Pengelolaan Tangkapan Utama CMM 2008-03 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penyu Conservation And

ada kesanggupan penempatan observer di atas kapal; c pelaksanaan transhipment diawasi oleh pemantau kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan; dan d menempatkan pemantau observer di atas kapal penangkap ikan berukuran diatas 1.000 GT dengan menggunakan alat penangkapan ikan purse seine. Rekrutmen tenaga observer telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2006 sejumlah 20 orang yang penempatan di atas kapal baru terealisasi pada tahun 2007 sejumlah 2 orang untuk kapal longline dengan daerah penangkapan di Samudera Hindia. Disamping rekrutmen tenaga observer, sampai dengan tahun 2012 telah dilaksanakan pelatihan sejumlah 68 orang yang terdiri dari 34 pegawai negeri sipil dan 34 orang eks anak buah kapal ABK. Disamping itu, telah ditempatkan 14 observer untuk kapal longline di Samudera Hindia terkait dengan kewajiban Indonesia sebagai anggota IOTC. Sedangkan untuk WCPFC belum ada penempatan observer, sampai dengan tahun 2012 upaya yang telah dilakukan oleh Indonesia adalah melakukan perjanjian kerjasama dengan Komisi WCPFC. Sebagai tindaklanjut dari perjanjian tersebut pada tahun 2013, Ditjen Perikanan Tangkap akan mendapatkan hibah pelatihan tenaga observer. Kebutuhan observer untuk 153 kapal yang memiliki izin penangkapan ikan di Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik dibutuh 153 tenaga observer .

5.2.8 Data Buoys

Data Buoys ditetapkan melalui CMM 2009-05 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Larangan Penangkapan Ikan dengan Data Buoys Conservation and Management Measure Prohibiting Fishing on Data Buoys . Pengembangan buoys bertujuan untuk mengumpulkan informasi untuk berbagai tujuan seperti cuaca, pencarian dan keselamatan di laut, ramalan cuaca, peringatan tsunami dan lain-lain, tetapi tidak untuk keperluan kegiatan penangkapan. Spesies tuna dan and tuna-like species biasanya berkumpul di sekitar data buoys, terutama juvenile bigeye tuna dan yellowfin tuna. Hal ini mendorong penangkapan ikan disekitar buoys sehingga mengakibat kerusakan, kegiatan ini termasuk pelanggaran berat sesuai pasal 25 Konvensi. Komisi telah mengeluarkan banyak biaya dan waktu untuk memperbaiki dan mengganti buoys yang rusak dan hilang akibat penangkapan. Jarak yang tidak diperbolehkan untuk penangkapan dari buoys adalah kurang dari satu mil laut. Aturan mengenai data buoys dituangkan dalam Permen KP No. 12Men2012. Menurut Pasal 47 ayat 1, kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan dilarang: a melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan pengangkutan ikan dalam jarak 1 satu mil laut dari lokasi data buoys; b mengambil data buoys pada saat melakukan kegiatan penangkapan ikan atau pengangkutan ikan; danatau c menganggu keberadaan dan posisi data buoys. Data buoys merupakan alat yang mengapung, baik hanyut ataupun menetap, yang dipasang oleh Pemerintah atau otoritas yang berwenang dengan tujuan untuk mengumpulkan data secara elektronik dan pengukuran data lingkungan dan bukan untuk tujuan aktvitas penangkapan ikan Pasal 47 ayat 2. Di perairan Indonesia, pemasangan data buoys telah dimulai pemasangan sejak tahun 2006 bekerjasama dengan NOAA di Samudera Hindia. Sedangkan untuk Samudera Pasifik, pada tahun 2012 Indonesia bekerjasama dengan Jepang dalam pemasangan satu unit data buoys pada koordinat 138 00 BT dan 0 00 Equator atau di atas Papua.

5.2.9 Transhipment

Transhipment ditetapkan melalui CMM 2009-06 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Peraturan Transhiptmen Conservation and Management Measure on Regulation of Transhipment . CMM 2009-06 di tetapkan berdasarkan fakta keberhasilan dan kegagalan pengelolaan ikan beruaya jauh di area Konvensi. Tidak adanya pengaturan dan pelaporan transshipment berkontribusi ketidakuratan pelaporan IUU fishing. Berdasarkan pasal 29 Konvensi, transhipment mengharuskan pada pelabuhan perikanan yang ditunjuk sesuai dengan hukum nasional yang berguna untuk mempermudah perolehan data dan spesies yang di transhipment. Berdasarkan jenis alat tangkap, purse seine dilarang kecuali jika penangkapan ikan beruaya jauh pada perairan kepulauanteritorial negara anggota yang besangkutan. Selanjutnya CMM 2011-06 tentang Tindakan Konservasi dan Pengelolaan untuk Skema Kapatuhan dan Pemantauan Conservation and Management Measure for Compliance Monitoring Scheme yang bertujuan untuk melakukan pemantauan kepatuhan Konvensi WCPFC. Setiap tahun Komisi akan mengevaluasi kepatuhan CCMs selama tahun sebelumnya berupa data: 1 menangkap dan batas upaya untuk spesies target; 2 menangkap dan pelaporan upaya untuk spesies target; 3 penutupan spasial dan temporal, dan pembatasan pada penggunaan perangkat ikan menggabungkan; 4 pengamat dan cakupan VMS, dan 5 penyediaan data ilmiah melalui laporan tahunan dan laporan ilmiah yang akan diberikan kepada Komisi. Jumlah kegiatan transhipment di wilayah Konvensi untuk seluruh kapal penanngkapan ikan negara anggota dalam tiga tahun terakhir sejumlah 158 kali 2010, 280 kali 2011 dan 193 kali 2012. Berdasarkan laporan WCPFC terdapat 7 kapal longline Indonesia yang melakukan transhipment seperti Tabel 14. Transhipment diatur dalam Permen KP No. Per. 12Men2012. Menurut Pasal 30 ayat 1, kapal penangkap ikan dapat melakukan transhipment di laut lepas maupun di pelabuhan di negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama. Kapal penangkap ikan yang melakukan transhipment di laut lepas harus memenuhi persyaratan Pasal 30 ayat 2: a. Nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIPI paling lambat 72 jam sebelum pelaksanaan transhipment; b. Transmitter on line aktif serta dapat terpantau; c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar kapal record of vessels sebagai kapal yang diizinkan authorized vessels ; d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment dengan mengisi pernyataan transhipment transhipment declaration b. transmitter on line aktif serta dapat terpantau; c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar kapal record of vessels sebagai kapal yang diizinkan authorized vessels ; d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment dengan mengisi pernyataan transhipment transhipment declaration kepada otoritas pelabuhan di luar negeri dan sekretariat RFMO paling lambat 48 jam sebelum pelaksanaan transhipment; e. transhipment disaksikan oleh otoritas pelabuhan di tempat pelaksanaan transhipment ; f. nakhoda harus menginformasikan secara elektronik pada saat transhipment berlangsung kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia dalam bentuk pernyataan transhipment transhipment declaration ; dan g. nakhoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan transhipment transhipment declaration yang telah disahkan oleh para pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15 hari setelah transhipment. Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan transhipment di laut lepas harus memenuhi persyaratan Pasal 30 ayat 4: a. nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIKPI paling lambat 72 jam sebelum pelaksanaan transhipment; b. transmitter on line aktif serta dapat terpantau; c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar kapal record of vessels sebagai kapal yang diizinkan authorized vessels ; d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment dengan mengisi pernyataan transhipment transhipment declaration kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia dan Sekretariat RFMO paling lambat 24 jam sebelum pelaksanaan transhipment; e. transhipment di saksikan oleh pemantau di atas kapal pengangkut ikan observer on board dari RFMO; dan f. nakhoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan transhipment transhipment declaration yang telah disahkan oleh para pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15 hari setelah transhipment. Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan transhipment di pelabuhan negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama harus memenuhi persyaratan: a. nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIKPI paling lambat 72 jam sebelum pelaksanaan transhipment; b. transmitter on line aktif serta dapat terpantau; c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar kapal record of vessels sebagai kapal yang diizinkan authorized vessels ; d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment dengan mengisi pernyataan transhipment transhipment declaration kepada otoritas pelabuhan di luar negeri dan sekretariat RFMO paling lambat 48 jam sebelum pelaksanaan transhipment; e. transhipment disaksikan oleh otoritas pelabuhan di tempat pelaksanaan transhipment ; f. nakhoda harus menginformasikan secara elektronik pada saat transhipment berlangsung kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia dalam bentuk pernyataan transhipment transhipment declaration ; g. nahkoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan transhipment transhipment declaration yang telah disahkan oleh para pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15 hari setelah transhipment. Aturan transhipment juga ditetapkan dalam Permen KP No. Per.30Men2012. Menurut Pasal 69 ayat 1, setiap kapal penangkap ikan dapat melakukan transhipment ke kapal penangkap ikan danatau ke kapal pengangkut ikan. Transhipment dilakukan dengan ketentuan: a. mempunyai pelabuhan pangkalan yang sama. b. pelaksanaan transhipment diawasi oleh pemantau kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan observer; c. transmitter VMS dalam kondisi aktif dan dapat dipantau secara online; d. melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI; e. melaporkan kepada pengawas perikanan di pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI; dan f. mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan yang ditandatangani oleh masing-masing nakhoda kapal dan disampaikan kepada kepala pelabuhan pangkalan. Dalam pelaksanaan transhipment, ikan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan sesuai SIPI atau SIKPI dan tidak dibawa keluar negeri, kecuali bagi kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine berukuran diatas 1000 seribu GT yang dioperasikan secara tunggal Pasal 69 ayat 3. Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan yang melanggar ketentuan transhipment dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan SIPI dan SIKPI Pasal 69 ayat 4. Sementara itu, Pasal 70 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap kapal pengangkut ikan yang digunakan dalam usaha pengangkutan ikan dengan pola kemitraan dapat melakukan transhipment dengan ketentuan: a kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 10 GT; b kegiatan penangkapan ikan dan pengangkutan ikan dilakukan oleh kapal yang memiliki izin atau Bukti Pencatatan Kapal dan merupakan mitranya; c ikan yang dipindahkan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan kapal pengangkut ikan yang menerima pemindahan ikan hasil tangkapan; dan d mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan dan ditandatangani oleh masing-masing nakhoda kapal dan disampaikan kepada kepala pelabuhan pangkalan. Dalam pelaksanaan transhipment, ikan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan sesuai SIKPI dan tidak di bawa keluar negeri Pasal 70 ayat 2. Setiap kapal pengangkut ikan yang melanggar ketentuan transhipment dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan SIKPI.

