penolakan Kementerian Luar Negeri dalam meratifikasi Konvensi WCPFC.
5 Pembatasan penangkapan spesies tertentu . Beberapa spesies yang dibatasi penangkapannya adalah North Pacific Albacore, South Pacific
Albacore, Striped Marlin in the Southwest Pacific, Swordfish, North Pacific Striped Marlin, Pacific Bluefin Tuna, Oceanic Whitetip Shark.
Hal ini sebagaimana diatur dalam CMM. 6 Pembatasan penggunaan rumpon. CMM 2009-02 FAD Closures And
Catch Retention mengatur pembatasan penggunaan rumpon dalam
penggunaan alat tangkap purse seine. Hal ini mengancam nelayan purse seine
Indonesia yang menggunakan rumpon untuk mengumpulkan ikan. 7 Beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat sukarela
telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa FAO mengeluarkan International Plan of
Action IPOA untuk IUU fishing, hiu dan burung laut. Namun WCPFC,
mengeluarkan CMM yang bersifat mengikat dalam pengelolaan untuk hiu dan burung laut serta pemberantasan IUU fishing.
8 Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional diindikasikan dikendalikan oleh internasional dan regional. Wilayah penerapan WCPFC
yang memasukan perairan kepulauan Indonesida dan ZEE Indonesia adalah ancaman. Hal ini dikarenakan, setiap kegiatan penangkapan ikan
oleh nelayan Indonesia di wilayah tumpang tindih tersebut, Indonesia bisa mendapatkan teguran atau bahkan sanksi.
Selanjutnya faktor-faktor
ini dianalisis
menggunakan metode
perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada Gambar 33 dan Tabel 28.
Gambar 30. Hasil Analisa Perbandingan Ancaman
Kegiatan illegal fishing oleh .022
Larangan penangkapan baby tuna .291
Transhipment di tengah laut .032
Wilayah penerapan WCPFC memasu .167
Pembatasan penangkapan spesies .217
Pembatasan penggunaan rumpon .116
Beberapa ketentuan internasion .098
Aturan pengelolaan SDI di wila .056
Inconsistency = 0.02 with 0 missing judgmen ts.
Tabel 28. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Ancaman No.
Aspek Skor
Bobot Rangking
1 Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing
0,009 8
2 Aturan internasional yang melarang penangkapan
baby tuna 0,116
1 3
Transhipmen di tengah laut 0,013
7 4
Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia
0,067 3
5 Pembatasan penangkapan spesies tertentu
0,087 2
6 Pembatasan penggunaan rumpon
0,046 4
7 Beberapa ketentuan internasional yang pada
awalnya bersifat sukarela telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat.
0,039 5
8 Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi
nasional diindikasikan dikendalikan oleh internasional dan regional
0,023 6
Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio CR sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup
konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk analisis lebih lanjut.
Hasil analisis pembobotan faktor peluang yang memberikan peluang menunjukkan bahwa aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna
mendapatkan bobot relatif tertinggi 0,116 dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif lainnya adalah pembatasan penangkapan spesies tertentu 0,087;
wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia 0,067; pembatasan penggunaan rumpon 0,046; beberapa ketentuan internasional yang
pada awalnya bersifat sukarela telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat 0,039; pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional diindikasikan
dikendalikan oleh internasional dan regional 0,023; transhipmen di tengah laut 0,013; dan kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing 0,009.
5.5.2 Matriks IFE dan EFE
Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal, maka dapat disusun matriks IFE yang berisi kekuatan dan kelemahan serta
matriks EFE yang berisi peluang dan ancaman disertai dengan bobot dan rating.
Penentuan bobot diambil dari hasil AHP sedangkan rating ditentukan oleh peneliti yang melihat hasil diskusi dengan responden. Diskusi dengan responden
dilakukan saat responden sebelum dan sesudan mengisi kuesinoner. Bobot dan rating kemudian dikalikan untuk memperoleh skor, sedangkan untuk
mendapatkan skor akhir internal dan eksternal maka skor dari responden tersebut dirata-rata. Tabel matriks IFE strategi kebijakan perikanan tuna dapat dilihat pada
Tabel 29.
