Timbulnya Kerincuhan

12. Timbulnya Kerincuhan

W iranggaleng mengangkat bocah yang sedang bermain- main seorang diri itu dari tanah. Anak itu telanjang bulat

dan kotor seperti bocah-bocah di desa. Anak itu tertawa dan mu lai bicara dengan kata-kata

kurang jelas. Hidungn ya yang bengkung penuh dengan ingus. Juga matan ya yang bulat dilindun gi alis tebal ikut tertawa.

Ia ayunkan G elar ke atas kepalanya, dan anak itu menjerit riang. Ia sendiri pun jadi gembira karenanya.

“Mana emakmu ?” tanyanya walaupun tahu Idayu sedang di dapur.

Anak itu sementara ini melupakannya pada hancurnya arm ada gabungan. Armada sebesar itu! seindah itu! sekuat itu! Sekiran ya Peranggi sampai mem buru… pasti ia tidak akan bermain-main dengan G elar, anak istrinya ini. Peranggi tidak mem buru. Mereka mem belok ke kiri, mengh ujani daratan dengan sukun besi. Di bawah lindungan tembakan meriam mereka mengh alau dua belas Anak itu sementara ini melupakannya pada hancurnya arm ada gabungan. Armada sebesar itu! seindah itu! sekuat itu! Sekiran ya Peranggi sampai mem buru… pasti ia tidak akan bermain-main dengan G elar, anak istrinya ini. Peranggi tidak mem buru. Mereka mem belok ke kiri, mengh ujani daratan dengan sukun besi. Di bawah lindungan tembakan meriam mereka mengh alau dua belas

Ia turunkan G elar ke tanah, mengetah ui Paman Marta datang padanya, langsung bersimpuh dan menyembah.

G elar ia mendengus: “Husy. Bangun kau! Tidakkah kau lihat aku hanya seorang anak desa?”

D engan masih menggandeng tangan

“Sahaya, padu ka Wira.” “Husy.” tapi Pam an Marta tetap bersimp uh. Bertanya:

“Sahaya dengar Jepara kalah, paduka W ira.” “Bangun kau! Jangan aku kau bikin m alu.” Tukang kebun itu bangun, berdiri dan badan nya

dibongkokkan, kedua belah tangannya m engapurancang. “Jangan perlakukan aku sebagai ningrat, kau, bodoh. Ya,

Jepara kalah. Mau apa lagi?” “Hebat benarkah Peranggi, paduka W ira?”

“Apa itu paduka?” “Hebat benarkah Peranggi, bendara W ira? “Apa itu bendara? Ya, Peranggi mem ang hebat.” “Baru saja sahaya dengar, paduka W ira….” “Husy. Apa yang kau dengar?” “Setelah Peranggi mengalahkan Adipati Unus, rnereka

tidak mem burunya. Benarkah begitu, Wira?” juru gulat itu menganggu k. “Tadi, baru saja tadi, sahaya dengar Peranggi tidak mem burunya. Benarkah begitu, Wira?” juru gulat itu menganggu k. “Tadi, baru saja tadi, sahaya dengar Peranggi

Kening W iranggaleng mengernyit. Tanpa bicara ia serahkan G elar pada Pam an Marta. Ia langsung mem asuki gedung utam a untuk mencari Syahbandar Tuban. Yang dicarinya tiada. Ia bergegas turun ke jalan raya, menuju ke bandar. Juga di sana Syahbandar tak didapatkann ya. Justru pada waktu itu T holib Sungkar Az-Zubaid baru pulang dan masuk ke dalam gedungnya.

Ia datang Iagi ke Syahbandaran dan menemui Pam an Marta sedang m enggendong G elar yang sedang menangis.

‘Tuan Syahbandar sudah ada di dalam , W ira,” katanya sambil menunjuk dengan ibu jarinya ke arah gedung.

W iranggaleng m elompat masuk ke dalam . “Alham dulillah, akhirnya kau datang juga, W ira,”

sambut Syahbandar Tuban. Ia tetap berdiri di tempat, di belakang m eja tulis.

“Sejahteralah, Tuan. Benarkah Pasai telah jatuh ke tangan Peranggi setelah Jepara kalah?”

Tholib Sungkar Az-Zubaid menggeleng-geleng dan berkecap-kecap

menegakkan bongkoknya: “Rangmuda! Rangmuda!” sebutnya. “Berap a kali sudah kukatakan, Peranggi juga akhirnya menaklukkan seluruh dun ia. Lupa kau sudah ? Pasai jatuh, Wira. Benar. Selat sama sekali sudah dikuasai mereka sekarang ini. Kau mendatan gi mereka dan kalah. Aku ikut-ikut berduka-cita, ran gm uda! Apa boleh buat, akal diberikan oleh Allah kepada kita untuk dipergunakan. Terserah bagaimana manusia menggunakannya dan dapat atau tidak mereka menggunakan nya.” Kata-katanya memban jir seakan tak

tanp a tanp a

W iranggaleng pergi tanpa minta diri. Kekalahan itu masih memberati dirinya, kini pandangan rendah dari Syahbandar mem bakar hatinya. Pada suatu ketika kelak, tantangn ya dalam hati. Jawa dan dunia akan mendengar Peranggi akan dapat dipatahkan, dan Wiranggaleng akan ikut serta m elakukannya!

Syahbandar Tuban mengikutinya dengan pandangnya sambil menggeleng dan berkecap-kecap kasihan.

Begitu Syahbandar mu da turun ke tanah dan didapatinya Pam an Marta telah menunggunya mem bawa G elar yang meronta-ronta dalam gendongan.

D engan diam-diam ia ambil bocah itu dan digendo ngnya sendiri.

G elar terdiam. Anak itu telah lelah menan gis dan meronta. Matanya sayu, kemudian jatuh tertidur dengan

kadan g masih terisak. Ia masuk ke dalam kamar dan diletakkan si bocah di atas ambin.

Hatinya masih terbakar oleh berita tentang jatuhnya Pasai, tentang sambutan melecehkan dan cara Syahbandar Tuban itu m enyampaikannya! Ia dudu k tepekur. Kemudian ia pandangi G elar. Makin lama wajah itu makin menyerupai Sayid Habibullah Almasawa: bentuk kepala yang tipis, ram but yang mu lai mengeriting, mata yang bulat, dan terutama hidung yang bengkung. Hidung bengkung! Sayid Ulasawa kecil! Untuk kesekian kalinya ia mendakwa bocah yang tiada tahu sesuatu itu.

D an kesam aan itu mem ang tak mungkin ia dapat lupakan . Juga peristiwa kala si bocah itu untuk pertama kali mem asuki kamar ini…

0o-d w-o0

N yi G ede Kati mengira Idayu telah mati di ujung cundrik. Ia tidak tahu penari itu tertidur cepat tak terduga karena kelelahan dari ketegangan lama, tak ingat sesuatu apa lagi, seperti tak sedarkan diri.

Bekas pengurus harem itu masuk sambil melindungi si bayi dengan tangan, bersiap-siap menangkis setiap serangan

dari W iranggaleng. “Biar anak ini melihat ibunya untuk penghabisan kali,

W ira,” katanya.

D an bayi itu mu lai menangis. D an N yi G ede Kati mendiamkan nya dengan mendesiskan bibirnya.

“Mengapa untuk penghabisan kali, Ibu? Idayu sedang tidur nyenyak. Lebih baik jerangkan air untuk mem basuhnya. D ia lelah dan tak begitu sehat. Mari, biar aku gendong bayi itu.”

“Jangan!” N yi G ede menolak kontak dan dari matanya nam pak ia berjaga-jasa. “Jangan bunuh dia, Wira. Idayu berpesan, ‘Jangan biarkan dia dibunuh oleh Kang G aleng’.

D ia tak tahu apa-apa, W ira. Dia anakku sekaran g.” Ia biarkan wanita itu berjalan mengendap-endap

waspada mendekati Idayu, yang tergolek di ambin. Terdengar ratapannya, pelahan dan m enghiba-hiba: “Idayu, pujaan seluruh Tuban, Kamaratih Tuban, betapa celaka hidupmu, N ak.”

“D ia tidak celaka, dia berbahagia,” juara gulat mem betulkan.

‘Telah kau kumpulkan seluruh keberanianmu untuk mengh adapi hari ini,” ratapan itu diteruskannya, “untuk menerima ujung cundrik dari suami yang dikasihi dan dicintai.”

“Tak pernah ada cundrik pernah mengenainya,” bantah

G aleng. “Pergilah sudah seorang istri setia, penari tanpa duanya,

seorang wanita utam a, dikagumi semua orang. Idayu, ah, Idayu!”

“Jangan ganggu dia, Ibu, dia sedan g tidur,” tegahnya. “Kau bukan wanita pertam a menderita semacam ini,

Idayu. Manakah darahm u, biar kucium sebagai penghormatan dari semua yang mencintaimu ?”

“Tak ada darah keluar dari tubuhnya,” sekali lagi ia mem bantah, nam un tak dap at mencegah N yi G ede meneruskan ratapannya.

D engan satu tangan N yi G ede m eraba-raba tubuh Idayu, dan ia tak mendapatkan setetes darah pun. Ia mem beliak

padanya, menuduhnya dengan suara keras: “Keji kau, W ira! Keji! Tak kau beri sedikit pun kehorm atan pada Kamaratih Tuban! Tak kau antarkan dia dengan ujung cundriknya sendiri. Kau cekik dia seperti anak babi.”

“D ia tidur. Mengapa m esti kucekik dia?” W an ita itu melanjutkan rabaannya dengan satu tangan

pada leher Idayu. Ia dekatkan matanya pada leher itu dan baru diketahuinya wanita tergolek itu masih bernafas dan leher itu pun tidak cedera.

“D ia masih hidup. Kau takbunuh dia, W ira?”

“Mengapa aku mesti bunuh dia? Sediakan air hangat buat pembasahnya. Sini! Biar kulihat anakku.”

N yi G ede Kati lari keluar kamar menyelamatkan si bayi dalam gendongan. Dan ia tidak mengh alanginya.

D udu klah ia menunggui istrinya, merenungkan betapa banyak aniaya dalam kehidupan ibukota. Ia renungkan pula cerita Idayu tentang impiannya yang temyata kejadian sesungguhnya. Bayi itu bukan anakku. Orang-orang telah mem bicarakannya: Idayu terkena bius setiap habis pulang dari menari di kadipaten. Mereka tahu, mereka mem bicarakannya. Mengapa hanya aku yang tidak mau percaya? D an lelaki manakah yang bisa mem buktikan seorang bayi itu anaknya atau tidak?

Untuk kesekian kalinya kebakaran terjadi dalam hatinya. Ia pandangi Idayu yang lelap-nyenyak mendekati pingsan.

D ia tak bersalah. D ia telah bersedia menerima ujung cundriknya sendiri. D ia telah tubrukkan diri pada senjata itu asalkan tangkai sudah tergenggam oleh tanganku. Kalau senjata itu tak kulemp arkan, mu ngkin dia telah tewas. Mengapa yang menderita harus menerima hukuman? Mengapa bukan si penyebab penderitaan?

Ia melangkah tetap ke arah jagang senjata: tom bak- tom bak dan pedang. Ia telah rasai ujung senjata itu menyintuh jantung Syahbandar Tuban. Sampai di pintu terdengar olehnya titah Sang Adipati untuk menjaga keselam atan Syahbandar, untuk melindun gi jiwanya.

“Terkutuk!” sumpahnya. “Bedebah itu tak boleh aku punah kan.”

Ia sandarkan tombak pada dinding. Ia m emp rotes Hyang W idhi, mengapa janji kesetiaan pada Sang Adipati harus mem batalkan pelepasan dendam

terhadap mu suh- pribadinyua? Otot-ototnya menjadi tegang untuk dap at terhadap mu suh- pribadinyua? Otot-ototnya menjadi tegang untuk dap at

Tapi apakah aku bukan anak Tuban mendiamkan saja Sayid Habibullah Almasawa? Siapakah yang bisa salahkan aku kalau aku patahkan batang lehernya? Atau aku keluarkan hati dari dadanya dan aku remas di depan orang banyak, seperti dilakukan oleh orang-oran g sebelum aku mengu mandan gkan suara dendam purba: takkan kubiarkan langkahku terhenti di tengah jalan; lihat, telah kurem as hati penghalang jalanan ini!

Kedua belah tangannya menggigil dan keringat kebakaran mem basahi tubuhnya. Ia bangkit dan dengan tangan telanjang m enuju ke gedung utam a.

Belum lagi ia memiliki jenjang, seorang penunggang kuda dari kepatihan telah mem anggilnya. Tugas penting telah memerlukan tenaganya….

Tidak lebih dari sebulan setelah kedatangannya dan Malaka baru diketahuinya: tidak benar Peranggi telah

menaklukkan Pasai. Benar ada beberapa buah di antara kapal-kapalnya datang ke sana, tetapi hanya mencari lada dan kapur barus dengan paksa. Suatu keributan telah terjadi diikuti dengan perkelahian kecil di darat. Kemudian kapal- kapal itu balik kembali ke Malaka tanpa hasil.

Bukan itu saja. Juga pulau Sabang didarati. Sekelompok bajak, yang pada waktu itu sedang terpergoki, telah melakukan perlawanan dan disapu dari mu ka bumi. D ua Bukan itu saja. Juga pulau Sabang didarati. Sekelompok bajak, yang pada waktu itu sedang terpergoki, telah melakukan perlawanan dan disapu dari mu ka bumi. D ua

Orang m emberitahukan juga, kapal-kapal Portugis mu lai kelihatan di perairan Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, kemu dian juga di perairan Jawa sendiri.

Seruan Sultan Mahmu d Syah dalam pembuangan untuk mem boikot bandar Malaka nampak seakan masuk dalam hati para raja N usantara.

Tetapi pemboikotan sesungguhnya bukan karena seruan itu. Para raja N usantara mem ang gentar pada Portugis dan takut berlabuh di Malaka.

Sultan Mahmu d Syah sendiri tidak pernah jadi raja yang populer.

Selama kejayaan Malaka sikapnya terhadap para raja selebihnya angkuh dan tak sudi menggubris kepentingan bersama antar-m ereka. la menganggap semua mereka mem butuhkan Malaka, dan Malaka tak mem butuhkkan mereka.

Pemboikotan semu yang berjalan dengan sendirinya telah mem bikin Pasai jadi bandar pengganti Malaka. Maka

bandar yang telah kehilangan serinya dalam waktu satu abad belakangan kembali jadi bersinar-sinar. Maka orang pun mu lai menduga-duga, jangan-jangan Portugis kelak akan meramp as juga bandar ini untuk menyelamatkan Malaka, dan terutama untuk menggagahi Selat, urat nadi kemakm uran dunia. Malahan ada yang telah berani meram alkan: Kalau Peranggi belum juga melakukannya adalah karena m asih disibuki oleh perkara-perkara lain.

Pada waktu itu Portugis mem ang sedang sibuk mem asuki perairan Maluku dan N usa Tenggara, mencerai- beraikan armada-armad a dagang Tuban dan Blam bangan, mem bunuhi dan

mem binasakan pedagang-pedagang mem binasakan pedagang-pedagang

Pelayaran dan perdagangan antara Maluku dan Tuban merosot. Bandar Tuban menjadi lengan g. Pasar pelabuhan sunyi. Bangsal-bangsal pelabuhan kosong. Hanya ombak laut dan angin juga yang tetap sibuk dan riuh sendiri.

