A rus Balik

44. A rus Balik

Selesai ucapan pernyataan kemenangan rombongan Senapati berpacu ke selatan meninggalkan Kota. Mereka:

Senapati dan para pemimpin pasukan. Mereka langsung menuju ke sebuah bukit kecil, turun dari kuda masing-

masing, duduk m enghadap Senapati. Tempat itu terlindung oleh semak-semak telekan dan

dipayungi oleh pokok laban. Beberapa saat laman ya mereka semua menunduk diam -

diam dalam ucapan syukur. Ketenangan sekitarnya dan kecerahan alam m embikin suasana menjadi syahdu.

“Aku bawa ka lian ke mari,” Sang Senapati memulai, “karena ada sesuatu yang kalian patut ketahui. Kita telah

kalahkan Peranggi dengan penyeran gan cepat dan mendadak. Kalian harus ketahui watak mu suh yang sangat berbahaya ini: mereka hendak mengu asai urat nadi kehidupan – kehidupan hanya untuk diri mereka sendiri, dan semua harus mengabdi untuk kepentingan itu, dan: mereka tak sudi kalah untuk kedua kedinya. Mereka takkan datang lagi ke Tuban, bukan saja karena telah dikalahkan di sini, juga karena nadi-kehidupan telah dialihkan dari Tuban ke tempat lain. Peganglah ini sebagai ketentuan.”

“Jangan bosan-bosan mendengar kata yang sering kuulang ini: kemenangan ini belum banyak artinya, selam a Peranggi menguasai jalan rem pah-remp ah, merekalah yang mengu asai dunia, dan kita hanya menduduki pojokan yang gelap,” ia teringat pada kata-kata lamanya.

Senapati mengangkat telunjuk mem beri peringatan: “Makin kuat mereka menguasai jalan remp ah-rempah, Senapati mengangkat telunjuk mem beri peringatan: “Makin kuat mereka menguasai jalan remp ah-rempah,

“Senapatiku!” Banteng Wareng angkat bicara setelah beberapa saat Senapati berdiam diri sambil mengu nyah sirih. “Bagaimana mengh alau m ereka?”

“Tunggu,” tegah W iranggaleng, “biar aku ceritai kalian.

D ahulu, di jaman kejayaan Majapahit, aru s bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit

adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di mu ka bumi ini. Kapal-kapalnya, mu atann ya, manusianya, amal dan perbuatann ya, cita-citanya – semua, itulah aru s selatan ke utara. Segala-galanya datang dari selatan . Majapahit jatuh. Sekarang oran g tak mampu lagi mem buat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil

menyebabkan aru s tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, mem bawa segala-galanya ke Jawa, term asuk penghancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak m empunyai sama

sekali.” “Tidak mu ngkin. Senapatiku!” bantah Kala Cu wil.

‘Tidak mu ngkin – asal kalian mengu asai jalan laut lagi. Selama mereka yang mengu asai, mereka takkan menenggang kapal kita, akan menghancurkannya sama sekali. Sam pai kita dibikin tidak beranjak dari dusun kita sendiri di pesisir dan gunung.

“Aku telah ceritakan pada kalian jahatnya arus balik dari utara ke selatan . D alam hidup kita, ada seorang yang bukan “Aku telah ceritakan pada kalian jahatnya arus balik dari utara ke selatan . D alam hidup kita, ada seorang yang bukan

G usti Kanjeng Adipati Unus. Mulialah beliau sepanjang jaman. Beliau adalah perpadu an antara brahm ana dan satria, seorang aulia yang akan dihormati samp ai akhir jaman. Itu sebabnya bukan suatu kebetulan lambangnya berbentuk kupu-tarung.”

“Mengapa kupu-tarung? D ua ekor kupu bertarung adalah lambang dua kekuatan, dua aru s yang sama-sama lebih yang sedang berbenturan, bukan berkasih-kasihan, mem perebutkan kasih dan madu dari sang bunga, sari kehidupan. Kedua-duanya sama indah di hadap an sang surya, sama tergila-gila pada kemampuan sayap sendiri, sama lemah terhadap perkisaran angin, sama berasal dari ulat yang hina-dina.

“Sebenarnya kupu yang satu, kita ini, sama sekali tak perlu kalah karena lawannya juga tidak kuat. Kalian telah dap at halau Peranggi dari bumi kalian. Bagiku, kita lebih banyak baru menan g atas ketakutan terhadap mereka, daripada menan g atas Peranggi itu sendiri. Kita belum mengalahkannya sam a sekali dari jalan laut.

“Jangan sela aku. Biar dap at kuteruskan dengan tenang. “Kalau kupu yang satu itu, arus selatan itu, kalah, bukanlah karena kupu Peranggi, arus utara itu, lebih kuat. Hanyalah karena kupu yang satu itu dun gu, tak tahu tentang diri dan persoalannya. D ia hindari Peranggi, arus utara itu, dengan berbagai dalih dan kegiatan. D an bila kegiatan itu justru seperti dilakukan oleh Trenggono, Jawa dan Nusantara akan tenggelam. Surya akan segan mem berkahi dengan sinarn ya yang mengh idupi.”

“Benarkah sikap dan perbuatan kita terhadap D emak?” Banteng W areng bertanya.

