Pembasmian dalam Operasi Militer di Aceh (1989- 1999) dan Darurat Militer/Sipil (2000-2005)
D. Pembasmian dalam Operasi Militer di Aceh (1989- 1999) dan Darurat Militer/Sipil (2000-2005)
Konflik di Aceh berakar dari eksploitasi sumber daya alamnya yang dilakukan oleh rezim Orde Baru sejak 1970an. Wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam adalah Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Wilayah-wilayah tersebut mengalami konflik tinggi antara militer pemerintahan pusat dengan kelompok perlawanan di Aceh. Di daerah itu pula, eksplorasi alam merugikan rakyat Aceh karena penggusuran tanah, ganti rugi tak sepadan, serta intimidasi. Hampir seluruh keuntungan eksplorasi alam Aceh dikuras dan dibawa ke Jakarta. Rakyat Aceh tidak pernah mengenyam hasilnya, dan bahkan tidak dilibatkan dalam pekerjaan industrialisasi di Aceh. Berdirinya Gerakan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 merupakan respons ketidakadilan itu. Pada tahun-tahun berikutnya, militer Orde Baru menghancurkan gerakan GAM itu dan membuat pimpinannya melarikan diri ke luar negeri.
Pada 1989, meningkatnya sejumlah penyerangan terhadap pusat-pusat pengolahan sumber daya alam seperti Arun NGL oleh GAM, oleh pemerintah lokal dipahami sebagai gangguan atas proses pembangunan. Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan, melaporkan hal itu ke pemerintah pusat. Terutama setelah penyerangan terhadap markas ABRI di Aceh, Ibrahim meminta pemerintah pusat untuk mengirim
180 “Studi Kasus 66: Anak-Anak yang Dipisahkan dan Direkrut sebagai Tenaga Bantuan Operasional (TBO) ABRI”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
pasukan ke Aceh. Sejak Mei 1989 hingga Agustus tahun 1998, Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) dengan nama Operasi Jaring Merah. 181
Masa DOM merupakan pengalaman rakyat Aceh yang paling buruk. Rakyat Aceh mengalami perlakuan kekerasan fisik dan non-fisik yang diselenggarakan oleh militer. Aceh menjadi ladang pembantaian oleh militer Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari penyebaran pos-pos satuan taktis untuk mengamankan Aceh. Masing-masing pos satuan taktis membawahi tiga kecamatan. Pos-pos selama masa DOM terkenal sebagai tempat-tempat “pembantaian” yang kejam dan sadis. 182 Selama Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer, ada dua pos satuan taktis yang paling terkenal sebagai tempat penyekapan, penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan, dan kuburan massal, yakni rumah Geudong di Pidie dan Roncong di Aceh Utara. Selama periode DOM sulit diperkirakan jumlah korban jiwa, akan tetapi terdapat versi jumlah korban DOM sekitar 35.000 orang. 183
Laporan lain menyebutkan, selama periode DOM
Selama menghasilkan tragedi kemanusiaan terbesar dalam Aceh dijadikan sejarah Aceh. Hingga Desember 1998, jumlah korban
masyarakat sipil sekitar 5.000 jiwa dengan perincian;
Daerah Operasi
pembunuhan 1.321 orang, penyiksaan 3.430 orang,
Militer, ada dua
pemerkosaan 128 orang, pelecehan seksual 28 orang.
pos yang terkenal
Selain itu, DOM mengakibatkan pula janda kehilangan
sebagai tempat
suami sebanyak 1.376 dan anak menjadi yatim 4.521
penyekapan,
orang. 184
penyiksaan, pembunuhan,
Namun demikian, pencabutan DOM di Aceh pada
pemerkosaan, dan
Agustus 1998 tidak membuat kondisi Aceh membaik,
kuburan massal,
tetapi wilayah konflik dan kekerasan meluas. Pada
yakni rumah
periode pasca-DOM kuartal kedua tahun 1999 dan
Geudong di Pidie
seterusnya, wilayah konflik meluas menjadi 9
dan Roncong di
kabupaten/Dati II, termasuk dua kabupaten yang baru
Aceh Utara.