D an di seluruh negeri Tuban, tak lain dari Sang Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung W ilwatikta seorang yang tak habis-habis menyesali perbuatan nya sendiri. Sekiranya Tuban mem bantu Jepara dengan sejujur hati, mu ngkin Malaka telah jatuh dan Maluku tetap dalam mo nopoli pemborong dan pedagan g Tuban dan G resik atau Blam bangan . Maka bandar Tuban takkan selengang sekarang ini.

Sesal tiada guna: jatuhnya Malaka melamban gkan jatuhnya pelayaran dan perdagangan bebas seluruh N usantara. N asi telah m enjadi bubur.

Kapal-kap al Tuban hampir-h ampir tak berani lagi berlayar ke Maluku. Seperti digebah oleh badai mereka

bertaburan ke jurusan barat mencari lada di Banten, Sum atra Selatan , dan m engangkutnya ke Pasai.

Kapal-kap al Atas Angin seperti ditolak oleh taufan ham pir-hampir tak beran i mu ncul lagi di Tuban.

D an hanya pedagan g-pedagang T ionghoa tetap tenang di pangkalan dengan kapal-kapal masing-masing. Mereka tak

perlu menyinggahi Malaka. Tanpa rempah-rempah perdagangann ya dengan Tiongkok berjalan terus: kayu- kayuan, getah-getahan, dedaunan, dari laut dan darat…. Kesulitannya tetap bajak yang berpangkalan di Tum asik dan bertebaran di Laut Tiongkok Selatan. N amu n tak ada yang m emperhatikan m ereka dalam ketenangannya.

Keprihatinan Sang Adipati tak habis sampai di situ saja. Kejahatan mu lai bermunculan di sana-sini: perampokan, penganiayaan, pencurian dan pembunuhan. Kerusuhan meram bat dari bandar ke kota, dari kota ke pedalaman.

G alangan-galangan berhenti bekerja. Pekerja-pekerja galangan tak dapat lagi mengh arap kan upah.

G olongan pedagan g besar yang semua terdiri dari Pribumi Mu slim dengan cepat mem indah kan kapal- kapalnya ke bandar-bandar di sebelah barat. Bila mereka toh menetap di Tuban Kota, mereka berpindah kegiatan dari eksportir menjadi pedagan g kebutuhan pedalaman: ikan asin, trasi, garam. Mereka tidak ikut tenggelam dalam kemerosotan besar ini. D an dengan gagalnya penyeran gan atas Malaka mereka mu lai mengam bil sikap mem benci, mem usuhi, dan m enentang Sang Adipati Tuban.

Pendud uk yang masih mengu kuhi kepercayaan lama mengagumi kepintaran mereka dan dengan diam-diam mengh ormati dewa mereka. Tetapi ada juga segolongan kecil yang merasa jengkel terhadap kejayaan mereka. Penggolongan-penggolongan mu lai terjadi di antara penduduk Tuban: yang membenci Sang Adipati dan yang mem benci kejayaan golongan Islam. Pertentangan- pertentangan lunak kadan g terjadi. Lama-kelamaan yang lunak menjadi keras, yang kadan g menjadi sering, dan mu lut jadi gontok, dari gontok jadi bentrokan antar- golon gan.

Sang Adip ati Tuban dap at melihat, keuletan para pedagan g Islam akhir-kelaknya yang akan m enjamin, Islam juga yang bakal menggantikan agama lama. Pemeluk- pemeluknya punya kegesitan, punya kepercayaan pada usahan ya sendiri, terlepas dari karunianya, punya prakarsa dalam banyak hal. Mereka tetap dap at hidup jaya tanpa perdagangan antar-pulau dan tanp a menggarap tanah, Sang Adip ati Tuban dap at melihat, keuletan para pedagan g Islam akhir-kelaknya yang akan m enjamin, Islam juga yang bakal menggantikan agama lama. Pemeluk- pemeluknya punya kegesitan, punya kepercayaan pada usahan ya sendiri, terlepas dari karunianya, punya prakarsa dalam banyak hal. Mereka tetap dap at hidup jaya tanpa perdagangan antar-pulau dan tanp a menggarap tanah,

D ewa-dewa lama akan digantikan oleh dewa-dewa baru. Seluruhnya! Tak pernah nenek-moyangnya bercerita tentang kejadian ini. Pergantian dewa-dewa! D an dewa- dewa itu tak pernah beranjak dari tempatnya, tapi si manusia

sendiri yang bertubrukan untuk jadi penyembah nya yang terbaik, dewa pilihan. Ia benarkan putra-putran ya, dan siapa saja yang m enyembah dewa baru ini.

Tetapi kesimpulan itu tidak mengurangi kekuatiran nya akan marabahaya yang lebih keras: Portugis. Belum lagi raja lautan itu menginjakkan kaki di bumi Tuban, wajah Tuban sudah berubah, dari ramai menjadi lengan g, kesejahteraan mu lai runyam, laut pun sudah mu lai jadi sepi.

Mereka yang paling terjepit dalam suasana sempit itu tak lain dari prajurit-prajurit dari gugusan Banten, para pelarian dari Malaka. M ereka ditamp ung dalam asrama di luar kota. Kapal-kap alnya dikerahkan oleh Sang Patih untuk melakukan pengangkutan besar-besaran rempah-rempah dari Maluku dan tiga-tiganya telah diramp as oleh Portugis di Selat Banda. Mereka tak bisa hidup hanya dengan m akan dan minum.

D an pada suatu hari, seluruh asrama itu kosong. isinya hilang-lenyap tanpa bekas.

Perwira-perwira pengawal yang dikerahkan untuk melakukan penyelidikan hanya bisa menduga, bahasa mereka telah terhasut oleh Rangga Iskak, bekas Syahbandar Tuban.

D ari persembahan-persembahan Sang Patih, Sang Adip ati mengetah ui dengan pasti, bekas Syahbandar itu telah menggunakan kegelisahan um um untuk mencapai maksudnya sendiri. Oran g Melayu keturunan Benggala itu ia nilai sebagai banyak tingkah dan keterlaluan: ia mem ohon, mengeluh, memp rotes, menuntut ganti kerugian. Telah ia perintahkan agar bekas Syahbandar itu meninggalkan Tuban Kota dan ditempatkannya di pedalaman, mendap at kekuasaan

atas lima desa. N am paknya ia belum juga puas. Rangga Iskak masih juga mengajukan banyak perm ohon an. Telah diijinkannya untuk mendirikan perguruan untuk mengem bangkan agama baru itu. Masih juga ia mem ohon tambah an desa.

D alam dua tahu n mem egang lima desa itu telah menyebabkan desa-desa tersebut mendapat kemajuan

luarbiasa. Ia mengeluarkan aturan-aturan yang tak pernah dikenal selam a itu, yang menyebabkan penduduk desa bekerja dua kali lipat daripada biasanya. Perumahan didirikan lebih banyak. Saluran-saluran dibangun sehingga mem ungkinkan perluasan sawah. Huma dibuka tanpa

batas. Panen yang berlimpahan menyebabkan desa-desa yang miskin itu menjadi kaya dan sejahtera. Penduduknya menjadi patuh padanya.

D engan kepatuhan pendud uk padanya bekas Syahbandar itu m ulai memperlihatkan sikap yang m emusuhi Tuban.