“Itulah teka-teki buah si malakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati,” jawab W iranggaleng sedih. “Kalian hadapi D emak, kalian menjadi lemah di hadap an Peranggi, kalian tidak hadapi, kalian dilindas olehnya dan jadi lemah juga di hadapan Peranggi”

“Mem ang persoalannya tak lain dari mengh adapi Peranggi,” Banteng W areng mem betulkan pertanyaan nya.

“Bagaimana harus mengh adapi Peranggi, Senapati?” sekarang Kala Cuwil bertanya.

“Majapahit telah mem berikan jawaban pada kalian: kesatuan N usantara. Singosari telah mem berikan jawaban:

kesatuan N usantara. Bukankah Singosari telah memberikan jawaban terhadap ancaman kaisar dari utara dulu: kesatuan N usantara! D an dikirimkan Raden W ijaya untuk usaha penyatuan itu? Mem ang pernah dulu ada seorang G ajah Mada yang dapat melaksanakan cita-cita Sri Bagin da Kartan egara dari Singosari dan Raden Wirang dari Majapahit…”

“Engkaulah G ajah M ada!” Kala Cuwil berseru. “Senapatiku, kaulah G ajah Mada!” Braja memperkuat

“Kami semu a sependapat!” Rangkum m enambahi. “Tidak bisa lain,” bisik Banteng W areng seperti doa. Sang Senapati menunduk. Orang melihat gelom bang

dukacita menyaputi wajahnya, dan semu a menjadi terdiam. Semua menunduk seperti kembali mengu langi upacara

syukur. Rasa-rasanya nafas sendiri pun dapat didengar. “G ajah Mada dimun culkan tidak di jaman kita. Kalian

wajib mengetah ui. Pada waktu itu hanya ada satu kerajaan yang kuat, dan kerajaan itu mempunyai cita-cita. Kerajaan yang kuat sekarang adalah D emak, memp unyai balatentara wajib mengetah ui. Pada waktu itu hanya ada satu kerajaan yang kuat, dan kerajaan itu mempunyai cita-cita. Kerajaan yang kuat sekarang adalah D emak, memp unyai balatentara

G ajah M ada.” “Setelah Trenggo no melancarkan gerakann ya yang

dun gu, tak seorang pun raja di N usantara menaruh kepercayaan padanya, tak ada kekuatan gabungan bisa dibina – karena jaman kita ini mem erlukan kekuatan gabungan sebagaimana dicita-citakan G usti Kanjeng Adip ati Unus. Mulialah nam a beliau sepanjang jam an.”

“Ingatkah kalian pada sejarah lahirnya armada Jepara-

D emak? Beberapa kerajaan di Jawa dan seberang telah bersumbang untuk pembangunan itu. Akhirnya armada megah itu digunakan Trenggono bukan untuk kepentingan N usantara, hanya untuk menguasai Jawa. Sejak itu tak akan ada lagi raja yang bisa diajak bersekutu dan bergabung kekuatan. N asib Jawa dan N usantara telah ditentukan.”

“Kaulah G ajah Mada!” ulang Kala Cuwil. ‘Tidak. Aku hanya seorang anak desa bernam a G aleng-

tahu takkan mampu mem bendung perkembangan kemerosotan ini. Pengalaman Malaka yang terakhir adalah bukti tak terbantahkan. Boleh jadi akulah saksi hidup bagaimana satu balatentara telah jadi rusak dan merosot karena kehilangan pegangan. ”

Ia mengangkat kepala dan mem andan gi Kala Cu wil: “Kau, Kala Cu wil, kau yang tertua di antara semua kepala pasukan, lepaskan destarm u dan gelar di hadapan kita.”

Kala Cu wil terheran-heran dan mem andan gi Senapati dengan mata bertanya-tanya.

“Tidak, bukan untuk mengu rangi kehormatanm u.”

D engan ragu Sang Patih melepas destar, menggelarn ya di hadapan W iranggaleng dan merapikan ujung-ujungnya yang keriput.

“Hanya melepas destar pun kau ragu-ragu, Sang W irabumi,” tegur W iranggaleng. “Lebih banyak lagi yang bakal dipinta dari dirimu.”

“Senapatiku.” “N ah, dengarkan baik-baik sekarang. Jangan sampai

sepatah kata pun terlupa atau tiada terdengar oleh kalian, karena aku takkan m engulangi lagi.”

“Senapatiku!” pekik Rangkum. “D engarkan !” perintah Senapati. ‘Telah aku baktikan

masa mu daku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biar pun hanya secauk pasir untuk ikut mem bendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan Sultan

D emak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakann ya. Arus tetap datan g dari utara, yang selatan tetap tertindih. Ya, D ewa Batara, kau tak beri aku kekuatan untuk menyedarkan raja dan sultan sehingga jadi gelom bang raksasa, bukan sekedar yang m endesak arus balik dan utara, bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga kelangsun gann ya untuk selam a-lam anya. G ajah Mada, anak desa itu telah berhasil. Ia gerakkan tangann ya dan semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selam a-lam anya, meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbak- imbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan

G ajah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri dan terhadap diri sendiri.