Tabel 29 Matriks IFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna
Faktor Strategis Internal Rata-rata
Skor Bobot
Rating
kekuatan
A Adanya asosiasi perikanan tuna 0.035
2 0.070
B Pelayanan perikanan satu atap
0.053 2
0.106 C
Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia 0.059
2 0.119
D Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala industri dan kecil
0.022 1
0.022 E
Kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia
0.082 3
0.247 G Adanya estimasi jumlah tangkapan yang
diperbolehkan 0.101
3 0.304
H perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik diindikasikan sebagai Spawning
0.224 4
0.895 I
Jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup besar
0.024 2
0.048 0.6
Kelemahan
K Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan 0.018
2 0.037
L System pendataan perikanan Indonesia masih belum
baik 0.034
2 0.068
M Pelaksanaan observer dan board inspection belum optimal
0.047 2
0.094 N Pelaksanaan VMS masih belum optimal
0.028 2
0.055 O Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik
0.096 4
0.382 P
NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi peraturan
0.071 3
0.212 Q Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam
meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia 0.094
3 0.283
R Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh
kapal-kapal penangkapan berukuran kecil 0.012
1 0.012
0.400
Total 1
2.954
Berdasarkan hasil perhitungan matriks IFE di atas maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna secara internal berada dalam
kondisi rata-rata. Hal ini dapat dilihat dari nilai total nilai sebesar 2,954. Pada Tabel 26 dapat diketahui bahwa kekuatan utama strategi kebijakan
adalah perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik diindikasikan sebagai spawning dengan nilai 0.895. Spawning ground di wilayah
Indonesia dapat dijadikan alat diplomasi yang menguntungkan Indonesia dalam setiap pembuatan keputusan WCPFC. Namun demikian, di sisi lain, lemahnya
diplomasi akan menyudutkan Indonesia ketika nelayan Indonesi melakukan penangkapan ikan baby tuna yang berada di Indonesi. Oleh karena itu, keberadaan
spawning ground tersebut perlu dikaji secara ilmiah.
Faktor kedua adalah adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan nilai 0.304. Adanya estimasi perikanan Indonesia
merupakan amanat dari UNCLOS 1982 untuk menjadi alat ukur dalam pengelolaan perikanan. Oleh karena itu, keberadaan data perikanan yang baik
adalah syarat utama dalam memperbaiki dan menyusun estimasi perikana tersebut. Faktor terakhir adalah kelengkapan peraturan perundang-undangan
Indonesia dengan nilai sebesar 0.247. Berdasarkan hasil analisa peraturan perundang-undangan, bahwa peraturan perundang-undangan secara umum sudah
lengkap meski ada beberapa peraturan yang perlu ditetapkan. Namun demikian, kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia merupakan kekuatan
Indonesia dalam melakukan diplomasi, bahwa Indonesia memiliki kepedulian yang sama dengan negara lainnya dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan
dan bertanggung jawab. Kelemahan utama strategi kebijakan adalah belum adanya Rencana
Pengelolaan Perikanan RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik dengan nilai sebesar 0.096. Ketiadaan RPP ini dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan
perikanan di kedua WPP tersebut. Dengan demikian, ketiadaan RPP adalah kelemahan yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia.
Faktor kedua adalah belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia dengan nilai sebesar 0,174.
Permasalahan posisi tawar adalah hal penting dalam diplomasi, sehingga
kekuatan-kekuatan seperti adanya indikasi spawning ground dapat dijadikan alat utama meningkatkan posisi tawar tersebut. Faktor terakhir adalah NPOA IUU
Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi peraturan. Kedua NPOA tersebut belum ditetapkan dalam sebuah peraturan. Hal ini dikarenakan, IUU
Fishing dan hiu dimuat dalam international plan of action IPOA yang bersifat softlaw
. Padahal, dalam RFMO, khususnya WCPFC, aturan yang softlaw diubah menjadi hardlaw melalui CMM.
Sementara itu, matriks EFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna dapat dilihat pada Tabel 26. Berdasarkan hasil analisis matriks EFE, diperoleh
jumlah skor rata-rata untuk faktor eksternal sebesar 2.965. Nilai ini memperlihatkan bahwa efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna berada dalam
level rata-rata. Tabel 30 Matriks EFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna
Faktor strategis eksternal Rata-rata
Skor Bobot
Rating
A Peluang
Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal 0.0198
1 0.020
B Regulasikebijakan industrialisasi dan minapolitan perikanan
0.0282 2
0.056 C
Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies 0.0594
3 0.178
D Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten 0.0438
2 0.088
E Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta
terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC
0.0798 3
0.239 F
Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC 0.1998
4 0.799
G Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran
data dan informasi diantara negara anggota 0.1692
3 0.508
0.6 Ancaman
H Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing 0.009
2 0.018
I Aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna
0.116 4
0.466 J
Transhipmen di tengah laut 0.013
2 0.026
K Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia
0.067 3
0.200 L
Pembatasan penangkapan spesies tertentu 0.087
2 0.174
M Pembatasan penggunaan rumpon 0.046
2 0.093
N Beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat sukarela telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat
0.039 2
0.078 P
Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional diindikasikan dikendalikan oleh internasional dan regional
0.023 1
0.023
0.4 Total
1.000 2.965
Berdasarkan Tabel 30 bahwa peluang utama adalah penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC menduduki urutan pertama. Hal ini bisa dilihat
dari nilai sebesar 0.799. Penguatan tersebut dengan membenahi hal-hal yang dipersyaratkan oleh WCPFC seperti pembenahan sistem data dan implementasi
MCS yang baik serta terlibat aktif dalam setiap pertemuan yang diselenggarakan. Peluang kedua yang dapat dimanfaatkan adalah dapat memengaruhi
keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota dengan nilai sebesar
0.508. Peluang ini didasarkan bahwa Indonesia memperkuat diplomasi dengan berbagai kepatuhan dan bukti ilmiah tentang spawning ground. Faktor ketiga
adalah tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC
dengan nilai sebesar 0.263. Sebagaimana yang disebutkan sebelunya, bahwa keterlibatan aktif Indonesia selain peduli terhadap isu global dan regional, juga
mendapatkan bantuan teknis dan financial dalam mewujudkan perikanan di wilayah WCPFC.
Faktor utama yang menjadi ancaman efektivitas strategi kebijakan adalah aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna. Faktor ini memiliki
nilai sebesar 0.466. Larangan penangkapan baby tuna tersebut berdasarkan CMM yang disebabkan oleh menurunnya tangkapan tuna yellowfin dan bigeye. Oleh
karena itu, larangan penggunaan purse seine dengan menggunakan rumpon juga telah dikeluarkan.
Faktor ancaman kedua adalah wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia. Faktor ini memiliki nilai sebesar 0.200. Wilayah
penerapan WCPFC memasukan perairan kepulauan Indonesia, sehingga dalam ratifikasi yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia harus memberikan
catatan untuk batasan wilayah tersebut. hal ini dikarenakan, biasanya pengelolaan RFMO berada di luar ZEE. Faktor ketiga adalah pembatasan penangkapan spesies
tertentu dengan nilai 0.174. Pembatasan tersebut dalam rangka menjaga keberlanjutan spesies tertentu yang dikhawatirkan musnah. Berdasarkan dari
perhitungan matriks IFE dan EFE diperoleh jumlah nilai rata-rata sebesar
2.954
dan
2.965
. Penggabungan antara nilai IFE dan EFE pada matriks IE akan
menunjukkan efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna berada pada sel ke lima V seperti yang terlihat pada Gambar 34. Dengan demikian, strategi yang terbaik
yang sebaiknya dilakukan adalah menjaga dan mempertahankan posisi yang selama ini sudah diraih. Kebijakan umum dari strategi ini adalah dengan cara
penguatan posisi Indonesia dalam WCPFC. Selain itu, perlu peningkatan system pengumpulan data dan informasi yang disertai dengan peningkatan pengawasan.
Total Rata-rata Tertimbang IFE
Kuat Rata-rata Lemah
3,0-4.0 2,0-2,99 1,0-1,99
Tinggi 3,0-4,0
Total Sedang
Rata-rata 2,0-2,99
Tertimbang EFE
Rendah
1,0-1,99
Gambar 31 Matriks IE
5.6 Strategi Kebijakan
Setelah melakukan analisis terhadap faktor internal dan eksternal, selanjutnya dapat diformulasikan alternatif strategi dengan menggunakan matriks
SWOT, yang merupakan kombinasi dari strategi SO, WO, ST, dan WT. perumusan strategi dilakukan dengan mempertimbangkan keempat faktor yaitu
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang telah diidentifikasi. Strategi yang dihasilkan merupakan kombinasi SO strength-opportunities, ST strength-
threats , WO weakness-opportunities, dan WT weakness-threats yang
dirangkum dalam matriks SWOT. Perumusan strategi pemasaran yang dibangun dengan menggunakan matriks SWOT dapat pada Tabel 27.
I II
III
IV VI
VII VIII
IX V
Tabel 31. Matrik SWOT untuk Perumusan Strategi Diplomasi Indonesia
IFAS EFAS
Kekuatan Strengths
S1. Adanya asosiasi perikanan tuna; S2. Pelayanan perikanan satu atap;
S3. Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia; S4. Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala
industri dan kecil; S5. Kelengkapan peraturan perundang-undangan
Indonesia; S6. Adanya estimasi jumlah tangkapan yang
diperbolehkan; S7. Spawning Gound yellow fin tuna;
S8. Jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup besar;
Kelemahan Weaknesses
W1. Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan; W2. System pendataan perikanan Indonesia masih belum
baik; W3. Pelaksanaan observer dan board inspection belum
optimal; W4. Pelaksanaan VMS masih belum optimal;
W5. Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik; W6. NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum
ditetapkan menjadi peraturan; W7. Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam
meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia; W8. Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh
kapal-kapal penangkapan berukuran kecil
Peluang Opportunities
O1. Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal;
O2. Regulasikebijakan industrialisasi perikanan dan minapolitan;
O3. Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies;
O4. Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten;
O5. Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC;
