Gambar 27. Hasil Analisa Perbandingan Kelemahan
Tabel 26. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Kelemahan No.
Aspek Skor
Bobot Rangking
1 Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan
0,018 7
2 System pendataan perikanan Indonesia masih
belum baik 0,034
5 3
Pelaksanaan observer dan board inspection belum optimal
0,047 4
4 Pelaksanaan VMS masih belum optimal
0,028 6
5 Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera
Pasifik 0,096
1 6
NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi peraturan
0,071 3
7 Belum adanya kebijakan dan strategi nasional
dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia.
0,094 2
8 Armada penangkapan ikan nasional didominasi
oleh kapal-kapal penangkapan berukuran kecil 0,012
8
Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio CR sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup
konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk analisis lebih lanjut.
Hasil analisis pembobotan faktor kelemahan yang memberikan peluang menunjukkan bahwa belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 0,096
dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif lainnya adalah belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah
Indonesia 0,094, NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan
menjadi peraturan 0,071, pelaksanaan observer dan board inspection belum optimal 0,047, system pendataan perikanan Indonesia masih belum baik 0,034,
pelaksanaan VMS masih belum optimal 0,028, penempatan rumpon tidak sesuai peraturan 0,018 dan Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh kapal-
kapal penangkapan berukuran kecil 0,012
B. Eksternal Peluang
Opportunity
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor
diidentifikasi sebagai peluang dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC. Peluang-peluang tersebut mencakup:
1 Potensi sumberdaya ikan belum dimanfaatkan secara optimal. Mengacu kepada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.45Men2011
tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, WPP 716 dan 717 untuk skipjack
berstatus moderate. 2 Regulasikebijakan industrialisasi dan minapolitan perikanan. Minapolitan dan
industrialisasi perikanan merupakan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mendorong industri perikanan, termasuk didalamnya adalah
untuk komoditas tuna, tongkol dan cakalang. Kebijakan ini mendukung pengembangan industri tuna di Indonesia. Landasan hukum kebijakan
industrialisasi perikanan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.27Men2012 tentang Pedoman Umum Industrialisasi
Kelautan dan Perikanan. Sementara landasan hukum pengembangan minapolitan, yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
Per.18Men2012. 3 Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies. WCPFC mengeluarkan
beberapa CMM untuk melakukan mitigasi terhadap kematian non-target spesies, seperti burung laut, penyu, hiu, dan Cetaceans.
4 Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten. Konvensi WCPFC memuat ketentuan mengenai pertimbangan nelayan artisanal dan subsisten.
Hal ini sebagaimana dituangkan dalam Pasal 5 butir h Konvensi WCPFC. 5 Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta terhindar dari
embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC
6 Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC . Status Indonesia sebagai CNM hanya memiliki hak bicara dalam setiap pertemuan, sementara member
akan memilki hak suara. Dengan demikian, keterlibatan aktif Indonesia dalam WCPFC akan memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan
informasi diantara negara anggota serta terhindar dari ancaman embargo. 7 Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta
memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota
Selanjutnya faktor-faktor
ini dianalisis
menggunakan metode
perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada Gambar 28 dan Tabel 27.
Gambar 28. Hasil Analisa Perbandingan Peluang
Tabel 27. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Peluang
No. Aspek
Skor Bobot
Rangking 1
Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal 0.033
7 2
Regulasikebijakan industrialisasi dan minapolitan perikanan
0,047 6
3 Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies
burung laut, penyu dan hiu, Cetaceans 0,099
4 4
Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten 0,073
5 5
Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta terhindar dari embargo ekspor
produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC.
0,133 3
6 Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC
0,333 1
7 Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang
diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara
negara anggota 0,282
2
Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio CR sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup
konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk analisis lebih lanjut.
