Wiranggaleng Pergi ke Barat

8. Wiranggaleng Pergi ke Barat

Idayu mengantarkannya ke pelabuhan dan ikut masuk ke dalam kapal dagang berbendera Tuban.

Suam i-istri itu was-was menghadapi perpisahan mereka. Bahkan juga pada merasa tak senang dengan kepergiannya.

D ermaga disesaki oleh oran g-orang yang hendak melihat Idayu mengantarkan suaminya. Mereka berdiri diam-diam menunggu penari ulung kekasih Tuban dan para desa itu keluar lagi dari kapal untuk dapat melambaikan pandang padanya.

“Kalau diperkenankan, Kang, aku bersedia ikut, ke mana pun, Kang.”

“Kapal akan segera berangkat, D ayu.” “Aku kuatir, Kang.”

“Kau sendiri harus belajar dapat lindungi keselam atan sendiri. T entu kau akan selalu ingat pada Ram a Cluring”

Idayu menggandeng tangan suaminya dan turun kembali ke derm aga.

“Apa pun yang terjadi, Idayu, hadapi semua dengan tabah. ”

“Aku kuatir, Kang,” bisiknya. “Aku pulang ke desa saja.”

“Bukankah kau harus menari di pendopo kadipaten?

D an perintah itu sewaktu-waktu bisa datang dari G usti Adip ati sendiri?”

“Kang, aku kuatir,” Idayu berbisik dan mem andangi suam inya dengan mata sayu. “Aku takut, Kang. D i desa aku tak pernah takut seperti ini.”

“Kalau diperkenankan, kami sedia ikut menjaga, W ira,” seseoran g di antara para perubung mengusulkan.

“Betapa mu lia hati kalian, terimakasih. Sayang, kalian sendiri tahu, tak dibenarkan mem asuki pelataran kesyahbandaran.”

N ahkod a datan g mewartakan pada W iranggaleng layar akan segera dipasang dan kapal akan berangkat.

W iranggaleng m engusap-usap rambut istrinya. “Allah bersama dengan mu , W iranggaleng!” seru Tholib

Sungkar Az-Zubaid. “Sejahtera, sejahtera untukmu, G aleng, dan istrimu,”

kerum unan orang itu meninggalkan dermaga, makin kecil dan makin….

Layar turun dan segera menggelembung. Kapal mandal, makin lama makin jauh meninggalkan derm aga, makin Layar turun dan segera menggelembung. Kapal mandal, makin lama makin jauh meninggalkan derm aga, makin

W iranggaleng dan Pada mem andan gi semua yang bergerak di derm aga samp ai iring-iringan itu hilang dari pemand angan. Akhirnya semua pun lenyap ditelan keleluasaan alam.

Terdengar Pada mengeluh. Wiranggaleng sambil berpegangan pada seutas tali layar, bersandaran pada dinding lembung, mengawasinya: “Apa yang kau keluhkan?”

“Jangankan manusia seperti aku ini, Kang, kuda pun kadan g-kadang m engeluh juga.”

“Apa yang dikeluhkan kuda?”. “Kita akan ke mana, Kang?” “Apa yang dikeluhkan kuda? Kau belum lagi menjawab.

Kalau kau sendiri, Pada. Aku tahu apa yang kau keluhkan.” “Kita ke Banten, Kang? Betapa jauh dan lama.” “Itukah yang kau keluhkan? Jauh dari kadipaten? Jauh

dari keputrian? D ari para selir?” “Kang!” Pada terpekik terkejut.

W iranggaleng pura-pura tak mengerti dan menjatuhkan pandang pada perm ukaan laut, pada pantai pulau Jawa yang putih berjabatan dengan kegelapan hitam dan perbukitan dan gunung-gemunung. Juga hatinya sendiri penuh was-was, kekuatiran dan kecurigaan.

Ia tahu benar Tholib Sungkar Az-Zubaid adalah kucing hitam di waktu malam dan burung merak di siang hari.

D alam hati-kecilnya bayangan Sang Adipati, yang jelas mem beranikan istrinya, antara sebentar mengawang dan D alam hati-kecilnya bayangan Sang Adipati, yang jelas mem beranikan istrinya, antara sebentar mengawang dan

Untuk ke sekian kalinya ia hibur dan tenteram kan hatinya dengan menyerahkan segala-galanya pada Idayu sendiri.

Ia telah tinggalkan pada istrinya sebilah cundrik dan pesan, “Belalah dirimu kalau ada niatm u untuk mem bela diri!” D an pada N yi G ede Kati ia mengh arap agar dia sudi ikut m enjaga keselam atan Idayu.

Setelah berada di atas kapal ia menyesal telah berpesan pada seorang bekas pengurus harem. Bekas pengurus

harem! Tahukah oran g seperti itu tentang cinta, kasih dan kesetiaan? Bekas pengurus harem! Harem !

“Kang!” Pada mengu langi tegurannya. “Mengapa kau terkejut, Pada?” “Ampun: Kang, janganlah hubung-hu bungkan aku

dengan keputrian dan para selir. Aku tak tahu apa-apa tentang m ereka,” Pada m embela diri, m enghiba-hiba.

”Takut benar kau namp aknya, Pada.”

D an kapal terus berlayar. “Bagaimana aku tak takut, Kang N yi G ede Kati telah

diusir dari keputrian. N yi Ayu Sekar P injung ke…” “D ari mana kau tahu mereka kena hukuman? D an siapa

mereka itu?” “Semua orang mem bicarakan, N yi G ede pengurus. N yi

Ayu selir. Siapa pula dalam kadipaten tidak tahu?” “Jadi sudah berapa kali kau panjat pagar kayu keputrian

dan masuk ke dalam nya, Pada?” “Kang!” Pada terpekik lagi untuk kesekian kalinya.

“Terkejut lagi kau nampaknya, Pada.” “Ah, Kang G aleng, Kang G aleng,” bisiknya mengh iba-

hiba. “Untuk apa aku pergi ke sana? D an bagaimana bisa aku ke sana?”

W iranggaleng m enatap Pada sam bil menggeleng. “Palin g tidak,” Syahbandar-m uda itu menepuk bahunya

beberapa kali, “dua kali dalam seminggu kau pasti masuk ke sana ”

“Kang G aleng, kakangku sendiri… tega kau berkata begitu.” karanya gugup dan megap -megap.