“Jam an G ajah Mada, jaman anak desa dapat mengedepankan pendap atnya pada Kaisar, telah lewat. Kita tak pernah lagi punya Kaisar selam a ini. Raja-raja semakin jadi kedi dan anak, anak desa jadi lebih kecil lagi.

“Aku menyedari tak ada kemamp uan mem bendung arus utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah orang yang paling menderita karena kesedaran ini. Jam an bukan hanya tak mem bantu, bahkan melawan kita. Itu sebabnya akan kutinggalkan pada kalian, dan semua kuserahkan pada kalian.”

“Senapatiku!” Banteng W areng m enyela. “Aku sadar tak ada kemamp uan untuk pekerjaan besar

itu. Aku tak ada kemampuan mempersatukan raja-raja dan para sultan. Itu sebabnya akan kutinggalkan kalian, dan semua kuserahkan pada kalian. Setelah ini kalian haru s atur dan urus semua tanpa aku. jangan berdukacita, karena surya enggan mem ancarkan rahmatn ya pada yang berdukacita.”

W iranggaleng melepas bungkusan di punggung dan meletakkan di hadapannya. Semua mata mengawasi

bungkusan itu. “Lihatlah ini,” katanya lagi dan mem buka bungkusan,

dan meletakkan isinya satu per satu di atas destar Kala Cu wil, “cincin, kalung, destar, kain, ikat pinggang, tilam,

semua bertanda kupu-tarung. Hanya kasut tidak ada, hilang karena keteledoran pembawanya. N ah, ini gelang,” kemudian Senapati menarik keris dari pinggang, “dan ini keris bersarung dan berbulu mas dengan kupu-tarung pula. Kalian tahu lambang siapa ini. Jangan pegang. Lihat saja baik-baik.”

D an semua menjalankan apa yang diperintah kan.

“Kutinggalkan dan kuserahkan semua ini pada kalian – peninggalan G usti Kanjeng Adip ati Unus, melalui G usti Ratu Aisah, melalui Pada alias Mohammad Firman, melalui aku, Wiran ggaleng, Senapati Tuban….

“N ah, kalian, empat oran g, masing-masing pegangi sudut apa yang diperintahkan. Benda-benda itu menggelantu ng di tengah destar.”

“Pegangi terus dan jangan lepaskan. Barangsiapa di antara kalian,” ia pandangi para pemimpin pasukan itu seorang demi seorang “dapat mem ahami kata-kataku, mem ahami arus utara dan selatan , dap at menyelami arus balik dan pesan G usti Kanjeng Unus, ambillah dan pergunakanlah semua peninggalan itu. Tegakkan Tuban, usahakan mengu sir Peranggi dari jalan laut, Pasai, Selat, Semenanjung, Malaka dan Maluku. Lepaskan arus selatan ke utara bergelom bang-gelom bang sepanjang jaman.

“Perhatikan baran g-barang itu dan jangan perhatikan W iranggaleng, Senapati kalian. Wiranggaleng sekarang sudah tidak ada. Sekarang dia hanya seorang petani bernam a G aleng. Tinggallah kalian dalam kerukunan, karena perpecahan adalah pembunuh kalian yang pertama. Aku akan pergi dan jangan kalian cari. H anya bila Peranggi datang lagi, Wiranggaleng akan datang untuk mem usnahkannya.”

Senapati itu berdiri. Ia tinggalkan kepala-kepala pasukan yang masing-m asing mem egangi ujung destar Kala Cu wil. Ia melompat ke atas punggu ng kuda, dan kuda itu melangkah pelan-pelan menuruni bukit, kemudian berpacu ke selatan .

Tiada antara lama seorang penunggang kuda lain berpacu, lebih cepat lagi dan mencoba mengejarnya. Yang dikejar terus berpacu tanpa menengok. Sesampai di Tiada antara lama seorang penunggang kuda lain berpacu, lebih cepat lagi dan mencoba mengejarnya. Yang dikejar terus berpacu tanpa menengok. Sesampai di

G aleng mengh entikan kuda dan menengok. D ilihatn ya seorang prajurit Tuban berkuda datang menghampiri. Seluruh badannya telah bersalut debu.

Prajurit itu m elom pat turun, berjalan berjongkok dengan cepat dan mengangkat sembah mendekati kaki kuda Senapati. Suaran ya gemetar dan meletup-letup jadi pekikan tak terkendali: “Senapatiku! Bapak! Tiadakah aku patut lagi bersujud padamu dan mencium kakimu?”

“Siapa kau?” “G elar, Bapak, anakmu .”

“Kuterima sujud dan sembahm u dari atas kuda ini,

G elar. ” “Senapatiku, Bapakku, adakah aku,” ia terhisak-hisak. “Aku, aku, aku m asih patut jadi…,” hisakannya semakin

keras, “jadi, jadi, jadi anakm u?” “Kuberikan restuku padamu setiap saat kau teringat

padaku dan melakukan segala yang baik dan benar, yang tidak mendatangkan kutukan dari Maha Buddha,” jawab

Senapati dari atas kudanya dengan pandang terarah lurus ke selatan .

“Tidak patutkah aku mendapat kata lebih banyak lagi, Senapatiku? Bapakku?” kembali ia terhisak dengan

punggung terangguk-an gguk ke atas. “Segala yang telah kulakukan selam a ini sudah bersuara

dan bergema dan bergaung dalam hatimu. Engkau sudah tahu dan mengerti.”

