2.9 Shared Allocation Alokasi Jatah
Menurut McDorman 2005 memerhatikan otoritas setiap RFMO, terdapat dua aspek penting yang merupakan fokus keputusan RFMO. Kedua aspek penting
tersebut  adalah : a.  Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan JTB , serta alokasi kuota
bagi setiap  anggota  RFMO. b.  Penetapan dan pemberlakukan langkah dan tindakan  yang berkaitan dengan
penggunaan alat tangkap, metode penangkapan, musim penangkapan, musim tidak  menangkap,  moratorium,  serta  pembatasan  ukuran  ikan  yang
ditangkap. Penentuan  alokasi  kuota  sering  sekali  menjadi  perdebatan  sengit  diantara
negara  anggota  dalam  setiap  pertemuan  tahunan  RFMO,  karena  setiap  negara lebih  mengutamakan  kepentingan  ekonomi  yang  diperoleh  dari  kuota  tersebut,
dibandingkan  dengan  tindakan  konservasi  dan  pengelolaan  berkelanjutan  yang menjadi azas dalam suatu RFMO.  Walaupun dalam  UN Fish Stock Agreement
1995  telah  diuraikan  dasar  pertimbangan  pemberian  kuota  berlandaskan  pada “prinsip keadilan dan tidak diskriminatif” terhadap negara  anggota dan negara
pihak, namun  faktanya tidak demikian. Fauzi  2006  menyatakan  kuota  merupakan  instrumen  kebijakan  yang
sering digunakan dalam pengendalian perikanan. Instrumen ini dianggap mampu menghilangkan  ekternalitas  negatif  yang  sering  terjadi  pada  perikanan.  Satria,
et.al 2009 secara ringkas menjelaskan tentang kuota tentang kuota, yakni : 1.  Global Quota,  jumlah tangkapan ditetapkan berdasarkan jumlah ikan yang
boleh  ditangkap  JTB  dalam  suatu  perairan  tanpa  menyebutkan  berapa jumlah  yang diperbolehkan untuk setiap pelaku.  Akibatnya, masih terjadi
persaingan  untuk  menangkap  ikan  race  to  fish  yang  sangat  tinggi  dan ekses  kapasitas  penangkapan  tidak  bisa  dihindari  sehingga  menyebabkan
musim tangkap yang makin pendek juga malah terjadi over fishing. 2.  Individual  Quota  IQ,  memberikan  kuota  kepada  indivudu  hingga  para
pelaku tidak perlu bersaing secara ketat untuk menangkap ikan sebanyak- banyaknya.  Kelemahan  sistem  ini  memungkinkan  para  pemegang  kuota
tidak mampu memanfaatkan kuota tersebut secara maksimal. Akibatnya ,
ada sejumlah potensi ikan yang ditangkap dan secara ekonomis merugikan baik pemegang kuota sendiri maupun ekonomi keseluruhan.
3.  Individual  Transfer  Quota  ITQ,  merupakan  perkembangan  dari  IQ dimana  kuota  dapat  dialihtangankan  transferable.  ITQ  dapat
diperdagangkan,  disewa,  dijual  atau  diberikan  kepada  pihak  lain. Perdagangan  kuota  tersebut  berlangsung  berdasarkan  prinsip-prinsip
mekanisme pasar dengan  memerhatikan variabel sediaan ikan. Perubahan sediaan ikan tersebut sangat memengaruhi harga kuota ataupun harga ikan.
dalam kondisi sediaan ikan meningkat maka jumlah kuota akan meningkat sehingga  nilai  kuota  dengan  sendirinya  akan  turun.  Sebaliknya  ,  ketika
sediaan  ikan  menurun  makan  jumlah  kuota  akan  mengecil  dan  ini mengakibatkan nilai atau harga kuota akan meningkat.
Selain  itu,  kuota  akan  mendorong  terjadinya  efesiensi  kapital  dan  tenaga kerja yang digunakan karena kuota memberikan hak kepemilikan spasial partial
property  rights kepada  nelayan.  Namun  demikian,  penerapan  kuota  tidak  akan
menjamin terjadinya peningkatan input pada perikanan. Fenomena capital stuffing penumpukan  modal  yang  terjadi  pada  beberapa  perikanan  di  dunia  yang
menerapkan kuota, membuktikan dugaan tersebut. Selain  memungkinkan  terjadinya  capital  stuffing,  Copes  1986  dalam
Fauzi  2006  secara  terperinci  menguraikan  beberapa  masalah  potensial  yang memungkinkan timbul penerapan kuota. Masalah tersebut antara lain menyangkut
penentuan  kuota,  enforcement,  highgrading.  Kuota  bisa  saja  ditentukan  secara lelang,  atau  dijual  dengan  harga  tertentu,  sehingga  untuk  menentukan  cara  yang
tepat  akan  menimbulkan  biaya  adminitrasi.  Selain  itu,  high  grading  bisa  timbul karena  pemiliki  kuota  akan  mengisi  kuotanya  dengan  ikan-ikan  yang  bernilai
ekonomis  tinggi,  sehingga  bisa  menimbulkan  tangkapan  sampingan  yang  pada gilirannya akan menyulitkan pendugaan sediaan ikan.
2.10 Kebijakan Publik
Berbagai pakar mendefinisikan kebijakan publik dengan beragam. Hal ini mencerminkan, bahwa kebijakan publik sulit untuk didefinisikan atau dirumuskan