“… Kau lemp arkan tali berjangkar ke atas pagar kayu tm ggi itu, dan kau mem anjat masuk.”

“Kang, adu h, Kang. Itu berarti kau membunuh aku, Kang.”

“Husy. Kau pura-pura tak mengetahui sesuatu apa tentang dirimu sendiri.”

“Kang!” Pada terpekik lagi. “Husy. G oba selir yang mana saja sudah kau hubungi?” “Kau menyiksa aku, Kang menganiaya.” “Ayoh, katakan pada kakang mu ini. Bukankah aku

kakangm u?” “Kang tega, kau, Kang” suara Pada telah mengh ampiri

sebuah tangs dari seoran g bocah yang tak berdaya. “Ayoh, ceritai aku, Pada. Sekali saja. D engan selir mana

saja kau telah lewatkan malam-malam yang sunyi di dalam keputrian?”

Pada telah sampai pada puncak kekecutan, tak mampu bicara.

Sewaktu W iranggaleng melecuti anak itu dengan pertanyaan. terbayang olehnya istrinya, Idayu. Sekiranya Idayu dulu terpaksa jadi penghuni harem , menjadi selir sebagai yang lain -lain, mungkinkah anak ini juga yang akan datang padan ya, di malam sepi, dan meletakkan tangan pada tubuh kekasihnya? D arahnya tersirap dan dengan sendirinya tangannya melayang mencekam pergelangan Pada.

Anak itu meraung kesakitan. Syahbandar muda terpaksa metepaskan kembali.

D engan pandan g bertanya Pada menatap juara gulat Itu, kemudian mem eriksa pergelangannya. D ibimya cemberut.

“D i asrama dulu kau mengenakan gelang, kalung dan cincin mas, Pada. Seperti pembesar. Mana baran g-barang itu sekarang?”

“Kau siksa aku begini macarn, Kang.” “Kau tidak m enjawab. D an kau tak mau m enjawab. Selir

mana yang telah beri kau semua itu?” “Kang, tega kau…”

“D i m ana baran g-baran g itu sekarang, Pada?” Pada terdiam. Pandan gnya dilemp arkannya ke

perm ukaan laut. “Bocah berum ur lima belas!” Wiranggaleng meludah ke

geladak. “Kata orang, gandarwa berum ur dua ratus tahu n baru

mu lai dewasa. Kau, Pada… empat belas, lima belas! Keparat! Empat belas, lim a belas sudah jadi buaya.”

“Jangan ucapkan itu, Kang.” Pada memo hon.

D ua orang itu kini terdiam. Lam a. Seakan-akan telah terjadi permu suhan bat in antara mereka.

W iranggaleng melepaskan pandang ke sebelah selatan , pada pantai pulau Jawa yang nam pak samar-samar di kejauhan. D an Pada mu lai agak mengerti mengapa ia berada di atas kapal dagang ini.

Juara gulat itu mem banding-bandingkan dirinya dengan Pada. Waktu berum ur empat atau lim a belas ia masih tak mengerti sesuatu kecuali bekerjn di sawah atau ladan g atau mengu rus ternak: babi, sapi, ayam dan anjing.

“Semua tak ada yang kau jawab, Pada. Sekarang yang lain. Barangkali kau mau menjawab: sudah berapa kali kau

menulis surat untuk Sayid Habibullah Almasawa Syahbandar Tuban?”

“Menulis surat?” bocah itu berseru terheran-heran. “Buaya! Kau mem ang pandai berpura-pura. Pada, aku

tahu surat-surat itu tulisanmu. Apa kau kira dunia ini bisa kau bodo hi begitu gamp ang?” ia buang pandan gnya ke tempat lain dan meneruskan, pelan-pelan. “Orang tak mu ngkin bisa berbohong terus-menerus. Pada suatu kali orang harus mengakui kebenaran.”

Pada terdiam tak mem buka mu lut. Ia hindari pandang juara gulat yang mengancam itu.

“Sekali ini kau harus menjawab, Pada.” Syahbandar mu da itu mem aksa. “Berap a kali kau tuliskan surat untuk

Syahbandar?” “Kang G aleng, bukankah tak lain dari Kakang sendiri

yang tahu , semu a! Kewajibanku telah kulakukan dengan baik? Apakah yang Pada tak lakukan buat kepentinganmu dan Mbok Ayu Idayu? Sekalipun harus melanggar aturan yang ada?”

W iranggaleng mem batalkan niatnya untuk menyakiti bocah itu. Ingat akan jasa Pada menyebabkan ia merasa segan melakukan.

“Sang Adipati juga memuji kecakapanm u. Kalau kau anak tertib mu ngkin bisa kau jadi penggawa di kemudian hari. Aku dan Idayu takkan melupakan jasa-jasamu. Yang aku ingin tahu dari kau sekarang, Pada, apakah yang telah kau lakukan di luar kewajibanmu yang merugikan Sang Adip ati?”

Ia lihat Pada menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Anak itu mu lai mengerti benar mengapa ia dibawa ke kapal ini:

untuk menjalani pemeriksaan dan hukuman. D an W iranggaleng yang ia hadapi kini bukanlah seorang kakang yang lunak, lemah-lembut dan pelindung. Ia adalah pemeriksa dan penghukumn ya sekaligu s. Ia menekur tak berani mengangkat m uka.

“Kau tak menjawab, Pada,” ia lemp arkan pandang jauh- jauh. “Jawablah. Aku tak perlu melihat mu kamu . Aku hanya inginkan jawabanmu. D ijauhkan Kakang hendaknya daripada perbuatan salah terhadapmu, Pada. Jawablah.” Ia menunggu dan menunggu. Jawaban itu tak kunjung datang. “Bukankah m asih kau akui aku kakangmu ?”

“Ya, Kang.” “Jawablah. T erserah bagaimana menjawabnya.”

Pada tak juga mau m enjawab. Tanpa mengubah kedudukan pandangnya tangan

W iranggaleng mencekam ram but Pada yang jatuh terurai dari bawah destam ya. la tahu cengkaman itu lunak tak menyakiti.