“Ya, Bapak.”

“Ciumlah kakiku, dan kembali kau pada pasukanmu. Patu hlah pada suara dan gaung hatimu. Wiranggaleng bukan Senapati, dia hanya petani biasa. Kutunggu kau di desa, setelah segala yang kau citakan tercapai”

G elar berdiri mem bungkuk, melepas sembah, mem eluk kaki kiri penunggang kuda itu dan m enciumn ya.

Beberapa bentar kemudian G aleng merenggutkan kaki, menggerakkan kuda, berpacu terus ke selatan .

G elar tertinggal bersujud di atas tanah dan menangis- meraung sekerasnya sampai suara dan airmatanya habis.

D engan punggung masih terangguk-anggu k karena hisak ia bangun , berdiri dan mem eluk leher kudanya.

“Sultan, ” sebutnya, “tinggal kaulah sekarang padaku. Seorang demi seoran g telah pergi daripadaku. Tak seorang pun mengajak aku. Sultan, bawalah aku ke mana kau suka.”

Ia naik ke atas kuda tanpa mengindahkan sesuatu . Ia turun lagi dan melepas kendali dan abah-abah, dan dibuangn ya ke rumputan. Kuda itu telanjang seperti bukan kuda balatentara. Ia naik lagi. D an kuda itu berjalan lambat-lambat sekehendak hatinya.

G elar terundukkan ke bawah, bahkan mengiringkan Senapati dengan pandangnya pun tidak.

Mata

Senapati itu sendiri terus berpacu ke selatan . D i sebuah jalanan hutan ia berhasil menyusul Idayu dan Kumbang

dan turun dari kuda. “Bapak!” seru Kumbang. W iranggaleng m engangkatnya dan m enaikkannya di atas

punggung binatang itu. Ia berjalan di samping Idayu, pelan- pelan tanpa bicara.

“Bapak ikut pulang ke desa?” tanya Kum bang. “Ya, N ak, ikut pulang,” jawabnya. Idayu melirik pada suaminya. Hanya sekilas. “Mak, Mak, Bapak ikut pulang.” “Ya, N ak, biar sekali-sekali menengok rumah,” jawab

Idayu dan melirik pada suaminya lagi. “Kau tak mem bawa perlengkapan perang, Kang?” ‘Tidak.” “D emak setiap waktu m enyerang lagi, Kang.” “Sekarang G aleng hanya petani, Idayu. ” Idayu berhenti berjalan dan mem egangi tangan

suam inya, mem andanginya dengan mata berkaca-kaca. Mereka berbisik-bisik, kemudian berjalan lagi, makin lama makin jauh memasuki daerah hutan dan hilang di balik kehijauan abadi….

D emikianlah cerita tentang seorang anak desa lain yang mengem ban cita-cita menah an arus balik. Berbeda dari anak desa yang lain, yang seorang ini tidak berhasil, patah di tengah jalan, namun ia telah mencoba.

0odwo0

Penutup

Sylyester da Co sta tak dapat m elupakan pengalamannya.

D i Tuban waktu balatentara Portugis terjebak oleh tipuan balatentara Pribumi. Peranggi telah terpancing oleh api unggun raksasa dan ledakan , lengah keheran an. D an sebelum tahu pasti apa sedang terjadi, balatentara Pribumi datang dari kegelapan , menyam bar-nyambar seperti elang D i Tuban waktu balatentara Portugis terjebak oleh tipuan balatentara Pribumi. Peranggi telah terpancing oleh api unggun raksasa dan ledakan , lengah keheran an. D an sebelum tahu pasti apa sedang terjadi, balatentara Pribumi datang dari kegelapan , menyam bar-nyambar seperti elang

Fran cisco de Sa kebetulan sedang berlayar ke Maluku. Pengawalan meriam dari laut tak ada. D ibandin gkan dengan di Banda, pertahanan Peranggi di Tuban sunggu h- sunggu h lapuk.

“Berbahagialah de Britto,” tulis Sylyester da Co sta, “berbahagialah Antonia G alyano. Celakalah kami.” Tulisnya selanjurnya dalam buku hariannya: Aku kira hanya beberapa belas orang saja dapat melarikan diri ke timur, hanya untuk dapat m encari kuburannya sendiri yang agak lebih jauh dari teman-teman nya.

Prajurit-prajurit Pribumi mem buru kami tanpa ampun. Aku sendiri terguling di pinggir jalan, kemudian merangkak menjauh. Tak mampu melarikan diri lagi. Sepucuk anak panah telah menem busi pahaku. Masih beruntung tidak terkena nadi karan gan maut. Setiap gerak mendatangkan nyeri tak tertahankan. Anak panah itu terbuat daripada bambu, matanya dari tulang, entah babi entahlah sapi. Entah bagaimana keterangannya, yang menem busi pahaku itu tidak berbisa. Kaki kananku telah mem ar tertumbuk pada bongkahan batu.

Satu -satu nya jalan bagiku hanya tinggal berdoa untuk keselam atan sendiri. Di mana mu sket dan pedangku aku

sudah tak tahu lagi. Pakaianku compang-camping seakan aku seorang pengemis di depan salah sebuah gereja di Lisboa, bukan lagi prajurit Portugis kebanggaan negeri, raja Portugis.

Lengan bajuku telah kuputus untuk mengh entikan jalan darah pada lukaku. Rasa-rasan ya, bila tak ada Tuhan, tak ada Kristus, tinggal malam saja melindun gi aku dari maut.

Ah, betapa menggeletar ketakutan hati ini waktu bulan mu ncul dengan pelannya. Suara prajurit Pribumi yang bersorak-sorak mem buru dan menumpas masih kedengaran di mana-m ana. Mereka akan temukan aku juga. Puji kepada-Mu, sorak-sorai kemudian semakin lama semakin menjauh. Kesunyian menyusul.

D alam kesakitan, ketakutan, kegentaran dan sebatang kara di medan perang yang telah sunyi ditinggalkan begini, terkenang aku pada orang-tu aku, pada saudara-saudaraku yang sudah sejak semula tak setuju aku berlayar ke Umu r. Terkenang aku pada malam sebelum mancal. Ayah mewejang: memang mu lia cita-cita menaklukan negeri- negeri kafir dan mentaubatkan mereka sesuai dengan keputusan Tahta Suci. Aku sendiri bangga. Ibu tak henti- hentinya mem andan gi anak lelakinya yang bungsu, aku inilah, anak tersayang dan termanja. Seakan mata itu tertuju pada Tuhan Kristus sendiri dan bertanya bagaimana nasib anak bungsunya kelak. Beginilah keadaanku sekarang.

Pagi-pagi benar mereka temukan juga aku. Matilah aku sekarang, pikirku. Ketakutan telah

mengh ilangkan rasa nyeri. Satu regu berkuda balatentara Pribumi, baran gkali

sedang melakukan pemeriksaan medan sehabis serangan malam, telah menem ukan aku yang sedang bersembah yang

menyerahkan jiwaku kepada Tuhan, Bapak. Aku tahu, hanya itu jalan bagiku. Maka kupersiapkan diri untuk mati di dalam pengamp unan-N ya.

Kafir-kafir itu mengerahkan tom bak-tom baknya padaku.

D erap kudan ya tak lagi terdengar. Jelas mereka sedang melingkar mengepung aku. Puji kepada Tuhan, karena berkah perm ohonanku suatu mu kjijat telah terjadi.

Pemimpin regu Pribumi itu telah menunjukkan kemuliaan hatinya. Ia perintahkan agar aku dirawat. D irawatlah aku, mu ngkin perawatan terbaik menurut setahu mereka.

Mereka naikkan aku ke atas kuda sambil bercakap-cakap dalam bahasanya sendiri. D i sebuah rumah mereka bius aku dengan obat yang aku tak tahu namanya. W aktu aku siuman kembali anak panah itu telah tercabut dari pahaku. Sebagai gantinya kulihat bebatan dari kain tenun berwarna kuning. Kakiku yang m emar telah tertutup dengan selapisan obat berwarna putih yang mem bubungkan bau sedap. Bau yang m embikin aku selalu mengantuk.

Tiga bulan aku dirawat. Selama itu mu lai aku mengerti sedikit Jawa. W alau tidak banyak, ada juga dap at kum engerti tentang cerita dan percakapan m ereka.

W aktu aku sudah sembuh mereka beritahu kan padaku: aku harus meninggalkan Tuban. Aku pun bersiap-siap hendak pergi untuk mencari bangsaku, entah di Malaka entahlah di Maluku.

Sebagai seorang Kristen, oran g Portugis, oran g Eropa, yang lebih tinggi peradabannya daripada kafir-kafir itu,

tentu aku merasa berhutang budi, terutama pada pemimpin regu yang menyelamatkan jiwaku. Tanpa perlindun gannya baran gkali aku sudah mati, biar pun tak terkena mata tom bak. Jadi sebelum

berangkat aku perlukan menyam paikan terimakasih pada mereka. Juga aku

utarakan keinginanku hendak mengh adap pemimpin regu yang dulu itu.

D ia sudah pergi, mereka bilang. Tak ada yang tahu. Baiklah, baran gkali m emang aku tak boleh bertemu. Paling tidak aku harus ketahui namanya. Siapa tahu, tidak sekarang kelak pun mu ngkin dapat aku lakukan bila Tuhan mengh endaki.

N am anya W iranggaleng, tanpa gelar. Bawahannya mem anggilnya Senapatiku. Aku ingat-ingat benar nama itu. Rasa-rasanya aku pernah dengar sebelumnya.

Mereka sediakan untukku sebuah perahu layar kecil, lengkap dengan perbekalan, kayu bakar, air tawar, baja, batu dan kaul, juga pakaian. Di tengah-tengah laut ada teringat olehku sesuatu : bukankah dia orang yang mem bikin balatentara Portugis tak dapat keluar lebih jauh dari kota Malaka? Kira-kira memang dia. Hang W ira Malaka itu. Hang Wira -W iranggaleng. Barangkali, aku tak tahu betul. Agaknya terlalu jauh.