5.3 Implikasi Hukum WCPFC

Berdasarkan Konvensi WCPFC, CMM dan kesiapan regulasi nasional terdapat enam permasalahan yang harus diperhatikan pemerintah terkait dengan ketentuan WCPFC, yaitu: 1 Status wilayah WCPFC Permasalahan mendasar Indonesia dalam ratifikasi Konvensi WCPFC adalah wilayah penerapannya memasukan perairan kepulauan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Hal ini tidak berlaku umum bagi RFMO yang wilayah penerapannya di luar Zona Ekonomi Eksklusif suatu negara pantai. Mengingat dalam UNCLOS 1982, perairan kepulauan memiliki rezim hukum kedaulatan sovereignty dan Zona Ekonomi Eksklusif memiliki rezim hukum hak berdaulat sovereignt right. Dengan demikian, sebagai Negara yang berdaulat dan telah meratifikasi UNCLOS 1982, maka dalam ratifikasi Konvensi WCPFC perlu dipertegas hanya untuk perairan ZEE Indonesia pada WPP 716 Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera dan WPP 717 Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik. 2 Pengawasan dan penegakan hukum Terkait dengan pengawasan dan penegakan hukum, setidaknya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: a. Penataan sistem informasi dan data. Pengelolaan perikanan berkelanjutan dapat diwujudkan dengan statistik perikanan yang baik dalam rangka menghasilkan the best scientific data sebagaimana yang diwajibkan dalam hukum internasional. Namun demikian, statistik perikanan Indonesia dihadapkan pada permasalahan akurasi. Oleh karena itu, perlu pembenahan sistem pelaporan dan pendataan penangkapan ikan. Selain itu, terkait dengan perizinan kapal perikanan berbendera Indonesia yang akan melakukan penangkapan di wilayah WCPFC perlu singkronisasi data perizinan dengan WCPFC Identification Number WIN. b. Penataan sistem pengawasan. Sistem pengawasan yang berlaku umum adalah berupa program observer, inspeksi kapal, dan pemasangan transmitter VMS. Dalam konteks hukum, pemerintah Indonesia sudah mengatur ketiga hal tersebut. Namun demikian, dalam pelaksanaannya dihadapkan pada berbagai kendala. Program observer misalnya, masih terkendala sumberdaya manusia SDM yang mampu bertahan berbulan-bulan di atas kapal. Sementara pemasangan VMS terkendala kepatuhan operator kapal dalam menyalakan alat tersebut. Oleh karena itu perlu ada program sistematis untuk penambahan jumlah tenaga observer serta peningkatan kualitas sehingga mampu bekerja secara efektif. c. Pemberantasan IUU Fishing di wilayah Konvensi WCPFC. Praktik-praktik IUU Fishing sangat beragam, sehingga dalam mengurangi terjadinya pelanggaran, maka perlu dikaji secara lebih rinci mengenai praktik-praktik IUU Fishing yang dilakukan oleh kapal perikanan bendera Indonesia. d. Pengawasan efektivitas pelaksanaan hukum. Pemerintah Indonesia perlu pengawasan pelaksanaan Peraturan Menteri yang sudah ditetapkan, baik yang mengatur jalur tangkapan dan alat bantu penangkapan ikan, maupun pelaksanaan program observer yang betujuan meminimalkan tertangkapnya baby tuna yellowfin tuna dan bigeye tuna. 3 Penyusuhan Peraturan Perundang-undangan Organisasi internasional yang merupakan subjek hukum internasional mampu membuat sumber hukum. Oleh karena itu, ketentuan yang selama ini bersifat softlaw non-legally binding ditetapkan oleh RFMO sebagai hardlaw legally binding. Dengan demikian, setiap negara yang akan melakukan ratifikasi terhadap Konvensi WCPFC akan terikat juga dengan aturan turunannya, yaitu Conservation and Management Measures CMM. Beberapa ketentuan CMM WCPFC yang perlu diperkuat dalam hukum Indonesia dalam bentuk Peraturan Perundang-Undangan yaitu: