Kuatnya Militerisme dalam Politik

D. Kuatnya Militerisme dalam Politik

Kekuasaan Orde Baru ditopang oleh tiga kekuatan utama, yaitu Kopkamtib, BAKIN, dan Opsus. Ketiganya merupakan institusi intelijen yang saling mendukung dan bekerja sama. Sebagai institusi, Kopkamtib merupakan sebuah lembaga ekstra- konstitusional yang bisa bekerja dengan mengabaikan hukum dan undang-undang yang ada. Secara terang-terangan, sepanjang 1982-1985, institusi ini menjalankan sebuah operasi pembunuhan secara sistematis terhadap ribuan orang. Aksi pembunuhan ini lebih merupakan sebuah tindakan extra-judicial killing’s. Mantan Kapolri, almarhum Hoegeng Imam Santoso, yang dipecat oleh Suharto karena melakukan investigasi besar-besaran terhadap korupsi, menekankan aksi teror muncul dari lemahnya batasan hukum. “Kopkamtib memiliki kekuasaan untuk memerintahkan apa yang seharusnya bukan tugas mereka. Ini seperti ‘kekuatan polisi luar biasa’. Rakyat di Indonesia cenderung merasa terteror saat mendengar nama Kopkamtib. Opini umum mengatakan Kopkamtib dapat melakukan apa saja yang dia maui. Dan ini artinya mereka bisa menangkap rakyat secara serampangan.” 286

Pada praktiknya Kopkamtib memang memiliki kekuasaan luar biasa dalam penetapan kriminalitas dan subversi, penangkapan tanpa surat peringatan, dan penahanan tak terbatas tanpa diadili, menggunakan bentuk interogasi yang penuh penyiksaan dan brutal sebagai cara yang normal, manipulasi prosedur pengadilan dan sidang pengadilan, penahanan dalam penjara yang tidak manusiawi, memantau dan melecehkan/menganggu mantan tapol.

Peran besar Kopkamtib ini tidak lepas dari doktrin sosial politik ABRI. Doktrin tersebut mengantarkan lembaga ABRI tidak hanya menggeluti urusan-urusan kemiliteran saja. Keterlibatan ABRI dalam kehidupan sosial politik telah dikonstruksikan sebagai sesuatu yang taken for granted, wajar dan benar dalam konteks sejarah kelahirannya. Jika pun muncul kritik terhadap dwi fungsi ABRI tersebut, biasanya lebih menyangkut persoalan efektivitas dalam implementasinya dan tidak menyangkut substansi dan esensi dwi fungsi ABRI. Kehadiran dwi fungsi ABRI sering kali dikaitkan dalam satu rangkaian dengan kehadiran konstitusi negara, UUD 1945, bahkan ideologi negara Pancasila. Dengan demikian, penentang dwi fungsi ABRI bisa dianggap sebagai penentang konstitusi negara, UUD 1945, dan berlawanan dengan ideologi negara Pancasila. Dwi fungsi ABRI secara konseptual maupun secara praktis politis sesungguhnya merupakan kontra-fungsi dari paham atau ideologi supremasi sipil (civilian supremacy). Paham supremasi sipil memandang bahwa tentara hanyalah alat negara belaka yang didudukkan di bawah dan dikendalikan

286 Cerita tentang mantan Kapolri Hoegeng yang dikerjai aparat intelijen karena begitu tak disukai Suharto, bisa

dibaca dalam Stanley (ed.), 2004, Pak Hoegeng: Polisi Profesional dan Bermartabat, Jakarta: Adrianus Noe Center dan Lembaga Penghargaan Hoegeng, hlm. 75-101. Baca juga Abrar Yusra dan Ramadhan K.H., 1994, Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

POLA KEKERASAN

oleh pemerintah (sipil) yang berkuasa. Pada gilirannya, lemahnya supremasi sipil ini menciptakan situasi yang membuat aparat dapat bertindak di luar hukum.

Pada masa reformasi, upaya untuk menegakkan supremasi sipil terhadap militer mengemuka. Upaya

Keterlibatan

itu, di antaranya, diwujudkan lewat pemisahan polisi

ABRI dalam

dari militer, penghapusan posisi bidang sosial politik di

kehidupan sosial

tubuh militer, penghapusan kursi militer di DPR dan

politik telah

DPRD, dan penghapusan peran ABRI dari politik

dikonstruksikan

sehari-hari. Namun, perubahan ini belum tuntas.

sebagai sesuatu

Proses transformasi militer yang memisahkan diri dari

yang wajar dan

politik belum sepenuhnya berhasil. Para pelaku

benar dalam

kejahatan di masa lalu tidak pernah diadili. Bahkan

konteks sejarah

mereka masih bercokol dalam jabatan publik hingga

kelahirannya.

sekarang atau memiliki akses besar terhadap kekuasaan. Hal ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah Indonesia saat ini.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Laskar Jihad

Anggota Laskar Jihad dengan mengenakan penutup muka dan membawa senjata tajam saat apel di gedung MPR/DPR RI Jakarta, 10 April 2000

(TEMPO/ Bernard Chaniago)

POLA KEKERASAN

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111