Setelah samp ai di Maluku, kubuat ini jadi pekerjaan. Aku mu lai bertanya-tanya. Kemu dian tak lain kesimp ulanku: Hang Wira memang Wiran ggaleng itu juga, penum pas kami di Tuban.

Sekiranya dalam hidupku aku tak ada kesempatan berterimakasih padan ya…

D alam tulisan yang sudah banyak rusak dan hampir- ham pir tak terbaca disebutkan ia telah dipecat dari

dinasnya, dan selanjutnya: Oran g Portugis siapa pun akan lebih suka tinggal di Banda daripada di mana saja di Maluku ini. N ampaknya aku akan terpakukan di negeri ini dan jadi penduduk sini sampai mati. Berbahagialah kau, Magelhaen, dapat mendarat dan mancal sesukam u,

mengelilingi dunia, melaksanakan impianmu. Sayang kekasaran Portugismu kau bawa ke mana-mana sehingga kau tewas oleh anak panah Pribumi Filipina. Aku sendiri tersekat dari pulau yang satu ke yang lain di Maluku, dan masih selamat samp ai sekaran g ini.

Banda akhirnya harus kutinggalkan juga. Begitu Ruy Yaz Pereira jadi panglima di Malaka tahun ini, 1544, aku harus meninggalkan Banda, ditunjuk jadi juruborong di

Halmahera. Tetapi keadaan di sini mencurigakan. Setiap waktu bisa terjadi Tuban kedua. Telah aku coba dekati Pribumi. N ampaknya mereka tak suka pada orang kulit putih.

Aku minta pindah, dan diperintah kan ke Temate, 1548. Istriku menolak kubawa serta. Bersam a dengan anak- anaknya, wanita Pribumi Ambon, mereka pulang ke kamp ungnya di Ambon. Tak mengerti aku mengapa ia menolak ke Temate, boleh jadi karena ia takut pada orang Islam.

Maka sudah sejak di kapal dapat kurasai betapa kan sunyi kehidupanku sebagai juruborong di sana.

W aktu aku mendarat, penyambutku hanya seorang Pribumi. Atau bukan Pribumi Temate? Aku belum tahu pasti. Setidak-tidaknya dialah yang mengangkuti baran g- baran g ke loji. Ternyata dia tukang kebun, seorang Kristen yang kelihatan saleh dan kemudian kuketahui tak pernah melewatkan hari kebaktian. Pakaiannya selalu rapi, bersih dan baik. Setiap ke gereja ia mengenakan setelan Portugis sekalipun tidak bersepatu dan hanya bercakar ayam. Ia menerima pakaian itu dari bekas tuan nya, G onsalyes Mateo, juruborong untuk Temate.

Tukang kebun itu tidak beristri dan dengan sendirinya tidak beranak. Ia bernama Paulus. Tak ada sahabat atau

teman padanya. N amp aknya ia pemurung dan pemenung. Bila sudah samp ai pada puncak kesepiannya ia mem ukul tetabultan, yang di Maluku sini disebut totobuang, sebuah alat m usik yang biasa dipergunakan dan kelihatan di Tuban.

Tukang kebun ini menarik perhatianku. Bukan saja lagu yang dibunyikannya tidak sama dengan lagu pribumi sini, juga wajahnya tidak ada kesam aan dengan Melayu gereja daripada Pribumi. Aku m enduga dia seorang Moro.

Pada suatu malam sedang dia mem ukul totobuang aku datangi dia di kamarnya di ujung gandok dekat dap ur. Tak dilihatnya aku masuk. W ajah nya mu rung seperti biasa. Betul, lagu yang dimainkannya pernah kudengar di Tuban sana. Maka setelah selesai ia kaget melihat aku. N ampak ia seperti… benarkah dia seorang Mo ro?

“Aku pernah dengar lagu seperti itu,” kataku, “dulu di Tuban?”

Ia pucat dan pemukulnya jatuh dari tangan. Ia menutup mu lut seperti hendak menindas jeritnya sendiri. D an sejak itu ia selalu ketakutan bila melihat aku.

Berhati-hati aku mencoba meramahi dia. W aktu kuulangi pertanyaanku dulu ia namp ak tidak lagi terkejut.

“Ya, Tuan Besar. Semua telah kuserahkan pada kandu ngan gereja. Sudah tak tersisa sesuatu pun dari masa laluku.”

Seorang yang banyak mengalami penderitaan seperti aku ini segera dapat menan gkap, ia mem punyai beban pada punggung dan hatinya. D ugaanku tidak salah. Setelah mu lai bisa diajak bicara aku dapat menan gkap ia seorang pedosa besar, atau setidak-tidaknya ia merasa demikian, seorang pembohong besar, yang hanya dalam Kristus saja dap at mem peroleh dam ai.

Setahun kemudian baru dap at kukumpulkan kalimat- kalim at yang sedikit itu yang pernah dikatakannya, yaitu

setelah ia mendapat keyakinan pihak Portugis takkan mengh ukum nya.

Ia kelahiran Tuban, mengaku pernah mem bunuh ayahnya sendiri. Mula-m ula ia tak mau mengaku mengapa. Lam a-kelamaan , dengan

ragu-ragu ia mengatakan, pembunuhan itu ia lakukan dengan sengaja dan dengan ragu-ragu ia mengatakan, pembunuhan itu ia lakukan dengan sengaja dan dengan

“Tidak ada Pribumi Tuban berpihak pada Portugis,” bantah ku.

