Lahirnya Persekutuan Rahasia

29. Lahirnya Persekutuan Rahasia

Sebelum Aji Usup menghadap Adipati Tuban sebenarnya telah terjadi sesuatu yang penting baik di Jepara maupun D emak. D an kejadian itu adalah demikian: Mem ang tiada seorang pernah menduga, Sultan Trenggono sudi bersujud pada kaki Ratu Aisah, bahkan m encium kaki tua itu tiga kali berturut-turut. Ia masih tetap bersujud waktu Ratu Aisah telah pergi meninggalkannya.

Sultan menegakkan badan dan agak lama masih juga diam berlutut. W aktu ia berdiri oran g melihat matanya

merah. Tanpa bicara dan hanya dengan menuding dengan cambuk kuda ia menuju ke luar rumah diiringkan oleh semua pembesar pasukan kuda.

Sam pai di pelataran Sultan masih mem erlukan mengh adap pada rum ah itu dan sekali lagi mengangkat sembah dalam tegak berdiri. Kemu dian ia menaiki kudan ya.

D an pasukan kuda itu pulang ke D emak meninggalkan kepulan debu tanah Jepara di belakangnya.

Tak ada yang tahu apa sesungguhnya telah dibisikkan oleh ibu dan anak yang nam paknya begitu mesra itu. Perdamaian, orang m enduga. Kalau perdamaian itu tak lain Tak ada yang tahu apa sesungguhnya telah dibisikkan oleh ibu dan anak yang nam paknya begitu mesra itu. Perdamaian, orang m enduga. Kalau perdamaian itu tak lain

D ugaan-dugaan itu terbantah sendiri oleh keraguan bahwa D emak takkan mungkin mengeluarkan biaya sebanyak itu.

Tetapi di luar D emak, kecuali Tuban yang masih dalam keadaan lelah sehabis perang dalam negeri, ada kompromi atau tidak antara Sultan dengan Ratu Aisah. D emak tetap dianggap sebagai kepundan yang setiap waktu akan melanda seluruh Jawa. Mereka menegangkan kesiagaan dan melatih balatentaran ya masing-masing. Seluruh Jawa, kecuali Tuban, siap dengan persiapan perang. Beberapa orang bupati -apalagi mereka yang punya ikatan darah atau

perkawinan – sudah pada mem bikin persekutuan militer untuk menanggulangi muntahnya kepunday. D engan adanya persiapan-persiapan itu oran g menaksir Tuban sebagai negeri yang paling lemah, akan menjadi mangsa pertam a dari T renggana.

Para bupati pesisir sudah pada mengeluarkan larangan kapalnya untuk menyinggahi Jepara. Akibatnya Jepara terkena boikot dari Jawa sendiri.

D i Malaka, berbulan-bulan laman ya para pembesar Portugis mencoba menem ukan apa sesungguhnya diucapkan dalam babak terakhir mu an antara Sultan dan Ratu. Mereka berpendapat, berlainan umumnya di Jawa, bila ibu dan anak itu berdamai dalam kesepakatan berarti bersatunya dua pendapat: persekutuan antara raja-raja

N usantara seperti diimpikan oleh Unus ada kemungkinan bisa terlaksana, dan bila demikian halnya nasib belah bum i bagian selatan ini sudah dap at diram alkan.

Portugis akan terusir dari Malaka, Pasai, maluku dan seluruh perairan nya. Perdagangan rempah-rempah sampai

G oa seluruhnya akan jatuh ke tangan Pribumi atau saudagar Atas Angin. Perdagan gan dan jalanlftra antara Jawa dan Malaka boleh jadi akan jatuh seluruhnya ke tangan Pribumi.

Berdasarkan pendapat itu mereka mengambil tindakan mem batasi lagi pelayarannya ke Maluku, tidak lagi

mem asuki perairan Jawa, dan dipusatkan kekuatannya pada garis Pasai-M alaka, mem bentuk bentengan laut yang tak bakal kena terjang.

D i D emak sendiri berita-berita tentang pertikaian antara Sultan dan Ratu m enjadi padam.

