Hasil tangkapan sampingan. Aturan hasil tangkapan sampingan diatur dalam

menerima pembayaran jasa lingkungan dari masyarakat sebesar 2,03 kali maka secara signifikan tingkat pendapatan masyarakat nelayan terjadi pula kenaikannya pada tingkat kepercayaan 99 persen. Selain pendapatan, variabel lain yang juga berpengaruh signifikan adalah persetujuan sebesar 0.003 penurunan 6,52 kali untuk 1 unit, umur sebesar 0,003 kenaikan 1,28 kali untuk 1 unit, aturan sebesar 0,02 penurunan 9,34 kali untuk 1 unit, dan dampak pemanfaatan sebesar 0,03 kenaikan 112 kali untuk 1 unit. Tabel 21. Nilai WTA dan Pendapatan Nelayan Purse Seine di PPS Bitung 2012 No Nama WTA Pendapatan Tetap 1 Rml 4.320.000 21.600.000 2 RD 3.600.000 18.000.000 3 JB 4.500.000 18.000.000 4 NM 3.600.000 18.000.000 5 Mx 3.600.000 18.000.000 6 Srd 4.320.000 24.000.000 7 Jhr 5.250.000 21.000.000 8 Jh L 7.200.000 24.000.000 9 Tbh 3.600.000 15.600.000 10 RR 4.320.000 21.600.000 11 EW 6.000.000 30.000.000 12 Sml 6.300.000 18.000.000 13 TT 9.000.000 30.000.000 14 Le 2.400.000 12.000.000 15 FM 3.600.000 18.000.000 Total Per Tahun 4.774.000 20.520.000 Total per Bulan 397.833 1.710.000 Sumber: Data diolah

5.5 Analisa AWOT

Posisi Indonesia dalam pengelolaan perikanan di laut lepas dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Penelitian ini mengkombinasikan teknik-teknik pembobotan weighting terhadap faktor internal dan eksternal dengan teknik perbandingan berpasangan pairwise comparison dari Saaty 1983. Menurut Kangas et al 2001 penggunaan pairwise comparison dalam SWOT ini menghasilkan teknik yang disebut sebagai AWOT atau AHP-SWOT. Cara ini akan menghasilkan perumusan strategi yang terboboti.

5.5.1 Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal

Strategi diplomasi Indonesia dalam pengelolaan perikanan di laut lepas yang dikelola oleh WCPFC disusun berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan eksternal. Faktor internal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari dalam lingkungan organisasi, yang dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia, sedangkan faktor eksternal adalah factor yang berasal dari luar Pearce Robinson, 1997.