D engan hati prihatin ia melihat, bahwa bekas punggawa itu mengibarkan panji-panji Islam untuk mem usuhinya. Ia tidak bisa menerima ini. Ialah yang mem benarkan oran g- orang Islam itu mendapat perlindun gan dari Sri Baginda

Bhre W ijaya Purwawisesa. Ialah pula yang mem pelopori persekutuan kerjasama dengan pedagang-pedagang Islam dari Atas Angin, mengakibatkan pembangkangan bupati- bupati pesisir terhadap Majapahit dan mengakibatkan keruntuhan kerajaan Buddha Tantrayana itu. Ialah pula yang mem benarkan putra-putranya masuk Islam dan berpihak pada Islam. Sekarang dengan panji-panji Islam pula seorang bekas punggawa, bekas Syahbandam ya, telah mengambil sikap memusuhinya.

Agama baru, pikirnya, kepercayaan baru, dewa baru, kekuasaan baru, pengaruh baru, meriam, Peranggi… semua

itu dirasainya sedang mengacuhkan ujung tombak tertuju pada dirinya.

Persembahan terakhir m embenarkan dugaannya: seluruh prajurit pelarian Malaka itu menggabungkan diri dengan Rangga Iskak di desa Rajeg.

Sudah berkali-kali ia mem anggil putra-putran ya di

D emak untuk dimintainya nasihat, dan untuk jadi juru pendam ai terhadap pembangkan g baru ini. Tak seorang pun

di antara mereka datang mengh adap. Pembangkang Islam hanya bisa diredakan oleh orang Islam pula, pikirnya. D an sekarang ia mengh adapi pembangkangan dari putra- putranya sendiri. Menjawab pun mereka tidak. Ia sudah sediakan alasan secukupnya, mengapa gugusan Tuban

terlambat datang. D an mereka tetap tidak muncul. Beberapa kali ia tergoda untuk mengirimkan

W iranggaleng ke D emak karena bagaimana pun putra-putra itu harus diyakinkan. Setiap ia ingat, kepentingan Idayu juga harus diperhatikan, ia selalu m embatalkannya. Ia harus mem berikan kesempatan lebih banyak pada penari tanpa tand ingan itu untuk menikmati hidup. Ah. Dia adalah perm ata Tuban yang harus dimuliakan. D esas-desus kegusarannya. Ia harus menelan kegusarannya: Sayid

Habibullah Almasawa adalah satu-satu kunci baginya untuk mendapatkan perdamaian dari Peranggi dan Espanya. Maka beberapa ia ulangi peringatannya pada Wiranggaleng untuk tidak m eletakkan tangan pada Syah bandar Tuban itu, biar apa pun kata orang tentang dirinya.

D an satu hal yang selam anya ia menjadi ragu-ragu: perang. Juga terhadap Rangga Iskak tak akan dikirim kan balatentara. Setiap terjadi perang dalam negeri di Tuban akan mem anggil D emak untuk menyerang. Boleh jadi

D emak tidak akan dapat dikendalikan lagi oleh Semaran g. Kalau dia tum buh menjadi kuat, mungkin Semarang akan

dipunggunginya, dan perjanjian dengan Ceng He dulu, bahwa orang-orang Tionghoa yang m endapat perlindun gan di Lao Sam, tentu harus ia binasakan bila Semaran g tak bisa mengendalikan D emak. Tapi tanda-tanda itu belum mem unculkan diri lebih jelas. Memang perampasan Jepara suatu permu laan, tetapi kekalahann ya di Malaka juga menyurutkan kepercayaan orang pada D emak. Hukum an itu sudah setimpal dengan kejahatan nya.

Tapi Sang Adipati tak pernah berani mengakui dirinya sebagai penakut. Ia rum uskan penakutnya sebagai kebencian terhadap perang – dan perang merugikan.

D an dalam menjalankan tugas untuk mengawasi Syahbandar Tuban, pada suatu kali teg’adi ini: Bulan

sedang m enerangi alam. Tengah malam. Syahbandar, yang diikutinya dari kejauhan, berjalan

seorang diri di bandar yang sepi itu. Ia berjubah genggan g. Tongkatnya terobat-abit sebagaimana biasa bila sedang berjalan seorang diri dalam kesepian.

Hanya desau angin dan deburan om bak yang terdengar. Bahkan wanita-wanita pelacur pun tiada. Mereka telah Hanya desau angin dan deburan om bak yang terdengar. Bahkan wanita-wanita pelacur pun tiada. Mereka telah

Tholib Sungkar Az-Zubaid langsung menuju ke dermaga. Antara sebentar ia menengok ke segala jurusan. Kemudian ia berhenti.

D an W iranggaleng yang berjalan agak jauh di belakangn ya melom pat ke tepi jalan, berlindun g di balik sebatan g pohon asam.

D ari laut sebuah biduk gemuk dikayuh orang empat. Hilang-tim bul di balik puncak om bak, kemudian terayun naik di puncak air dalam kegemilangan bulan. Bidu k itu menuju ke bandar. D an orang kulit putih mendarat. D ua orang yang di biduk mengacukan senjata api ke darat. Beberapa kali Syahbandar-muda menggosok m atanya, takut salah pengelihatan. Tapi pemandangan itu tidak menipu matanya. Ia dapat membedakan pakaian dua orang pendarat itu daripada kulitnya, juga membedakan nya dari kulit Syahbandar. D an jauh, jauh di tengah laut sana, sayup-sayup namp ak olehnya bayangan sebuah kapal Portugis dengan layar-layar tergulung.

Ia lihat dua orang pendarat itu bicara dengan Sayid Habibullah Almasawa. Sebentar saja. P endarat-p endarat itu kemudian turun lagi ke biduk dan mengayuh ke tengah laut lagi, menuju ke kapal.

W iranggaleng mengingat-ingat, baran gkali ia tak dengar taluan canang dari menara pelabuhan. Seingatnya canang itu tidak pernah dipukul pada waktu-waktu belakangan ini Mengapa penjaga menara itu lalai? Dan m engapa pendarat- pendarat itu segera balik lagi? Ada apakah semua ini? Apakah hubungan Syahbandar dengan mereka? D an adakah Sayid nanti mem persembahkan peristiwa ini pada Sang Patih?

Sam bil menduga-duga ia tunggu Syahbandar melewati tempat persembunyiannya. D an ia dapat menan gkap gum amnya, tapi tak mengerti maksudnya, terlalu pelahan, mu ngkin dalam bahasa asing pula, dan desau dan seru laut itu terlalu keras.

Setelah orang itu lewat dan menuju ke Syahbandaran ia berjalan cepat-cepat menuju ke m enara pelabuhan dan naik ke atas.

D id apatin ya dua oran g penunggu menara telah tidur nyenyak. Suatu gelom bang kemarah an menyebabkan ia mem andangi mereka. D an m ereka tak juga bangun.

Boleh jadi terkena bius juga, pikirnya. D an diperiksanya persediaan makan dan minum mereka. Ia baui, ia perhatikan di bawah cahaya bulan yang kurang terang itu. Tak ada bau yang mencurigakan. Ia gagapi pundi-pundi dan saku mereka. Juga tak ada sesuatu yang mencurigakan.

Ia turun lagi. D engan mengendap-endap ia masuk ke dalam gedung utama dan mengintip kamar kerja Syahbandar.

Orang itu sedang dud uk pada meja menulis surat. Di hadapannya terbuka selembar surat yang sebentar-sebentar dibacanya sebelum meneruskan tulisannya. Tarbusnya tergeletak di atas meja, dan warnanya belum juga berubah, masih tetap bagus seperti pada hari pertama ia

menginjakkan kaki di bumi Tuban. Biar pun aku am bil surat itu, pikirnya, tak bakal ada yang

bisa m embacanya. Biarlah. D an ia pun pergi pulang. Begitu ia terbangun dari tidurnya, segera ia pergi kembali

ke pelabuhan dan naik ke atas menara. D ua orang penjaga itu masih juga tergeletak dalam tidurnya. Ia tunggu sampai mereka terjaga. Matari sudah lama terbit. Perahu-perahu ke pelabuhan dan naik ke atas menara. D ua orang penjaga itu masih juga tergeletak dalam tidurnya. Ia tunggu sampai mereka terjaga. Matari sudah lama terbit. Perahu-perahu

D an kala sinam ya mu lai jatuh pada kepala mereka, m ereka mu lai bergerak-gerak, menggeliat, dan mem bukakan mata dengan malas.

Ia perhatikan mereka. D an ia lihat tapuk mata mereka masih tergantu ng berat. Mereka duduk malas di geladak dengan mata belum sepenuhnya terbuka.

Ia m endeham. M ereka menggeragap dan baru m enyedari adanya sepasang kaki di hadapan mereka. Diangkat pandang mereka ke atas dan tertumbuk pada mata W iranggaleng yang tajam mengancam dan wajahnya terbuka.

Berbareng mereka menjatuhkan diri di geladak dan mem ohon ampun.

“Keparat kalian!” sumpah Wiranggaleng berang dan menyorong kepala m ereka dengan kakinya. “Apakah kalian kira karena tak ada kapal datang kalian boleh tidur sampai begini siang?”

“Ampun, W ira. Tiada sahaya berdua sengaja tertidur samp ai begini siang. W ira selam anya dapati salah seorang di antara kami sedang berjaga. Ampun, Wira, ampun, am pun.”

‘Tak ada ampun lagi bagi kalian.” Mereka mencoba mencium kaki W iranggaleng, tetapi

Syahbandarmud a itu menendangn ya dengan gerakan kaki lemah.

“Bukankah W ira sendiri tak pernah dapati kami tertidur berbareng seperti ini?”

“Justru karena keteledoran kalian, tuan Syahbandar telah hilang entah ke mana. Mungkin diculik perampok….”

“Ampun, Wira. Kewajiban kami bukanlah menjaga keselam atan tuan Syahbandar. Hanya di sini…”

Ke dua orang itu masih bersujud di atas geladak untuk mendapat pengampunan. D an Syahbandar-muda tak juga mem berikan.

“Ya, tugas kalian mem ang meninjau kapal. D an kalian lalai. D i mana kalian lihat tuan Syahbandar untuk penghabisan kali?”

“Kemarin sore masih ada di atas m enara ini, Wira….” “Kemarin sore,” desak Syahbandar-muda.

“Betul. Masih ada di sini, W ira.” ”Apa diperbuatnya di sini?” “Hanya bercerita tentang Ispanya, W ira.” “Bangun kalian! Itu saja ceritanya?” “Betul, W ira. Tentang perawan-perawan Ispanya, W ira.

Katanya hidungnya mancung dan kulitnya putih seperti bawang, seperti pualam. Apa pualam itu, W ira?”

“Siapa yang tahu apa pualam itu? Mengapa tak kalian tanyakan padanya sendiri?”

“Katanya lebih cantik dari bidadari orang Jawa. Alisnya hitam tebal dan matan ya tenggali. G iginya putih laksana mu tiara. Tidak ada yang hitam seperti gigi perempuan Jawa dan Benggala perbegu. Tak ada bidadari bergigi hitam, katanya. Hanya iblis perempuan berhitam-hitam. Buh, hitam! katanya. Ia tertawa, mentertawakan orang yang senang bergigi-hitam.”

“Senang benar kalian dengarkan cerita tentang perawan Ispanya.”

“D ip erintahkannya pada kami untuk mem bayang- bayangkan,

D an pinggu lnya! katanya tuan Syahbandar, jangan sampai salah mem bayangkan. Rambut mereka, katanya lagi, hitam-kelam kebiru-biruan bila tertimpa sinar matari. D an kegenitann ya, Wira, katanya, kalau diputamya pinggu lnya, dan gaun nya mengem bang seperti cendawan, ditadahkan mu kanya pada langit bila dipuji kecantikannya… tak dapat oran g melupakannya seumur hidup, katanya. Benarkah itu, Wira?”

W ira.

“Tidakkah tuan Syahbandar menyuruh kalian melakukan sesuatu . Coba ingat-ingat.”

“Hanya mem bayang-bayangkan, Wira. Begini katanya, W ira: Lihat ke laut lepas sana, kalian penjaga menara celaka, pada suatu kali akan datang kapal-kapal Ispanya ke Tuban mem bawa perawan-perawan tiada tandingan itu, lebih cantik dari bidadari Jawa. Ayoh, lihat ke laut lepas sana!…. Kami meninjau ke kejauhan dan tak ada kapal nam pak. Tuan Syahbandar tertawa di belakang kami.”

“Mengapa tertawa?” “Mana kami tahu, W ira. Mem ang tak ada kapal. D ia

perintahkan juga kami mem bayang-bayangkan kapal-kapal itu. Lebih megah dari kapal Peranggi, katanya, penuh

dengan perawan-perawan Ispanya yang cantik. Apakah kalian tak mengh endaki baran g seorang? tanyan ya sambil terus tertawa di belakang kami.”

“Apa kemudian?” “Kami kira dia sedang mabok tuak. Setelah itu dia turun

dan pergi entah ke mana.”

“Kemu dian kalian makan,” W iranggaleng mendakwa. ‘Tidak, W ira. Kami asyik m embicarakan bidadari Ispanya.”

“Kemu dian kalian minum.” “Tidak, Wira. Kami bertikaian pendapat.” “Jadi kalian tak makan semalam-malaman itu?” “Tidak, Wira. Hanya minum. ” “Terlalu banyak tuak,” W iranggaleng mendakwa

lagi. “Tidak, Wira, tak pernah kami langgar larangan itu di sini. Kami hanya minum dari gendi, kemudian, entah bagaimana…”

“Makanlah kalian. Tentunya kalian lapar. ” Melihat dua orang itu ragu-ragu, ia mendesak lagi, “ayoh, makan dulu

sebelum aku bawa kalian m enghadap Sang P atih.” “Ampun, Wira,” mereka mencoba lagi untuk mencium

kakinya. “Makan, kataku!” perintahnya D an setelah mereka

makan m akanan yang setengah basi itu, ia mem erintah lagi, “minum segera sebelum kita berangkat, karena Sang Patih sedang di luar kota.”

Mereka minum dalam kegelisahan dan ketakutan. Tiada antara lama kelihatan tapuk mereka tergantung lagi, berat seperti hendak bengkak.

“W ira, ampun, Wira, ampun, ” mereka bergum am berat, kemudian menggelesot tidur di geladak.

Ia mencoba mem bangun kan mereka. Tak berhasil. Ia tuan gkan sisa air pada kepala mereka. Pun sia-sia.

Bisik-desus itu ternyata tidak keliru, pikirnya. D an obat bius itu sungguh-sungguh cepat dan kuat bekerjanya. Ia mengh ela nafas dan mengu cap syukur pada Hyang W idhi.

Betapa jadinya kalau Idayu dulu kubunuh? D ia telah teraniaya oleh oran g lain, dan aku pun menambahi penganiayaan itu, dan menganiaya yang tak bersalah. Idayu! Idayu! Mem ang Syahbandar itu patut aku binasakan. Kesempatan itu akan tiba jua, Sayid. H ati-hati, kau!

Ia bergegas menuruni tangga menara. D i tengah-tengah ia berhenti. Jauh nun di tengah laut sana m uncul layar salib dari sebuah kapal Portugis. Ia naik lagi ke atas. D ikocoknya matanya. Benarkah itu Peranggi dan bukan kapal Ispanya, yang Syahbandar menyuruh penjaga menara itu mem bayang-bayangkan?

Layar bersalib itu mengemban g pada beberapa bagian dan sedang menuju ke bandar. Pasti kapal semalam. D an sepagi ini sudah siap berlabuh. Canang menara ia pukul bertalu-talu. Penjaga-penjaga itu tetap nyenyak dalam tidurnya. Ia mem ukul terus sambil melihat-lihat ke bawah.