Ia menerangkan ayahnya bukan Pribumi, tetapi seorang Mo ro, Syahbandar Tuban. Semua oran g Portugis di Maluku tahu cerita gila tentang Moro gila bernam a Tholib Sungkar Az-Z ubaid. Inilah rupa-rupanya anaknya. Ibunya seorang Pribumi, seorang penari kenamaan, katanya. Ia bercerita tentang kelahirannya yang tak diharap kan oleh siapa pun. N amu n ibunya mengasihinya sampai terjadinya pembunuhan itu. Setelah itu bukan hanya ibunya, seluruh masyarakat

mengu cilkannya. Mereka tak dap at menenggang dan mempercayai seorang pembunuh oran g- tua, pemeluk-pemeluk Buddh a itu.

Ia mengem bara ke mana-m ana. Setelah kudan ya mati tua ia tak bisa berbuat lain kecuali menggabungkan diri dengan balatentara D emak.

D alam pasukan kuda ia bersahabat dengan seorang prajurit pengawal yang cantik, lebih cantik dari seorang wanita, katanya, kelahiran Trenggono, sebuah tempat di Semenanjung, anak pam an Paulus sendiri yang m enetap di sana. Pamannya itu juga kelahiran T uban. D an anak cantik

ini. Jafar, mu ngkin karena kecantikannya ditarik oleh Sultan Trenggono jadi pengawal pribadi dan pelayan. Karena keistimewaan kedudukannya ia dijuluki Juru Tam an, menjuru tamani Sultan.

Sekali peristiwa Paulus mendap at perintah untuk melakukan pekerjaan telik di Blam bangan. Trenggon o telah samp ai di batas kerajaan Hindu Blam bangan. Untuk dap at melakukan serangan gilang-gemilang dan mem atikan.

Sultan telah mem anggil Fathillah untuk memimpin serangan um um atas Blam bangan . Paulus – tentu saja waktu itu ia tidak bernama demikian, entah apa – mendap at perintah untuk mengu mpulkan keterangan.

D alam penyusupannya di Blam bangan pada suatu pagi ia mendapatkan sebuah gubuk di tengah-tengah huma dalam kepungan rimba-belantara, daerah yang terlalu banyak macannya. Ia mengagumi penghuni, suami-istri yang sudah tua itu. Perawakan lelaki itu tegap katanya. Ia mendekatinya. Lelaki tua itu m engawasinya dengan curiga.

Paulus segera menjatuhkan diri pada kaki oran g tua itu dan memanggil-

D ua-duanya

berhadap-hadapan.

manggil: Senapatiku! Senapatiku! Sam pai pada bagian ini aku menajam kan perhatian.

Panggilan Senapatiku itu segera kukenal. “W iranggaleng?” tanyaku. Paulus terkejut. D itatapnya aku lama-lama. Aku

mencoba meredakannya dan masih juga ditatapnya aku. Suaranya sangat pelan waktu bertanya: “Kenalkah Tuan

Besar pada nama itu ?” “Seorang kafir yang berbudi,” jawabku. Ia menjadi sentimentil. Suaran ya makin pelan dan

mu ncul kekafiran nya yang lama dalam ia mem bantah: “Bukan, Tuan Besar, Senapatiku bukan kafir. Mem ang aku

tak dap at mengatakan apakah ia Islam, atau kah Buddh a, Syiwa atau Wisynu. Menurut cerita ibuku dia lulusan perguruan Buddh a. Jangan sebut dia kafir, Tuan Besar, karena itu menyakiti hati barangsiapa pernah m engenalnya.

D ia seorang yang perwira dalam kemenangan dan kekalahan. ”

Paulus pernah bercerita bagaimana ia mencintai kudan ya.

W aktu binatang itu telah kehabisan tenaga karena tuanya dan menjelang kematiannya, ia merawatnya di tengah- tengah hutan. Bangkainya ia timbuni dengan ran ting- ran ting dan dedau nan, dan kayu-kayu kering kemudian dibakarnya dengan penghorm atan. Maka orang yang dap at begitu setia pada binatangnya baran gkali dapat mencintai manusia dengan sedalam-dalam cinta.

Ternyata Wiranggaleng adalah ayahnya yang resmi. Ia bertanya pada ayahnya mengapa ia tinggal di hutan

menyendiri seperti pertapa. “Aku tinggal di luar jam anku. D alam jam an ini tenagaku

terlalu kecil untuk membendung kemerosotan besar. Entah di jaman lain kelak. D i tengah hutan ini aku bisa mem andang sampai batas-batas tebangan itu dengan bebas dan lega. Di luar batas itu, selam a ada manusia, di situlah kemerosotan. Aku tak perlu melihat. Kau datang kemari bukankah tidak dengan sengaja?”

Paulus menceritakan tugasnya. Senapati menganggu k- angguk.

“Betul dugaanku. Kalau begitu kau belum mencapai cita- citam u, karena kau memang tidak mempunyai cita-cita. Bukankah aku dulu bilang akan menunggumu di rumah kalau cita-citamu telah tercapai? Kau datan g kemari sebagai telik D emak!”