A. Faktor Internal Kekuatan

Strength Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor diidentifikasi sebagai kekuatan dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC. Kekuatan-kekuatan tersebut mencakup: 1 Adanya asosiasi perikanan tuna. Pengusaha perikanan tuna mempunyai organisasi dalam memperjuangkan haknya serta berbagai informasi dalam pelaksanaan usahanya. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.14Men2012 tentang Pedoman Umum Penumbuhan dan Pengembangan Kelembagaan Pelaku Utama Perikanan, Asosiasi Perikanan didefinisikan sebagai kumpulan dari gabungan kelompok perikanan yang mempunyai tujuan bersama dengan jenis usaha yang sama. Adapun organisasi pengusaha perikanan tuna di Indonesia, yaitu Asosiasi Tuna Indonesia ASTUIN dan Asosiasi Tuna Longline Indonesia ATLI. 2 Pelayanan perikanan satu atap. Pelayanan perikanan satu atap dilakukan di kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera PPS Bitung, seperti Otoritas Pengelolaan Pelabuhan Perikanan terkait dengan pelayanan SHTI Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan, PSDKP terkait dengan pelayanan SLO Surat Laik Operasi, dan Syahbandar Perikanan terkait dengan SPB Surat Persetujuan Berlayar dan STBLK Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan kapal. Pelayanan satu atap ini memudahkan pelaku usaha perikanan tangkap, khususnya pemilik kapal dalam mengurus dokumen operasional penangkapan dan pengangkutan ikan. 3 Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia. Fasilitas pelabuhan merupakan sarana dan prasarana yang tersedia di lokasi pelabuhan untuk mendukung kegiatan operasional pelabuhan perikanan. Adapun fasilitas di PPS Bitung, yaitu DJPT, 2009: a. Fasilitas pokok di PPS Bitung relatif lengkap dimana fasilitas-fasilitas yang terkait dengan keamanan dan kenyamanan tambat labuh tersedia. Sebagian besar fasilitas dalam kondisi baik dan dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya. Namun demikian, masih ada fasilitas pokok yang pemanfaatannya tidak sesuai seperti Pencegah Benturan Kapal fender. Data selengkapnya mengenai fasilitas pokok disajikan pada Tabel 22. b. Fasilitas fungsional PPS Bitung sebagian besar dalam kondisi baik dan pemanfaatannya sesuai dengan peruntukkannya. Data selengkapnya mengenai fasilitas fungsional di PPS Bitung disajikan pada Tabel 23. c. Fasilitas penunjang digunakan untuk mendukung aktifitas operasional pelabuhan dalam kondisi baik dan pemanfaatannya sesuai dengan peruntukkannya. Data selengkapnya mengenai fasilitas penunjang di PPS Bitung disajikan pada Tabel 24. Tabel 22. Fasilitas Pokok PPS Bitung Nama Fasilitas Jumlah unit Volume Satuan Volume Kondisi Manfaat Areal Daratan Pelabuhan 1 4,6 ha Baik Sesuai Dermaga 2 1.764- 1.610 m² Baik Sesuai Kolam Pelabuhan 1 6 ha Baik Sesuai Alur Pelayaran 1 Baik Sesuai Pencegah Benturan Kapal Fender 25 m Baik Tidak Sesuai Tempat Tambat Bollard 25 m Baik Sesuai Jalan 1 7.185 m² Baik Sesuai Drainase 1 490 m² Baik Sesuai Tabel 23. Fasilitas Fungsional PPS Bitung. Nama Fasilitas Jumlah unit Volume Satuan Volume Kondisi Manfaat Tempat Pelelangan Ikan TPI 1 1.420 m² Baik Sesuai Menara Pengawas 1 9 m² Baik Sesuai PenampungTangki Air 1 938 m 3 Baik Sesuai Pengolahan Air 1 9,38 m³ Baik Sesuai Pabrik Es 1 1 ha Baik Sesuai Gudang Es 1 500 m³ Baik Sesuai Mesin Penghancur Es 3 Unit Baik Sesuai Genset 1 Baik Sesuai Daya Listrik 7,158,125 Paket Baik Sesuai Rumah Genset 1 99 m² Baik Sesuai SPBN 1 616 m² Baik Sesuai Tangki BBM 1 1.000 KL Baik Sesuai Docking 1 1 ha Baik Sesuai Bengkel 1 Baik Sesuai Perbaikan Jaring 1 9 m² Baik Sesuai Tempat Pengolahan Ikan 1 1 m² Baik Sesuai Tempat Penyimpanan Ikan Segar 1 1 m² Baik Sesuai Cold Storage 1 1 ha Lab Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan 1 928,13 m² Baik Sesuai Syahbandar 1 168,92 m² Baik Sesuai Kantor Administrasi Pelabuhan 1 651,50 m² Baik Sesuai Kantor Pengawas Perikanan 1 19,50 m² Baik Sesuai Kendaraan Inventaris Roda 4 2 Unit Baik Sesuai Kendaraan Inventaris Roda 2 1 Unit Baik Sesuai Tempat Parkir 1 ha Baik Sesuai Kapal Pengawas 1 Unit Baik Sesuai IPAL 1 20 m² Baik Sesuai Tabel 24. Fasilitas penunjang PPS Bitung. Nama Fasilitas Jumlah unit Volume Satuan Volume Kondisi Manfaat Mess Karyawan 3 240,88 m² Baik Sesuai Pos Jaga 2 42,25 m² Baik Sesuai Pos Pelayanan Terpadu 1 150 m² Baik Sesuai Guest House 2 Tempat Peribadatan 2 935,52 m² Baik Sesuai Klinik Kesehatan 1 150 MCK 1 45 m² Baik Sesuai Waserdatoko 4 30,71 m² Baik Sesuai 4 Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala industri dan kecil. Pancing hand line berkembang di Bitung. Hal ini dalam rangka menekan biaya operasional laut yang monthly fishing menjadi one day fishing. Dengan demikian, Anak Buah Kapal ABK purse seine berubah menjadi hand line. 5 Kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia. Berdasarkan analisa peraturan perundang-undangan tingkat nasional, peraturan perundang- undangan Indonesia dalam pengelolaan perikanan, termasuk pengelolaan perikanan di laut lepas cukup lengkap. Bahkan, perkembangan terakhir, sudah ada aturan usaha perikanan tangkap di laut lepas, yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12Men2012. 