Kekerasan Atas Nama Pembangunan dan Ketertiban

C. Kekerasan Atas Nama Pembangunan dan Ketertiban

Sejak dwi fungsi ABRI dinyatakan secara resmi sebagai ideologi ABRI, kawalan ABRI terhadap jalannya pembangunan nasional yang dilaksanakan Orde Baru pada sekitar tahun 1977 menunjukkan penampilan yang mengesankan, di mana inflasi bisa ditekan hingga sekitar 10% dengan tingkat pertumbuhan GNP mencapai salah satu yang tertinggi di antara negara-negara berkembang, yaitu 8-9% per tahun. Sedangkan pendapatan per kapita mencapai 560 USD dalam waktu kurang dari 15 tahun dan telah memindahkan posisi Indonesia dari kelompok negara miskin ke negara berpenghasilan menengah.

Di sisi lain, pembangunan nasional telah melahirkan berbagai macam persoalan pelik dan rumit. Titik berat pembangunan yang diletakkan pada bidang ekonomi telah menimbulkan dampak yang merambah ke berbagai aspek kehidupan. Pembangunan yang hanya mengajar materi dan tidak dipusatkan pada kualitas sumber daya manusia, dalam implementasinya bias dari tujuan pemerataan. Stabilitas keamanan yang dijadikan syarat bagi pertumbuhan ekonomi ternyata memakan korban rakyat biasa. Pembangunan menjadi pisau bermata dua, di satu sisi memajukan dan menyejahterakan golongan masyarkat tertentu, di sisi lain menyengsarakan dan menjauhkan sekelompok masyarakat dari sumber penghidupannya. Penderitaan kelompok masyarakat yang menjadi korban pembangunan semakin berat saat program pembanguan dilaksanakan dengan paksaan.

Pada tahun 1969, Suharto menginstruksikan program transmigrasi, yaitu memindahkan penduduk suatu pulau, tepatnya Jawa, ke luar Jawa sebagai bagian dari proyek swasembada pangan di luar Jawa, khususnya proyek persawahan pasang surut. 281 Pada Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) II Tahun 1974-1979, konsep transmigrasi diintegrasikan ke dalam pembangunan nasional. Pemindahan penduduk ini sering dilatarbelakangi dengan paksaan untuk menyukseskan program pemerintah. Penduduk suatu desa di daerah rawan bencana diinstruksikan untuk pindah, sehingga melahirkan istilah bedol desa. Dalam kurun 1969-1993, transmigrasi telah memindahkan sekitar 8 juta penduduk dari Pulau Jawa dan Bali yang padat ke Sumatera, Kalimantan, dan pulau lainnya dan membuka lahan pertanian seluas 1 juta hektare.

Penekanan transmigrasi yang pada tahap awal ditujukan untuk pengembangan pertanian subsisten, pada tahap selanjutnya berubah menjadi penyediaan buruh untuk HTI dan perkebunan kelapa sawit. Lahan untuk transmigran juga sering

281 “Studi Kasus 42: Pemaksaan Kebijakan Beras dan Pelaksanaan Program Transmigrasi di Pulau Sumatera”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

merambah hutan yang dilindungi dan hutan adat, yang menimbulkan gesekan dengan penduduk setempat.

Pada tahun 1985, pemerintah merencanakan pembangunan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah untuk pembangkit tenaga listrik dan penampungan air untuk kebutuhan 70 hektare sawah di sekitar waduk. 282 Pembangunan Waduk Kedung Ombo ini dibiayai USD 156 juta dari Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jepang, dan APBN sejak tahun 1985 hingga tahun 1989. Waduk mulai diairi pada 14 Januari 1989 dan menenggelamkan 37 desa dan 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Grobogan, dan Boyolali. Sebanyak 5.268 keluarga terpaksa kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk ini. Ketika sebagian besar warga sudah meninggalkan desanya, masih tersisa 600 keluarga yang masih bertahan karena ganti rugi yang mereka terima sangat kecil. Warga yang bertahan di sana mengalami teror, intimidasi dan kekerasan fisik akibat perlawanan mereka terhadap proyek tersebut. Pemerintah memaksa warga pindah dengan tetap mengairi lokasi tersebut. Akibatnya warga yang bertahan kemudian terpaksa tinggal di tengah-tengah genangan air. Selain intimidasi dan teror, ganti rugi tanah yang diberikan hanya Rp250 per meter persegi padahal Mendagri saat itu, Soeparjo Rustam, sudah menyatakan bahwa warga akan mendapatkan ganti rugi sebesar Rp3.000 per meter persegi. Jaswadi menuturkan,

“Dulu, hutan jati ini menjadi tempat bersembunyi warga yang menolak pembangunan Waduk Kedung Ombo. Bersembunyi di dalam hutan jati adalah pilihan terakhir [untuk] lari dari kejaran tentara. Situasi saat itu mencekam. Warga yang menolak ditransmigrasikan dan mendapat teror kekerasan. Tentara di mana-mana. Intel lebih banyak lagi. Itu yang menyebabkan warga memilih tinggal di hutan. Sebagian laki-laki hidup bersembunyi dalam hutan. Perempuan dan anak-anak bertahan di kampung yang mulai digenangi air. Mereka menyingkir setelah kampung benar-benar ditenggelamkan. Beberapa orang ditembak, bahkan ada yang ditenggelamkan dan disiksa. Saya sempat diculik dan dibuang ke Jambi serta Papua. Saya kabur dari tempat pembuangan dan kembali bersama warga yang masih bertahan untuk melawan, meskipun itu harus saya lakukan dalam hutan.”

