Kekerasan yang Berulang

F. Kekerasan yang Berulang

Rangkaian panjang kekerasan terhadap perempuan di atas memunculkan pertanyaan: “Bagaimana dan mengapa praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan dapat terus direproduksi di negeri yang kerap disebut komunitas internasional sebagai contoh negara yang berhasil menjalani proses transisi demokrasinya ini?” Salah satu fakta yang dapat diajukan untuk menjawab pertanyaan itu adalah adanya penerapan paham militerisme di negeri ini serta berbagai manifestasinya di ranah politik, sosial, maupun domestik, terutama yang berujung pada praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan.

Jika dirunut, sejak akhir 1965, perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak sederajat dan tidak setara dengan warga laki-laki. Kata “Gerwani” misalnya, tidak lagi mengacu pada organisasi perempuan yang mempunyai cita-cita mulia dan bermartabat. Akan tetapi menjadi sebutan untuk tindakan biadab dan “amoral” yang dilakukan perempuan komunis. Mantra komunis dan Gerwani ini berlangsung hingga

379 Lihat Laporan Penelitian INSIST dan STAR-H Johns Hopkins University, 2005, Menyisir dari Pinggir: Cerita- Cerita Advokasi Keluarga Berencana/Kesehatan Reproduksi di Lapangan, Yogyakarta: INSISTPress, hlm. 43. 380 Ibid, hlm. 45-46.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

ke tahun 1990an, dan dilekatkan kepada perempuan yang dianggap melawan pihak yang berkuasa. Selain itu, perempuan juga digiring untuk masuk ke lingkup dalam rumah dan mencerabut mereka dari tanah, pekerjaan, dan lingkungan hidup mereka.

Berbagai kekerasan dan teror berlangsung lebih brutal

Teror

setelah penghancuran Gerwani dilakukan. Teror

dilakukan

dilakukan menyasar bukan saja kepada hak kewarga-

menyasar bukan

negaraan mereka, namun juga tubuh mereka. Peran

saja kepada hak

militer dan polisi memegang kekuatan penting dalam

kewarganegaraan

menyelenggarakan kekerasan terhadap perempuan.

mereka, namun

Ketika militer Indonesia melakukan pendudukan terha dap

juga tubuh

Timor Timur, Aceh, dan Papua, sasaran penyerangan

mereka.

bukan hanya terbatas pimpinan perlawanan atau pejabat sipil yang memiliki hubungan dengan

kelompok tersebut. Akan tetapi diperluas mencakup pendukung dan kaum terdidik serta keluarga. Dalam upaya penghancuran kekuatan perlawanan, militer menyiksa, menginterogasi, dan memperbudak secara seksual para istri kelompok perlawanan.

Pemerkosaan merupakan penyerangan terhadap seluruh integritas diri perempuan sehingga menjadi cara ampuh untuk menghancurkan harga diri perempuan. Melalui kekerasan seksual terhadap perempuan, membuat mereka tidak lagi bergerak dengan luas dan berani. Sebagaimana diutarakan oleh Ibu Naomi:

“Saya pulang ke kampung, saya tidak mau tinggal di kampung, saya punya martabat taruh di mana? Saya punya teman bilang apa? Saya tinggal di hutan selama 7 tahun. Saya rebus air coklat dan daun pandan untuk kasih minum anak saya. Tinggal di hutan dari dia umur 3 bulan sampai 7 tahun. Pastor datang ke kebun dan bilang, Ibu Naomi kembali, dan saya bilang, Pastor mau permalukan saya? Aduh Pastor, saya punya martabat taruh di mana? Samacam rasa menyesal martabat rapuh, teman-teman sekarang tidak bergaul, sekarang di kebun dan rumah.” 381