D an benar sebagaimana ia harapkan: Syahbandar turun dari gedung utama, berjalan tenang-tenang dalam pakaian kebesaran dan dengan ton gkat tergantung pada lengan menuju ke derm aga.

Ia berhenti mem ukul melihat Syahbandar meninjau ke atas menara sambil menggantungkan tongkat pada bahu, tapi kemudian berjalan terus.

Bandar yang senyap tiba-tiba menjadi ram ai. W anita- wanita berlari-larian mem bawa baran g dagangannya

menyerbu ke pasar pelabuhan , berebutan untuk mendapatkan tempat terbaik. Menyusul kemudian pedagan g-pedagang pria memikul buah kelapa, ayam atau menuntun kambing atau babi, baran g-baran g ukiran, buah dan sayur-mayur.

W aktu canang kadipaten telah menyam but, ia turun dan segera mengiringkan Syahbandar. Matanya terpancang W aktu canang kadipaten telah menyam but, ia turun dan segera mengiringkan Syahbandar. Matanya terpancang

Ia belum punya kesanggupan menyelesaikan persoalannya.

0o-d w-o0

Untuk pertama kali W iranggaleng ikut dalam iring- iringan orang asing mengh adap Sang Adip ati. Untuk pertam a kali ini pula ia m elihat orang kulit putih dari dekat. Mu ka mereka kemerah-merahan seperti jambu bol, langkahnya panjang-panjang dan tegap, bebas bicara seorang dengan yang lain, sehingga ia tak tahu pasti mana kepala dan mana bawahan. Mereka tak m elakukan sembah- menyembah. Seluruh badan dari leher samp ai mu ka dari pergelangan tangan sampai jari-jari terbuka. Semua tertutup dan keringat nampak mem basahi punggung mereka. Sebentar-sebentar mereka menyeka keringat leher dengan sepotong kain, kemudian mem asukkannya ke dalam saku baju. D an bila mereka bicara satu pada yang lain nam paknya tak m engindahkan orang selebihnya.

Berjalan paling depan adalah Martinique Lam aya. Di belakangn ya lagi enam orang perwira kapal. Di belakangn ya lagi Syahbandar Tuban. Paling belakang adalah dirinya.

Biasanya Syahbandar berjalan di kepala iring-iringan. Mu ngkin peraturan sudah berubah tanpa diberitahu kan Biasanya Syahbandar berjalan di kepala iring-iringan. Mu ngkin peraturan sudah berubah tanpa diberitahu kan

D engan ragu-ragu ia m ulai m enyimpulkan: mem ang ada hubungan rahasia antara Syahbandar dengan Peranggi. Kalau tidak mengapa kapal berlabuh setelah semalam mengirimkan penghubung dan tidak semalam itu juga? D an siapa yang begitu hina menyediakan diri jadi perintis hubungan ini?

W aktu iring-iringan melalui gapura, ia menyedari, kala makara gapura telah tiada. G erbang itu sendiri seluruhnya

telah berganti dengan balok-balok kayu tiada berukir. Sekilas ia teringat pada Borisrawa, pemahat dan pengukir tersohor itu. M emang sudah tak ada pekerjaan lagi baginya.

D ia harus pergi meninggalkan Tuban Kota. Tak bisa lain. Mu ngkinkah karena kebenciannya pada Sang Adipati ia menyediakan diri jadi perintis hubungan m ereka?

Pikiran itu pun ia tak dapat selesaikan.

D i penghadapan hanya W iranggaleng dud uk di kejauhan.

Orang-orang asing itu semua berdiri dan bertolak pinggang dengan sepatu tetap dikenakan. Syahbandar Tuban melepas terompahnya di atas anak tangga pendopo.

D an sekarang ia berdiri di pinggiran, di tempat yang biasa ditempati Rangga Iskak. Ia kelihatan lebih bongkok dan sekali ini nampak kehilangan wibawa.

Syahbandar-m uda merasa tersinggung oleh sikap tamu - tam u kulit putih itu. D an mereka malah tidak membawa sesuatu persembahan.

Tholib Sungkar Az-Z ubaid mempersembahkan pada Sang Adipati dalam Melayu, bahwa ini adalah untuk pertam a kali Peranggi mendarat di Tuban, maka mereka belum mengenal adat-kebiasaan bandamya dan adat- kebiasaan mengh adap. D engan lancar dan hampir-hampir menundu k ia memohon ampun dari Sang Adipati untuk pendatang-pendatan g baru itu.

Tertutup pemandan gannya oleh kaki para tamu W iranggaleng tak dapat m elihat perubahan-perubahan pada wajah gustinya. Terdengar olehnya oran g-orang Portugis mu lai bicara, keras, berat, dalam seakan suaranya langsung keluar dari dada. Mereka bicara pendek-pendek. D an Tholib Sungkar Az-Zubaid menterjemahkan: “Bukan maksud kami untuk berlabuh di Tuban. Kami sedang menuju ke Pasuruan atau Panarukan, tetapi sesat di jalan. N am paknya tujuan kami masih jauh. Maka kami mengu capkan banyak-banyak terimakasih mendap at perlindungan di bandar G usti Adipati. Berhubung salah jalan ini, G usti, m enyebabkan perhitungan kami juga salah. Tentang ini akan kami persembahkan nanti…”

“G usti Adipati Tuban, kami datang ke mana, ke Pasuruan atau P anaru kan, atau bandar-bandar lain di Jawa, bukanlah untuk urusan kekuasaan . Siapa pun di dunia ini telah mengenal Peranggi, karena dunia ada di tangan kami. Hanya pojokan-pojokan gelap berada dalam kekuasaan lain…. ”

“Terjemahkan yang betul!” tegur Sang Adipati gusar. “Mem ang tidak sedap untuk didengar, G usti,” tam bah

Sang Patih “juga berlebih-lebihan panjangnya.” “Patik telah terjemahkan dengan betul, G usti.” Martinique Lamaya bicara lagi dan Syahbandar

meneruskan: “Kami datang dan mem butuhkan beras, meneruskan: “Kami datang dan mem butuhkan beras,

“Tuan Syahbandar,” tegur Sang Patih, “bukankah untuk urusan kapal maka Tuan diangkat jadi Syahbandar? Bagaimana soal begini dipersembahkan pada G usti Adipati Tuban?”

Sekilas W iran ggaleng dapat melihat wajah Sang Adipati dari sela-sela kaki para tam u. Mu kanya merah-padam karena tersinggung. Sebentar saja:

Syahbandar tak meneruskan terjemahannya. Juga Martinique Lamaya diam. Pendopo sejenak sunyi-senyap.

Ia merasai ada sesuatu yang tidak beres. D alam kesenyapan itu terdengar pengiring Lamaya bicara pelan pada atasann ya. Sebuah percakapan terjadi antara mereka.

D an Sang Adipati berkata dalam Jawa pada Sang Patih: “Bagaimana pendapatmu , Kakang Patih?”

“Biarlah mereka meneruskan bicaranya, G usti. Mem ang mereka belum atau mem ang tidak tahu adat. Rupa-rupanya mereka belum pernah belajar mengh ormati sesam anya,” sembah Sang Patih.

G usti Adipati Tuban,” Syahbandar meneruskan. “Adapun pekerjaan patik mem ang mengu rusi semua yang berhubungan dengan kapal dan bandar.”

“Ampun,

“Maka layani tamu-tamu itu dengan baik dan penuhi kebutuhann ya.”

Adip ati Tuban meninggalkan tempat. D an oran g-orang Portugis kembali ke pelabuhan.

0o-d w-o0

Hari itu Martinique Lamaya dan semua pengiringnya menginap di gando k kanan kesyahbandaran. Wiranggaleng ditugaskan oleh Syahbandar untuk melayani.