Pada tahun 1989, warga yang masih mempertahankan tanahnya diisolasi dan dibiarkan mati kelaparan. Masyarakat dari luar wilayah dilarang masuk. Warga yang keluar desa harus menyerahkan KTP. Jika tidak memiliki KTP, mereka harus mengurus. Namun, ketika akan mengurus KTP, warga dipaksa memberikan cap jempol atau tanda tangan kesediaan pindah dan bila melawan, KTP akan dibubuhi

282 “Studi Kasus 46: Perampasan Tanah dan Pembangunan Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah”, Narasi Kasus

Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

POLA KEKERASAN

tanda eks-tahanan politik. Anak bayi memiliki akte kelahiran yang di bawahnya ada tulisan ’anak eks-tahanan’.

Waduk Kedung Ombo akhirnya diresmikan oleh Presiden Suharto pada 18 Mei 1991, namun warga tetap berjuang menuntut haknya atas ganti rugi tanah yang layak. Perselisihan ini akhirnya sampai ke pengadilan, lalu diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang dan dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, dilanjutkan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung. Putusan kasasi tersebut kemudian dibatalkan oleh putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung pada tahun 2001.

Kasus Kedung Ombo. Lima tokoh Kedung Ombo yang diadili: Aat Suryoatmojo, Pardin, Wagimin, Jumadi, Trimarjo dan pengacaranya Johny Simanjuntak SH di Pengadilan Negeri (PN) Boyolali, Jawa Tengah. (Foto: TEMPO/ Kastoyo Ramelan)

Kekerasan yang dilakukan aparat terus terjadi hingga memasuki era reformasi. Bahkan, dalam kasus di Desa Rumpin, Bogor, konflik terjadi secara langsung antara warga desa dengan institusi militer yang mengambil tanah warga untuk keperluan latihan militer. Konflik dipicu oleh sengketa kepemilikan tanah yang terjadi sejak tahun 1955. Neneng, salah seorang warga desa menceritakan,

“Pada 22 Januari 2007, terjadi bentrokan antara warga dengan AURI. Tragedi yang paling menyedihkan dan menyakitkan bagi warga Rumpin. TNI sampai mengintimidasi dan menggunakan kekerasan sampai mau menembak warga, untung kami masih bisa diselamatkan. Sebelum kejadian sudah panas-panas karena melihat TNI yang lewat banyak banget. Saya sholat zuhur, dari sini lari saya manggil teman-teman semua,

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

mengajak menolak adanya alat-alat karena salah satunya pasti merusak sawah-sawah kami. Spontan ada seribu massa langsung turun. Kami membawa spanduk sambil nyanyi, kami turun ke sana ke depan tempat water training. Di situ sudah ada 400 aparat menghadang kami dengan bawa tabengan, begitu komplit dengan senjata. Di situlah perjuangan kami mulai, kami berteriak-teriak, kami orasi, kami nangis-nangis memohon supaya TNI jangan ambil tanah kami karena di situlah satu-satunya untuk kehidupan kami untuk makan di situ bertani.

Sebelum 2007 ada sawah di sini, sekarang kayak lautan tidak ada manfaatnya anak-anak bisa kecebur, sudah tidak menjadi lahan garapan lagi. Sawah di sini sudah menjadi hak milik kami yang sudah disahkan Bupati, sudah ada SPPTnya, tetapi itu yang dikalim TNI. Setelah 22 Januari 2007, kami kehilangan sawah ... dari 2007 sampai sekarang merasa resah kayaknya hidup ini nggak tentram mikiran tanah. Dulu kami nggak punya perasaan-perasaan seperti ini, aman, tentram kehidupan, walaupun kami hanya makan ikan asin, daun singkong, tapikan bisa bertani aman.” 283

Klaim kepemilikan yang dilakukan insititusi pemerintah terhadap tanah milik warga juga terjadi di Desa Bogor, Indramayu. Sengketa klaim ini telah terjadi bahkan sebelum Indonesia merdeka, yaitu sejak 1940. Pada saat itu warga memperebutkan hak kepemilikan tanah dengan pemerintah Hindia Belanda, dan sengketa tersebut terwariskan kepada pemerintah Indonesia. Sengketa tersebut membuat warga Desa Bogor harus selalu berhadapan dengan aparat militer, bahkan mengalami penahanan. Kardjana, Kepala Desa sekaligus tokoh masyarakat di Desa Bogor menceritakan,

