Prinsip Umum Konvensi : Relevansi dan Implikasi terhadap Peraturan

5.1.8 Penaatan dan Penegakan

Menurut Pasal 25, setiap anggota Komisi mempunyai kewajiban dalam hal menjalankan efektivitas tindakan pengelolaan dan konservasi ikan beruaya jauh di wilayah WCPFC. Beberapa kewajiban penaatan dan penegakan, tersebut yaitu: a. Menegakkan ketentuan Konvensi WCPFC dan setiap langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh Komisi. b. Wajib menyelidiki secara menyeluruh setiap dugaan pelanggaran oleh kapal perikanan yang mengibarkan benderanya atas ketentuan Konvensi WCPFC atau langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang diterima oleh Komisi. c. Menyerahkan kasus tersebut kepada pihak berwenang dengan tujuan untuk mengajukan gugatan secepatnya sesuai dengan hukumnya dan bilamana layak, menahan kapal yang bersangkutan. d. Memastikan kapal yang bersangkutan tidak lagi melakukan kegiatan penangkapan ikan dan tidak terlibat dalam kegiatan tersebut di dalam Wilayah Konvensi, sampai saat seluruh sanksi yang dikenakan oleh negara bendera sehubungan dengan pelanggaran tersebut telah dipenuhi. Berdasarkan ketentuan di atas, pemerintah Indonesia sudah mengatur tindakan penegakan hukum. Adapun tindakan hukum dilakukan di tengah laut melalui inspeksi kapal yang dibahas secara khusus pada bagian Program Observer dan Inspeksi Kapal, sementara tindakan di darat melalui pelabuhan perikanan. Pemerintah Indonesia mengatur pelabuhan perikanan pada Permen KP No. Per. 08Men2012. Menurut Pasal 3 ayat 2, pelabuhan perikanan mempunyai fungsi pemerintahan dan pengusahaan. Fungsi pemerintahan pada pelabuhan perikanan, yaitu meliputi: fungsi untuk melaksanakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, pengawasan, serta keamanan dan keselamatan operasional kapal perikanan di pelabuhan perikanan.

5.1.9 Itikad Baik dan Penyalahgunaan Hak

Menurut Pasal 33, kewajiban-kewajiban berdasarkan Konvensi harus dipenuhi dengan itikad baik dan hak-hak yang di akui di dalam Konvensi dan harus dilaksanakan dengan cara yang bukan merupakan penyalahgunaan hak. Implementasi Itikad Baik dan Penyalahgunan Hak sesuai dengan pembahasan Pelaksanaan Azas-Azas di Wilayah-Wilayah Berdasarkan Yurisdiksi Nasional dan Pengelolaan di Laut Lepas. Kewajiban mematuhi aturan di laut lepas bagi Indonesia tertuang pada Pasal 5 ayat 2 UU No. 31 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat 1, diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, danatau standar internasional yang diterima secara umum. Pada bagian penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia” adalah pengelolaan perikanan di laut lepas. Hal ini menjadi dasar kepatuhan Indonesia dalam mewujudkan globalisasi perikanan. Aturan khusus mengenai pengelolaan perikanan tangkap di laut lepas diatur dalam Permen KP No. Per.12Men2012. Peraturan Menteri ini mengatur semua kegiatan penangkapan ikan yang lokasinya berada di luar wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau di laut lepas.

5.2 Conservation and Management Measures CMM: Implikasi Bagi

Indonesia Conservation and Management Measures CMM adalah implementasi Pasal 10 Konvensi terkait dengan fungsi komisi yang mengatur konservasi dan pengelolaan untuk spesies target, spesies non-target, spesies yang bergantung atau beraosiasi dengan sedian target, serta MCS monitoring, control, and surveillance . Sampai dengan tahun 2012 terdapat 31 CMM yang telah ditetapkan Tabel 15. Tabel 15 Conservation and Management Measures CMM No CMM Perihal 1. CMM 2004-03 Spesifikasi Untuk Penandaan dan Identifikasi Kapal Penangkapan Ikan Specifications For The Marking And Identification Of Fishing Vessels . 2. CMM 2004-04 Resolusi Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Resolution on Conservation and Management Measures 3. CMM 2005-03 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Albacore Pasifik Utara Conservation and Management Measure for North Pacific Albacore 4. CMM 2006-04 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Marlin di Pasifik Selatan Barat Conservation and Management Measure for Striped Marlin in the Southwest Pacific No CMM Perihal 5. CMM 2006-07 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Program Observer Regional Conservation and Management Measure for the Regional Observer Programme 6. CMM 2006-08 Komisi WCPFC untuk Prosedur Pemeriksaan dan Menaiki Kapal WCPFC Commission Boarding and Inspection Procedures 7. CMM 2007-01 CMM 2007-01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Program Observer Regional Conservation and Management Measure for the Regional Observer Programme 8. CMM 2007-04 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Mengurangi Dampak Penangkapan Ikan Beruaya Jauh Terhadap Burung Laut Conservation And Management Measure to Mitigate the Impact of Fishing for Highly Migratory Fish Stock on Seabirds . 9. CMM 2008-01 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Tuna Bigeye dan Tuna Yellowfin di WCPFC Conservation and Management Measure for Big-eye and Yellow-fin Tuna in the WCPFC

10. CMM 2008-03 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penyu Conservation And

Management of Sea Turtles 11. CMM 2008-04 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi terhadap Jaring Insang Hanyut Skala Besar pada Laut Lepas Area Konvensi Conservation and Management Measure to Prohibit the Use of Large-Scale Driftnets on the High Seas in the Convention Area 12. CMM 2009-01 Pendaatan Kapal dan Izin Penangkapan Ikan Record of Fishing Vessels And Authorization to Fish 13. CMM 2009-02 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penutupan Rumpon dan Retensi Penangkapan Conservation and Management Measure on the Aplication of High Seas Fad Closures And Catch Retention 14. CMM 2009-03 Tindakan Pengelolan dan Konservasi Swordfish Conservation and Management for Swordfish 15. CMM 2009-05 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Larangan Penangkapan Ikan dengan Data Buoys Conservation and Management Measure Prohibiting Fishing on Data Buoys 16. CMM 2009-06 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Peraturan Transhiptmen Conservation and Management Measure on Regulation of Transshipment 17. CMM 2009-09 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Kapal-Kapal Tanpa Kebangsaan Conservation and Management Measure for Vessels Without Nationality . 18. CMM 2009-10 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Pemantauan Pendaratan Kapal Purse Seine di Pelabuhan untuk Menjamin Data Tangkapan yang Baik berdasarkan Spesies Conservation and Management Measure to Monitor Landings of Purse Seine Vessels at Ports so as to Ensure Reliable Catch Data by Species . 19. CMM 2009-11 Cooperating Non-Member. 20. CMM 2010-01 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi North Pacific Striped Marlin Conservation and Management Measure for North Pacific Striped Marlin 21. CMM 2010-02 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Area Pengelolaan Khusus Sebelah Timur Conservation and Management Measure for the Eastern High-Seas Pocket Special Management Area 22. CMM 2010-04 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Pengelolaan Pacific Bluefin Tuna Conservation and Management Measure for No CMM Perihal Pacific Bluefin Tuna 23. CMM 2010-05 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi South Pacific Albacore Conservation and Management Measure for South Pacific Albacore 24. CMM 2010-06 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Menetapkan Kapal yang Diduga Melakukan Kegiatan IUU Fishing di WCPO Conservation and Management Measure to Establish a List of Vessels Presumed to Have Carried out Illegal, Unreported and Unregulated Fishing Activities in the WCPO 25. CMM 2010-07 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Hiu Conservation and Management Measure for Sharks 26. CMM 2011-01 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Perpanjangan Sementara CMM 2008-01 Conservation and Management Measure for Temporary Extension of CMM 2008-01 27. CMM 2011-02 Komisi Vessel Monitoring System VMS 28. CMM 2011-03 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Perlindungan Cetacean dari Operasi Penangkapan Purse Seine Conservation and Management Measure for Protection of Cetaceans from Purse Seine Fishing Operations . 29. CMM 2011-04 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Oceanic Whitetip Shark Conservation and Management Measure for Oceanic Whitetip Shark 30. CMM 2011-05 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Skema Penyewaan Conservation and Management Measure on Charter Notification Scheme 31. CMM 2011-06 Tindakan Konservasi dan Pengelolaan untuk Skema Kapatuhan dan Pemantauan Conservation and Management Measure for Compliance Monitoring Scheme Sumber : Dikompilasi dari CMM WCPFC tahun 2004 -2011 Sejumlah 31 CMM tersebut dapat dikelompokkan menjadi sembilan hal yang perlu menjadi perhatian Indonesia yakni 1 Penggunaan Transmitter VMS, 2 Terkait dengan Penegakan Hukum, 3 Kapal Penangkapan Ikan , 4 Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan, 5 Pengelolaan Tangkapan Utama, 6 Pengelolaan Tangkapan Sampingan, 7 Program Observer dan Inspeksi Kapal, 8 Data Buosy dan 9 Transhipment.

5.2.1 Penggunaan Transmitter VMS

Penggunaan VMS ditetapkan melalui CMM 2011-02 tentang Komisi Vessel Monitoring System VMS yang merupakan pelaksanaan Pasal 10 Konvensi WCPFC. VMS harus diaktifkan sejak tanggal 1 Januari 2008 didaerah sekitar selatan konvensi 20 ° LU, dan timur 175 ° BT didaerah area utara konvensi 20 ° LU. Khusus untuk area utara 20 ° LU dan barat dari 175 ° BT, sistem akan diaktifkan pada suatu tanggal yang akan ditentukan oleh Komisi. Setiap kapal penangkapan ikan yang menangkap ikan beruaya jauh di sesuai koordinat yang ditetapkan komisi harus mengatifkan Automatic Location Communicators ALCs. VMS berlaku untuk semua kapal penangkapan ikan yang menangkap ikan diarea Konvensi, untuk kapal panjang lebih dari 24 meter tanggal aktivasi mulai 1 Januari 2008, dan semua kapal panjang 24 meter atau kurang tanggal aktivasi mulai 1 Januari 2009. Pemerintah Indonesia sudah mewajibkan penggunaan VMS yang tertuang pada Pasal 7 ayat 2 huruf e UU No. 31 Tahun 2004, bahwa setiap orang yang melakukan usaha danatau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengenai: sistem pemantauan kapal perikanan. Kewajiban pemasangan transmitter tersebut untuk kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT ke atas dan seluruh kapal perikanan asing Pasal 11 ayat 1 Permen KP No. Per.05Men2007. Selanjutnya Pasal 11 ayat 4 menambahkan, bahwa transmitter yang dipasang pada kapal perikanan wajib di daftarkan pada Direktorat Jenderal, dengan menyebutkan danatau mencantumkan nomor ID, nomor seri, jenis, tipe, merek, spesifikasi, dan provider, yang dilengkapi dengan dokumen pembelian transmitter, dan pembayaran air time dan bukti aktivasi dari provider. Transmitter harus dapat mengirim data posisi kapal sekurang-kurangnya setiap jam sekali, kecuali dalam keadaan docking danatau kapal perikanan sedang tidak beroperasi Pasal 11 ayat 5. Dengan demikian, kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT ke atas dan seluruh kapal asing wajib menghidupkan transmitter online. Sementara itu, kewajiban transmitter online di atas tidak berlaku bagi kapal perikanan Indonesia ukuran 30 GT – 60 GT. Hal ini di atur dalam Pasal 12 ayat 1, bahwa kapal perikanan Indonesia berukuran di atas 30 GT sampai dengan 60 GT wajib dilengkapi transmitter off line yang disediakan oleh negara. Aturan transmitter juga ditetapkan dalam Permen KP No. Per. 12Men2012. Adapun aturannya yaitu: a surat keterangan pemasangan transmitter online pada saat pengajuan SIPI Pasal 8 ayat 3 dan pengajuan SIKPI Pasal 10 ayat 3; b surat keterangan aktivisi transmitter online untuk perpanjangan SIPI Pasal 22 ayat 2 dan SIKPI Pasal 27 ayat 2; c transmitter on line aktif serta dapat terpantau untuk kapal penangkap ikan yang melakukan transhipment di laut lepas Pasal 30 ayat 2 dan transhipment di pelabuhan negara lain Pasal 30 ayat 3; d transmitter on line aktif serta dapat terpantau untuk kapal pengangkut ikan yang melakukan transhipment di laut lepas Pasal 30 ayat 4 dan transhipment di pelabuhan negara lain Pasal 30 ayat 5. Begitu juga dengan aturan penangkapan di WPP-NRI, yaitu: a surat keterangan pemasangan transmitter VMS pada saat pengajuan SIPI Pasal 19 ayat 1; b surat keterangan pemasangan transmitter VMS pada saat pengajuan SIPI bagi kapal perikanan yang dimiliki oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau perguruan tinggi untuk melakukan pelatihan atau penelitianeksplorasi perikanan Pasal 22; dan c surat keterangan pemasangan transmitter VMS pada saat pengajuan SIKPI Pasal 24 ayat 1. Salah satu manfaat data VMS adalah untuk mengetahui posisi dan pergerakan kapal penangkapan ikan. Berdasarkan data VMS tahun 2012, sebagian besar kapal yang menangkap ikan di laut lepas berada pada Samudera Hindia yang menjadi wilayah kewenangan IOTC dan CCSBT. Sedangkan untuk wilayah Konvensi WCPFC, kapal penangkapan ikan Indonesia lebih banyak terkonsentrasi pada perairan teritorial dan ZEE Indonesia. Posisi kapal Indonesia yang terpantau pada Fisheries Monitoring Center FMC Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat dilihat pada Gambar 12. Penggunaan VMS belum seluruhnya dipatuhi oleh kapal penangkapan ikan Indonesia. Berdasarkan hasil penelusuran Ditjen PSDKP tahun 2012 terhadap lacak tracking VMS dari 93 kapal penangkapan ikan Indonesia yang beroperasi di laut lepas hanya 64 kapal 68,8 persen yang berhasil dilacak, sedangkan tidak bisa dilacak 29 kapal yang terdiri dari kapal dibawah 60 GT sejumlah 13 kapal, tidak terdaftar 9 kapal dan alasan GPS error 4 kapal. Beberapa pelanggaran pelaku usaha penangkapan ikan yang mengakibatkan transmitter tidak terdeksi di Fisheries Monitoring Center FMC Ditjen P2SDKP adalah ; 1 tidak memasang transmitter pada kapal yang telah ditentukan, 2 memasang transmitter tetapi tidak dapat dipantau pada FMC, 3 tidak mengaktifkan transmitter, 4 tidak mendaftarkan transmitter yang telah terpasang pada kapal perikanan, 5 tidak melaporkan perubahan kepemilikan, keagenan, nama, spesifikasi dan perubahan id transmitter. Sumber : Sumber Ditjen PSDKP KKP, 2013 Gambar 11 Posisi Kapal Penangkapan Ikan Indonesia Berdasarkan Data VMS tahun 2012

5.2.2 Penegakan Hukum

Penegakan hukum pada WCPFC terdapat lima ketentuan CMM. Pertama, CMM 2009-01 tentang Pendaatan Kapal dan Izin Penangkapan Ikan Record of Fishing Vessels And Authorization to Fish yang bertujuan menetapkan izin penangkapan ikan di area Konvensi dan mewajibkan negara anggota untuk memiliki kemanpuan untuk mengedalikan secara efektif termasuk penegakan hukum dan peraturan jika terjadi pelanggaran. Kedua CMM 2009-09 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Kapal-Kapal Tanpa Kebangsaan Conservation and Management Measure for Vessels Without Nationality yang merupakan implementasi pasal 10 konvensi, di mana kapal yang tidak memiliki kebangsaan adalah kapal yang tidak mengibarkan bendera suatu negara atau mengibarkan dua atau lebih bendera negara sesuai dengan padal 92 UNCLOS 1982. Penegakan hukum dalam konteks ini terkait dengan kebangsaan kapal yang diatur dalam PP No. 51 Tahun 2002. Aturan tersebut dituangkan dalam bagian kedua Bab V tentang pendaftaran dan kebangsaan kapal Indonesia. Menurut Pasal 41 ayat 1, kapal yang telah didaftar di Indonesia dapat diberikan surat tanda kebangsaan kapal Indonesia sebagai bukti kebangsaan. Surat tanda kebangsaan tersebut di berikan dalam bentuk Pasal 41 ayat 2: a. Surat laut untuk kapal -kapal yang berlayar di perairan laut dengan tonase kotor 175 GT. 175 atau lebih. b. Pas tahunan untuk kapal -kapal yang berlayar di perairan laut dengan tonase kotor 7 GT. 7 dan sampai dengan tonase kotor kurang dari 175 GT.175. c. Pas kecil untuk kapal -kapal yang berlayar di perairan laut dengan tonase kotor kurang dari 7 GT. 7. d. Pas perairan daratan untuk kapal-kapal yang berlayar di perairan daratan. Surat tanda kebangsaan kapal diberikan sebagai dasar bagi kapal untuk dapat mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan Pasal 42 ayat 1, yang harus selalu berada di atas kapal bila sedang berlayar Pasal 42 ayat 2. Selain itu, UU No. 21 Tahun 2009 menambahkan kewajiban pemberantasan penangkapan ikan secara melanggar hukum di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia oleh kapal perikanan asing dan membuka kesempatan bagi kapal Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut Lepas. Sebelum tahun 2008, Indonesia pernah menerapkan sistem perjanjian bilateral dengan tiga negara yakni China, Thailand dan Philipina untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di ZEE Indonesia. Perjanjian bilateral dengan ketiga negara tersebut sudah berakhir dan tidak diperpanjang lagi. Namun kerja sama dengan Thailand dilanjutkan dalam bentuk usaha patungan, sewa atau impor kapal oleh PMA atau perusahaan swasta nasional yang menggunakan eks kapal lisensi eks. kapal ikan berbendera Thailand sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Permen KP No. 172006 tentang Usaha Penangkapan Ikan. Permen KP No 172006 telah direvisi beberapa kali, terakhir menjadi Permen KP No. Per.30Men2012. Sistem skim lisensi yang pernah dilaksanakan memang menguntungkan bagi peningkatan devisa dari pungutan perikanan terhadap kapal asing. Namun juga banyak merugikan karena menyebabkan armada nasional tidak berkembang, dominasi tenaga kerja asing dan pengurasan sumber daya ikan terutama di perairan tempat beroperasinya kapal ikan asing. Diharapkan dengan sistem usaha patungan armada nasional dapat berkembang karena kapal ikan asing akan berubah kepemilikan atau alih bendera sehingga memperbesar jumlah armada perikanan nasional. Disamping itu, armada perikanan nasional diharapkan bertambah dari kapal ikan yang akan dibangun di Indonesia. Sejak tahun 2008 pemerintah untuk tidak melanjutkan sistem skim lisensi kapal asing ditujukan untuk meningkatkan kemampuan armada perikanan nasional. Melalui sistem usaha patungan, diharapkan ada penyertaan modal dari pengusaha perikanan domestik dan kewajiban membangun unit pengolahan ikan sehingga meningkatkan usaha pengolahan dan pemasaran ikan di dalam negeri. Namun dalam perkembangan usaha patungan banyak terjadi penyimpangan. Sampai dengan tahun 2012, Ditjen Perikanan Tangkap telah mencabut 1.166 buah izin. Pencabutan izin dilakukan antara lain karena hal-hal sebagai berikut : 1 Pemilik izin tidak merealisasikan alokasi SIUP yang dimilikinya dalam jangka waktu 2 dua tahun; 2 Kapal dilaporkan dan telah terbukti melakukan IUU Fishing masuk dalam IUU List RFMO’s; 3 Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam SIUP dan SIPISIKPI; dan 4 Permohonan pelaku usaha karena kapal terbukti telah tidak ada tenggelam atau rusakhancur atau tidak beroperasi lagi.

5.2.3 Kapal Penangkapan Ikan

Beberapa ketentuan WCPFC yang terkait dengan kapal penangkapan ikan, yaitu Call Sign dan Identification Number WIN, Pendataan dan pemberian izin kapal penangkapan ikan serta Laporan Tangkapan. 1 Call Sign dan Identification Number WIN Call Sign dan Identification Number WIN ditetapkan melalui CMM 2004-03 tentang Spesifikasi Untuk Penandaan dan Identifikasi Kapal Penangkapan Ikan Specifications For The Marking And Identification Of Fishing Vessels . CMM 2004-03 ini bertujuan untuk menentukan identifikasi kapal penangkapan ikan yang beroperasi di area Konvensi. Kewajiban negara anggota untuk mendesak operatorpengusaha penangkapan ikan untuk mengadopsi International Telecommunication Union Radio Call Signs IRCS dan kapal harus memiliki nomor identitas WCPFC WCPFC Identification NumberWIN. Menurut Pasal 48 ayat 1 PP No. 51 Tahun 2002, kapal Indonesia yang dilengkapi dengan perangkat komunikasi radio kapal harus mempunyai tanda panggilan call sign sebagai salah satu identitas kapal. Aturan call sign juga dituangkan dalam Lampiran III Permen KP No. Per.30Men2012, sedangkan WIN di tuangkan dalam Lampiran II Permen KP No. Per.12Men2012. Berdasarkan 430 kapal penangkapan ikan Indonesia yang terdaftar pada Komisi WCPFC sampai dengan tahun 2012 terdapat 399 kapal atau 93 persen yang telah memiliki IRCSWIN, sedangkan 31 kapal atau tujuh persen belum memiliki IRCSWIN sehingga sesuai dengan ketentuan WCPC 31 kapal tersebut dikategorikan illegal. 2 Pendataan dan Pemberian Izin Kapal Penangkapan Ikan. Pendataan dan pemberian izin kapal penangkapan ikan ditetapkan pada CMM 2009-01 tentang Pendataan Kapal dan Izin Penangkapan Ikan Record of Fishing Vessels And Authorization to Fish yang bertujuan menetapkan izin penangkapan ikan di area Konvensi dan mewajibkan negara anggota untuk memiliki kemampuan untuk mengendalikan secara efektif termasuk penegakan hukum dan peraturan jika terjadi pelanggaran. Pendataan kapal sesuai pasal 24 Konvensi WCPFC mensyaratkan bahwa penangkapan ikan di wilayah Konvensi hanya dilakukan oleh kapal-kapal negara anggota sedangkan penangkapan ikan diwilayah jurisdiksi negara negara lain harus memiliki izin negara bersangkutan sesuai dengan peraturan negara tersebut. Jumlah izin harus sesuai dengan potensi penangkapan diwilayah Konvensi dan tidak memiliki catatan IUU Fishing. Sampai dengan tahun 2012 terdapat 430 kapal bendera Indonesia yang telah didaftarkan pada Komisi WCPFC yang terdiri dari kapal gillnet, pole and line , kapal pendukung, longline, dan purse seine. Dari jumlah tersebut, kapal bendera Indonesia yang memiliki izin di atas 30 GT izin pusat sampai dengan 2012 berjumlah 363 kapal atau 84 persen dari jumlah kapal yang terdaftar pada WCPFC. Komposisi kapal perjenis alat tangkap pada Gambar 12. Sumber : Diolah dari Data Base WCPFC dan Data Perizinan Ditjen Perikanan Tangkap Gambar 12 Kapal Bendera Indonesia yang didaftarkan pada Komisi WCPFC Pengaturan pemenuhan dan standar umum operasional kapal diatur dalam PP No. 51 Tahun 2002. Sementara aturan pengadaan kapal ikan di atur dalam Permen KP No. Per.12Men2012. Menurut Pasal 50, setiap orang yang akan mengadakan kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan untuk dipergunakan di laut lepas, harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Adapun lampiran untuk pengadaan kapal baru, yaitu: a. Fotokopi SIUP, yang mencantumkan wilayah penangkapan dan pengangkutan ikan di Laut Lepas; b. Fotokopi gambar rencana umum kapal general arrangement, termasuk spesifikasi alat penangkapan ikan; c. Fotokopi gambar rencana umum kapal, termasuk spesifikasi untuk kapal pengangkut ikan; d. Nama perusahaan, lokasi dan negara tempat pembangunan kapal; dan e. Surat keterangan dari galangan kapal tempat kapal akan dibangun. 69 128 76 82 8 1 23 62 182 160 2 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 Gillnet Pole and line Support Vessel Purse seine Longline Purse sein Kapal tidak spesifik Handline Izin Indonesia Terdaftar WCPFC Sementara lampiran untuk pengadaan kapal bukan baru, yaitu: a. Fotokopi SIUP yang mencantumkan wilayah penangkapan di Laut Lepas; b. Grosse akta; c. Fotokopi gambar rencana umum kapal, termasuk spesifikasi alat penangkapan ikan; d. Fotokopi gambar rencana umum, untuk kapal pengangkut ikan; e. Bendera kapal sebelumnya; f. Fotokopi tanda kebangsaan kapal; dan g. surat pernyataan bahwa kapal tidak tercantum dalam IUU Vessel List RFMO Pengadaan kapal penangkap ikan danatau kapal pengangkut ikan dapat dilakukan dari dalam negeri danatau luar negeri Pasal 50 ayat 3. Lebih lanjut, pengadaan kapal penangkap ikan danatau kapal pengangkut ikan yang berasal dari dalam negeri, dapat dilakukan untuk kapal berukuran di atas 30 GT. Sementara pengadaan kapal penangkap ikan yang berasal dari luar negeri hanya dapat dilakukan untuk kapal berukuran di atas 100 GT. Sedangkan pengadaan kapal pengangkut ikan yang berasal dari luar negeri hanya dapat dilakukan untuk kapal berukuran di atas 500 GT - 1.500 GT. Aturan pengadaan kapal ikan dapat dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan BupatiWalikota. Kewenangan Menteri diberikan kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap untuk kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan ukuran diatas 30 GT, Gubernur memberikan kewenangan persetujuan dengan ukuran diatas 10 GT - 30 GT, dan BupatiWalikota memberikan kewenangan persetujuan dengan ukuran sampai dengan 10 GT Pasal 30. Pengadaan kapal penangkap ikan danatau kapal pengangkut ikan dapat dilakukan dari dalam negeri danatau luar negeri dengan cara membeli, membangun, atau memodifikasi Pasal 31 ayat 1. 3 Laporan Tangkapan Laporan tangkapan salah satunya melalui logbook penangkapan ikan, dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan, diperlukan data dan informasi perikanan yang akurat terkait dengan kegiatan penangkapan ikan dalam logbook penangkapan ikan. Aturan logbook penangkapan ikan ditetapkan dalam Permen KP No. Per.18Men2010. Logbook yang ada saat ini melengkapi sistem pendataan statistik perikanan tangkap dan kebutuhan pengkajian stock. Informasi yang tercatat dalam logbook berupa : a. Jumlah kapal penangkap ikan yang beroperasi active vessel berdasarkan ; jenis alat penangkap ikan, ukuran kapal, pelabuhan pendaratan, pelabuhan keberangkatan Pelabuhan yang mengeluarkan SPB Port Clearance dan wilayah pengelolaan perikanan WPP b. Jumlah hasil tangkapan yang terdiri dari ; jenis alat penangkapan ikan, jenis ikan dan hasil tangkapan sampingan. c. Produktivitas kapal penangkapan ikan berdasarkan jenis alat penangkapan ikanGTWPPtahun. Pengisiaan logbook mulai di laksanakan sejak Januari 2011 pada 22 pelabuhan perikanan unit pelaksana teknis UPT Pusat, satu pelabuhan perikanan swasta Barelang dan satu pelabuhan umum Benoa. Jenis informasi yang dikumpulkan antara lain adalah jenis alat penangkapan ikan, ukuran kapal, pelabuhan pendaratan, pelabuhan keberangkatan, jenis ikan, dan hasil tangkapan sampingan. Berdasarkan rekapitulasi data logbook tahun 2011 tingkat kesadaran pelaku usaha penangkapan ikan yang menangkap ikan di wilayah kewenangan RFMO masih rendah, yakni IOTC 332 kapal atau 44,87 persen dari 740 kapal yang terdaftar pada IOTC, CCSBT 76 kapal atau 33,48 persen dari 227 kapal yang terdaftar pada CCSBT, dan WCPFC 41 kapal atau 31,30 persen dari 131 kapal yang terdaftar pada WCPFC. Data logbook pada UPT pusat tahun 2012 adalah disajikan pada Tabel 16. Pelaksanaan logbook penangkapan ikan di Indonesia dihadapkan pada beberapa permasalahan dan kendala, yaitu: a kurangnya sosialisasi pengisian logbook oleh para nakhoda. b pengisian logbook banyak diisi oleh pengurus perusahaan di darat, sehingga manipulasi data sangat besar, dan c Format logbook penangkapan ikan dirasakan nakhoda kurang sederhana sehingga membingungkan nakhoda dalam mengisi buku logbook. Tabel 16. Data Logbook pada Pelabuhan Perikanan UPT Pusat Tahun 2012 No. Pelabuhan Perikanan Jumlah Yang Malaksanakan Logbook Wilayah Kewenangan RFMO Kapal Trip 1 Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan 1.262 40.867 - 2 Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus 13 15 IOTC 3 Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman 1.481 1.519 - 4 Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap 304 363 IOTCCCSBT 5 Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung 1.394 2.168 IOTC 6 Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari 413 754 WCPFC 7 Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga - - IOTC 8 Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan 24 24 WCPFC 9 Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungai Liat 707 1.118 WCPFC 10 Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu - - WCPFC 11 Pelabuhan Perikanan Nusantara PalabuhanRatu 862 1.786 IOTCCCSBT 12 Pelabuhan Perikanan Nusantara Kejawanan 135 135 WCPFC 13 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan 52 52 WCPFC 14 Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong - - WCPFC 15 Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi 332 477 WCPFC 16 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan 301 803 IOTCCCSBT 17 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pemangkat 307 518 WCPFC 18 Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon 201 226 WCPFC 19 Pelabuhan Perikanan Nusantara Tual 129 142 WCPFC 20 Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate 234 489 WCPFC 21 Pelabuhan Perikanan Pantai Teluk Batang - - WCPFC 22 Pelabuhan Perikanan Pantai Kwandang 62 62 WCPFC Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap Tahun 2012

5.2.4 Alat Penangkap Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan

Ketentuan pengaturan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan ditetapkan melalui dua CMM yakni CMM 2008-04 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi terhadap Jaring Insang Hanyut Skala Besar pada Laut Lepas Area Konvensi Conservation and Management Measure to Prohibit the Use of Large-Scale Driftnets on the High Seas in the Convention Area , dan CMM 2009-02 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penutupan Rumpon dan Retensi Penangkapan Conservation and Management Measure on the Aplication of High Seas FAD Closures And Catch Retention . 1 CMM 2008-04 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi terhadap Jaring Insang Hanyut Skala Besar pada Laut Lepas Area Konvensi Conservation and Management Measure to Prohibit the Use of Large-Scale Driftnets on the High Seas in the Convention Area CMM 2008-04 mengadopsi Resolusi United Nations Nomor 46215 yang menyerukan perlunya moratorium global untuk jaring insang hanyut skala besar karena berdampak buruk terhadap keberlanjutan ekosistem. Ketentuan ini berlaku bagi negara anggota WCPFC di wilayah Konvensi terkecuali jika negara bendera menangkap ikan di wilayah yurisdikasi dimana jaring insang hanyut diizinkan. Jaring insang hanyut diatur melalui Pasal 13 dan Pasal 28 Permen KP No. Per.02Men2011 yang merupakan alat penangkapan ikan bersifat pasif dioperasikan dengan menggunakan ukuran : a. mesh size 1,5 inch, P tali ris 500 m, menggunakan kapal motor berukuran 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III di WPP- NRI 571, WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPP-NRI 712, WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPP-NRI 717 dan WPP-NRI 718. b. mesh size 1,5 inch, P tali ris 1.000 m, menggunakan kapal motor berukuran 5 sd 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III di WPP-NRI 571, WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPPNRI 712, WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPPNRI 717 dan WPP-NRI 718. c. mesh size 1,5 inch, P tali ris 2.500 m, menggunakan kapal motor berukuran 10 sd 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III di WPP-NRI 571, WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPP-NRI 712, WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPP- NRI 717 dan WPP-NRI 718. d. mesh size 4 inch, P tali ris 2.500 m, menggunakan kapal motor berukuran 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III di WPP-NRI 571, WPPNRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPP-NRI 712, WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPP-NRI 717 dan WPP-NRI 718. Berdasarkan data perizinan Ditjen Perikanan Tangkap sampai dengan tahun 2012 terdapat satu kapal jaring insang hanyut yang diberi izin penangkapan ikan di ZEE Indonesia Samudera Pasifik yakni KM Ericaristine dengan ukuran 517 GT. Namun berdasarkan Record of Fishing Vessel RVF WCPFC kapal tersebut telah dihapus pada daftar kapal WCPFC per tanggal 12 November 2009. 2 CMM 2009-02 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penutupan Rumpon dan Retensi Penangkapan Conservation and Management Measure on the Aplication of High Seas Fad Closures And Catch Retention CMM 2009-02 melengkapi dan menjadi bagian dari CMM 2008-01 tentang bigeye dan yellowfin di area WCPFC yang bertujuan untuk memastikan implemetasi konsisten dari penutupan rumpon diarea perairan antara 20 LS derajat dan 20 LU pada periode 1 Agustus sampai dengan 30 September. Pengertian rumpon pada CMM 2008-01 adalah benda atau kelompok benda dari berbagai ukuran, yang telah atau belum di gunakandi pasang, baik hidup atau tidak hidup, termasuk tetapi tidak terbatas pada buoys, mengapung, jaring, anyaman, plastik, bambu, kayu dan hiu paus mengambang didalam atau dekat permukaan air yang berasosiasinya. Selama periode penutupan rumpon, semua kapal purse seine tanpa observer di atas kapal wajib menghentikan kegiatan penangkapan ikan. Sedangkan kapal penangkapan ikan yang dapat melakukan operasi penangkapan ikan yang hanya terdapat observer diatas kapal dari Regional Observer Program untuk memonitor kapal tersebut tidak memasang atau menangkap ikan di rumpon. Permintaan observer dari Regional Observer Program harus memberitahukan kepada koordinator program observer selambatnya 21 hari sebelumnya. Namun jika tidak tersedia observer dari Regional Observer Program maka negara bendera dapat menempatkan observer nasionalnya pada kapal tersebut. Selama waktu penutupan rumpon, kapal purse seine hanya diperbolehkan untuk melakukan operiasonal penangkapan berada satu mil dari rumpon. Operator