Apakah benar Trenggono akan melaksanakan perang dengan pedang bermata dua? Mengapa Sultan tiba-tiba nam pak tak begitu peduli pada pasukan kuda dan pasukan kaki? Sebaliknya, mengapa Jepara sekarang jadi sibuk lagi dan penggalangan kapal-kapal perang digiatkan kembali seakan arm ada itu sudah akan terangkatkan dalam setengafctujgR mendatang? Bila benar demikian, bukan itu berarti kemenangan mu tlak bagi Ratu Aisah? Sebaliknya juga berarti kekalahan bagi Trenggono ? sedang bila Ratu yang menang mengapakah belum juga nampak ada usaha kearah persekutuan dengan raja-raja N usantara.

Maka oran g pun dengan cucuknya menunggu-nunggu apakah amanat Sultan D emak.

D an benar, Sultan mengeluarkan amanat, yang berseru pada para raja dan bupati di Jawa dan N usantara untuk D an benar, Sultan mengeluarkan amanat, yang berseru pada para raja dan bupati di Jawa dan N usantara untuk

Tetapi para penguasa di Jawa tak ada yang menan ggapi seruan itu. Mereka pada um umn ya menganggap seruan itu sebagai suara khianat dari neraka. Pendapat umum di kalangan prajawan di Jawa adalah: dengan armada gabungan yang akan dibentuk D emak akan dap at mengu ran gi

penggunaan kekuatannya sendiri, mem perbanyak kekuatan darat yang ditinggalkannya dan akan menerkam

tetangga-tetan gganya sendiri dari punggung mereka. Khianat! Khianat! Bukan saja mereka

tidak menggubrisnya,

memperuncing kewaspadaannya.

bahkan

Hanya Adip ati Tuban tidak menan ggapi semua itu. Ia sibuk dengan persoalan pribadinya sambil menunggu datangn ya Sang Maut. Ia sama sekali tidak tahu. Patih Tuban Kala Cu wil Sang W irabumi telah mem bikin persiapan-persiapan di perbatasan untuk menggasak mem beludaknya pasukan darat D emak. Ia tahu D emak pada suatu kali akan menyerang. Maka ia pasang pasukan kaki dari penduduk sebelah barat Tuban yang dikenakan wajib militer. Ia sama sekali tak gentar terhadap D emak, yang dinilainya tak punya kekuatan gajah. Ia tak tahu, bahwa D emak menganggap enteng pasukan gajah Tuban, yang takkan mu ngkin menem puh jarak jauh untuk mem pertahankan perbatasan. Tapi Kala Cu wil juga yakin dari bukti-bukti dalam sejarah, bahwa pasukan kuda yang sekuat-kuatnya tak pernah bisa mengh ancurkan pasukan gajah. D emak tak punya dasar untuk menentang Tuban. Hanya raja gila atau nekad berani berbuat demikian. Apalagi pedalaman Tuban sudah mu lai pulih kembali dan bandar pun m ulai sedikit hidup.

Sang Adipati yang hanya sibuk dengan persoalannya sendiri merasa sangat aman dalam penjagaan Kala Cu wil. W iranggaleng merasa telah diusirnya tanpa ampun ke desanya kembali. Jauh dari para kepala pasukan ia takkan berdaya sedikit pun. Dia sudah pergi dan para kepala pasukan tak dapat berbuat apa-apa. D ia pun takkan berbuat apa-apa. D ia pun tak bisa berbuat apa-ap a di pedalaman sana. D ia akan kembali jadi petani biasa tam bah tanpa sesuatu kekuasaan dan pengaruh. Tetapi ia teringat pada

G ajah Mada dan Ken Arok kadan g timbul pernyataan dalam hatinya: siapa dap at meramalkan apa akan

diperbuat, oleh seorang anak desa dun gu dan pelancang justru karena dungunya? D an ia serahkan semua persoalan pada Kala Cu wil juga. Patih yang bijaksana itu akan tahu apa harus diperbuatnya. Biar demikian sesalannya, bahwa anak desa pelancang itu justru dicintai dan dihormati para kawula suka menyesakkan dad anya. D an ia mengakui tak berani menyingkirkan dari m uka bumi.