“Baik, kau tak mau menjawab. Sekarang Pada,” katanya tanp a melihat kepadanya, “mengapa kau suka mem asuki “Baik, kau tak mau menjawab. Sekarang Pada,” katanya tanp a melihat kepadanya, “mengapa kau suka mem asuki

Tak terduga oleh W iranggaleng si bocah Pada m enjawab tertahan: “Sekarang aku tahu mengapa aku mendapat perintah untuk mengikuti kau. Kang. Kang G aleng, ketahuilah, aku takkan jawab semua pertanyaanmu. Aku tak mampu, Kang. Ampunilah, aku. Hanya, Kang, kalau aku kau bunuh juga sekarang ini, sampaikan sembahku pada Mbokayu Idayu, Kang. Tak ada sebuah dap at kusam paikan pada siapa pun, karena tak ada orangtu a dan sanak padaku.”

“Mengapa pada Idayu?” “Karena seluruh Tuban mem ujanya, juga aku, Kang.

Maukah kau?” “Katakan sesuatu padaku, Pada.” “Tak ada sesuatu yang dap at aku katakan, Kang.

Menjawab atau tidak, perintahmu adalah membunuh aku. Semua sudah kukatakan dan jawab.”

“Ayoh, katakan, katakan sesuatu.” Anak itu justru m embisu. Suatu pergolakan telah terjadi di dalam hati juara gulat

itu. Batin nya menuduh kau mencemburui bocah kecil ini,

G aleng. Kau sendiri ada keinginan untuk melenyapkannya dari mu ka bumi karena perintah cemburu hatimu sendiri. Kau punya kepentingan pribadi dalam urusan ini! Tapi di hadapanm u ada G usti Adipati. D an kau takkan mampu melawannya. Di samping itu ada juga tuan Syahbandar Tuban, kucing di waktu m alam dan merak di siang hari itu.

Kau pun boleh jadi tak dapat berbuat apa-ap a terhadapnya. Hanya terhadap Pada, si bocah tanpa daya ini, kau berani berbuat, hanya karena cemburu yang tidak terbukti. Ba- gaimana kau ini, G aleng? Pengikut ram a Cluring? Kau bingung! Kau tak tahu di mana tempatmu.

Syahbandar mu da itu malu punya perasaan cemburu terhadap si bocah itu. Idayu sendiri lebih tidak berdaya! Kini hatinya jadi sendu. Apa yang dia bisa perbuat mengh adapi orang-oran g berkuasa seperti Sang Adipati dan Syahbandar Tuban? D ia yang tertinggal di daerah larangan, di kesyahbandaran itu, dalam satu sarang dengan N yi G ede Kati, bekas pengurus harem, yang sudah selayaknya akan mem bantu suaminya menundukkan Idayu. Mengapa bocah ini harus jadi sasaran kekacauanku?

Juara gulat dan Pada berdiam diri dengan pikiran masing-m asing. Beberapa kali orang berjalan mo ndar- mandir melewati mereka. Dan mereka tetap tak bicara sesuatu .

Matari makin lama makin condo ng. Angin laut yang bertiup dari belakang menyebabkan ram but m ereka tergerai

di bawah destar, sedang puputan pada layar menyebabkan antara sebentar terdengar gelepar.

“Kalau kau tega juga mem bunuh aku, Kang” tiba-tiba Pada berkata seperti pada diri sendiri.

“Mengapa kau punya pikiran aku akan mem bunuhmu?” “Siapakah yang tidak dibunuh oleh Sang Adipati, bila

orang dianggap merugikannya?” “Siapakah aku ini maka haru s membunuh kau?” “Aku sudah banyak tahu , Kang. Kaulah yang akan

mem bunuh aku atas perintah G usti Adipati.”

“Kalau saja kau mau ceritai aku tentang keputrian dan diri Sayid…”

“Kalau aku harus dibunuh karena surat dan keputrian; sama saja, Kang, aku pun harus dibunuh karena yang itu juga, hanya surat itu untuk Kang G aleng dan Mbokayu Idayu.”

kami berdua berterimakasih?” D an semakin heran ia mengapa si bocah itu begitu tabah mengh adapi bahaya maut yang sudah dekat pada lehernya. Pasti ia punya perhitungan: melompat ke laut dan berenang. Pasti! Bertanya ia lembut dan sopan: “Tiadakah kau takut pada hiu, Pada?”

“Bukankah telah

kukatakan

Ia lihat Pada tersenyum seakan m engerti maksudnya. “Kata orang, ” Pada mu lai seperti hendak mendongeng,

“baran gsiapa takut pada hiu, dia takkan menyintuh laut. Barangsiapa m enentang laut, dia takkan dapatkan hiu.”

Kembali mereka berdiam diri. W aktu seseoran g m emberitakan, makan sudah siap, baik

W iranggaleng mau pun Pada mulai juga tidak beranjak dari tempat. D an matari dengan lambatn ya ma km mendekati

ufuk barat. Semburat merah mulai m embakar kaki langit. “Kau diam saja, Kang. Hari mendekati malam.” Terdengar seseoran g m enyerukan azan di bawah geladak

dan ia memp erhatikan. Lagunya begitu asing dan kata- katanya ia tak kenal. Setelah seruan selesai ia merangkul

Pada dengan mesra. “Jadi segala yang oran g ketahui tentang kau temyata

benar. Pada. Kau tak mau bicara, baiklah. D an kalau kau melom pat ke laut. aku takkan mengh alangi. Kalau kau benar. Pada. Kau tak mau bicara, baiklah. D an kalau kau melom pat ke laut. aku takkan mengh alangi. Kalau kau

“Jangan pikirkan nafasku, Kang Aku mengerti kau harus bunuh aku. Aku akan berenang dan takkan kembali ke Tuban D emi Batara Kala. Percayalah.”

“Pada, adikku, maafkan aku. Sembahm u pada mbokayum u nanti aku sampaikan. Kalau kau melompat, aku akan menengok ke sana, ke laut lepas. Melompatlah. Cepat, melompat!”

Tetapi Pada tiada bercepat melompat. la bersimpuh di atas geladak itu, menyembah W iranggaleng mencium

kakinya, berdiri lagi dan dengan lambat naik ke atas dinding lambung.

“Aku pergi, Kang.” Kemu dian menyusul bunyi benda jatuh ke laut. “Mati!” teriak Wiranggaleng sekuat-kuatnya. “Mau kau,

Pada! Mati!” Orang berlarian naik ke geladak dan bertanya-tanya. Juara gulat itu bertolak pinggang mengh adapi mereka

dan dengan nada resmi mengu mum kan: “Telah kubunuh atas titah G usti Adipati Tuban Arya Teja Tum enggimg W ilwatikta, seorang pendurhaka bemam a Pada. Kubunuh dan kulemp arkan dia ke laut. ”

Tanpa menggubris tanggapan dan pertanyaan ia berjalan menuruni tangga geladak untu k mendapatkan m akannya.