O6. Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC;
O7. Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta memudahkan
Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota
SO SO1. Penelitian perikanan secara rutin S3, S6, S7, S8,
S9, O1, O3, O4, O5, O6, O7 SO2. Pengembangan fasilitas dan pelayanan pelabuhan
perikanan S1, S2, S3, S4, S8, O1, O2, O4 SO3. Penguatan peran asosiasi perikanan tuna S1, S4,
O1, O2, O4
WO WO1. Pengembangan sistem informasi dan data W2, W3,
W4, O1, O3, O4, O5, O6, O7 WO 2. Peningkatan MCS W1, W2, W3, W4, W5, W7, O3,
O4, O5 WO 3. Penetapan dokumen RPP W5, W6, W7, O1, O2, O3,
O4, O5, O6, O7 WO 4. Penguatan armada tangkap W1, W8, O1, O2, O4
171
Ancaman Threats
T1. Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing; T2. Aturan internasional yang melarang
penangkapan baby tuna; T3. Transshipment di tengah laut;
T4. Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia;
T5. Pembatasan penangkapan spesies tertentu. T6. Pembatasan penggunaan rumpon;
T7. Beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat sukarela telah berubah
menjadi bersifat wajib dan mengikat; T8. Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi
nasional diindikasikan dikendalikan oleh internasional dan regional;
ST ST1. Penguatan sistem penegakan hukum S2, S5, T1,
T2, T3, T5, T6, T7 ST2. Penguatan kerjasama regional dengan WCPFC
S1, S2, S3, S4, S6, S7, S8, S8, T2, T4, T5,T6, T7, T8
WT WT1. Sinergisasi aturan pemasangan rumpon W1, T1, T2,
T5, T6
172
Berdasarkan analisis matriks SWOT didapatkan empat macam strategi yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Strategi Strength-Opportunities SO Strategi SO adalah strategi menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk
memanfaatkan peluang yang ada. Berdasarkan kekuatan dan peluang yang diperoleh, maka strategi yang seharusnya dilakukan adalah penelitian perikanan
secara rutin. Hal ini didasarkan adanya perbaikan data setiap tahun terkait dengan estimasi, penelitian spawning ground yang dapat dijadikan alat diplomasi, dan
adanya bantuan teknis dan keuangan sehingga perlu peningkatan penelitian yang dasar dan strategis.
Strategi kedua yang dapat dilakukan adalah pengembangan fasilitas dan pelayanan pelabuhan perikanan. Pengembangan fasilitas dan pelayanan di
pelabuhan perikanan. Strategi ini berdasarkan adanya dukungan dari pemerintah yang dicerminkan dengan program minapolitan dan industrialisasi perikanan.
Sementara strategi ketiga yang dapat dilakukan adalah penguatan peran asosiasi perikanan tuna. Strategi ini didasari oleh keberadaan asosiasi tuna,
sehingga memudahkan dalam memfasilitasi kepentingan pemerintah dan pengusaha perikanan tuna.
b. Strategi ST strength-threats Strategi ST merupakan strategi memanfaatkan kekuatan untuk
menghindari ancaman yang datang dari luar. Strategi ST paling utama adalah penguatan sistem penegakan hukum. Strategi ini ditempuh untuk menciptakan
efektivitas penegakan hukum, mulai dari pengawasan hingga penyidikan. Hal ini untuk menghindari tumpang tindih kewenangan.
Strategi kedua adalah penguatan kerjasama regional dengan WCPFC. Hingga saat ini, Indonesia berstatus sebagai contracting non-member atau negara
peninjau. Oleh karena itu, perlu penguatan kerjasama dengan keterlibatan aktif di WCPFC.
c. Strategi WO weakness-opportunities Strategi WO adalah strategi yang meminimalkan kelemahan dengan
memanfaatkan peluang yang ada. Strategi WO utama yang bisa dilakukan adalah pengembangan sistem informasi dan data. Strategi ini didasari oleh lemahnya
sistem pendataan Indonesia sehingga dikhawatirkan menimbulkan salah dalam penentuan kebijakan.
Strategi kedua adalah Peningkatan MCS. Kelemahan yang dapat dihindari dari strategi ini adalah belum optimalnya penggunaan logbook penangkapan ikan,
observer dan board inspection serta penggunaan trasmiter. Strategi ini memanfaatkan peluang berupa tersedianya bantuan teknis dan finansial.
Sementara strategi ketiga adalah Penetapan dokumen RPP. Strategi ini didasari oleh belum adanya dokumen pegangan dalam mengelola suatu wilayah. Ketiadaan
dokumen menyebabkan kebingungan di tingkat provinsi dan kabupatenkota. Sedangkan strategi WO yang keempat adalah penguatan armada tangkap. Strategi
ini didasari oleh perpindahan penggunaan perahu besar menjadi lebih kecil dan bersifat individual. Peluang yang digunakan pada strategi ini adalah potensi belum
dimanfaatkan secara optimal dan peluang pasar yang baik. d. Strategi WT weakness-threats
Strategi WT merupakan strategi untuk mengurangi kelemahan dan menghindari ancaman. Strategi yang bisa dilakukan adalah dengan mensinergikan
aturan pemasangan rumpon sebagaimana yang diatur oleh WCPFC dengan peraturan Indonesia. Hal ini dalam rangka membangun perikanan berkelanjutan
yang disebabkan penggunaan rumpon. Hasil dari matriks SWOT dan keempat macam strategi secara umum diatas
didapatkan tujuh rekomendasi strategi alternative yakni : 1 Penelitian perikanan secara rutin. Strategi ini dalam rangka menghasilkan
data ilmiah terbaik yang tersedia. Salah satu penelitian yang harus dilakukan adalah mengenai lokasi pasti spawning ground tuna yellowfin
dan bigeye. Mengingat, lokasi spawning ground kedua tuan tersebut diindikasikan berada di Indonesia, sehingga kebenaran data tersebut dapat
dijadikan alat dilomasi Indonesia. 2 Pengembangan fasilitas dan pelayanan pelabuhan perikanan. Strategi ini
dalam rangka mengoptimalkan fungsi pelabuhan dalam kegiatan bisnis dan pemerintahan, khususnya pencatatan kegiatan perikanan. Pengembangan
fasilitas pelabuhan disesuaikan dengan kebutuhan pelabuhan masing- masing dan daya dukung infrastrukturnya, seperti listrik. Sementara
pengembangan pelayanan adalah dengan cara pelayanan satu atap yang dilaksanakan di semua pelabuhan perikanan Indonesia. Pelayanan
pemberian izin, perlu pembangunan gedung pelayanan satu atap yang didalamnya tergabung beberapa lembaga Negara, seperti Pelabuhan
Perikanan, PSDKP, Imigrasi, Bea Cukai, Perhubungan Laut, Badan Karantina Ikan. Adanya pelayanan satu atap tersebut memudahkan nelayan
dalam setiap pengurusan dokumen perizinan, baik yang terkait dengan penangkapan maupun dengan pemasaran atau ekspor-impor. Selain itu,
perlu pembuatan system informasi pelayanan yang terintegrasi sehingga lebih menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan perizinan.
3 Penguatan peran asosiasi perikanan tuna Pelibatan asosiasi tuna dalam semua aspek, mulai dari penangkapan hingga
pemasaran dapat memudahkan pemerintah dalam pengembangan industry perikanan tuna di Indonesia umumnya, dan Bitung khususnya. Pelibatan
asosiasi perikanan tuna juga bisa dilakukan pada saat memberikan data dan informasi untuk pembuatan kebijakan.
4 Penguatan sistem penegakan hokum Dalam rangka menjamin perikanan tuna berkelanjutan, system penegakan
hukum perlu ditata dan disinergikan antar lembaga, sehingga strategi ini mendukung industry perikanan tuna. Selain itu, pemberantasan IUU fishing
di wilayah perairan Laut Sulawesi perlu dilakukan secara koordinatif dan sinergis, sehingga potensi sumberdaya ikan tidak dicuri oleh nelayan asing.
Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah adanya standar operasional yang sama antar penegak hukum, sehingga tidak membingungkan nelayan
ketika terjadi pelanggaran. Selain itu, efektivitas penegakan hukum terhadap pelaku IUU Fishing diharapkan mampu menjamin keberlanjutan
usaha perikanan tuna. Mengingat, IUU Fishing menyumbangkan 30 persen dari total tangkapan dunia selama ini.
5 Penguatan kerjasama regional dengan WCPFC Dalam rangka memperkuat diplomasi Indonesia di WCPFC, maka
pemerintah Indonesia harus melakukan ratifikasi Konvensi WCPFC sehingga dengan demikian Indonesia menjadi negara full member
member contracting parties. Perubahan status tersebut menempatkan Indonesia mempunya hak bicara dan suara, yang selama ini hanya
mempunyai hak bicara karena statusnya negara peninjau member non- contracting parties
. 6 Pengembangan system informasi dan data
Statistik perikanan Indonesia sebagaimana statistik lainnya di Indonesia dihadapkan pada permasalahan “keabsahan”. Hal ini dikarenakan, data
dikumpulkan tidak secara benar. Oleh karena itu, pengembangan system informasi dan data perlu menjadi perhatian pemerintah. Dukungan teknis
dan financial dari lembaga internasional bisa diperoleh dalam pelaksanaan pengembangan system informasi dan data.
7 Peningkatan MCS Pemerintan Indonesia sudah memiliki aturan mengenai observer, inspeksi
kapal dan transmitter. Permasalahannya adalah pada tahap pelaksanaan. Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan adalah peningakatn MCS
yang efektif dan efisien dalam mendukung perikanan berkelanjutan. 8 Penetapan dokumen RPP
Indonesia memiliki 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun
demikian, pelaksanaan pengelolan WPP tersebut dihadapkan pada kebingungan apa yang harus dilakukan. Hal ini dikarenakan tidak adanya
dokumen RPP. Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan adalah menetapkan dokumen RPP sebagai pedoman hukum dalam pengelolaan
WPP. 9 Penguatan armada tangkap
Strategi mendapat dukungan dari program minapolitan dan industrialisasi perikanan, sehingga pemerintah bisa membangun armada tangkap tuna
yang. Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah modernisasi armada sesuai dengan daya dukung potensi tuna.