Belum lagi selesai ia dengan pekerjaan nya di jalanan orang-orang perempuan berlarian meninggalkan pasar bandar sambil berseru-seru dan mem ekik-mekik ketakutan. Ia tinggalkan pekerjaannya dan lari mendapatkan m ereka.

“Mereka mengamu k, Wira! mereka, oran g-orang Peranggi itu!”

Ia lari ke bandar. D ilihatn ya suatu perkelahian telah terjadi antara serom bongan pedagang pelabuhan dengan

awak kapal Portugis. Beberapa orang Portugis lagi sedang mem andangi baran g dagangan pendudu k. Ayam-ayam pada beterbangan dan kambing pada berlarian lepas.

“W ira! Syahbandar-muda!” dua orang berlarian mengh ampiri. “Mereka merampas, mengamu k dan melukai.”

D alam Melayu W iranggaleng berseru-seru: “Peranggi, hentikan!”

Begitu selesai berseru-seru ia telah berada dalam kepungan beberap a belas orang P ortugis.

“Syahbandar-m uda bicara di bandarnya’ ia berseru dengan nada m emperingatkan. “Hentikan perbuatan kalian. Kembalikan barang-baran g yang kalian rampas!”

mengejek dan mentertawakannya. Kepungan makin merapat dan mereka mem perlihatkan sikap hendak m enyerang.

“Kembali kalian ke kapal kalian. Syahbandar-muda, W iranggaleng, sudah bicara. Kembali! Kembali!”

Seorang Portugis telah melayangkan tangan pada mu kanya. Ia tangkap tangan ito dan dipatahkannya perbukuan lengan nya. Satu pekik kesakitan melengking. Berbareng dengan itu penyeran gan umum dimu lai. Seorang lagi tertangkap oleh tangan besinya, ia pelintir, meraung seperti macan terkena tom bak. Ia melom pat sambil mem ukul dan menendang, mengebas dan menarik. Oran g- orang Portugis pun tiada kalah gesitnya. Pengeroyokan itu berjalan hanya beberapa detik. Kemu dian ia sempat menan gkap seseoran g pada tengkuknya dan ia tukikkan, kemudian ia angkat tinggi, dibantingkann ya di atas teman- teman nya sendiri.

Tubuhnya yang bergumpal dengan otot-otot terlatih itu nam pak mengem bang seperti sebuah pesawat dari baja. Ia rasai pukulan dan tendangan mengh ujani punggungnya. Beberapa kali kepalanya m enggeleng karena terkena tetakan dari samping kiri dan kanan. Ia biarkan pukulan dan tendan gan. Ia han ya hendak m eremu kkan seorang lagi yang dap at ditangkapnya.

Satu sambaran telah mencengkam lengan seseoran g dan orang itu ditariknya dan dihantamkan lututnya pada kemaluannya. Sekaligus orang yang pingsan itu ia pegangi kedua belah kakinya dan ia putarkan jadi baling-baling untuk mem bubarkan kepungan.

Melihat para pengepung mundur ia lepaskan korbannya, jauh melayang dan bergedebug jatuh di pasiran bandar. Kawan-kawann ya merubungnya.

“Kembali! Kembali ke kapal!” rau ng W iranggaleng. Tangannya menuding pada kapal Portugis yang sedang berlabuh.

Mereka mengangkat temannya yang tak bangun lagi itu.

D ua orang yang patah lengan berjalan meringis-ringis D ua orang yang patah lengan berjalan meringis-ringis

D an keadaan am an kembali. Lebu yang berkepulan lambat- lambat m ulai lenyap dibawa angin lalu.

Malam belum lagi turun dan Tuban telah mendengar segala peristiwa yang telah terjadi di pelabuhan . Bahkan lebih dari itu. D i mana-man a orang menyatakan perasaan tidak puas terhadap Sang Adipati dan Sang Patih yang telah begitu sabar menenggang Martinique Lamaya dan teman- teman nya. Mengapa mereka tak diusir saja? Bukankah bum i ini bum i Tuban dan bukan bum i Peranggi? Belum lagi mereka menaklukkan Tuban dan tingkahnya sudah tidak tertahankan. Betapa akan jadinya kalau… kalau…. Kebencian orang pada Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa mem uncak tidaklah seperti pada hari ini. D an orang pun semakin heran mengapa saja? D an mengapa Sang Adipati tidak juga mengijinkan dia menyarongkan kerisnya pada tubuh orang terbenci itu?

D an suara-suara itu ditutup oleh kesimpulan: Syahbandar-m udalah orang pertam a-tama yang telah

mencederai orang-orang Peranggi. Wiranggaleng! Tidak lain dari W iranggaleng! D an di Tubanlah mereka dicederai!

D i T uban! Lain lagi yang terjadi di kesyahbandaran. Pembesar-

pembesar kapal Portugis itu nampaknya tak tahu-menahu atau mem ang tidak ingin tahu tentang peristiwa di bandar.

Salah seorang di antaranya ingin mencoba tuak.

D an pergilah Syahbandar-muda ke warung Yakub, yang sudah penuh dikerumu ni langgan an, hendak minum dan hendak m endengarkan berita yang lebih baru.

Ia disambut dengan bersemangat oleh mereka. Pertan yaan jatuh bertubi-tubi. D an ia menerangkan segala Ia disambut dengan bersemangat oleh mereka. Pertan yaan jatuh bertubi-tubi. D an ia menerangkan segala

Seorang nakhoda Pribumi, yang duduk di pojokan, berdiri dan menghampiri. Berkata: “Kalau orang berpikir semua akan jadi baik lagi seperti dulu karena berbaik dengan

Peranggi, kita keliru, Wira, kita keliru. Keterlambatan Tuban ke Malaka tak dap at diamp uni. Orang-orang Islam benar: tak dapat diampuni. Mereka mengu tuk! Kalau semua tergantung pada kau, Wira, rupa- rupanya semua akan jadi beres.”

Seorang nakhod a Pribumi lainnya menam bahi: “Bukan adat Peranggi menjadi baik kalau dibaiki. D ibiarkan dia

merajalela, dibaiki dia jadi kurang-ajar. D ihantamlah dia baru manda, bukan W ira?”

“Tak biasanya dua orang nakhoda bertemu di satu warung,” tegur W iranggaleng.

“Kapal kami pada berkandang di Lao Sam, Wira. Tak ada pekerjaan.”

“Mem ang G usti Kanjeng Adipati Unus Jepara benar. Malaka harus direbut. Tanpa pangkalan di Malaka Peranggi

akan sudah lemah samp ai kemari,” nakhod a pertam a itu meneruskan. Suaran ya berkobar-kobar.

“Ya-ya, dan pelayaran dan perdagangan harus kembali bebas seperti dulu, W ira. Sayang G usti Kanjeng Adipati

Unus kalah walau pun benar. D an kau juga ikut kalah, W ira. Kita semua ikut kalah, kecuali G usti Adipati Tuban, baran gkali. Itu pun tidak. Buktinya tak ada sesuatu tindakan terhadap kekurangajaran tam u-tamu itu. Berani bertaruh, pembikin kerusuhan di bandar tak bakal ditindak oleh G usti Adipati.”

‘Tapi hari ini kau yang m enang, Wira.”

“Kalau tidak dicegah oleh aturan, kita semua sudah binasakan mereka, W ira,” nakhoda itu berkata lagi.”Lihat, mereka sudah melanggar adat bandar bebas, samp ai sekarang Sang Adipati tetap belum bertindak. Takut, Wira. Anak, W ira, di negeri mana pun takut menjadi bapa dari kezalim an, ibu dari kesewenang-wenangan.”

“Belajar dari saudagar-saudagar Islam, Wira, belajar dari orang-orang Islam,” seseoran g menambah i dengan gemas. “Kalau tidak, celakalah kita semua.”