D ari mereka yang tak suka pada D emak, sindiran datang tanp a henti. D i antaranya yang tajam menusuk: “Mendirikan kerajaan mem ang mudah. Carilah tempat yang sepi di pedalaman. Kalau mu suh datang dari laut jangan dirikan di tepi pantai. Kalau takut mu suh m enyerbu D ari mereka yang tak suka pada D emak, sindiran datang tanp a henti. D i antaranya yang tajam menusuk: “Mendirikan kerajaan mem ang mudah. Carilah tempat yang sepi di pedalaman. Kalau mu suh datang dari laut jangan dirikan di tepi pantai. Kalau takut mu suh m enyerbu

Lam a kelam aan sindiran mencapai puncaknya dalam bentuk yang semakin jelas: D i pedalaman saja, sahabat, di pedalaman, karena Peranggi bakal datang!

Sindiran itu dinyanyikan orang di mana-man a, juga di tengah-tengah D em ak sendiri.

Putra mahkota D emak, Adipati Kudus Pangeran Sabrang Lor, tak dapat m enenggang semua itu. Pada setiap

kesempatan ia mem erlukan menangkis: “Mereka bilang, Peranggi lelananging jagad, mengu asai segala yang dilihatnya. Mereka, Peranggi, belum lagi melihat D emak. Suruh dia melihat D emak, dan dia akan melihat kuburannya sendiri.”

Putra mahkota juga yang pada suatu kali mengh adap ayahan dan ya. Sultan Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah, mem ohon satu kesatuan balatentara pilihan. D engan modal itu ia m enyerbu Jepara m endudu ki dan m enguasainya. Kini

D emak punya bandar sendiri. Putra mahkota diangkat jadi Adip ati D emak dengan gelar Adip ati Unus. D an Unus dimasyhurkan sebagai nam a seoran g nabi penguasa laut. Ia pun diangkat oleh ayahan dan ya jadi menteri urusan manca negara. Itulah jawaban D em ak terhadap sindiran takut pada Peranggi.

Tetapi orang masih tetap tidak percaya pada sesum bar putra mahkota. Sindiran terus juga datang.

Portugis menduduki Malaka. Sekarang sindiran lain lagi bunyinya: “Lihat, Peranggi

sudah mendud uki Malaka. D emak menduduki Jepara.

Mereka hanya akan berpandang-pand angan dari bandar masing-m asing, samp ai kedua-d uanya bosan dan tak berpandang-pandangan lagi.”

Adip ati Unus Jepara pada suatu kesempatan di hadap an para punggawa, yang ditugaskan mem bangun galangan- galangan besar, berkata: “Ketahu ilah, bila kelak Peranggi tidak datang ke Jepara untuk menantang D em ak, maka dari Jepara akan datang D emak ke Malaka menentang Peranggi.”

Sindiran-sindiran padam setelah jelas Adip ati Unus Jepara tidak tinggal bersumbar-sum bar. G alangan-galangan

kapal diperbanyak dan diperbesar. Kapal perang dan niaga dibangun kan. D idatangkannya pengecor-pengecor dari Blam bangan . D an ia tidak peduli pandai-pandai itu beragam a Hindu. Ditempatkan mereka di desa Bareng untuk mem bikin cetbang yang direncanakannya sendiri, khusus untuk menghadapi Peranggi.

Perintah-perintahnya sangat keras. Semu a pekerjaan harus

Perm unculannya menerbitkan kegentaran pada para pekerja. Kayu keras

selesai pada

waktunya..

didatangkan dari Kalimantan untuk lunasdan Hang kapal.

D an waktu pandai-pandai di Bareng dianggapnya kurang cepat bekerja, mereka dipindah kan bersama bengkelnya ke pinggiran bandar jepara.

D engan demikian Jepara dihadapkannya ke Malaka.

G aleng m endarat di bandar Yuana – bandar m ilik Tuban yang terletak di wilayah paling barat, setelah Jepara jatuh ke tangan D emak

Bandar Jepara sedang giat-giatnya bekerja waktu ia datang.

melihat-lihat pemand angan di kiri, kanan dan depannya Sengaja ia

Ia berjalan lambat-lambat, Ia berjalan lambat-lambat,

D udu klah ia di bawah sebatan g pohon kenari. Semua orang namp ak sibuk. Tak ada orang berlenggang-kangkung dengan tangan kosong. D i sana orang sedang menggotong atau mem ikul balok dan papan. D i sini orang sedang menumpuk kayu. D ari mana-mana datang bunyi orang mem belah, mem ohon atau berseru-seru mem beri perintah,

D alam bedeng-bedeng tanp a dinding orang sedang melengkungkan papan yang dipatok-pato k dengan kayu pada tanah dan mem anggan g lengkungan dengan api. D an kapal-kapal besar yang sedang digalang adalah laksana kerangka ikan raksasa yang sedang dirubung semut.

G erobak-gerobak beroda kayu untuk mo ndar-m andir mengangkuti pasir, batu dan kayu. D i tempat yang paling jauh orang sedang mem badari batu karang untuk dibikin kapur.

Semua serba berbeda dengan di bandar Tuban, juga dengan di bandar galangan G lendong.

Mereka akan segera mengenali aku sebagai pendatang baru, pikir juara gulat itu. Ia bangkit berdiri waktu seseoran g mem anggilnya sambil melambaikan tangan. Pakaiannya sama juga dengan orang Tuban.

“Hai, kau! Tidak bekerja?” Sekaligus ia dap at menan gkap, akhir suku kata yang di

tempatnya disebutkan jadi a miring, di sini jadi o miring. Belum lagi ia sempat menjawab orang itu sudah

meneruskan: “Ha, pendatang baru. Kebetulan. Apa bisa kau kerjakan? Menukang? Besar betul badanm u.”

“Hanya m emikul,” jawab juara gulat itu menirukan lidah Jepara.

“Baik,… Man ikuti aku. Kami kekurangan pemikul”

D engan demikian mu lailah W iranggaleng bekerja sebagai pemikul balok, mond ar-mandir dari penump ukan ke galangan. Menjelang matari tenggelam orang mem bawanya ke bedeng tidur di daerah pelabuhan itu juga. Setelah makan malam orang pun merebahkan diri berjajar- jajar seperti di asram a di Tuban dulu, hanya ambin di sini tidak dari kayu, seluruhnya dari bambu dan pelupuh. D an kepinding m enyeran g dari segala penjuru.