Senapati mem anggil istrinya, seorang wanita yang juga sudah nampak tua tapi sehat.

“Inilah anakmu , datan g untuk bersujud padam u.”

Paulus bersujud pada kaki ibunya. Ia tak dap at mengatakan sesuatu . Kata-kata yang keluar dari mu lutnya justru yang bukan dimaksudkannya: “D i manakah Kumbang, Mak?”

“Kusuruh dia mencari ilmu untuk mengalahkan mu suh- mu suh bapaknya. D ia pergi ke G iri Dahan apura, kemudian di sana dia ikut dengan oran g Peranggi. Bertahun-tahun dia sudah pergi. Terakhir datang dia minta diri akan berlayar dengan kapal Peranggi, ke negeri Peranggi. Sejak itu dia belum pernah datang lagi. D an kau, sekarang kau hanya ham ba seorang sultan yang dijijikkan Senapati.”

Mendengar itu Paulus mengerti, Wiran ggaleng, masih juga belum dap at berdamai dengan persoalannya, dan karena itu semestinya juga jijik terhadap dirinya. Setelah menyembah ia minta diri dan meneruskan perjalanan tanpa singgah ke gubuk.

Setelah tugasnya selesai dan ia kembali ke pesanggrahan tentara D emak tetaplah sudah hatinya: ia harus bunuh Sultan Trenggono. Emak dan Senapati harus dap at mengampuninya. Mahluk yang menjijikkan mereka itu harus hapus dari muka bumi.

Pada sahabatnya, Jafar, ia ceritakan semua persoalan yang lalu. Jafar si Juru Taman pun sudah muak terhadap kelakuan Sultan atas dirinya. Suatu persekutuan rah asia terjadi. Jafar si Juru Taman akan mengeris Sultan dan Paulus akan m enjaga keselam atan nya.

D i depan pesanggrahan balatentara D emak peristiwa itu terjadi. Jafar menikam rajan ya sebagaimana direncanakan. Para prajurit pengawal di selingkungan Suitan ternyata lebih lincah. Trenggono mem ang mati seketika. Tapi Jafar si Juru Taman juga tertem busi tom bak-tom bak waktu hendak m encabut keris dari tubuh korbannya.

Karena, ya, karena seorang satria takkan meninggalkan keris pada tubuh korbannya.

Melihat itu Paulus lari. Ia melompat ke atas salah seekor dari dua kuda yang telah disiapkannya, menghindari hujan tom bak yang terarah padanya. Sekali ia sempat menengok dan melihat pemuda cantik itu telah hancur berkeping- keping.

Jafar si Juru Taman seorang yang m engalahkan D emak. Balatentaranya mundur, intinya pulang ke D emak, sisanya buyar ke tempat asalnya masing-m asing. D engan matinya Trenggo no, juga D emak sebagai kerajaan runtuh dan tak bangun lagi!

Paulus masuk ke Blambangan dan mewartakan pada penduduk: “Trenggono sudah mati! Kubunuh dia dengan kerisku!”

Raja Blam bangan mengangkatnya jadi perwira. D engan segala kebesaran ia berkunjung pada oran gtuanya di tengah hutan. D engan sorak-sorai penuh kemenangan dalam hati ia wartakan pada mereka di dalam gubuk: “Bapak, Em ak, telah aku selesaikan apa yang sudah sewajarn ya harus kuselesaikan untuk mem bendung kemerososotan besar. Telah aku bunuh Sultan Trenggono di Pasuruan.”

Betapa lukahatinya melihat kedua mereka hanya mem andanginya dengan iba. Suatu rangsang marah tiba-

tiba menjompak seperti perjaka tertolak kasih oleh idaman hati. Tangannya meraba keris. Sekilas itu pula ia sadar, keluar dari gubuk dan kembali ke Blam bangan . Hatinya rem uk-redam. Semu a telah kehilangan arti kembali.

Ia tinggalkan Blam bangan dan berlayar ke Maluku.

Menurut ceritanya, entah benar entahlah bohong, ia pernah sempat menjam ah jubah Fran ciscus Xaverius, dan sejak itu, ia mengakui mendapat kedam aian hati….

Itulah Paulus, seoran g yang bisa lakukan perbuatan besar, tetapi, seperti dikatakan oleh Senapatinya sendiri, tidak mem punyai cita-cita, hidup di bawah kebesaran orangtuanya. Suatu tragedi kehidupan.

Ru pa-rupanya ia menyesal telah menceritakan semua itu. Ia ingin hilang-lenyap tiada berbekas. Seorang saja mengetah ui riwayatnya, semua akan mengetah ui. Tidak, Paulus, takkan kuceritakan ini pada siapa pun.

Kembali ia tak dap at berdamai dengan hatinya. Pada suatu kali ia m inta diri untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada Kristus.

Ia tinggalkan Temate, entah ke mana, mu ngkin ke Sangir, mungkin Manado, mu ngkin juga ke pulau Kai.

Ia turun naik ke atas kapal Portugis dengan pakaian pemberian Gonsalyes Mateo. Ia pergi sebelum aku sempat mengu capkan terimakasih untuk ayahnya yang resmi, Senapati Tuban, W iranggaleng….