsi ABRI secara

Masih

formal telah terjadi, dengan adanya kebijakan

ada berbagai

pemisahan Kepolisian dan TNI yang diwujudkan dalam

instrumen hukum

UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU No.

yang memberikan

34 Tahun 2004 tentang TNI. Namun, masih ada

kekuatan lain

berbagai instrumen hukum yang memberikan

kepada militer

kekuatan lain kepada militer Indonesia untuk tetap

Indonesia untuk

bertindak dan terbebas dari tanggung jawab hukum,

tetap bertindak

misalnya belum ada perubahan dalam konsep

dan terbebas dari

peradilan militer untuk mengadili kasus-kasus

tanggung jawab

kejahatan yang dilakukan oleh para anggota militer.

hukum.

Dengan kekhususan dalam sistem peradilan ini, mereka bisa terbebaskan dari tuntutan peradilan sipil/ umum, mendapatkan sanksi hukum yang sering kali

jauh lebih ringan, dan dengan sistem peradilan yang sepenuhnya dikontrol oleh militer. Militer masih meletakkan dirinya sebagai golongan istimewa di Indonesia dengan dominasi yang hingga kini terus dipertahankan, dan hal ini juga menjadi salah satu dasar langgengnya impunitas.

Dalam bidang ekonomi, pembentukan hukum nasional masih tidak bisa lepas dari pengaruh lembaga-lembaga keuangan internasional, misalnya IMF dan Bank Dunia. Perubahan dan pembentukan kebijakan dilakukan dengan dipengaruhi atau berdasarkan pada kesepakatan yang tertuang dalam berbagai Letter of Intent (LoI) Indonesia ke International Financial Institutions (IFIs), lembaga semacam IMF. Kebijakan-kebijakan tersebut di antaranya kebijakan privatisasi dengan adanya ‘perubahan struktural’ untuk mempromosikan transparansi dan kompetisi yang meningkatkan pertumbuhan, privatisasi perusahaan-perusahaan Negara dengan target penjualan berbagai BUMN, mereformasi fiskal, termasuk pembenahan sistem

408 “Studi Kasus 92: Pembantaian Tengku Bantaqiah dan Murid-Muridnya di Beutong Ateuh, Aceh Barat”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

pajak, sistem perbankan, termasuk penyusunan rencana pemerintah untuk mengakselerasi privatisasi bank-bank milik negara. Di samping itu, pemerintah juga merancang program pengurangan subsidi produk minyak bumi dan listrik, termasuk pengurangan subsidi bagi para petani.

Pembangunan hukum yang terlihat adalah produk dari seperangkat sistem yang mempromosikan liberalisasi ekonomi, privatisasi, dan ide-ide dasar perdagangan bebas yang dimotori lembaga keuangan internasional. Negara telah mengemban peran politik-ekonomi yang besar untuk mengatur segala urusan masyarakat agar berkesesuaian dengan kebijakan IFIs. Hal inilah yang lebih dominan mewarnai pembentukan hukum selama peridoe awal reformasi daripada perumusan kembali gagasan-gagasan untuk menyejahterakan dan memberikan rasa aman kepada masyarakat.

Beberapa UU sudah diperbaharui dengan tetap memelihara semangat memfasilitasi eksploitasi dengan investasi skala besar, ketimbang membela rakyat banyak dan lingkungan hidup. Hal ini terlihat dalam pengesahan sejumlah UU di antaranya, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, dan UU Pertambangan di Kawasan Lindung, UU Perikanan, dan sebagainya. Baik substansi maupun praktik implementasinya di lapangan telah menjadi alat pembenaran bagi upaya “pembangunan” yang memeras kekayaan alam. 409

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111