Kelelahan menyebabkan orang segera tertidur. N am un tidak semua menyerahkan diri pada mimpi. Tak kurang

orang sengaja menunda kantuk sesuai dengan pesan orang tua-tua untuk belajar sesuatu

dari orang Iain, mendengarkan wejangan, berita, untuk meningkatkan pengetahuan.

Pada malam pertama juara gulat itu menggolekkan tubuhnya yang besar di samping-m enyamping oran g-orang yang belum dikenalnya. Ia tahankan bau yang keluar dari pakaian mereka. D an ia tak mencoba membuka mu lut. Ia berusaha mendengarkan

segala apa yang dap at didengamya.

D ari kegelapan beberapa depa dari temp atnya ia dengar seorang pekerja berkata pada teman-tem annya.

“Kerajaan itu, Islam atau tidak Islam, dikuasai oleh raja yang menentukan aturan praja. Aturan itu tak banyak

bedanya pada semua kerajaan, ada hukum an dan ada karunia. Kalian hanya harus mematuhi dan menjalankan, dan semua akan berjalan beres. Kalian pasti selam at tak kurang suatu apa.”

“Apakah kau pernah hidup di dalam istana?” “Tidak.”

“Tahukah kau, banyak juga orang yang sudah menjalankan dan mem atuhi aturan dengan sepatutnya nam un dibunuh juga oleh raja?”

“Mesti ada sebabnya, ada kesalahann ya. Misalnya karena

orang itu akan menggulingkannya.”

cemburu

kalau-kalau

“Betul, itu m emang ada,” orang lain mem benarkan. “Boleh jadi raja itu mengh endaki istri atau anaknya yang

cantik.” Jantu ng Wiranggaleng berdebar-debar. Idayu muncul

dalam penglihatan batinnya. Tapi segera kemudian lenyap oleh kata-kata orang tersebut.

“Itu namanya raja lalim. D alam kerajaan Islam tak ada raja lalim , semu a adil.”

“Baiklah tak ada raja Islam yang lalim. Sekiran ya raja Islam itu lalim, siapa yang mengh ukumn ya? Ataukah tidak akan dihukum seperti halnya dengan raja-raja Syiwa atau Buddh a atau W isynu?”

Juara gulat itu tak mampu lagi mengikuti perdebatan. Pikirannya sibuk mengurus kekuatirannya sendiri.

0o-d w-o0

Beberapa minggu kemudian tahulah ia, pekerja yang suka mem berikan ceramah itu tak lain dari seorang musafir

D emak, seorang di antara para pemasyhur D emak dan Sultan Sri Alam Akbar Al-Fattah. Ia menam akan diri Hayatu llah. Orang yang sudah mengenalnya sejak kecil mem anggilnya Anggoro, bukan Anggara, karena dilahirkan pada hari Anggara. Pada suatu malam Hayatu llah menerangkan pada teman-temannya, ada banyak putra

Adip ati Tuban yang telah mengikat kesetiannya pada

D emak, dan tak lama lagi Tuban pasti menjadi daerah

D emak. “Betapa hebatnya kerajaan Islam pertam a-tama ini,” ia

meneruskan dalam kegelapan bangsal tidur. “Belum seberapa um um ya, tapi lebih baik daripada semua kerajaan yang pernah ada. D ahulu seorang raja dapat berselir tanpa batas, dan selir-selir celaka itu tak punya hak sesuatu….”

D ari ujung am bin seseoran g mem bentak “Tutup mu lutmu. Kalau kau tak tahu tentang istana, jangan mem bual.”

D alam kegelapan itu W iranggaleng mem bayangkan Hayatu llah

rndan mencari-cari penyangkalnya, karena tak lama kemudian terdengar mu safir D emak itu menan ya.

terdudu k

dari

“Siapa itu? Adakah kau sendiri isi istana? Kalau isi istana mengapa tinggal dalam bangsal gelap ini? Atau kira-kira kau seorang pangeran tersasar?”

“Tidur kau!” bentak suara orang tak dikenal itu. “Sudah malam, dan besok pagi masih harus bekerja. Kalau tak tahu

tentang istana, sebaiknya kau bertanya padaku. Semua selir raja punya hak, pertama gelar untuk anak-anaknya, hak keprajaan, kedua tanah yang harus digarap oleh oran g desa, ketiga pengakuan atas anak-anaknya sebagai anak syah raja. Itu sekedarnya saja tentang selir. Sudah, jangan berisik.”

Ternyata Hayatullah tak mau diam. D engan berapi-api ia ganti menyangkal: “Itu katamu . Siapa yang menjamin hak- hak itu dilaksanakan?”

“G oblok kau! M enteri-dalam mengu rus semua itu.” “Siapa

menjamin Menteri-dalam melakukan kewajibannya?”

“Yang menjamin Hayatu llah alias Anggoro tentu,” penyangkal itu berseru jengkel, kemudian sengaja mem perdengarkan kuapnya.

“Jangan m emperm ain-mainkan aturan, kau,” Hayatullah mem peringatkan. “Kalau jaminan aturan mesti berlaku tidak ada, tak usah orang bicara tentang aturan. Beda dalam kerajaan Islam. Jangan pura-pura tidur, kau. D engarkan biar kau tahu sedikit tentang D emak, karena bagaimana pun kalian sekarang ini tak lain dari kawula D emak.”

Pertentangan itu menyebabkan oran g-orang diam mendengarkan.

“Raja Islam hanya boleh beristri empat, dan semua mereka punya hak yang diatur di dalam Alkitab. D ahulu aturan-aturan ditulis dalam seratus lembar lontar yang bemam a N itisastra.”

Seseorang terdengar tertawa berbahak m engejek. “Hayatu llah! Tahu apa kau tentang N itisastra?

Mem asuki mandala pun kau tak pernah. Mem baca Jawa pun kau tak tahu….”

“Ada ratusan kali seratus lembar lontar aturan yang harus dipatuhi oleh raja Islam dan kawulanya,” Hayatullah meneruskan tanpa m enggubris penyangkalnya.

“Aturan bukan hanya ada dalam N itisastra,” seorang lain menyangkal dalam kegelapan yang sama. “Ada ban yak

aturan dalam lontar yang kau tak tahu . Perlukah aku sebutkan satu-per-satu?”