Maka sekarang ini, sekiran ya D emak datang padanya minta tenaga untuk keperluan apa pun, untuk menggemp ur

Malaka, Blam bangan ataupun Pajajaran, ia akan serahkan anak desa itu agar tumpas di negeri orang. Barulah duri ini akan hilang dari hari-harinya yang terakhir.

Kala Cu wil mempersembahkan amanat seruan Sultan Trenggo no dalam kamar peraduan. Seruan itu adalah

laksana lambaian tangan dari sorga. Ia titahkan Sang Patih untuk menunggu datangnya utusan resmi. Tuban tak perlu menjawab. Hanya utusan yang bisa jadi bukti adalah

D emak menghormati Tuban atau tidak. Bila dia datang, ia akan mengia kan dengan baik. Tapi sekiran ya D emak mem ukul Tuban secara khianat ia pun sudah sediakan jawabannya: W iranggaleng akan diangkatnya secara resmi sebagai Senapati Tuban.

D i D emak sendiri, tak lain dari Trenggono yang puas melihat reda nya desas-desus dan pertikaian anak di antara kawulanya. Sekarang yang haru s menan ggalkan anggapan, bahwa ia seorang anak yiang mursal terhadap ibu. Reda, reda di D emak. Sekarang ia tinggal menunggu kunjungan balasan dari G usti Ibunda Ratu. Bila itu terjadi, insya Attain semua pendapat akan menyokongnya, di Jawa maupun di luarnya. Kemenan gan mu tlak akan jatuh ke tangannya.

D i Jepara Ratu Aisah m eneruskan kesibukannya dengan masjid Mantingan. Bangunan itu masih juga belum dibuka.

Ia akan mem bukanya nanti sebagai peringatan berangkatnya armada gabungan menyerang Malaka, mu ngkin juga Pasai, sebagai kenang-kenangan.

Pada salah satu kunjungannya pada mesjid yang belum dibuka itu ia dapatkan Liem Mo Han sudah berdiri menunggu nya.

W an ita tua itu menyukai tembikar, apalagi yang tipis seperti kain dengan gam bar biru yang nampak bukan

berasal dari dun ia. Sebalik-nya Babah Liem suka bercerita tentangnya, bagaimana mem buatnya, apa bahan-bahann ya, dan warna cat tembikar mana yang mengandung racun.

Juga sekali ini: “Sahaya sudah banyak menjelajah negeri orang lain G usti, juga negeri Peranggi sendiri. Belum ada

bangsa lain selain leluhur sahaya yang bisa bikin tembikar semacam ini, yang mem bikin cniipp ini lebih indah dan berharga. Tembikar-tembikar ini, G usti, dibikin menurut kesukaan G usti Ratu, bukan hal dibikin dan dipasan g. Maka jadilah semua ini lamban g, bahwa semua orang Tionghoa di semu a Bandar di Jawa menyokong G usti Ratu, sama seperti kami menyokong G usti Kanjeng Sultan Al- Fattah dan G usti Kanjeng Unus almarhum ”.

Ratu Aisah senang mendengar keteran gan itu. Mata tuan ya bersinar sinar. Bagaimana pun nama-nam a itu begitu dekat dengan hatinya, la mencintai suam inya almarhum dan putranya almarhum.

“Kiranya tak ada yang salah dalam kata-kata persembahan sahaya G usti Ratu. Semua ada terentang dalam khasanah Kelenting Sam Po Khong di Semaran g. Tulisan tidak berubah, G usti, biarpun kata lisan bisa berganti dan berbeda-beda. Juga kami menyokong penghalauan atas Peranggi dari belah bum i bagian selatan ini”.

Mereka masuk ke dalam bangun an, meneliti relief itu satu per satu untuk ke sekian kali. Kemu dian mereka berhenti pada sebuah relief yang menggam barkan seorang wanita yang sedang menari. Kembali Liem Mo Han mem persembahkan keterangan.

“Ini, G usti Ratu, yang baru dipasang adalah gam bar seorang penari dari Mantingan ini juga, yang pertam a-tama taubat dan menjadi Islam. D i negeri leluhur sahaya. G usti, wanita juga suka menari seperti di sini: Kadang-kadang juga tam pil sebagai panglim a perang”.

Mendengar kata-kata terakhir itu Ratu Aisah tak jadi bicara tentang gam bar penari itu.

“Pernah kami berangsur-angsur, Babah,” bisiknya, “ah,” terengah-engah, sekarang ia tertawa, “berangsur-angsur

sekiran ya jadi pria. Tidak, bukan kami hendak menyalahi ketentuan Allah s.w.t. hanya berangan -an gan… sekiranya kami pria, ada praja di tangan ….”

“D engan kewibawaan G usti Ratu, tanpa G usti sendiri”. Liem Mo Han menggarami, “Kanjeng G usti Unus almarhum sudah melaksanakan”.

“Kau betul Babah”. “Kanjeng G usti Itu sudah mem persiapkan armada besar

dulu, sudah menyerang Malaka. Sebelum wafat dipersiapkannya lagi, lebih besar. Bukankah hanya dengan kewibawaan G usti Ratu armada itu bisa bergerak, berlayar, dan

mem bawa tugas yang megah dan agung? Menyelesaikan yang belum terselesaikan oleh Kanjeng

G usti Unus Bukankah armada itu tidak akan diubah jadi arm ada nelayan, G usti? Samp ai punya pikiran begitu macam?”

“Ampun. G usti, jangan menjadi kegusaran G usti, karena sayang sekali bila dem ikian nanti akan jadinya”.

“Armada itu adalah amanat, wasiat, untuk dikirimkan ke Malaka, Babah”.

Seorang calon penunggu mesjid mendengarkan semua pembicaraan itu. Melalui dialah berita tentang percakapan itu tersebar ke seluruh negeri, mem bangkitkan kegusaran pada pasukan kuda dan pasukan kaki D em ak.

Tidak lebih dari lima belas hari kemudian seorang yang tidak dikenal telah mengh adap pada Ratu Aisah,

mem persembahkan: D emak berada dalam keadaan gelisah. Setiap saat Sultan Trenggono

bisa jatuh karena pembangkan gan. Bahwa sumber kegelisahan adalah G usti Ratu Aisah sendiri yang pernah menyatakan D emak akan menyerbu Malaka, menyalahi persetujuan Sultan dan Ratu dalam pertemu an terakhir.

Tak lain dari Ratu Aisah sendiri yang mengetah ui. Trenggo no seorang berhati keras, tak ragu-ragu mem bunuh abang sendiri untuk dapat melaksanakan impiannya. Ia bukan seorang yang lincah, tidak bisa berbelit-belit. Maka penghadap itu tidak mungkin utusan Trenggono yang sederhana pikirannya itu. Ia menduga oran g itu utusan dari Tak lain dari Ratu Aisah sendiri yang mengetah ui. Trenggo no seorang berhati keras, tak ragu-ragu mem bunuh abang sendiri untuk dapat melaksanakan impiannya. Ia bukan seorang yang lincah, tidak bisa berbelit-belit. Maka penghadap itu tidak mungkin utusan Trenggono yang sederhana pikirannya itu. Ia menduga oran g itu utusan dari

Ia m emutuskan untuk membuat kungkungan balasan. Liem Mo Han mengambil tempat di dekat rana berukir.

Ratu dud uk sambil mengu nyah sirih. Tak ada biti-biti atau inang di sampingnya.

Atas pertanyaannya Babah Liem menerangkan: “Kami semua menyokong G usti Ratu. Bagaimana bisa lain daripada itu G usti?, peranggi adalah juga mu suh kami bersama. Mereka m engganggu pelayaran perdagangan kami se-Maluku dan

perairan nya. Banyak kapal kami ditenggelamkan

atau tanp a pembajakan sebelum nya. Itu belum lagi semua. Sekarang mereka mem buka pangkalan di Sulawesi utara. Perairan mulai dari situ terus ke utara juga hendak dirajainya. Perairan Tiongkok Selatan sendiri pun sudah mu lai digerayangi. D ua bangtjji celaka, G usti, Peranggi dan Ispanya, harus dihadapi bersama-sam a”.

dengan

“Ya, dihadapi bersama seperti pendapat Unus almarhum”. Tetapi bukan itu yang diharapkan oleh Ratu Aisah. Yang dikehendakinya adalah bagaiman a ia harus hadapi Sultan dalam kemungkinan pemban gkangan pasukan kuda. D an ia tidak berani terang-terangan mengatakan.

“D alam usaha penghalauan Peranggi, G usti, tak ada orang lain yang mampu melaksanakan kecuali orang yang bernam a Wiranggaileng. Telah dia tump as perusuh Kiai Benggala di Tuban dalam hanya beberapa m inggu. D ia pun telah jalankan berbagai tugas dengan baik. Tapi sekarang dia sedang diusir dari praja Tuban”.

D an beralihlah pem bicaraan pada W iranggaleng. “Apakah benar pendengaranku, Babah, dia hanya anak

desa? Jangankan m emimpin pertempuran laut, berlayar pun tak pernah”.

D an Liem Mo Han jadi berkobar-kobar: ‘Tidak benar,

G usti. Orang yang bernam a W iranggaleng pernah ikut gugu san Tuban, ke Malaka mengikuti armada Jepara,

G usti.” “D i bawah Raden Kusnan?” “Tidak keliru, G usti. Kalau sahaya tak salah, orang itu

pernah memikul tandu almarhum G usti Kanjeng Unus waktu mendarat di Jepara dari kapal bendera. D ialah yang

mem impin pulang gugusan Tuban dari Jepara. Diangkatnya anak desa itu jadi kepala pasukan laut Tuban. Setelah jadi Patih Senapati Tuban dan mengalahkan Kiai Benggala dia di usir dari praja”.

“Apa kesalahan nya, Babah?” “Kesalahannya adalah karena dia hanya anak desa”. “Ya-ya, aku mengerti. Babah. Kau sangat mengh argai

anak itu. Mu ngkinkah dia berani mengh adapi Peranggi di laut?”

“D ia pernah perintahkan pasukan pengawal Tuban mengu sir kapal Peranggi. Sahaya sendiri ikut m enyaksikan.

G usti, kapal itu dipimpin oleh Peranggi berangsangan bernam a Fran cisco de Sa. Peranggi menem baki Tuban

dengan meriam ….” “Peristiwa itukah yang kau maksudkan?” “Ya, G usti, peristiwa yang menggemparkan semua

bandar di Jawa itu. G usti. Tuban m embalas dengan enteng. Bukan karena Tuban dapat menenggelamkan kapal

Peranggi itu yang sahaya nilai, tetapi kepandaian W iranggaleng dalam

mengatur dan menggunakan balatentara yang ada padanya bisa menghadapi Peranggi, di laut, di darat, di mana pun”.

“Jadi dia m ungkin berani hadapi Peranggi di laut?” “Bukankah tak perlu benar Peranggi dihadapi di laut,

G usti? Mereka harus diusir dari darat. Tepat seperti rencana almarhum G usti Kanjeng Unus, mendarat di utara Malaka, dan dari sana bergerak ke selatan , langsung menyerang saran g Peranggi.” Suara Liem Mo Han kehilangan kobarnya dan menjadi rendah berangguh-angguh. “Kalau

G usti Ratu menyerahkan tugas pada sahaya untuk mem bujuk G usti Adip ati Tuban untuk ikut bergabung, sahaya sanggup, G usti”.

“Jangan, Babah. Itu bukan urusanm u. Berikan saja padaku Wiranggaleng”.

Percakapan itu tidak mencapai maksud sebagaimana diharapkan oleh Ratu Aisah. Ia harus mem ecahkan sendiri bagaimana sebaiknya mengh adapi Sultan. D i bawah tekanan pasukan kuda yang menolak perang laut, ditam bah dengan kekerasan hati sultan sendiri sejak kecil bila menginginkan sesuatu pasti Trenggono akan meneruskan niatnya menguasai seluruh Jawa. Ia harus datang berlembut-lembut sebagai seorang ibu kepada anak, bukan sebagai Ratu Aisah terhadap Sultan. Ia akan berusaha mem bujuknya untuk melaksanakan penyeran gan ke Malaka.