“Kalau kita mengalah dan terus-menerus kalah begini, kapal-kapal kita akan terus nongkrong tanpa muatan,

tenggelam dalam kebosanan,” nakhoda itu meneruskan. “Aku kira orang-orang Islam juga sudah berlaku tidak

baik terhadap kita,” seorang nakhoda Pribumi bukan Islam menengah i. “Apakah bukan orang Islam yang merampas Jepara? Apakah bukan orang Islam yang sekarang mem bikin gaduh di pedalaman?”

W iranggaleng tahu , kalau percakapan ini diteruskan, orang akan bertengkar soal agam a. D an sekarang Peranggi

datang m embawa agama lain pula dan dengan perangainya sendiri pula. Apakah Adipati Tuban lebih baik dari semua orang dengan agamanya masing-masing? D ia pun tidak lebih baik. Patragading dan Pada telah dijatuhi hukum an mati tanpa jelas perkaranya.

“Hancurkan kapal Peranggi itu,” tiba-tiba seseoran g mem bakar-bakar gem as.

“Husy,” cegah Syahbandar-m uda. “Itu melanggar am anagappa. Bagaimana jadinya kalau kapalmu sendiri dihancurkan di bandar asing? D ih ancurkan tanpa sebab perang seperti tingkah Peranggi? Kalian sendiri tak suka.

D an di Tuban tidak ada perang.”

“Pembesar-pembesar kapal di kesyahbandaran itu patut digulung.”

“Lebih dari patut.” “Mereka sendiri yang mulai melancarkan perang.”

“Harus dijawab, W ira. Lihat, pembesar-pembesamya pura- pura tidak tahu.”

Pembicaraan. Matanya kelap-kelip seperti lamp u menara bandar di waktu hujan, ditujukan pada setiap oran g yang angkat bicara.

“Husy, husy. Mana tuaknya, Yakub?” Ia menerima enam lodong bambu tuak dan memikulnya

sendiri ke jurusan kesyahbandaran. Belum lagi samp ai di tempat, terdengar lagi olehnya

hiruk-pikuk di jurusan bandar. Ia berhenti, menyandarkan lodong-lodong pada pintu gerbang kesyahbandaran.

D icabutnya pikulannya dan lari ke arah keributan. Juga para pelaut berlarian meninggalkan warung Yakub menuju ke sana.

D i bandar namp ak hanya beberapa oran g. Tiga orang Portugis sedang mem ukuli dua orang yang terbelenggu

tangannya sambil berteriak-teriak minta tolon g. Teriakan lain adalah dari salah seorang Portugis dalam Melayu: “Ayoh, tam bahi dengan lima babi!”

D ari pakaiannya namp ak, dua orang yang sedang dianiaya itu orang-orang Muslimin.

Malam itu bulan sudah bercahaya. D an namp ak oran g- orang yang dipukuli itu sudah berlumuran darah.

D arah W iranggaleng tersirap. Ia tegah mereka. D an justru karenanya pentung mereka berpindah sasaran padanya.

“Lima babi!” Portugis yang lain ikut berteriak menuntut. Sebentar

Syahbandar-muda menan gkisi pukulan. Kemu dian menggeletar pekikannya: “Ini yang kau pinta!” pikulannya berputar menghantam tengkuk salah seorang Portugis yang paling jangkung.

terdengar

pikulan

D itariknya pikulan itu dan ditojohkan pada yang lain. Ia melom pat dan menyeram pang kaki yang ketiga. Mereka tergeletak berkaparan .

“Biar kami habisi!” teriak pelaut-pelaut yang pada berdatangan.

“Jangan,” cegahnya dan kepada dua orang teraniaya, “mengapa kalian dipukuli?”

“Kami telah antarkan sapi ke kapal mereka. Lima ekor. Mereka tidak mau terima. Katanya sapi-sapi itu terlalu kurus. Mereka minta tam bah babi lima. Bukan sedikit. Lima. Kami orang Islam, tidak berdagan g babi.”

“Kalian berdua pedagangn ya?” “Benar, W ira.” “D an m emang kurus sapi-sapi kalian?” “Bukan kurus, W ira, hanya kurus-kering dan ceking,

cacingan hampir mati.”

“D asar rakus!” Syahbandar-m uda m eludah ke tanah. Tiga orang Portugis itu digotong oleh pelaut-pelaut itu ke

derm aga, sedang dua orang pedagan g sapi yang rakus dirawat di warung Yakub.

W iranggaleng kembali ke syahband aran.

0o-d w-o0

Pada lengah malam baru ia dapat meninggalkan tugasnya.

D ahulu pekerjaan demikian selalu dilakukan oleh upahan: Yakub dan anak-buahnya. Sekarang ia ambil-alih sendiri untuk dapat memperhatikan Tholib Sungkar Az- Zubaid dengan kegiatannya. D an pada kesempatan ini baru ia melihat Syahbandar itu terlalu begitu merendahkan diri, hilang

selam a ini selalu dipertunjukkannya. Ia tak banyak bicara dan lebih banyak menganggu k-angguk. Hanya bila ditanyai ia membuka mu lut.

sikap besar

yang

Ham pir-hampir Syahbandar-muda menarik kesimpulan: ada hubungan antara atasan dan bawahan di antara mereka dengan Syahbandar. Tetapi ia belum berani meneruskan.

Baru saja ia masuk ke dalam kamar, datang pula Idayu dari dap ur. D an G elar telah tertidur di punggungnya.

“Betapa rewelnya tam u-tamu yang sekarang ini,” juara gulat itu m engadu pada istrinya. “Orang P eranggi pertam a- tam a, biasa dimanjakan di mana-man a. D i sini pun m ereka menganggap kita sudah taklukannya. Kurang-ajar!”

Idayu tak menan ggapi. Ia pindahkan G elar dari punggung ke atas ambin. Sam bil mengu ap ia berkata: “Sudah malam, Kang.”

“Sudah malam? Hampir pagi. Sebentar lagi ayam akan berkeruyuk,” ia duduk dan m encoba berpikir tanpa bantuan

pendapat oran g lain tentang kedatangan Portugis yang mencurigakan itu.

Idayu telah tertidur di samping G elar. Tak mu ngkin kapal ini singgah karena tersasar. Sebelum

berlabuh mereka telah mengadakan hubungan dengan Sayid Habibullah. Juga tak mu ngkin datang untuk berlabuh mereka telah mengadakan hubungan dengan Sayid Habibullah. Juga tak mu ngkin datang untuk

Ia berpikir dan berpikir. Kokok ayam pertama mu lai terdengar. Ia minum dari

gendi dan dud uk lagi pada tepian am bin. Boleh jadi mereka sedang melakukan pelayaran

penjajagan. Mereka sedang mengintip-intip Jepara dari kejauhan. Mereka mencari-cari berita tentang kegiatan Adip ati Unus dari bandar-bandar terdekat. D an bila m ereka sudah melakukan penjajagan, pasti mereka akan menyerbu pada suatu kali oran g tak mem perkirakan. Kalau Jawa kalah, Peranggi akan berkuasa mu tlak atas rempah-rempah Maluku tanpa saingan. Semua jalan ke Maluku dan M alaka telah jadi miliknya.

Tapi Tuban akan bertahan. Boleh jadi bukan mereka yang akan da tang ke Tuban, Tubanlah yang akan datang pada mereka di Malaka. San Adipati harus mengerti. Kesalahan yang lewat harus dibetulkan. Adipati Unus temyata benar, walaupun gagal. Sang Adipati yang salah. Orang-orang Islam semakin mem perlihatkan permu suhan terhadap Sang Adipati. D an kalau Sang Adipati tak cepat- cepat mengu bah sikapnya, boleh jadi Tuban akan semakin merana, mu ngkin sampai mati.

G elar terbangun m enangis minta minum.

0o-d w-o0