“Biar pun lontar-lontar itu dua puluh kali seratus kali dua ratus… berapa saja kau sebutkan, sama saja,” Hayatullah meneruskan, “tak dap at dibandingkan dengan Alqur’an atau Alkitab atau Alfurkon, karena kitab ini berasal dari

Allah melalui rasulnya. Lontar itu hanya berasal dari para raja dan para empu, para pujangga.”

Untuk ke sekian kalinya Wiranggaleng telah tertidur sebelum ceram ah selesai.

0o-d w-o0

Di siang hari sewaktu bekerja ia mencoba mem perhatikan Hayatu llah. Tubuhnya kecil rap uh, oto t- oto tnya pendak dan tipis, tetapi ia bekerja tanpa henti-henti. Seakan sedang mengerjakan sawah dan ladang sendiri. Matanya tidak tenang, pikiran nya seperti selalu melayang ke manam ana. Pada waktu istirahat siang selalu ia pergi menyendiri membawa lodong bambu berisi air tawar, mem basuh tangan, mu ka, dahi rambut dan kaki, menggelar tikar di bawah sebatan g pohon, kemudian bersembah yang.

D i malam hari ia mu ncul di bangsal tidur bila oran g sudah pada bergolek di tikar masing-masing dan ia langsung bercerita atau mem buka persoalan seperti dilakukan oleh para guru-pembicara di desa-desa. Bedan ya, para guru- pembicara di desa-desa bicara pada mereka yang mem punyai perhatian, mu safir D emak ini bicara terus tak peduli ada yang dengar atau tidak.

“Siapakah putra-putra Tuban di D emak?” G aleng mem beranikan diri bertanya.

“Lidahm u seperti lidah Tuban,” tegur Hayatullah. ‘Tidak.” “D ari Lao Sam barangkali?” “D ua-duanya tidak,” jawab juara gulat itu. “Mem ang tidak ada urusanku dengan asalmu. Putra-

putra Tuban yang terkemuka di D emak ialah Raden

Kusnan, Punggawa-dalam . Yang lain Raden Said, anggo ta Majlis Kerajaan. Orang mem anggilnya juga Ki Aji, Kalijaga, dan lebih suka dipan ggil demikian. D ibuangnya Raden leluhur sendiri dari Majapahit dulu, digantinya dengan Ki Aji, gelar pemberian orang yang mencintainya.”

“Mengapa dibuang gelar dari leluhumya?” “G elar kafir itu tak mengandung sesuatu arti di

dalam nya. D alam Islam, hanya perbuatan orang yang dinilai oleh sesam a dan oleh Allah. Perbuatan atau am al Ki Aji Kalijaga luar biasa agun gnya. D engarkan ceritanya, karena barangkali di Tuban sendiri tak pernah kau dengar.”

D i T uban sendiri mem ang tak pernah terdengar. “Beliau telah tinggalkan Tuban dan mengem bara ke

mana-mana untuk mem asyhurkan Islam. Beliau keluar- masuk desa-desa. Beliau tidak bicara di balai-balai desa seperti para guru-pembkara yang tak tahu apaapa tentang wahyu Allah itu. Beliau lebih suka m emilih tempt di bawah- bawah pohon rindan g, mengajak anak-anak bermain-main dan berceritalah beliau tentang kisah para nabi dan mu kjijatnya. Lama-kelamaan

ibu-ibu mereka ikut mendengarkan. Kemu dian juga para bapak.”

“Apa kisah para nabi itu? Apakah sama dengan kisah para dewa?”

“Cet, cet, jangan samakan nabi dengan dewa, karena nabi mem ang bukan dewa. N abi sungguh-sungguh pernah

ada, pernah hidup di atas bum i dan di antara manusia, menerima wahyu langsung atau tidak langsung dari Allah.

D ewa-dewa tak pernah hidup di atas bumi dan selalu ngawur.”

“Siapa bilang para dewa tidak ada?”

“Kalau pernah ada, mana keturunann ya? Hadap kan padaku seorang saja di antara.” Mereka yang tidak setuju dan jengkel mu lai bersorak-sorak mengejek. Wiranggaleng diam mem perhatikan sebagaimana biasa pada waktu ia di balai-desa mendengarkan seorang guru-pembicara. W aktu ejekan telah reda, terdengar lagi suara Hayatu llah yang tak mengacuhkan gangguan.

“Begitulah pada suatu kali Raden Said sampai ke sebuah desa. Mereka adalah orang-oran g kafir penyembah Sang Kali”

“Apa kafir itu?” “Mereka yang tidak percaya dan tidak tahu ajaran para

nabi. Ingat-ingat, kafir namanya. Jadi setiap penyembah berhala, yang nampak atau tidak, termasuk Sang Kali, kafir nam anya.”

“N gawur, kau, Hayatullah, tak ada orang menyembah Sang Kali Orang hanya menyembah Sang Maha Buddha”

G aleng mem bantah karena tersinggu ng. “Kalau kau bilang Sang Maha Buddha tak pernah ada, lebih baik pecahkan

saja kepalamu sendiri.” Tetapi Hayatullah tak peduli dan meneruskan. “Anak-

anak itu pada datang, ibu-ibunya, bapak-bapaknya. Kemu dian juga tetua desa. Pertentangan pendapat terjadi, perdebatan, sehari, seminggu, dua bulan. Tak ada di antara tetua desa dapat mengalahkan beliau. Begitulah akhimya mereka dapat ditaubatkan.”

“Apa artinya ditaubatkan ?” “D iyakinkan akan kebenaran Islam, dan mem bawa

mereka masuk Islam. Mereka meninggalkan Sang Kali. Mereka menyembah Allah dan m endengarkan perintah dan meninggalkan larangan-N ya.” Ia diam sebentar. “Kau mereka masuk Islam. Mereka meninggalkan Sang Kali. Mereka menyembah Allah dan m endengarkan perintah dan meninggalkan larangan-N ya.” Ia diam sebentar. “Kau

W iranggaleng telah tertidur.

D alam pekerjaan sehari-hari ia mengetah ui, pembikinan kapal-kapal perang dan niaga itu berjalan sangat cepat, tidak seperti di G lond ong. Sebuah kapal terbesar, yang akan dipergunakan jadi kapal bendera akan dapat mengangkut lim a ratus prajurit laut dengan empat belas cetbang besar pada haluan dan lambung. Badan kapal itu akan dilepa dengan tujuh lapis adonan kapur dengan minyak kelapa. Peluru Peranggi diperkirakan takkan dapat m enembusinya.