10 Sinerigisasi aturan pemasangan rumpon WCPFC memiliki aturan mengenai pemasangan rumpon, begitu juga
Indonesia dengan Peratutan Menterinya. Oleh karena itu, strategi yang
harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah mensinergikan pemasangan rumpon yang diatur oleh WCPFC dengan Indonesia,
khususnya di WPP 717 dan 718.
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1 Pengelolaan perikanan pada WCPFC ditetapkan melalui dua ketentuan mengikat yakni Konvensi WCPFC dan Conservation and Management
Measures CMM, serta satu ketentuan tidak mengikat yakni Resolusi.
Berdasarkan analisa peraturan perundang-undangan terdapat 18 hal yang harus diperhatikan Indonesia terkait dengan ketentuan tindakan konservasi dan
pengelolaan yang diatur oleh WCPFC, yakni : a. Konvensi WCPFC yang memuat sembilan hal yang harus menjadi
perhatian dan kesiapan Indonesia, yaitu: 1 Wilayah penerapan, 2 Azas- azas dan langkah-langkah untuk konservasi dan pengelolaan, 3
Penerapan pendekatan kehati-hatian, 4 Pelaksanaan azas-azas di wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional, 5 Kesesuaian langkah-
langkah konservasi dan pengelolaan, 6 Kewajiban Para Anggota Komisi, 7 Kewajiban-Kewajiban Negara Bendera, 8 Penaatan dan
Penegakan, dan 9 Itikad Baik dan Penyalahgunaan Hak. b. Conservation and Management Measures CMM yang memuat sembilan
hal yang harus menjadi perhatian dan kesiapan Indonesia, yaitu: 1 Penggunaan Transmitter VMS, 2 Penegakan hukum, 3 Kapal
Penangkapan Ikan, 4 Alat Penangkap Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan, 5 Pengelolaan Tangkapan Utama, 6 Pengelolaan Tangkapan
Sampingan, 7 Program Observer dan Inspeksi Kapal, 8 Data Buoys, dan 9 Transhipment
2 Berdasarkan Konvensi WCPFC, CMM dan kesiapan regulasi nasional terdapat tiga hal yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia, yaitu:
a. Status wilayah WCPFC. Indonesia harus menegaskan kepada Komisi WCPFC bahwa wilayah Konvensi di perairan Indonesia hanya untuk
perairan ZEE Indonesia pada WPP 716 Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera dan WPP 717 Teluk Cendrawasih dan Samudera
Pasifik.
b. Pengawasan dan penegakan hukum. Empat hal yang harus diperhatikan yakni; 1 Penataan sistem informasi dan data, 2 Penataan sistem
pengawasan, 3 Pemberantasan IUU Fishing di wilayah Konvensi WCPFC, dan 4 Pengawasan efektivitas pelaksanaan hukum.
c.
Penyusuhan Peraturan Perundang-undangan. Beberapa ketentuan Konvensi dan CMM WCPFC yang perlu ditetapkan dalam bentuk
Peraturan Perundang-Undangan yaitu: 1 Program observer, 2 Port State Measures Agreement
3 Pembatasan upaya tangkapan 4 Pengelolaan rumpon 5 Hasil tangkapan sampingan 6 National Plan of
Action NPOA for the Conservation and Management of Sharks
3 Kebijakan pelarangan penangkapan baby tuna akan menghasilkan nilai rataan kesediaan menerima pembayaran WTA per orang sebesar Rp 4.774.000 per
tahun atau Rp 397.433 per bulan. Sementara itu, rataan pendapatan tetap
setiap nelayan purse seine sebesar Rp 20.520.000 per tahun atau Rp 1.710.000
per bulan. Dengan demikian, apabila larangan penangkapan baby tuna diberlakukan, maka pendapatan nelayan purse seine per bulannya menjadi Rp
1.312.166,67, karena kehilangan sebesar Rp 397.433 per bulan.
4
Ketentuan penutupan penggunaan alat tangkap purse seine dengan alat bantu rumpon selama periode Agustus sampai dengan Oktober akan mengganggu
pasokan ikan terhadap industri pengolahan ikan di Kota Bitung, karena 78,57 persen pendaratan ikan di Kota Bitung berasal dari alat tangkap purse seine.
Mengacu pada periode yang sama pada tahun 2012, total pendapatan dari bigeye
dan yellowfin
dari alat tangkap
purse seine
mencapai Rp.15.420.837.600,-.
5 Strategi yang harus dilakukan, yaitu: 1 Penelitian perikanan secara rutin, 2 Pengembangan fasilitas dan pelayanan pelabuhan perikanan, 3 Penguatan
peran asosiasi perikanan tuna, 4 Penguatan sistem penegakan hukum 5 Penguatan kerjasama regional dengan WCPFC, 6 Pengembangan sistem
informasi dan data, 7 Peningkatan MCS, 8 Penetapan dokumen RPP, 9 Penguatan armada tangkap, dan 10 Sinerigisasi aturan pemasangan rumpon.
6.2 Saran
1 Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai dampak lain yang ditimbulkan dari ratifikasi Konvensi WCPFC, karena aturan WCPFC terus berkembang
dengan cara mengeluarkan resolusi. 2 Partisipasi Indonesia dalam kerjasama WCPFC dapat dioptimalkan untuk
kepentingan nasional dalam rangka pertumbuhan ekonomi. Diplomasi Indonesia dalam setiap pertemuan WCPFC masih sangat terbatas karena
belum menjadi member. Oleh karena itu, proses ratifikasi Konvensi WCPFC yang sedang dilakukan Indonesia untuk peningkatan status keanggotaan
menjadi anggota penuh dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak lama. 3 Kecenderungan perkembangan pengelolaan perikanan tuna oleh WCPFC
melalui pembatasan hasil tangkapan catch limit. Penetapan catch limit berdasarkan historical annual catch setiap negara untuk spesies yang
dikelola. Oleh karena itu untuk memperkuat posisi Indonesia sekaligus melindungi kepentingan nasional adalah melalui pendataan hasil tangkapan
akurat dan tepat. Sehingga setiap pertemuan tahunan WCPFC, delegasi Indonesia memiliki dasar yang kuat untuk melakukan intervensi besaran
catch limit kuota.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. 2006. Pengantar Penilaian Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Departemen Manajemen Sumberdaya Pesisir dan Laut-IPB.
Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas
, 1993. Agreement For The Establishment Of The Indian Ocean Tuna Commission
1993. Aranda, H., Murua, H., and DeBruyn, P. Managing Fshing Capacity in Tuna
Regional Fsheries Management Organisations RFMOs: Development
and State of the Art. Marine Policy. 36 2012 985 –992.
Ariadno, M.K. 2012. Review of Policy and Legal Arrangements of WCPFC Related Matters and Checklist of Compliance Shortfalls
. Policy Paper. WCPFC.
Bjørndal, T. 2009. Overview, Roles, and Performance of the North East Atlantic Fisheries Commission
NEAFC. Marine Policy, Vol 33 2009 685 –697.
BRPL – DKP, 2005. Potensi Sumberdaya Ikan di WPP Samudera Hindia. Tidak
diterbitkan. Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna
Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean
2000 David, F.R. 2003. Strategic Management, Concepts and cases, 10th ed. New
Jersey: Pearson Education Inc. 461 hal. Dickson, A. C. DFT, M. Demoos, W. S. de la Cruz, I. Tanangonan, J. O. Dickson,
DFT and R. V. Ramiscal. 2012. Analysis of Purse SeineRing Net Fishing Operations in Philippine EEZ. Paper prepared for the Scientific
Committee Eighth Regular Session , 7-15 August 2012, Busan, Republic of
Korea. Ditjen Perikanan Tangkap, 2006. Naskah Urgensi : Usulan Keanggotaan
Indonesia Dalam Commission For The Conservation of Southern Bluefin Tuna
CCSBT. Tidak diterbitkan. Dunn, W.N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta Engagement. Center for Civic Education: USA. Durianto, et. al. 2001. Strategi Menaklukkan Pasar Melalui Riset Ekuitas dan
Perilaku Merek, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta. FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries.
FAO, 1999. A Review of Measures Taken by Regional Marine Fishery Bodies to Addres Contemporary Fishery Issues
. Roma. FAO, 2000. Aplication of Contingent Valuation Method in Developing Countries.
FAO Economic and Social Development . Papers No. 146200. FAO.
Roma.
FAO, 2001.International Guidelines For The Management Of Deep-Sea Fisheries In The High Seas
. FAO, 2012.The State of World Fisheries and Aquaculture. FAO. Rome.
Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pusataka Utama. Jakarta.
Gerston, L.N. 2012. Public Policymaking in a Democratic Society: a Guide to Civic.
Hanich, Q. 2011. Interest and Influence -A Snapshot of the Western and Central Pacific Tropical Tuna Fisheries. Research Online - Australian National
Centre for Ocean Resources and Security ANCORS University of
Wollongong. Hannesson, R. 2011. Rights Based Fishing on the High Seas: Is It Possible?.
Marine Policy, Vol 35 2011 667-674. Havice, 2010. The Structure of Tuna Aceess Agreements in Western and Central
Pacific Ocean: Lesson for Vessel Day Scheme Planning . Marine
Policy.34.5.979-987 Herndon, A., Galucci, V.F., DeMaster, D., and Burke, W. 2010. The Case for an
International Commission for the Conservation and Management of Sharks
ICCMS. Marine Policy, Vol 34 2010 1239 –1248.
Hogwood, B.W. dan L.A. Gunn. 1984. Policy Analysis for the Real World. Oxford University Press
. London. Jenkins, W.I. 1978. Policy Analysis. Oxford: Martin Robertson.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.45Men2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia Krippendorff, K. 1980. Content Analysis : an introduction to its methodology.
Beverly Hills : Sage Publications
Levesque, 2008. International fisheries agreement: Review of the International
Commission for the Conservation of Atlantic Tunas Case study —Shark
Management . Marine Policy, Vol 32 2008 528
–533. Lodge L dan House C. 2007. Managing International Fisheries : Improving
Fisheries Governance By Stregthening Regional Fisheries Management Organizations
. Chatham House. Marguire. 2006. The state of world highly migratory, straddling and other high
seas fishery
resources and
associated species.
FAO Fisheries Technical Paper . No. 495. Rome: FAO. 2006. 84p.
McDorman, T. 2005. Decision-Making Processes of Regional Fisheries Management Organizations
, Prepared for the St John’s Conference on Governance of High Seas Fisheries and the UN Fish Agreement
, 1 –5 May,
2005, St John’s, Canada.
Mulyana, D. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Munro. 2004. The Conservation and Management of Shared Fish Stocks: legal and economicaspects
. FAO Fisheries Technical Paper. No. 465. Rome, FAO. 2004. 69p
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian
Dan Pengembangan Perikanan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.05Men2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.01Men2009 tentang Wilayah Pengelolan Perikanan Republik Indonesia
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.18Men2010 tentang Logbook
Penangkapan Ikan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.02Men2011 tentang Jalur
Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.05Men2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No
Per.02Men2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.08Men2012 tentang Kepelabuhanan Perikanan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12Men2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.30Men2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia Polacheck, T. 2012.
Politics and Independent Scientific Advice in RFMO Processes: a Case Study Of Crossing Boundaries
. Marine Policy, Vol 36 2012 132
–141. PPS Bitung. 2012. Laporan Tahunan PPS Bitung.
Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2005. Potensi Sumberdaya Ikan di WPP Samudera Hindia. Tidak diterbitkan.
Rangkuti F. 2005. Analisis SWOT: Teknik Membelah Kasus Bisnis. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Robbins, P. 2004. Political Ecology. A Critical Introduction. Blackwell Publishing. USA. UK. Australia.
Saaty, T L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. PT. Pustaka Binaman Pressindo: Jakarta
Satria, A., Anggraini, E., dan Solihin, A. 2009. Globalisasi Perikanan; Reposisi Indonesia. IPB Press. Bogor.
Serdy. 2003. Conference on the Governance and Management of Deep-sea Fisheries. Part 1: Conference reports; 1-5 December 2003, Queenstown,
New Zealand ; FAO Fisheries Proceedings FAO
Sitorus, M.T.F.. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Bogor. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial.
Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional Terjemahan. Edisi Kesepuluh. Sinar Grafika. Jakarta.
Undang Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118.
Undang Undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran Undang Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations
Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 Relating to the Conservation and Management of
Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995
Undang Undang No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 154. United Nations Conventions on Law of The Sea
UNCLOS 1982. United Nations Agreement for the Implementation of the Provision of the
UNCLOS of 19 December 1982 Relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks
1995. Wahab, S.A. 2012. Analisi Kebijakan: dari Formulasi ke Penyusunan Model-
model Implementasi Kebijakan Publik. Wahyuni, M. et.al., 2007. Program Gemar Makan Ikan: Sebagai Strategi
Membangun Anak Bangsa Berkualitas, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Waugh, S.M., Baker, G.B., Gales, R., and Croxall, J.P. 2008. CCAMLR Process of Risk Assessment to Minimise the Effects of Longline Fshing Mortality
on Seabirds. Marine Policy, Vol 32 2008 442
–454. WCPFC, 2007. Scientific Committee Third Regular Session
www.foa.orgfi Widodo J dan Suadi, 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut.Gadjah
Mada University Press.Yogyakarta.p49 Worm, B., Edward, B.B., Nicola, B., J. Emmett Duffy, Carl, F., Benjamin S.H.,
Jeremy B. C.J., Heike, K.L., Fiorenza, M., Stephen, R.P., Enric, S.,
Kimberley A.S., John J.S., Reg, W. 2006. Impact of Biodiversity Loss on Ocean Ecosystem Services. Science, vol 314, pp.787-790.
Yusri. Statistik Sosial: Aplikasi dan Interpretasi. Graha Ilmu. Yogyakarta. Yuwono S, Sukarno E, dan Ichsan, 2002. Petunjuk Praktis Penyusunan Balanced
Scorecard. Zulham, A. 2011. Industri Perikanan Bitung. Buletin Sosek Kelautan dan
Perikanan Vol. 6 No. 2, 2011. .