6 Adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Estimasi jumlah tangkapan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Kepmen KP Nomor Kep. 45Men2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Estimasi yang dikeluarkan berdasarkan Kepmen KP Nomor 45Men2011 yaitu sebesar 6.520.100 tontahun, dimana ikan pelagis kecil menempati urutan pertama, yaitu 3.645.700 tontahun, kemudian ikan demersal 1.452.500 tontahun, ikan pelagis besar 1.145.400 tontahun, ikan karang konsumsi 145.300 tontahun, udang penaeid 98.300 tontahun, cumi-cumi 28.300 tontahun, dan lobster 4.800 tontahun. Sementara berdasarkan WPP, WPP 711 menempati urutan pertama, yaitu 1.059.000 tontahun, kemudian WPP 713 929.700 tontahun, WPP 718 855.500 tontahun, WPP 712 836.600 tontahun, WPP 715 595.600 tontahun, WPP 572 565.200 tontahun, WPP 573 491.700 tontahun, WPP 716 333.600 tontahun, WPP 717 299.100 tontahun, WPP 714 278.000 tontahun, dan WPP 571 276.000 tontahun. 7 Perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik diindikasikan sebagai spawning ground yellowfin. Sebagaimana Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01MEN2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, terdapat 11 WPP Republik Indonesia. Kedua WPP-RI tersebut diindikasikan sebagai spawning ground tuna yellowfin yellowfin. Adapun kedua WPP-RI tersebut, yaitu WPP 716 Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera, meliputi Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi Gorontalo; dan WPP 717 perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik, meliputi : Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Maluku Utara. 8 Jumlah armada penangkapan dan nelayan pada WPP 716 dan 717 cukup besar. Data statistik perikanan tangkap per WPP tahun tahun 2011 menunjukan bahawa terdapat 754 kapal penangkapan ikan, dimana 84 persen atau 630 kapal berukuran antara 20 -100 GT Selanjutnya faktor-faktor ini dianalisis menggunakan metode perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada Gambar 25 dan Tabel 25. Gambar 25. Hasil Analisa Perbandingan Kekuatan Adanya asosiasi perikanan tuna .058 Pelayanan perikanan satu atap .088 Pelabuhan perikanan dan sarana .099 Terdapat pelaku usaha perikana .036 Kelengkapan peraturan perundan .137 Adanya estimasi jumlah tangkap .169 Perairan Laut Sulawesi dan ZEE .373 Jumlah armada penangkapan dan .041 Inconsistency = 0.02 with 0 missing judgments. Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio No. Aspek Skor Bobot Rangking 1 Adanya asosiasi perikanan tuna 0,035 6 2 Pelayanan perikanan satu atap 0,053 5 3 Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia 0,059 4 4 Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala industri dan kecil 0,022 8 5 Kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia 0,082 3 6 Adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan 0,101 2 7 perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik diindikasikan sebagai Spawning Gound yellow fin tuna 0,224 1 8 Jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup besar 0,024 7 Hasil analisis pembobotan faktor kekuatan yang memberikan peluang menunjukkan bahwa perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik diindikasikan sebagai spawning ground yellow fin tuna mendapatkan bobot relatif tertinggi 0,224 dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif lainnya adalah adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan 0,101, kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia 0,082, pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia 0,059, pelayanan perikanan satu atap 0,053, adanya asosiasi perikanan tuna 0,035, jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup besar 0,024, dan terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala industri dan kecil 0,022 CR sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat. Revisi pendapat dilakukan apabila nilai CR 0,1, dengan pengulangan pengisian kuesioner atau melakukan pengolahan data adjustment Saaty, 1983. Tabel 21. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Kekuatan Kelemahan Weaknes Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor diidentifikasi sebagai kelemahan dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC. Kelemahan-kelemahan tersebut mencakup: 1 Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan. Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02Men2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Menurut Peraturan Menteri ini, jalur penangkapan ikan di WPP-NRI terdiri dari: a. Jalur penangkapan ikan I, terdiri dari: jalur penangkapan ikan IA, meliputi perairan pantai sampai dengan 2 mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah, dan Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai di luar 2 mil laut sampai dengan 4 mil laut. b. Jalur penangkapan ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. c. Jalur penangkapan ikan III, meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur penangkapan ikan II. 2 Sistem pendataan perikanan Indonesia masih belum baik. Permasalahan klasik dan mendasar dalam pengelolaan perikanan Indonesia adalah lemahnya sistem pendataan. Namun demikian, dalam perkembangannya, sistem pendataan perikanan tangkap dibenahi dengan cara dikeluarkannya aturan logbook penangkapan ikan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.18Men2010. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam konsideran menimbang, yaitu bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan, diperlukan data dan informasi perikanan yang akurat terkait dengan kegiatan penangkapan ikan dalam logbook penangkapan ikan. Alur dan mekanisme pelaksanaan logbook Penangkapan Ikan sebagaimana diatur dalam Permen KP Nomor 18Men2010 disajikan pada Gambar 26. Gambar 26. Alur dan Mekanisme Logbook Penangkapan Ikan 3 Pelaksanaan observer dan board inspection belum optimal. Berdasarkan analisa peraturan sebelumnya, bahwa kegiatan observer dan board inspection sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12Men2012 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.30Men2012. Namun program tersebut dihadapkan pada berbagai kendala keterbatasan jumlah sumberdaya manusia. 4 Pelaksanaan VMS masih belum optimal. Berdasarkan analisa peraturan sebelumnya, kewajiban penggunaan VMS diatur dengan UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.05Men2007, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.12Men2012, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.30Men2012. Namun demikian, banyak nelayan yang tidak mengaktifkan VMS tersebut. 5 Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Setiap WPP-NRI seharusnya memilki Rencana Pengelolaan Perikanan RPP. Namun untuk kedua WPP tersebut hingga saat ini belum ditetapkan dalam suatu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Ketiadaan dokumen RPP yang disahkan secara hukum, dikhawatirkan mendukung kerusakan sumberdaya dan ekosistem perairannya. 6 NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi peraturan. National Plan of Action NPOA untuk IUU Fishing dan Shark merupakan dokumen yang dapat dijadikan pedoman dalam mengelola IUU Fishing dan hiu. Namun hingga saat ini, Indonesia belum menetapkannya sebagai dokumen hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan pengelolaan hiu dan pemberantasan IUU fishing. 7 Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang diapit dua samudera yang didalamnya menyimpang potensi sumberdaya ikan. Perkembangan hukum internasional, menempatkan laut lepas bukan lagi sebagai kawasan bebas untuk penangkapan ikan. Hal ini dikarenakan, hukum internasional memberikan mandat kepada RFMO untuk mengelola suatu kawasan laut lepas. Oleh karena itu, dalam mensejajarkan diri dengan Negara tetangga, maka Indonesia perlu menyusun strategi untuk meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia dalam forum internasional atau regional. 8 Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh kapal-kapal penangkapan berukuran kecil. Armada perikanan nasional Indonesia didominasi oleh armada penangkapan ikan skala kecil. Pada tahun 2011, dari 58.651 unit armada penangkapan ikan pada WPP 716 dan 717 didominasi oleh armada perikanan tangkap skala kecil, yaitu perahu tanpa motor sebanyak 28.583 unit 48,73, motor tempel sebanyak 23.198 39,55, dan kapal motor sebanyak 6870 unit 11,62. Selanjutnya faktor-faktor ini dianalisis menggunakan metode perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada Gambar 27 dan Tabel 26. Gambar 27. Hasil Analisa Perbandingan Kelemahan Tabel 26. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Kelemahan No. Aspek Skor Bobot Rangking 1 Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan 0,018 7 2 System pendataan perikanan Indonesia masih belum baik 0,034 5 3 Pelaksanaan observer dan board inspection belum optimal 0,047 4 4 Pelaksanaan VMS masih belum optimal 0,028 6 5 Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 0,096 1 6 NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi peraturan 0,071 3 7 Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia. 0,094 2 8 Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh kapal-kapal penangkapan berukuran kecil 0,012 8 Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio CR sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk analisis lebih lanjut. Hasil analisis pembobotan faktor kelemahan yang memberikan peluang menunjukkan bahwa belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 0,096 dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif lainnya adalah belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia 0,094, NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan