D emak Mulai Bergerak

33. D emak Mulai Bergerak

Begitu telah mendapat kepastian pasukan gabungan Tuban-Aceh-Bugis mu lai menyerang daerah peluaran kota

Malaka, dan Portugis terpaksa mem batasi ruang geraknya di dalam kota saja, Trenggono memerintahkan m enyeran g.

Pasukan kuda dan kaki D emak dengan cepat menerjang kabupaten-kabupaten sebelah timu r negerinya. Santenan jatuh. Balatentara itu bergerak tenis mengejar bab tentara Santenan yang melarikan diri ke timur bergabung dengan tentara bupati Blora. D an dua oran g bupati yang sekeluarga itu tak punya pasukan kuda. Trenggon o m emperhitungkan: juga Blora akan segera jatuh.

Semua orang lelaki kabupaten Santenan yang berumur di atas tujuh belas sampai tiga puluh dan tak sempat m elarikan diri, di seret terus ke tim ur untuk jadi serdadu tam bahan.

Balatentara gabungan Pesantenan-Blora yang menyedari kelemahannya mem asang perangkap-perangkap kaki kuda dengan ran jau gam bangan dari bambu, yang dijajar renggang di atas lobang-lobang dangkal dan ditutup dengan dedau nan dan tanah. Pekerjaan itu tidak sia-sia. Barisan terdepan pasukan kuda D emak mem asuki semu a perangkap dan kuda-kuda celaka itu pada patah kakinya.

Trenggo no sangat marah melihat kerusakan pada pasukan kuda kesayangannya. Ia m engancam bupati-bupati bersangkutan akan m erejamnya hidup-hidup.

Maka pasukan kaki D emak yang digalakkan oleh harapan menjarah melewati pasukan kuda, menem puh

jalan hutan, dan menyerbu ke depan. D ua-dua pihak balatentara yang bermusuhan tidak lagi mengindahkan aturan perang. Mereka tak mesanggrah untuk kemudian bertempur pada keesokan harinya. Kekuatan D emak mengalir deras tak sempat menunggu persiapan lawannya, menerjang yang terkena terjang mem bongkar yang terkena bongkar. Pertempuran sengit terjadi di desa dan kamp ung yang dilewati.

D i sebelah utara, balatentara D emak yang telah dipusatkan Mfeetum nya di Juana, juga bergerak ke timu r. Rem bang tidak mengo songkan daerahnya seperti halnya dengan Pesantenan Satu pertemp uran yang mendarah terjadi dengan sengitnya di hutan bakau-bakau sepanjang pesisir di mana penikan kuda D emak tak dap at berbuat sesuatu pun. D an pertempuran itu berlarut-laru t hingga Trenggo no memerlukan datang ke daerah pesisir itu dan sendiri turun ke medan.

Pada hari Trenggono memerintahkan penyeran gan, arm ada Jepara D emak, armada terbesar setelah jatuhnya Majapahit, tujuh puluh kapal besar, dipimpin oleh Panglim a-L aksamana Fathillah. meninggalkan bandar

Jepara untuk ke tiga kalinya dan menem puh garis pelayaran yang sam a: ke jurusan Banten.

Sam a halnya dengan dua pelayaran sebelum nya di setiap bandar dikatakan mereka sedang berlayar untuk mengh adap Peranggi.

Mengetah ui, bahwa balatentara D emak bergerak ke jurusan timur dan mu lai menaklukkan bupati-bupati tetangga sendiri, oran g menjadi curiga dan bersiaga. Mengapa arm ada yang ditimang-tim ang Adipati Unus itu tak juga menuju ke Malaka. Maka di setiap bandar hanya dengan kekerasan bisa diperoleh air dan bahan makanan

Armada bergerak melewati Selat Sunda tanpa mampir ke Banten dan mem belok ke kiri sampai Ujung Kulon, seakan mem ang sedang berja-ga-jaga agar Portugis tak masuk ke Jawa. Walau demikian seluruh Banten telah bersiaga. Kepercayaan orang terhadap Trenggono telah punah sama sekali.

G erak-gerik armada diikuti oleh Banten dari pesisir Mereka melihat arm ada besar itu menurunkan beberapa

pasukan di Ujung Kulon. D an di sana sudah menunggu pasukan Banten Pertem puran sengit segera terjadi. Armada menurunkan pasukan bantuan, kemudian mengangkat sauh dan semu a berangkat meninggalkan Ujung Kulon. Pasukan- pasukan yang didaratkannya terus terlihat dalam

pertempuran. Tujuh puluh kapal itu kembali menuju ke Selat Sunda.

Tiba-tiba mem belok ke kanan, mem asuki bandar Banten sambil melepaskan tembakan-tem bakan cetbang. Banten pun melepaskan cetbangnya, tetapi pasukan-nya telah banyak dipasang di sebelah pesisir barat. Pertempuran cetbang yang berjalan selam a setengah hari telah mengh abiskan peluru Banten.

D an pertempuran di atas pasir pantai meluas ke mana-mana, ditutup hanya oleh malam. D an dalam malam itu juga

Pendaratan dimu lai oleh para penyerbu.

D emak meneruskan pendaratann ya. Mereka tahu Perangi sedang sibuk di Malaka, dan mungkin melakukan sergapan dari belakang.

Bandar besar di Jawa itu jatuh pada hari berikutnya Pada hari ketiga setelah pendaratannya kekuatan D emak

mem asuki ke pedalaman Banten. Balatentara Banten kalah dalam jumlah dan persiapan. D an setelah seminggu bertahan pertahanannya pasukan Banten jatuh ke dalam kekuasaan D emak.

Fathillah bergerak dengan cepat la dud ukkan oran g- orang D emak jadi pem egang kekuasaan di Banten. D engan keras ia mengatur kembali pulihnya kehidupan dan penghidupan untuk dapat bertahan terhadap kemungkinan datangn ya Portugis. Sebagian dari kapal-kapalnya melakukan penjagaan terus-menerus di sepanjang pesisir barat dan utara Banten.

Taraf pertam a persekutuan militer Trenggono-Fathillah telah berhasil. D engan Banten sebagai pangkalan D emak, seluruh Jawa sebelah barat akan dapat ditelan. D an D emak harus jadi mo dal.

D alam waktu hanya tiga bulan kehidupan sudah pulih kembali. Fathillah mu lai mem anggili pendudu k dewasa

untuk dijadikan prajurit. D engan jalan demikian ia telah ganti kerugian manusia selam a pertemp uran seminggu. Semua pandai besi dikerahkan untuk mem bikin peralatan perang baru. Bandar dibuka kembali D an negeri yang kaya akan lada ini siap menunggu kapal-kapal dari Atas Angin.

Banten adalah penghasil lada dan minyak kelapa.

D engan jatuhnya Malaka dan Pasai, ia telah menggantikan D engan jatuhnya Malaka dan Pasai, ia telah menggantikan

D an sekarang Fathillah akan menggunakan penghasilan bum i dan laut Banten untuk memperluas gerakan mem asuki pedalaman samp ai he Laut Kidul. Penduduk bandar Banten sendiri mem bantu dan menyokongnya. Mereka adalah Pribumi yang hidup dalam kampung- kamp ung tersebar di sekitar bandar. Sebagian adalah penduduk bangsa-bangsa N usantara dan non -Nusantara dan mereka mengirimkan wakilnya untuk menyatakan takluk dan setia pada D emak. Tak bisa lain: balatentara Fathillah sebanyak lebih dari lima belas ribu oran g itu takkan m ungkin dapat ditah an oleh kekuasaan m anapun!

Fathillah sendiri adalah seorang di antara sekian puluh orang di Banten yang telah naik haji, dan seorang di antara

beberapa belas orang yang tahu berbahasa Arab. D engan pengetahuan nya tentang agam a Islam dalam waktu hanya beberapa bulan orang m ulai m elupakan penyerbuannya dan melupakan tindakannya yang keras. Ia sering berkhotbah di mesjid dengan bahasa Melayu, la panggili para ulama setemp at, dan diperintahkan pada mereka mendirikan majelis dakwah, yang bukan saja bertugas menyebarkan agam a Islam secara teratur, juga mewajibkan padanya mem bentuk barisan m usafir sebagaimana pernah dilakukan oleh D emak, hanya sekarang untuk mem asyhurkan

G ubernur-Panglima-Laksamana Fathillah. Beberapa kali ia melakukan pemeriksaan ke pedalaman.

Beberapa kali pula ia mengerahkan pasukan untuk Beberapa kali pula ia mengerahkan pasukan untuk

Jatuh nya Banten dan Pesantenan ke dalam kekuasaan

D emak sampai pada Wiran ggaleng dua bulan kemudian: “Khian at” bisiknya seoran g diri dan pergi menyendiri ke suatu tempat untuk memikirkannya “Tepat sebagaimana kuduga. Semua telah berkhianat! Semua hendak menari- nari dengan Peranggi di atas pundak si Wiranggaleng, anak desa ini: Trenggon o, Adipati Tuban, Fathillah Liem Mo Han, Kala Cuwil, Ratu Aisah,… D an pasukan gabungan ini sekarang m enjadi lola di negeri orang ”

Ia berpikir. Kesimpulannya hanya satu semua yang terjadi telah melawan cita-cita Rama Cluring, bertentangan dengan Adipati Unus.

D icobanya berpikir terlepas dan semua ikatan dengan Jawa. Ia tak mampu. Semua punya ikatan dengan Jawa, justru bersangkut-sangkutan, bertali-tem ali.

Ia pulang ke m arkasnya. D an Pada telah menunggu nya, juga dalam keadaan gelisah dan menundu k menunggu

teguran. W iranggaleng tak menegurnya. Senapati itu dud uk diam-diam di atas ambin. W aktu

pimpinan kesatuan Aceh dan Bugis datang. Senopati bertanya apakah tempat di mana pernah terjadi pertempuran pertama antara kesatuan Bugis dan Peranggi, dap at digarap jadi daerah pertanian tetap.

Melihat pimpinan kesatuan Aceh tak mem berikan jawaban ia bertanya apakah tidak atau kuran g m enyetujui.

‘Tidak, Hang W ira,” jawabnya, “bukan soal tidak atau kurang m enyetujui. Kam i ada persoalan lain. Setelah Sultan Mu ghayat Syah, Sultan kami, Sultan Banda Aceh

D aru ssalam, wafat, kesatuan kami diperintahkan ditarik, dan kami harus pulang ke Aceh begitu jemputan datang.” Berita itu laksana petir menyambar. Ia tahu Sultan Aceh yang baru telah kehilangan

kepercayaannya pada Trenggo no.

“Sembah sujudku ke bawah duli Baginda Sultan. Semoga penum pasan terhadap Peranggi dari Malaka tetap jadi perhatian. Kami yang tertinggal akan berusaha sebaik- baiknya.”

Berita dari Jawa itu telah melumpuhkan semangat kesatuan Tuban. Di mana-man a temp at mereka menggerom bol dan mem bicarakan kemungkinan terjadinya penyerbuan D emak terhadap Tuban sendiri

“Sedang kita ada di sini’ m ereka mengeluh.

D an keluhan itu adalah yang juga ada dalam hati Hang W ira. Armada sebesar itu! Ia perang tanpa daya, ternyata

betul tidak untuk pembebasan Malaka, sebaliknya untuk melamp iaskan nafsu kekuasaan pribadi.

‘Trenggono!” sebutnya di hadapan pemimpin-pemimpin kesatuan, “telah mengu bah kedudukan kita menjadi badut yang lemah, tidak lucu, dan tidak berarti. Aku akui Peranggi berjumlah kecil, keampuhann ya hebat. D an sekarang kekuatan kita semakin berkurang dengan kepergian kesatuan Aceh.”

“Akan kuusahakan menghadap ke bawah duli Baginda Sultan dan memp ersembahkan semua ini,” pimpinan kesatuan Aceh menyam paikan, “bebasnya Malaka dari Peranggi juga jadi urusan Banda Aceh D arussalam.”

“Kami akan tetap tinggal di sini,” pimpinan kesatuan Bugis mem berikan jaminan. “Jatuh nya Malaka juga jadi urusan Bugis-Makasar. Mereka jatuh, dan jalan kami ke utara akan kembali terbuka.”

D ua minggu setelah itu kesatuan Aceh minta diri untuk kembali. Kesempatan itu dipergunakan Hang Wira untuk mengirimkan Pada pulang ke Jawa.

“Carilah berita yang benar, dan tengok mbokayumu dan kemenakan-kemenakan,” pesan Hang Wira. “Cari Liem Mo Han, cari keteran gan tentang Kala Cu wil: jangan lupa mengh adap G usti Ratu Aisah.”

D an dengan demikian berangkatlah P ada. Setelah pertahanan Rem bang patah dan medan

pertempuran di hutan bakau-bakau selesai, balatentara

D emak mem asuki Rem bang, menjarah -riah segala yang dap at dan ditemuinya.

Pendud uk melarikan diri ke hutan-hu tan pedalaman. Balatentara pemenang itu kemudian membelok ke

selatan untuk mem bantu mengh ancurkan persekutuan militer Pesantenan Blora.

Persekutuan, yang tak menduga-duga akan datangn ya balabantuan mu suh dari utara, meliuk kena terjang dan melarikan diri ke selatan.

Balatentara D emak, di bawah pimpinan Trenggono sendiri, m enang untuk ketiga kalinya.

Sultan D emak semakin berbesar hati. Seorang ke Banten dan mem berikan perintah baru: Ambil Sunda Kelapa!

D alam pada itu balatentara D emak dari barat dan utara yang bertemu di Blora, dengan mem bawa serdadu baru dari D alam pada itu balatentara D emak dari barat dan utara yang bertemu di Blora, dengan mem bawa serdadu baru dari

Patih Tuban Kala Cu wil Sang Wirabumi telah menyebarkan telik untuk mengikuti gerak-gerik balatentara

D emak. Mengetahui bahwa para penyerbu akan menyerang dari jurusan barat daya T uban, disiapkannya pasukan gajah di perbatasan. Ia percaya D emak takkan mungkin dap at menem bus pasukan gajah.

Telah ia pilih tanah lapang untuk m embuka m edan ini di mana ia berjanji akan giling bonyok balatentara musuhnya.

D itunggunya para penyerbu itu m enyeberangi tanah lapang itu. D an perhitungannya tidak keliru.

Pada suatu hari, pagi-pagi benar, ujung pasukan kuda

D emak yang bersenjata tom bak berjumbai berwama-wami itu bersorak-sorak menyeberan gi lapangan untuk mengutip kemenangan yang ke sekian kalinya. N yaris samp ai ke pinggiran lapangan, gajah-gajah Tuban pada berdiri, bersuling, lari ke depan mem bawa bentengan kayu di atas punggung.

Kuda-kuda D emak terkejut Tombak-tom bak mereka yang berdiri condong menuding langit sekarang mendatar siap untuk melayang. Tetapi mereka tak pernah berlatih menombak pada sasaran tinggi. D an kuda-kuda kaget itu menyulitkan pembidikan.

Sebaliknya panah dan tom bak dari atas gajah berlayangan bebas menuju ke sasaran.

Kuda-kuda D emak masih terus berlarian gugup melihat gajah-gajah menggiling barang apa yang melintang di hadapannya. Kegugupan D emak menyebabkan tubrukan- tubrukan antara mereka sendiri. D an kuda-kuda di belakangn ya langsung mem belok menghindari tanah lapan g.

“Lindungi Sultan!” seseorang berseru. Mendengar Sultan ada dalam pasukan kuda itu Kala

Cu wil menjadi lebih bersemangat. Ia perintahkan pasukan kaki menyerbu dengan ting-kahan canang dan gendang bertalu, yang terdengar dari segala penjuru. “Tangkap Sultan!” ia berteriak. Suaranya bergema-gema melalui ribuan mu lut lainn ya. Panah dan tombak berhamburan di medan pertemp uran . Balatentara D emak mengalami banyak kerusakan dan segera mengu ndurkan diri sebelum pasukan kaki Tuban dikerahkan m emburu. Bagi Trenggono sendiri kemenangan atas Tuban menjadi petaruh untuk

gerakan militer selanjurnya. D ari Tubanlah seluruh Jawa Timur akan dapat dikuasai. D ari sini akan dapat ditumpas Blam bangan sebagaimana halnya dari Sunda Kelapa akan ditump as Pajajaran. D an dengan tumpasnya dua kerajaan Hindu tersebut seluruh Jawa akan menjadi Islam atas nam anya. D an Islam, menurut Fathillah yang kemudian juga jadi pegangan nya, menjamin kebebasan Jawa dari Peranggi.

Khusus untuk Trenggon o, Blam bangan adalah gudang peninggalan Majapahit. D engan benda-benda kerajaan Majapahit itu D emak saja yang bakal jadi kerajaan pewaris syah dan tunggal dari Majapahit, dan seluruh Jawa akan sujud dengan badan dan matinya padanya, pada D emak.

Kegagalannya di perbatasan barat daya Tuban m embikin ia menjadi beringas. D itariknya semua pasukan kaki ke utara untuk dapat merebut Tuban dari pesisir. Sebagian kecil pasukan kuda ia perintah kan tinggal untuk menyibuki pasukan gajah.

Tetapi Kala Cu wil tidak dap at ditipu dengan siasat itu. Melihat balatentara D emak mengurangi kekuatannya ia pindah kan semua pasukan gajah kembali ke kota.

Pagardesa dan sebagian kecil pasukan kaki ia tinggalkan untuk menyibuki pasukan kuda D emak.

D emikianlah maka pertempuran kecil-kecilan terjadi terus-menerus di perbatasan ini dengan membawa kerusakan pada kedua belah pihak.

Induk pasukan D emak yang bergerak dari pesisir utara mengh indari daerah koloni Tionghoa Lao Sam , kemudian mengancam perbatasan timur Tuban.

Meriam Portugis di tangan Tuban menyam but kedatangan m ereka.

D emak tertegun menerima peluru-peluru besi itu sehingga gerakannya terhenti sama sekali. Kemudian

mereka menem puh jalan lain dan mendesak terus tiada tertahankan. Cetbang-cetbang Tuban mu lai berledakan.

D emak meliuk lebih ke selatan dan mu lai membuka medan pertempuran baru sebagaimana mereka tentukan sendiri.

Balatentara Tuban yang dipaksa bertahan melepaskan pasukan gajah. D an D emak m eliuk kembali ke utara. Sekali ini D emak berhasil menjebol pertahanan Tuban dengan meninggalkan pasukan gajah.

Banteng W areng dengan pasukan kudan ya belum juga dikeluarkan oleh Kala Cu wil. Patih-Panglima Tuban itu punya rencana hendak menggunakannya untuk menyergap dari belakang, bila D emak berhasil dengan desakannya. Tidak diketahui penghubungnya telah tertangkap oleh mu suh dan tewas di pinggiran medan pertempuran.

D i kota Tuban, kehidupan masih berjalan tenang. Tak ada orang percaya D emak bisa menem busi pasukan gajah Tuban. D ua ratus tahu n laman ya pasukan ini telah jadi tulang punggun g Majapahit D emak hanya kerajaan kemarin! Tak tahu banyak tentang perang besar. Maka juga D i kota Tuban, kehidupan masih berjalan tenang. Tak ada orang percaya D emak bisa menem busi pasukan gajah Tuban. D ua ratus tahu n laman ya pasukan ini telah jadi tulang punggun g Majapahit D emak hanya kerajaan kemarin! Tak tahu banyak tentang perang besar. Maka juga

Meriam Portugis dan cetbang tak berhasil mem bendung desakan D emak. Sorak-sorainya kini mu lai terdengar di Tuban kota. Pasukan pengawal terperanjat dan tanpa perintah

untuk mem pertahankan kadipaten dan kota.

Patih-P anglim a mu lai disiagakan

D engan gopoh-gopoh Braja mem asuki kadipaten untuk mem persiapkan pengungsian Sang Adipati. Beberapa orang perwira diperintah kannya mem beritahukan pada penduduk untuk mengungsi.

D i depan pintu peraduan Sang Adipati didapati Braja dua orang pengawal bertom bak itu masih berdiri di tempatnya. “Siapkan tandu !” perintahnya. D ua orang itu lari dan hilang dari pemandangan. Braja belum juga m asuk. Jantu ngnya berdebaran dan pikiran nya sibuk untuk mendapatkan kata-kata yang tepat. Ia m enyembah, m enarik tali untuk mem beritahu kan pada penjaga di dalam. Tetapi tarikannya tak mendapat jawaban. Ia buka pintu.

D ilihatn ya Sang Adipati tergolek tenang di atas peraduan.

D an tak ada seorang penjaga pun di dalam bilik itu. “Braja!” panggil Sang Adipati. Braja menjatuhkan diri, berlutut dan menyembah.

“Ampun G ustiku, G usti Adipati Tuban sesembah an patik.” ‘Trenggono berkhianat” “Sorak-sorainya telah terdengar dari sini. G usti.” “Kami tak dengar. Sorak-sorai D emak?” “Sorak-sorai D emak, G usti.”

“Khian at! Khian at!” ia ulangi kata-kata itu dengan suara semakin lama semakin pelahan, kemudian tak terdengar lagi.

“G usti, sudah datang waktunya untuk mengu ngsi.” Sang Adip ati tak menjawab. Braja mendekati untuk mengu langi. Sang Adipati sudah tak bernapas lagi. W ajahnya telah menjadi begitu ciut dan ram butnya yang begitu putih seluruhnya terberai di atas bantal. D estarnya terlepas dan jatuh di samping kepala. Ia am bil destar itu, ia tutupkan pada wajah jenasah itu. Kemu dian ia lari keluar dan berteriak-teriak: “Cepat! Mengu ngsi semua! Mengungsi!

G usti Adipati Tuban jangan ditunggu. G usti telah mangkat.”

Ia terus lari ke belakang, tak mem pedulikan orang berlarian silang-pukang. Digedornya harem . W aktu pintu itu terkirai, ia m asuk di bawah protes N yi G ede D aludarmi, ia tak peduli, berteriak: “Pergi kalian! Pergi dari sini! Ke mana saja kalian suka. Sang Adipati mangkat. Balatentara

D emak sedang mengancam. Cepat pergi. Bawa semua baran g kalian! Perempuan-perempuan itu pada menjerit

kebingun gan. “D iam!” bentak Braja. “Bawa harta-benda kalian. Lari

sejauh-jauhnya, jangan sampai tertangkap.” la tinggalkan kadipaten dengan bimban g. Siapa dan apa

sekarang ia kawal? Jenasah Sang Adipati? Harta-benda kadipaten? Ia lari masuk ke dalam asram a, mem anggil semua anakbuah nya, kemudian memerintahkan semua bergerak ke selatan untuk mendapatkan Kala Cu wil Sang W irabumi.

“G ila! Balik! Pertahankan Tuban Kota. ” “Apa yang dipertahankan? Sang Adipati telah m angkat.”

Kala Cu wil berlutut. Kepalanya menundu k dalam. Mangkat? Ia term angu-man gu. Apa lagikah yang harus dipertahankan?

D an Tuban Kota jatuh jadi rayah an dan jarah an tentara

D emak – tiga puluh ribu prajurit. Balatentara D emak asli! Tam bahan dari daerah-daerah taklukan baru lima ribu!

D alam kawalan barisan kuda Trenggono turun dari kendaraann ya di depan gedung kabupaten Tuban. D engan langkah gugup ia naik ke atas diiringkan oleh para pengawal.

‘Takluk menyerah kalian yang di dalam!” serunya, “Sultan T renggono D emak datan g!”

Tiada seorang pun datang mengelu-elukan. Putri-putri Tuban tidak, selir-selir pun tidak, apalagi prianya.

Ia berdiri di tengah-tengah pendopo, gugup menunggu datangn ya para pengelu. Sunyi senyap. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Kesenyapan juga yang hadir. Ia m enengok ke belakang. Semua prajuritnya turun belakangan dari kuda masing-m asing dan tak m enyaksikan suatu penyerah an.

“Bedebah! Tum pas setiap yang hidup di dalam sini” perintahnya. Pasukan kuda mu lai memasuki kadipaten, Trenggo no sendiri diiringan regu pemeriksa gedung.

seorang perwira mem persembahkan. “Bedebah! Keluar kau anjing Tuban!”

“Peraduan Adipati

Tuban,”

pintu kamar itu ia terjang. Juga tak ada yang datang bersujud pada kakinya, la masuk ke dalam, langsung pada Sang Adipati yang terbujur di peradu an. la cabut kerisnya.

D an tubuh terbujur itu tiada mem perdulikan-nya. “Kaulah ini kiranya,” bentaknya murka, dan dicabutnya

destar itu dari wajah Sang Adipati Tuban.

Sekaligus ia tahu sedang berhadapan dengan mayat

D ip unggungjnya mayat itu sambil menyarungkan kembali kerisnya dan bergumam, “Sayang. Tak kau saksikan bagaimana kejatuh anmu sendiri. Takkan lagi kau saksikan bagaimana Jawa sujud di bawah kaki Trenggono. Sayang kau tak melihat pasukan gajah andal-an dalanmu tersobek- sobek oleh pasukan kuda D emak!” Ia berbalik lagi dan melusuhi mayat itu. D engan dem ikian ia tak jadi berm arkas di kadipaten.

Pasukan Tuban menyingkir ke selatan . D an Kala Cu wil masih juga tak dapat m emutuskan apa harus diperbuat.

Tak lain dari Banteng W areng yang sangat kecewa terhadap pimpinan Kala Cuwil. Ia lebih suka mati di medan pertempuran daripada menderita kan malu telah kalah tanp a berbuat sesuatu pun. Ia melawan tradisi pasukan kuda Tuban, biarpun tak banyak jum lahnya. Ia tak rela kalah sebelum bertempur

Pagi-pagi benar ia siapkan seluruh pasukannya. Tanpa mem beritahukan atau minta diri dan Kala Cu wil pasukan

kuda itu melakukan serangan mendadak atas Tuban Kota yang telah jatuh ke tangan m usuhnya.

Tak pernah dalam tradisi perang di Jawa sebuah pasukan yang telah kehilangan raja m elakukan serangan pembalasan Maka juga D emak tak pernah memikirkan terjadinya kemungkinan itu

Tapi serangan adalah serangan. D an pagi itu balatentara

D emak, yang masih lelah dari berpesta merayah dan menjarah kemarin dan semalam, masih am an tenang bersembunyi di bawah selimu t masing-masing. D engan cambuk-perang dan pedang terhunus pasukan kuda Tuban menyam bar-nyambar seperti elang

Balatentara D emak lari kocar-kacir ke jurusan barat dengan meninggalkan jarahannya

Trenggo no sendiri belum lagi bangun waktu serangan terjadi. Prajurit pengawal mem bangun kannya dengan kasar dan menariknya pada kuda yang telah disiapkan.

“Bedebah!” pekik Trenggono “Mereka menyeran g, kembali. G usti” “Siapa menyerang, bedebah? Adipati Tuban sudah

mampus.” Ia menolak naik ke atas kuda Tangannya mencari pedangn ya, tetapi senjata itu belum lagi padan ya. Bila ada, prajurit itu akan belah jadi dua.

Sorak-sorai dan geletar cambuk-perang pasukan Banteng W areng mengguruh dan segala penjuru.

Buru-buru Trenggono m elompat ke atas kudanya. “Ke sini. G usti,” seorang prajurit. Ia hentikan kudanya dan masuk ke dalam apitan

pasukan pengawal, berpacu ke jurusan barat. D adanya serasa hendak meledak karena mu rka, merasa dihina dan dipermain-mainkan.

D an dalam serangan mendadak itu Banteng W areng bertindak menggiring mu suhnya keluar kota Tuban. Ia segera perintahkan untuk merawat jenasah Sang Adipati. Kemu dian dikerahkannya pasukannya ke selatan kembali, meninggalkan Tuban Kota dalam keadaan kosong.

Meninggalnya Adipati Tuban tak didengar oleh W iranggaleng. D engan berita masuknya D emak ke negeri kelahiran nya kembali ia bergulat dalam pikiran nya. Ia harus mengu bah pendapat yang lama: tidak semua berkhianat. Kalau D emak menyerang Tuban, jelas Tuban tidak berkhianat lagi pada cita-cita Adipati Unus. Tapi mengapa

Tuban mengirimkan armada jung? Di mana kapal- kapalnya? Mengapa tidak diserahkan padanya? D an mengapa meriamn ya ditahan nya sendiri? la belum dap at mem utuskan. Setidak-tidaknya D emak harus dipisahkan dari persoalan Tuban. D ulu D emak menyerang Peranggi, dan

D emak tidak menyerang Peranggi, tapi menyerang Tuban, dan Tuban mengirimkan kekuatannya ke Malaka. D ulu Tuban mengirimkan tentaranya ke Malaka dengan ragu-ragu, sekarang pun masih tetap ragu-ragu.

Tuban mengkhianati. Sekarang

Tentang kelolaan pasukan gabungan lain pula soalnya. Kelolaan menyebabkan pasukan ini tiada m empunyai pusat

pengabdian. Memang gerakann ya telah berhasil mem batasi ruang-gerak mu suhnya. Tetapi apakah artinya semua itu bila di Jawa sana kedunguan, nafcu kekuasaan , sudah tak mau kenal lagi apa artinya pengusiran terhadap Peranggi?

D an beban tam bahan yang tak kurang mem berati pikiran nya adalah kemerosotan semangat prajuritnya. D ari prajurit yang berani dengan cepat mereka berubah jadi petani yang bersenjata. D ari mengu sir Peranggi tugas mereka berubah jadi menjaga tanaman terhadap gangguan Peranggi dan celeng. Ketertiban dan disiplin militer dengan cepat meruap jadi kecintaan pada panen di atas tanah yang subur m enghidupi itu.

Hanya dengan ancam an hukum an keras saja ia berhasil mem erintahkan telik-teliknya memasuki Malaka untuk mendapatkan keteran gan. D an betapa kecewa hatinya mengetah ui, Pribumi dalam negeri Malaka tidak mem punyai perhatian terhadap pembebasan negerinya sendiri. Bahkan mereka mulai berduyun-duyun menjadi N asran i, menjadi Peranggi itu sendiri.

Apa lagikah artinya segala usaha dan jerih-payah ini?

D an tak ada yang dapat mem bantunya berpikir. Kadang- D an tak ada yang dapat mem bantunya berpikir. Kadang-

D ari pengalaman selam a ini ia merasa hanya mendapatkan satu pelajaran: Peninggi tak akan datang untuk kedua kalinya di tempat ia pernah dikalahkan. D an pelajaran ini takkan dilupakannya selam a ia masih mengh adapinya.

D an apa yang dianggapnya sehagai pelajaran itu ternyata tidak benar seluruhnya. Portugis hanya mengutamakan

bandar-bandar pangkalan untuk dapat menyelamatkan pelayaran ke Maluku pulang balik. Ia tak mengutamakan luasnya daerah taklukan seperti Trenggono.

Apa yang terjadi di dalam tubuh kekuasaan Portugis sendiri? Para telik tidak tahu. W iranggaleng pun tidak.

Melihat serangan-serangan dari luar kota dapat diatasi, malah makin lama makin kendor kehabisan gairah, mengetah ui pula armada Jepara-D emak tidak ditujukan pada Malaka. Portugis mu lai memikirkan kembali rencana lama untuk menguasai sumber lada dari selatan .

Jatuh nya bandar Banten ke tangan musuhnya yang lam a, Fathillah, telah mem bikin kering aru s lada. Harganya di benua Eropa melonjak tinggi tiada terkendali, dua-tiga kali lipat itu pun m asih sulit didapatkan. Portugis telah m emberi penntah pada G oa, G oa pada Malaka agar segera mengisi pasaran Eropa dengan lada baru, sebanyak-ban yaknya.

Pedagang-pedagang sekongkol Portugis memberitakan arm ada D emak kini merajai Selat Sunda, melakukan apa yang dilakukan oleh Portugis di Selat Malaka, mengawasi kapal dan perahu yang meninggalkan atau mem asuki bandar.

Malaka telah mengirimkan sekongkol-sekongkolnya untuk menyelidiki apa sesungguhnya sedang terjadi di daerah Selatan D an Malaka mendapat berita: armada

D emak mu lai menutup lalulinlas laut dengan … bukan hanya Banten, juga Sunda Kelapa, sumber utama lada.

Beberapa kali penyelidikan dikirimkan. Hasilnya sama saja: Fathillah tetap tidak mem buka blokade.

W iranggaleng tidak tahu sama sekali tentang apa yang terjadi persoalan mu suhnya. Kesulitannya sendiri semakin menumpuk: kekurangan manusia dan peralatan. Kedua- duanya telah makin memerosotkan kegiatan kemiliteran, dan kedua-duanya tidak bisa diatasi. Betapa bisa menam bah kekuatan manusia? Prajurit setempat tidak ada. Kampung- kamp ung hanya terdiri dari empat-lima rumah dengan penduduknya yang menyandarkan penghidupan pada pertanian dan pertukaran barang semata-m ata. Mereka tak mem punyai kepentingan dengan penghalauan terhadap Portugis. Pemu da-pemuda kamp ung yang ikut bergabung merupakan keluarbiasaan. D an pemuda-pemuda itu kemudian dibenci oleh orang-orang sekam pungnya. Soalnya berkisar pada cemburu. Kampung-kampun g kecil itu kehilangan daya dalam m engimbangi kebutuhan asmara dari para pendatang yang sebanyak itu dan para pendatang yang dalam segala hal lebih unggul pula. D engan dukacita Hang W ira dapat ikut merasai perasaan cemburu. Makin banyaknya berita yang datang tentang gerakan balatentara

D emak, semangat para prajurit Tuban itu semakin merosot juga. Bila toh harus bertempur, lebih baik di Tuban, di negeri sendiri. D an semakin lama mereka bergaul dengan penduduk setemp at, semakin dalam mereka terlibat dalam soal-soal asmara. Maka prajurit-prajurit mu lai berubah jadi pengelana asmara dari kamp ung ke kampung. D an begitu seorang prajurit menikahi seorang perawan kampung, D emak, semangat para prajurit Tuban itu semakin merosot juga. Bila toh harus bertempur, lebih baik di Tuban, di negeri sendiri. D an semakin lama mereka bergaul dengan penduduk setemp at, semakin dalam mereka terlibat dalam soal-soal asmara. Maka prajurit-prajurit mu lai berubah jadi pengelana asmara dari kamp ung ke kampung. D an begitu seorang prajurit menikahi seorang perawan kampung,

berhasil menjauhkan pengelanaannya sampai ke tepi-tepi pantai. Ke kamp ung-kampun g nelayan yang lebih jauh. Dan begitu pernikahan terjadi, selesailah si jantan sebagai prajurit. Ia menjadi petani atau nelayan saja.

W iranggaleng tahu ia tak punya kemamp uan untuk mem bendung kemerosotan ini. Inti pengikatnya telah buyar karena Trenggono. Ia tahu juga: Malaka takkan bakal jatuh ke tangannya.

D aru salam menumpang kapal Bugis, dan tanpa singgah di Jawa

Pada meninggalkan

Banda

Aceh

mendarat di Makasar. D i sini ia m enumpang sebuah perahu Bali dan mendarat di Gresik. D engan perahu G resik ia menuju ke Tuban.

Bandar itu sunyi senyap. Tak ada seoran g pun kelihatan. Menara pelabuhan kosong tak terjaga. Kesyahbandaran pun sunyi. Pintunya tertutup dan dipasak silang dari luar. W arung Yakub terkunci dari dalam.

D ari kejauhan ia dengar sorak-sorai perang. Ia mendengar-dengarkan. Jelas bukan sorak-sorai balatentara Tuban, tapi D emak, Celaka! pikirnya.

kemungkinan ditangkap punggawa Sang Adipati karena dosa-dosa lama lenyap,

Kewaspadaan

terhadap

digantikan oleh kekuatiran kena sergap pasukan D emak. Ia rasai ke m ana pun pandang dilayangkan hanya mu lut maut juga yang menganga.

D engan sisa pikiran yang tercadang ia lari menuju ke Pecinan : Ternyata semua jalan masuk ke kampung asing, yang tidak dikenakan hukum Pribumi, terjaga oleh penduduknya dengan tombak aneh berjumpai-jump ai. Juga Pecinan mengangakan m ulut maut.

la batalkan niatnya dan lari ke menara pelabuhan. Cepat- cepat ia naik ke atas dan menyembunyikan diri, menganggap diri aman dan tak nampak oleh siapa pun.

D an siapa akan menengok ke menara yang jelas tidak ada apa-apanya?

Ia depiskan badan tipis-tipis pada geladak. Pada waktu itu ia merasa, setiap orang yang akan menem ukannya di situ itulah calon pembunuh nya. Betapa berubahnya manusia di masa perang! Semua yang mereka pelayan di perguruan dan pesantren, dan guru-guru, dari dongengan dan wayang dari Tuban dan manusia, dari kehidupan dan orang tua sendiri, ambyar tanpa makna.

Sebagai seorang pribadi, terlepas dari hubungan orang lain, Kini ia merasa sama sekali tanpa daya. Ia menyadari tak bisa mem bela diri. Puluhan ribu prajurit yang bersorak- sorak di kejauhan itu hanya punya dua perhatian: Jarahan dan korban. Mereka datan g bukan untuk berkenalan atau anjangsana tapi untuk mem bunuh dan hanya membunuh. Terlepas dari prajurit yang satu orang akan jatuh ke tangan yang lain.

Pada alias Mohammad Firman berseru-seru dalam tengkurapnya pada T uhannya, memohon perlindu ngan atas dirinya untuk sekali ini saja, karena dalam keadaan seperti itu ia merasa telah kehilangan kemamp uan untuk dapet melindun gi sesuatu, jiwanya dan ragan ya.

Ia mengintip dan melihat pasukan kaki Tuban berlarian tanp a atau dengan senjata dan sebelah barat Sebagian telah berlumuran darah. Mata mereka tak terang dan berpendaran ke mana-m ana mencari jalan paling dekat untuk meloloskan diri dari pengejaran Antara sebentar mereka menengok ke belakang D an sorak-sorai balatentara

D emak m akin lama m akin mendekat

Pasukan yang diburu itu mu lai melempar-lemparkan perisai yang m engganggu gerak. Ratusan orang yang diburu oleh kepulan debunya sendiri itu mengh adang ke jurusan timur lenyap dari penglihatan Pada.

Ia rasai jantungnya berdebar-debar kencang dan ketakutan yang am at sangat m enusuk seperti jarum panjang di dalam dad anya Tuhan, suruhlah balatentara D emak mengejar terus, terus, terus, dan melupakan aku. Setelah berdoa tanpa bunyi itu meruap dari pikiran nya tiba-tiba ia merasa tidak terkejar. Mereka juga masih ingin bertemu dengan manusia tercinta dan tersayang. Siapa yang mencintai dan menyayangi aku? Bahkan pikiran nya sendiri ogah menjawab, la gigit lengan nya untuk mem bunuh pikiran nya sendiri. Tuhan menjauhkan aku dari pikiran khianat.

D an di depan m atan ya kini melela pasukan kuda D emak yang beterbangan sambil bersorak-sorai seperti sedang mem buru tikus. Masing-masing mem bawa perisai dan tom bak yang telah siap di lemp ar atau dijojohkan. Ya, seperti petani-petani sedang mem buru tikus di sawah. Itukah wajah D emak yang selam a itu kum asyhurkan? Itukah wajahnya yang sesunggu hnya?

Sebagian kecil pasukan kuda itu mem belok ke kiri, mem asuki daerah pelabuhan.

Pada menggigil dan pantatnya bertepuk-tepuk keras tanp a semaunya sendiri. Ia sorongkan tangan pada dubur agar tepukan berhenti. Tetapi sesuatu yang merambat pada tulang belakang mem aksa pantat ini menggelom bang, mem ukuli tangannya, gelom bang demi gelom bang. D etapa mem alukan pantat ini. Betapa ketakutan diri yang terlepas dari kekuatan ini. Sekarang, sendirian dalam kepungan manusia yang sudah jadi lain Ini… aku hanya seekor

cacing. Ya Tuhan, bila kau tam atkan aku dari bahaya ini, cacing. Ya Tuhan, bila kau tam atkan aku dari bahaya ini,

Lima orang prajurit berkuda D emak mengelilingi tiang- tiang menara, melihat-lih at ke atas. Tangan Pada telah basah oleh air dan lumpur dirinya sendiri. Ia tutup matanya. D an waktu dibukanya kembali, dari sela-sela geladak ia lihat mereka mu lai meninggalkan daerah pelabuhan .

Sunyi-senyap sekarang. Pada berhenti menggigil. Tangan ditariknya dari dubur.

Seluar dan kainnya kotor. D alam keadaan seperti itu ia tak berani mengu capkan syukur pada Tuhannya. Setelah agak

tenang dan diduganya tangannya agak bersih dan lebih kering ia gerayangi semua bawaannya dan menarik selembar kain baru dari bungkusan. Ia jauhkan pakaian kotor dan kaki

D an sorak-sorai menggelomban g lagi dari kejauhan. Makin lama makin mendekat. D ari sebelah timur pasukan kuda berdatangan lagi untuk kemudian bertemu dengan pasukan kaki. Mereka mengerum un seperti gerom bolan semut.

Sorak-sorai kini padam. Kerumu nan itu mem bubarkan diri. Semua berlarian menyerbu masuk ke dalam rumah- rumah tak bersorak-sorai. Pintu yang terpasak didobrak.

D engan batu dan kayu dan gagang tombak semua yang tidak m embuka diri dirusak.

Ru mah kesyahbandaran dilindas oleh bondongan orang. W arung Yakub bedah hingga dinding-dindingn ya. Orang mengambil apa saja yang dapat diam bil, memasukkan jarah an ke dalam kain penggendong. Sorak-sorai berubah jadi makian dan tawa bahak.

Ternyata tak ada yang bernafsu untuk menggerayangi menara yang kelihatan jangkung dan miskin, gundul dan kering kerontang itu. Hanya tiang-tiang kurus dan geladak kering di atasnya dengan dinding rendah dan sebuah canang perunggu.

G elom bang prajurit D emak mulai menyerbu ke pelabuhan . G alangan kapal kemudian jadi api unggun, demikian juga gudang dan pasar pelabuhan. Orang riuh- rendah meninggalkan daerah pelabuhan dengan membawa jarah an masing-masing.

Sekarang Tuban Kota m endapat giliran. Malam jatuh. Penjarah an dilangsungkan di tempat-

tempat lain. Pada alias Mo hamm ad Firman telah lama dingin di

tempat.

0odwo0