Hasil analisis pembobotan faktor peluang yang memberikan peluang menunjukkan bahwa penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC
mendapatkan bobot relatif tertinggi 0,333 dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif lainnya adalah Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang
diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota 0,282; Tersedianya bantuan teknis dan
finansial dari WCPFC, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC 0,133; Kajian dan mitigasi
kematian non-target spesies burung laut, penyu dan hiu, Cetaceans 0,099; Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten 0,073; Regulasikebijakan
industrialisasi dan minapolitan perikanan 0,047; dan Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal 0.033
Ancaman Threat
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor
diidentifikasi sebagai ancaman dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC. Ancaman-ancaman tersebut mencakup:
1 Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing. Perairan Sulawesi umumnya menjadi tempat praktik-praktik illegal fishing nelayan Filipina. Nelayan
Filipina sekarang banyak menggunakan pump boat untuk mencuri ikan di Indonesia.
Gambar 29. Pumb Boat Filipina yang Tertangkap PSDKP Bitung
2 Aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna. Dalam rangka menjamin perikanan tuna berkelanjutan, maka WCPFC
mengeluarkan CMM 2008-02 Conservation and Management Measure for Big-eye and Yellow-fin Tuna in the
WCPFC untuk melarang penangkapan baby tuna, untuk tuna yellowfin dan bigeye. Hal ini harus
menjadi perhatian stakeholder perikanan tuna Indonesia, karena bisa berdampak terhadap embargo ekspor tuna Indonesia.
3 Transshipment di tengah laut. Salah satu praktik-praktik IUU Fishing yang marak di wilayah Bitung adalah transshipment di tengah laut. Ikan hasil
tangkapan transshipment tersebut dibawa ke Filipina, yaitu General Santos.
4 Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia. Wilayah penerapan WCPFC sebagaimana dituangkan dalam Pasal 3
memasukan wilayah perairan kepulauan Indonesia. Hal ini menimbulkan
penolakan Kementerian Luar Negeri dalam meratifikasi Konvensi WCPFC.
5 Pembatasan penangkapan spesies tertentu . Beberapa spesies yang dibatasi penangkapannya adalah North Pacific Albacore, South Pacific
Albacore, Striped Marlin in the Southwest Pacific, Swordfish, North Pacific Striped Marlin, Pacific Bluefin Tuna, Oceanic Whitetip Shark.
Hal ini sebagaimana diatur dalam CMM. 6 Pembatasan penggunaan rumpon. CMM 2009-02 FAD Closures And
Catch Retention mengatur pembatasan penggunaan rumpon dalam
penggunaan alat tangkap purse seine. Hal ini mengancam nelayan purse seine
Indonesia yang menggunakan rumpon untuk mengumpulkan ikan. 7 Beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat sukarela
telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa FAO mengeluarkan International Plan of
Action IPOA untuk IUU fishing, hiu dan burung laut. Namun WCPFC,
mengeluarkan CMM yang bersifat mengikat dalam pengelolaan untuk hiu dan burung laut serta pemberantasan IUU fishing.
8 Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional diindikasikan dikendalikan oleh internasional dan regional. Wilayah penerapan WCPFC
yang memasukan perairan kepulauan Indonesida dan ZEE Indonesia adalah ancaman. Hal ini dikarenakan, setiap kegiatan penangkapan ikan
oleh nelayan Indonesia di wilayah tumpang tindih tersebut, Indonesia bisa mendapatkan teguran atau bahkan sanksi.
Selanjutnya faktor-faktor
ini dianalisis
menggunakan metode
perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada Gambar 33 dan Tabel 28.
Gambar 30. Hasil Analisa Perbandingan Ancaman
Kegiatan illegal fishing oleh .022
Larangan penangkapan baby tuna .291
Transhipment di tengah laut .032
Wilayah penerapan WCPFC memasu .167
Pembatasan penangkapan spesies .217
Pembatasan penggunaan rumpon .116
Beberapa ketentuan internasion .098
Aturan pengelolaan SDI di wila .056
Inconsistency = 0.02 with 0 missing judgmen ts.