“Masalah yang saya sampaikan adalah masalah perampasan Tanah Penganonan 80 ha di Desa Bogor, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu. Tanah Pangonan adalah tanah penggembalaan milik bersama oleh 123 warga ulayat. Tanah ini sebetulnya tanah turun temurun dan digarap oleh masing-masing keluarga. Tetapi kami mendapatkan pukulan sangat berat ketika tanah yang merupakan sumber penghidupan warga desa diambil semuanya oleh kantor Kabupaten. Bagi kami orang tani, tanah seperti isteri sendiri tidak jauh dari itu. Kemudian kami protes selama 40 tahun. Tahun 1968 kami ditahan di Koramil berbulan-bulan dan kemudian tahun 1967 sampai 1968 dipindahkan ke tahanan kepolisian. Ketika di pengadilan, saya waktu itu diputus bebas murni. Tetapi 12 anak lain bertahun-tahun melapor ke polisi sebagai tahanan luar.

Selama 40 tahun kami melakukan protes, didengarkan oleh Menteri Dalam Negeri sehingga kami mendapatkan surat Peraturan No. 1 tahun 1982

283 Kesaksian Neneng dalam Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan Kekerasan Atas Nama Sumber Daya Alam, Jakarta, 28 November 2013.

POLA KEKERASAN

bahwa tanah Penganonan, Desa Bogor dikembalikan ke Desa Bogor, dan Surat Keputusan Gubernur Jawa barat No 2113 bahwa tanah dikembalikan ke Desa Bogor. Tetapi semuanya dianggap angin oleh Pemda Indramayu. Tanah Penganonan itu kemudian dibagi tiga. Kami mendapat bagian hanya

28 ha, dari tanah seluas 80 ha ... Tahun 2010, keluar putusan MA yaitu tanah

80 ha dikembalikan ke Desa Bogor. Meski sudah ada putusan MA, namun tanah Pengangonan tetap dibagi tiga. Akhirnya tanah dieksekusi pada 2011 dan kami mendudukinya ramai-ramai, kami menggarapnya. Tapi kami ditangkap pada tahun 2011, Kepala Desa Pak Sukarta divonis 4 tahun penjara. Kami semua 600 orang.” 284

Tidak hanya warga di pedesaan, warga perkotaan juga harus kehilangan sumber penghidupannya demi kerapian dan ketertiban kota. Di Jakarta, para tukang becak terpaksa harus mencari penghidupan lain setelah pada tahun 1980 Gubernur Jakarta, Wiyogo Atmodarminto, melakukan program penghapusan becak. 285 Kebijakan itu kembali dilakukan pada masa Gubernur Sutiyoso pada tahun 2000an. Urban Poor Consortium (UPC) mencatat bahwa pada suatu masa pengggarukan cenderung dilakukan pada malam hari ketika pemiliknya sedang tidur. Sasaran penggarukan tidak hanya pada becak yang sedang mangkal tapi juga pada becak yang sudah disimpan oleh pemiliknya di dalam rumah. Dalam melakukan aksinya, aparat trantib dipersenjatai dengan gas air mata, pemukul dari pipa besi, bahkan samurai. Para tukang becak tidak bisa berbuat apa-apa karena aksi mereka didukung oleh polisi dan TNI yang lengkap dengan senjata peluru karet. Diperkirakan sekitar 10.000 unit becak dirazia dari seluruh wilayah Jakarta.

Lima puluh tujuh orang tukang becak yang mewakili 1500 warga korban penggusuran becak di wilayah DKI Jakarta menggugat secara perdata Gubernur DKI Jakarta, Kapolda, dan Pangdam Jaya dan menuntut ganti rugi materiil sebesar Rp25,5 miliar. Warga juga menuntut kerugian imaterial karena para warga dihinggapi rasa ketakutan, trauma, dan kehilangan rasa aman. Mereka menuntut para tergugat untuk menyampaikan permohonan maaf di lima media massa yang terbit di Jakarta. Pada 31 Juli 2000 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan tersebut dengan membolehkan becak beroperasi di wilayah pemukiman tertentu yang diatur oleh Pemda DKI Jakarta. Namun, dalam sidang banding, Pengadilan Tinggi Jakarta membatalkan putusan PN Jakarta Pusat. Pasca-putusan tersebut Pemda DKI Jakarta mengintensifkan penggarukan becak di hampir semua wilayah di Jakarta. Menurut catatan LBH Jakarta, dalam kurun waktu 2001-2005, sedikitnya 23.025 becak telah dirazi oleh Pemda DKI Jakarta.

284 Kesaksian Kardjana dalam Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan Kekerasan Atas Nama Sumber Daya Alam, Jakarta, 28 November 2013.

285 “Studi Kasus 61: Penggusuran dan Penghapusan Becak di Jakarta dan Sekitarnya”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111