Orang tak banyak mem bicarakan kapal yang mereka sedang bikin sendiri. Di dalam bangsal tidur apalagi. Justru soal-soal lain yang orang percakapkan.

Pada malam-m alam selanjutnya Hayatu llah tak mu ncul. Beberapa orang, menganggap itu suatu keberuntungan,

karena si pengganggu tidur mem biarkan mereka melepaskan lelah dengan dam ai. Sebaliknya beberapa orang yang sudah terbiasa mendengarkan para pembicara di desa- desa menyatakan, tak ada buruknya orang m engetahui hal- hal baru yang terjadi di atas dunia m anusia ini.

Lam a-kelamaan ketahuan juga Hayatullah tak seorang diri menghilang di malam hari. Beberapa orang ternyata Lam a-kelamaan ketahuan juga Hayatullah tak seorang diri menghilang di malam hari. Beberapa orang ternyata

D an sejak itu mereka tak lagi bersembah yang di temp at terbuka, terlindung dari hujan dan angin dan panas.

Pada suatu tengah malam Hayatullah muncul lagi. Tetapi ia bukan pembicara cerewet yang dulu. Ia sudah jadi

orang lain. Tak seorang pun berani mengejek atau menyorakinya walaupun tidak setuju. Kata-katanya mu lai didengarkan oleh semua oran g dengan sunggu h-sungguh – suka atau tidak suka.

“Bukankah pembikinan rumah sembahyang itu, temp at orang menyembah Hyang baru itu, mengu rangi kelajuan pembikinan kapal?” sekali waktu seseoran g bertanya dalam kegelapan .

“Mengapa tidak tidur saja di rumah sembahyang?” seorang lain lagi bertanya.

“Bagaimana kau dapat mengatakan pembikinan rumah itu m enyendatkan pembikinan kapal? Kapal dan Islam akan belayar bersama-sam a, tidak tunggu-menunggu. Apakah arti kerajaan Islam kalau Islam tak berkemban g di antara kawulanya? Tidak seperti Hindu dan Buddh a, oran g-orang desa harus bangunkan sendiri asrama, mandala dan perguruan sendiri. Sedang kapal-kapal itu gunanya untuk menumpas Peranggi yang jelas-jelas, mem usuhi Islam. Peranggi tak boleh mem asuki N usantara, apalagi Jawa, karena cepat atau lambat semua penduduknya akan m asuk Islam.”

“Mana mu ngkin. Apakah semua kami harus masuk Islam?”

“Tak ada yang mem aksa kalian masuk Islam. Adakah aku mem aksa kalian masuk Islam dan bertaubat? Adakah pembicara di desa-desa memaksa kalian mempercayai dan mengikutinya?Tetapi karena aturan Islam adalah yang terbaik, dia akan mengalahkan yang kurang baik dan yang tidak baik. Ada pun aku tidak tinggal di rumah sembahyang, walau sudah berdinding dan berpintu, tunggulah, lain waktu kalian akan tahu lebih baik.”

Hayatu llah m eneruskan kata-katanya tentang agam anya. W iranggaleng tak mendengarkan lagi walaupu n belum

tidur. Ia telah temukan yang dicarinya: Adipati Unus Jepara mem persiapkan armada untuk menyerang Malaka, untuk melindun gi Islam, bukan untuk mem anggil kejayaan dan kebesaran m asa silam pada guagarba hari depan. Unus akan mem bangun kan kejayaan dan kebesaran tersendiri, bukan kebesaran dan kejayaan Majapahit. Ia tak dapat bayangkan kebesaran dan kejayaan macam apa itu, dan ia merasa tak ikut jadi bagian dari padanya.

Pada keesokan harinya ia tinggalkan pekerjaan nya dan pindah ke bengkel pandai. Cetbang-cetbang buatan pandai Bareng itu temyata lebih besar daripada buatan Tuban. Em pat orang takkan kuat mem ikulnya, sedang bilik- ledaknya menggelembung sebesar buah kelapa. Ia tak dapat bayangkan seberapa besar peluru yang akan dilemp arkan dari bilik ledak sebesar itu. Ia sendiri belum pernah melihat peluru cetbang.

D ua bulan kemudian ia tinggalkan juga pekerjaan barunya.

0o-d w-o0

Seorang diri ia berjalan kaki memasuki D emak. Tetapi tak ada sesuatu yang penting didapatkannya. Ia saksikan penyemp umaan pemban gunan mesjid raya, pemban gunan jaian-jalan raya yang melintasi desa-desa dan tanah-tanah perawan menuju ke Semarang. Ia pernah melihat Raden Kusnan dari kejauhan. Ia pernah melihat Ki Aji Kalijaga sedang memasuki mesjid. Oran g yang tersohor itu berpakaian seperti bagawan, berkain baik tanpa wiru, berdestar batik dan berkerobong kain batik untuk penutup badan -atasnya. Kakinya tak beralas sedang destar nam pak begitu longgar di kepalanya dengan ikatan bergaya khusus. Ujung-ujung destar itu jatuh lunglai panjang-panjang pada bahunya. D an di bawah destar tak nampak ada ram but.

Berbeda dengan di Jepara, di D emak di mana-m ana orang bicara tentang armada yang sedang dipersiapkan dan tentang sekutu D emak yang akan bergabung dalam armada kesatuan, semu a kerajaan Islam termasuk Tuban.

Keterangan itu baginya telah berisi segala-galanya, walaupu n ia belum mengerti betul duduk-perkaran ya.

Kalau D emak satu-satunya kerajaan Islam di Jawa, mengapa Tuban dan Banten juga dianggap sebagai kerajaan Islam? Ia an ggap itu bukan m asalahnya. Yang jelas: D emak punya sekutu, arm ada gabungan akan dibentuk, semua akan m enyeran g M alaka.

Setelah lebih enam bulan m eninggalkan T uban ia m erasa telah cukup m enjalankan tugasnya untuk mengetahui segala sesuatu tentang persiapan Adip ati Unus Jepara. Ia bermaksud pulang. Di tinggalkannya D emak dan berangkat kembali ke Jepara.