Penelanjangan paksa terhadap perempuan di Poso, terkait erat dengan strategi penundukan komunitas korban oleh kelompok penyerang. Penelanjangan perempuan menjadi cara untuk mematahkan kekuatan tulang punggung komunitas korban itu. Berdasarkan pada kepercayaan bahwa kekuatan ekonomi perempuan diletakkan pada mitos adanya jimat yang disembunyikan di vagina dan payudara, maka upaya kelompok penyerang merasa perlu memastikan bahwa jimat tersebut tidak lagi dimiliki oleh perempuan dari komunitas lawan. Penelanjangan dimaksudkan untuk meruntuhkan integritas diri perempuan. Bagi perempuan di banyak budaya, berdiri telanjang di depan orang yang tidak mempunyai hubungan

381 Kesaksian Naomi Massa, Op.cit.

POLA KEKERASAN

intim/personal dengannya adalah sebuah perbuatan yang sangat memalukan dan mencoreng hidupnya untuk selama-lamanya. Penelanjangan dimaksudkan untuk menghancurkan mental komunitas lawan secara keseluruhan karena terkoyaknya simbol kesucian komunitas yang dibebankan pada perempuan.

Banyak dari perempuan yang mengalami kekerasan seksual pada masa konflik, harus menghadapi kekerasan berlanjut jauh setelah konflik selesai. Dampak dari kekerasan yang dialami oleh Iin Tungka dapat menjadi contoh nyata. Iin Tungka, yang berupaya terlibat dalam penanganan konflik, menjadi tidak berdaya karena masyarakat telah memberi stigma sebagai perempuan “yang tidak benar”. Juga, kehidupan rumah tangga Iin Tungka senantiasa terbentur dengan ketidakadilan. Suami senantiasa mengungkit masa lalunya.

“Memang Poso sekarang sudah bebas dari kerusuhan tetapi yang tertinggal adalah kerusuhan di hati perempuan seperti yang saya alami. Hal ini berpengaruh dalam rumah tangga kami, kerusuhan tertinggal dalam rumah tangga kami karena masa lalu saya itu. Setiap ada masalah saya diterpah suami: ‘Kamu itu mau tuntut ini itu kepada saya, sementara kamu itu dulunya seperti apa awalnya.’ Saya bilang: ‘Kalau seperti ini terus tidak akan ada bahagia, tidak akan ada merdeka.’” 382

Sampai saat ini, belum semua korban merasa telah mendapatkan keadilan atas tindak kekerasan yang mereka alami. Penyelesaian secara hukum juga belum dapat memenuhi hak korban akan jaminan atas kepastian hukum, seperti yang dikemukakan oleh Ch, salah seorang korban perkosaan:

“Saya tidak merasa adil dengan penanganan yang dilakukan karena pelaku belum memenuhi keputusan Pengadilan Militer Manado, yaitu membiayai anaknya sampai mendapat pekerjaan.” 383

Perempuan korban juga mengeluhkan dampak fisik dan psikis yang harus mereka tanggung hingga kini. Belum lagi pemiskinan yang dialami korban karena tidak memiliki akses pada mekanisme pemulihan korban yang tersedia. Akses ini menjadi semakin sempit ketika korban juga mengalami stigmatisasi dan pengucilan akibat kekerasan yang mereka alami.

Kekebalan hukum (impunitas) terhadap pihak pelaku perlu dibongkar dan dihapuskan. Tanpa lenyapnya impunitas, kekerasan demi kekerasan akan kembali dialami perempuan. Pembelajaran tentang kekerasan yang terjadi di masa lalu menjadi hal yang penting untuk membangkitkan kesadaran generasi yang akan datang untuk melawan impunitas.

382 Kesaksian Iin Tungka, Op.cit. 383 “Studi Kasus 87: Kekerasan Seksual ...”, Op.cit.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Monumen Pancasila Sakti.

Beberapa anggota TNI mengamati Patung Jendral di Monumen Pancasila Sakti. Monumen ini merupakan situs yang turut melegitimasi kekuasaan Orde Baru.

(Foto: TEMPO/Dwianto Wibowo)

POLA KEKERASAN

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111