Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perampasan Sumber Daya Alam
D. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perampasan Sumber Daya Alam
Selain menjadi korban dalam konflik bersenjata dan komunal, perempuan juga menjadi korban dalam konflik yang terkait dengan sumber daya alam di wilayah mereka. Sebagaimana diketahui, rezim Orde Baru mengandalkan peningkatan pendapatannya lewat eksploitasi sumber daya alam. Persoalan muncul ketika warga yang tinggal di wilayah eksploitasi diposisikan sebagai warga marginal yang tidak memiliki hak atas wilayah tinggalnya. Pengambilalihan lahan dan wilayah terjadi dengan semena-mena. Tidak jarang warga juga harus berhadapan dengan militer saat mereka melakukan perlawanan atas perampasan hak pengelolaan wilayah mereka. Kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik sumber daya alam terjadi di hampir semua wilayah Indonesia, dan terentang mulai awal berdirinya Orde Baru hingga kini.
Salah satu konflik yang terjadi sejak tahun 1960an adalah konflik orang Papua di Timika dengan PT. Freeport. Pada tahun 1972, suku Amungme bereaksi keras atas tindakan Freeport Indonesia yang menjadikan kawasan keramat di Lembah Tsinga sebagai tempat penambangan. Pemerintah Indonesia lalu mengirimkan pasukan keamanan untuk mengamankan aktivitas PT. Freeport Indonesia dengan tidak segan-segan mengorbankan penduduk lokal. 368 Yosepha Alomang, seorang perempuan Amungme, bersama seluruh keluarganya bersembunyi di hutan-hutan dari pengejaran militer setelah sebelumnya ratusan rakyat Amungme memotong pipa milik Freeport di Agimuga. Mama Yosepha menyatakan: “Sejak kapan negara bikin tanah, air, ikan, dan karaka lalu kasih saya sehingga dia boleh ambil seenaknya? Ini Tuhan yang bikin dan kasih saya. Saya seorang perempuan, orang Freeport lahir dari perempuan, tentara lahir dari perempuan, negara juga lahir dari perempuan. Dan saya tidak takut kepada Freeport, saya tidak takut kepada tentara atau negara, mereka juga lahir dari perempuan saja mo!” 369
368 “Studi Kasus 41: Perampasan Tanah Adat dan Eksploitasi Tambang PT. Freeport di Papua”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.
369 Lihat B. Giay dan Y. Kambai, 2003, Yosepha Alomang, Pergulatan Seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan, Abepura: ELSHAM Papua.
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
Di Sumatera Utara, pada 1988, sepuluh inang (ibu) dari
Kekerasan
Desa Sugapa mengawali perlawanan terhadap PT. Inti
terhadap
Indorayon Utama (PT. IIU) yang sekarang berganti
perempuan di
nama menjadi PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL). 370 Pada
wilayah konflik
1987, PT. IIU menanami tanah adat milik turunan Raja
sumber daya alam
Sidomdom Barimbing seluas 51,36 ha, yang dipakai
terjadi di hampir
sebagai lahan penggembalaan, dengan Eucalyptus
semua wilayah
(bahan baku untuk bubur kertas). PT. IIU berdalih
Indonesia.
bahwa beberapa warga, kepala desa, dan camat Silaen sudah menyerahkan tanah tersebut untuk dijadikan areal Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Tindakan inang-
inang ini menjadi inspirasi perlawanan warga, hingga pada peringatan hari bumi tahun 2003, Panuju Manurung dan Nai Sinta Br. Sibarani, diberi gelar pelopor karena mempertahankan tanahnya. PT. IIU bereaksi dengan melaporkan ke-10 inang tersebut ke polisi dan menggugat mereka ke pengadilan. Porman Boru Siagian, salah satu dari 10 inang tersebut bercerita:
“Kami diadukan ke pengadilan dan kami dipanggil, 10 orang [perempuan] yang tuntut tanah itu. Kami pergi dan pengadilan bilang 10 orang ini ditahan. Kenapa kami ditahan? Tanah kami yang diambil, kenapa kami ditahan? Tapi PN bilang kalian ditahan 3 bulan.” 371
Merasa putusan ini tidak adil, kesepuluh inang ini mengajukan banding, dan saat ini masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung (MA). Kesepuluh inang ini pernah berangkat ke Jakarta menemui Menteri Dalam Negeri, Rudini. Mereka meminta agar tanah adat mereka yang dirampas PT. IIU dikembalikan kepada mereka. Mereka menyatakan tidak setuju kalau tanah adat tersebut dijadikan sebagai Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Atas pengaduan kesepuluh ibu ini, Mendagri (Rudini) segera menyurati Bupati dan PT. IIU agar segera menyanggupi semua tuntutan warga.
“Lalu kami omong-omonglah dulu di kampung dengan yang lain, lalu kami ke bupati [Toba Samosir], Bupati tidak tanggapi lalu bilang ke gubernur [Sumatera Utara], lalu kami ke gubernur, tapi tidak tanggapi. Kami rapat, bilang ke bapak-bapak supaya ke menteri, lalu kami omong-omong ongkos sekalian diusahakan. Datanglah bapak-bapak bilang, kalian pinjam uang untuk ongkos kalau kalian tidak ke menteri, kalian ditahan. Lalu kami pinjam uang dan terbang ke menteri [di Jakarta]. Tiga sampai empat hari kami tidak ditanggapi menteri, duduk-duduk di lorong, ada yang bawa anaknya, menangis dia. Terus datanglah mahasiswa dari Jakarta menonton
370 “Studi Kasus 43: Perampasan Tanah Masyarakat Tapanuli oleh PT. Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara”,
Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK. 371 Kesaksian Porman Boru Siagian dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Perempuan”,
Jakarta, 25 November 2013.
POLA KEKERASAN
kami. Sudah 4 hari baru menteri buka kantor dan kami naik ke atas 4 orang. Begitulah menteri bikin surat ke gubernur dan ke bupati, ada 4 amplop. Kami tak tahu entah apa isinya, jadi ya kami keluar dari kantor menteri dan naik bus pulang. Macam mana kalian datang ke menteri, kenapa begini isi suratnya, kami tak tahu isi suratnya dilem, tanya bapak-bapak di kampung.” 372
Kekerasan terhadap perempuan karena memperjuangkan hak sumber daya alamnya juga dialami oleh perempuan di Mollo, Nusa Tenggara Timur. Di wilayah tersebut terdapat gunung suci bagi masyarakat adat setempat, Anjaf-Nausus, yang dijadikan lokasi penambangan batu marmer. Aleta Ba’un, merupakan salah seorang perempuan yang menolak eksploitasi tersebut. Akibatnya, dia mendapat banyak ancaman dan kekerasan dari preman dan investor. Aleta Ba’un menuturkan:
“Surat izin pertambangan pertama keluar pada pertengahan Desember 1997. Tetapi saya dan warga dari tiga suku berhasil menutup pertambangan itu pada bulan Agustus 1998. ... Karena kami menolak pertambangan tersebut, maka kami mendapat ancaman penghilangan nyawa dan berbagai kekerasan dan penghinaan di depan umum yang disaksikan oleh hakim, jaksa, dan polisi yang tidak melakukan pencegahan. Polisi hanya menyuruh saya melaporkan kejadian itu ke kantor polisi, tapi saya menolak karena yang saya butuhkan tanah, bukan laporan. ... Berbagai ancaman lain kami alami sehingga harus menyembunyikan diri, saya tidak berani pulang ke rumah, karena mereka akan melempari rumah kami dengan batu kalau kami kelihatan di rumah. Anak-anak dan suami saya pindahkan ke tempat lain.” 373