dibentuk. Selain itu, wilayah konflik meluas hingga Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Besar, dan Aceh Tengah, serta Kabupaten Aceh Singkil dan Aceh
Jeumpa yang baru dibentuk. Dari 13 kabupaten/Dati II yang ada di Aceh, nampaknya Kodya Sabang (Pulau Weh) dan Kabupaten Simeuleue (Pulau Simeuleue) yang relatif aman. Aceh Selatan, wilayah penghasil tanaman pala yang aman semasa DOM,
181 Lihat (ed) Moch. Nurhasim, 2003, Konflik Aceh. Analisis atas Sebab-Sebab Konflik: Aktor Konflik, Kepentingan, dan Upaya Penyelesaian, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hlm. 24-25. 182 Ibid, hlm. 29. 183 Ibid, hlm. 26. 184 Berita KontraS, No. 15/Th Ke-3/VII/2002.
POLA KEKERASAN
mengalami kasus penembakan terhadap warga di depan markas Kepolisian Resor (Polres) Aceh Selatan pada masa setelah DOM. Wilayah Pantai Barat yang juga tenang pada periode DOM, membara setelah DOM dicabut. Teungku Bantaqiah, tokoh ulama dari Pantai Barat, dibunuh oleh militer. Kasus pembunuhan Teungku Bantaqiah, menunjukkan kembali kekebalan hukum dari tentara. Proses pengadilan untuk kasus tersebut cacat hukum karena tidak dapat mengadili komandan tertinggi dan tidak dapat menghadirkan saksi kunci. 185
Setelah Suharto jatuh dari kekuasaannya pada 1998, pemerintah akhirnya mencabut status DOM di Aceh. Konflik panjang ini juga menarik perhatian internasional. Tekanan berbagai pihak terhadap Indonesia menggiring pemerintah Indonesia dan GAM untuk menyepakati perdamaian. Jeda Kemanusiaan disepakati mulai 2 Juni 2000, difasilitasi oleh Henry Dunant Center for Humanitarian Dialogue (HDC). Namun selama Jeda Kemanusiaan berlangsung dari 2 Juni 2000 hingga 15 Januari 2001, ketegangan dan kekerasan kerap terjadi dan mengakibatkan jatuhnya korban. Kontak senjata tetap terjadi, kesepakatan zona damai tidak dipatuhi, rumah-rumah penduduk dirusak atau dibakar, dan pelbagai kekerasan lain yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Kekerasan juga tidak bisa dihentikan ketika Moratorium of Violence (MoV) yang berlaku dari 14 Januari sampai 14 Februari 2001 disepakati. Pemerintah Pusat akhirnya memutuskan untuk menetapkan keadaan Darurat Militer untuk Aceh yang kemudian dilanjutkan dengan Darurat Sipil.
Status Darurat Militer dan Darurat Sipil di Aceh menjadi mimpi buruk baru, setelah sebelumnya rakyat Aceh merasa lega dengan pencabutan DOM. Melalui Keppres No.
28 Tahun 2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, puluhan ribu personil tentara dikirim ke Aceh untuk menumpas GAM yang saat itu diperkirakan berjumlah sekitar 5.300 orang.
Pada April 2004, pemerintah menetapkan Darurat Sipil di Aceh. Pada masa tersebut, banyak masyarakat sipil menjadi korban terutama dalam kasus penganiayaan dan pembunuhan, dan penghilangan paksa. Pasca-tsunami 26 Desember 2004, GAM dan pemerintah Indonesia kembali duduk di meja perundingan dan mencapai kesepakatan damai pada 15 Agustus 2005 yang dikenal dengan MoU Helsinki. 186
185 Lihat Otto Syamsuddin Ishak, 2003, Sang Martir: Teungku Bantaqiah, Jakarta: Yappika, hlm. 127. 186 Lihat (ed) Nashrudin Marzuki dan Adi Warsidi, 2011, Fakta Bicara: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh
1989-2005, Banda Aceh: Koalisi NGO HAM Aceh, hlm. 16-24.
MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
POLA KEKERASAN