Sesampainya di bandar Jepara ia melihat serombongan orang mengejar-ngejar dua orang berkulit putih berpakaian Sesampainya di bandar Jepara ia melihat serombongan orang mengejar-ngejar dua orang berkulit putih berpakaian

Mereka berdua melompat ke dalam perahu besar, mendayung cepat ke tengah laut. Sebentar kemudian layamya berkemban g dan dengan lajunya meluncur ke arah timur laksana burung camar.

Para pemburu pun berlompatan ke dalam perahu dan mengejar. Yang dikejar makin lama makin jauh tiada tercapai, lebih unggul dari perahu-perah u para pengejar. Maka pengejaran tak diteruskan.

D i bandar orang-orang pada duduk menyembah seseoran g yang berdiri bertolak-pinggang dikawal oleh beberapa belas orang prajurit berpedang. Orang itu kemudian menuding-nu ding ke arah larinya dua orang kulit putih tersebut dan meraung dalam bahasa Jawa langgam setemp at: “Bodoh! Bagaimana bisa mereka dibiarkan berkeliaran disini? Jawab, kau, Syahbandar.”

“Ampun, G usti, adapun pelabuhan Jepara ini tiada aturan menolak orang dari m ana pun juga datangnya.”

“Apa katamu ?” “Selama orang tidak mengajukan permo honan untuk

menetap atau untuk tinggal sementara di sini, Syahbandar saja yang berwenang mengijinkan atau menolak,”

Syahbandar Jepara menerangkan. “Atau orang tidak melewati daerah bandar. Boleh saja.”

“Benar, mengapa kau biarkan mereka? Mengapa kau ijinkan mereka?”

“Mengapa, G usti? Karena Jepara bandar bebas.”

“Apa kau kira ini bandar nenek-moyangmu sendiri? Ini pelabuhan D emak, bukan pelabuhan siapa saja.”

G usti,” Syahbandar mem bangkang. “Ketentuan itu belum pernah dirobah oleh

“Ini pelabuhan

bebas,

G usti Kanjeng Sultan ataupun oleh G usti Kanjeng Adip ati.”

Orang yang berdiri bertolak pinggang itu terdiam sejenak. Tiba-tiba ia meledak lagi: “Baik. Kau berwenang terhadap pelabuhan ini. Tetapi mengapa mereka kau biarkan bergelandangan memasuki galangan-galangan dan bengkel?”

“Belum pernah ada larangan. ” “Tidakkah kau bisa berpikir. Itu tak boieh untuk m ereka,

pendatang-pendatan g? berkulit putih itu?” “Jepara pelabuhan bebas, G usti.” “Kau mem ang sudah tua. Tidakkah kau ada kecurigaan

terhadap Peran ggi? Mata-mata dari Malaka, atau diturunkan dari kapal Peranggi?”

“Mem ang mereka Peranggi, G usti, dan Jepara masih tetap pelabuhan bebas.”

“Kami akan persembahkan pada G usti Jepara. Apa kebangsaanm u, Syahbandar?”

“Koja, G usti. Islam agama sahaya.” W iranggaleng duduk di bawah sebatan g pohon kenari

dan mengawasi kejadian itu dengan diam-diam. Peranggi temyata sudah memasuki Jepara, pikimya, Jepara belum lagi menjenguk Malaka. Sungguh berani oran g-orang kulit putih itu hanya berdua mem asuki negeri oran g yang mem usuhinya.

“Selamat untukmu, Syahbandar bukan Pribumi. Apa saja mereka perbuat di sini?” Syahbandar tak dap at menjawab. Orang lain yang menjawabkan: “Hanya melihat-lihat sam bil tertawa-tawa, G usti.”

“Mentertawakan siapa?” “Ampun, G usti,” orang itu meneruskan, “tak ada yang

mengerti bahasanya.” W iranggaleng

kepulangannya. Kedatangan dua orang kulit putih itu tentu saja sesuatu kejadian besar. Ia harus mengetahu i kelanjutann ya.

menan gguhkan

Kelanjutann ya adalah: Syahbandar Jepara diturunkan dari jabatannya. Anak-lelakinya yang menggantikan.

Mendengar itu juara gulat itu tertawa pada dirinya sendiri. Sama saja, dari Koja yang satu pada Koja yang lain. Mau tak mau ia teringat pada Moro Sayid Habibullah Almasawa. Satu demi satu perbuatan nya yang ia pernah ketahui berbaris di hadapan mata ingatannya. Apakah Syahbandar Jepara berbeda dari Syahbandar Tuban? Apakah mereka lebih baik dari Rangga Iskak, peranakan Benggala itu? D i Tuban oran g tidak suka pada Rangga Iskak atau pun Sayid Habibullah Alam asawa. Syahbandar Jepara, lama atau baru, barangkali sama saja. Ia pun mengh erani mengapa Adipati Tuban dan Jepara masih juga menggunakan orang asing.

Sebelum berangkat ke Tuban ia mem erlukan minta diri pada oran g-orang yang pernah dikenalnya. Ia pun datang ke galangan dan bengkel. Hayatu llah tak dijumpainya. Ia temukan orang itu pada senja hari di rumah sembahyang. Beberapa orang m urid m emenuhi ruangan dalam. Orang itu nam pak sedang mengajar dengan sebuah kitab terbuka di hadapannya. Beberapa oran g murid mengikuti segala kata yang diucapkannya, kata-kata aneh yang ia tak tahu artinya.

Lam a ia dud uk di luar mendengarkan. Ia mencoba-coba menirukan, tetapi tak bisa. Ia dengarkan Hayatu llah mem bacakan tafsimya dalam bahasa Melayu, kemudian terjemahannya dalam bahasa Melayu, kemu dian terjemahannya dalam bahasa Jawa: “D engan nam a Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Katakan: Berlindu ng

kata-kata selanjum ya W iranggaleng tak mengerti, “dari bahasa makhluk yang diciptakan-N ya. D an dari bahaya kegelapan malam bila telah datang. D an dari bahaya…. D an dari bahaya orang dengki, bila ia m arasa dengki….”

aku

pada…,”

Kalimat-kalimat itu tak punya kesam aan dengan acuan sastra Jawa. Ia tak dapat mengikuti. Ia tetap tak mengerti.

D an Hayatullah alias Anggoro m asih juga terus mengajar. Ia tak jadi minta diri. D itinggalkannya tempat duduknya,

berjalan pelan menuju ke laut….

0o-d w-o0