0o-d w-o0

W aktu tandunya m emasuki perbatasan kota D emak, satu regu pasukan kuda menjemputnya. Mendekati istana, satu W aktu tandunya m emasuki perbatasan kota D emak, satu regu pasukan kuda menjemputnya. Mendekati istana, satu

Melihat sambutan yang berlebih-lebihan itu Ratu Aisah mengerti, semua telah diatur menurut kehendak pasukan kuda, akan dipaksa untuk bicara secara resmi dalam balairung penghadapan. Sultan Trenggo no menyam butnya dari atas singgasan a, turun dan membimbingnya dudu k di atas singgasana permaisuri.

W an ita tua itu mengelakkan semua basa-basi istana, ia mem bisu tentang praja. Ia justru menyatakan datang ke

D emak hendak menentui cucu-cucunya, dan turunlah ia dari singgasana permaisuri.

Penghad apan bubar dengan kekecewaan. Trenggo no mengikuti Ratu Aisah dari belakang. D an

wanita tua itu langsung menuju ke tam an dalam . Juru tam an telah menyingkir dan disanalah ia hadapi Sultan

sebagai seorang anak. “Trenggo no, anakku.” katanya lembut. “Aku tahu sejak

kecil kau kepala batu. Kepala batu mem ang tidak apa-apa kalau masih kanak kanak. Kau bukan kanak-kan ak lagi. Kau seorang Sultan. Majelis sudah tak kau dengarkan lagi. Ibum u sendiri pun tidak. Kau bertanggung jawab atas kematian abangmu. Baiklah kalau itu sudah jadi kehendakmu. Tetapi yang kudengar belakangan ini kau tertekan oleh kehendak pasukan kuda, yang kau sendiri telah perbesar, kau timang-timang dan kau anak emaskan secara menyolok, berlebih-lebihan”.

“Tidak benar, bunda. Sahaya memang kepala batu. Tapi tidak benar pasukan kuda bisa menekan sahaya, apalagi “Tidak benar, bunda. Sahaya memang kepala batu. Tapi tidak benar pasukan kuda bisa menekan sahaya, apalagi

“Jadi kau akan segera m embuat perang?” Trenggo no tidak m enjawab. “Baiklah kau tak menjawab. Jadi kau akan segera

menyerang, itu hak seoran g raja. N amu n jangan lupa pesanku: M alaka.”

Ratu Aisah pulang kembali ke Jepara tanpa penghormatan pasukan kuda. Ia mem bawa janji Sultan, bahwa ia akan mengirimkan arm ada ke Malaka dalam jum lah tidak sebagaimana direncanakan oleh Unus.

Ia pun mem bawa oleh-oleh: seorang cucu perempuan, anak T renggono’.

Tetapi yang terpenting dibawanya adalah kekecewaan: kekuatan yang dijanjikan untuk menyerang Malaka terlalu kecil. Jadi Sultan akan tetap menyerang saudara- saudaran ya, tetangganya untuk dapat mengu asai Jawa.

Tak ada jalan lain dalam meneruskan cita-cita putran da tercinta Unus daripada sekutu-sekutu perang. Trenggono

nyata sudah tak dap at di harap kan. D engan hendak mengu asai Jawa ia justru merusak persekutuan untuk menyerang Malaka. Ia akan tetap mencoba dan berusaha, Bila takkan didapatkann ya sekutu Jawa, akan dicobanya di luar Jawa; Sumatra, Sulawesi, Kalimantan. D an kalau semua toh itu gagal juga, ia masih ada cucu perem puan. Ia akan m endidiknya jadi pelaksana cita-cita Unus.

D emikian ia m emasuki Jepara mem bawa kekecewaan di satu pihak dan harapan di lain pihak. D an di Jepara yang ditemuinya adalah kesunyian. Persiapan armada telah D emikian ia m emasuki Jepara mem bawa kekecewaan di satu pihak dan harapan di lain pihak. D an di Jepara yang ditemuinya adalah kesunyian. Persiapan armada telah

D engan bantuan Liem Mo Han terjadilah persekutuan rah asia dengan Aji Usup, seorang pengikut Adipati Unus yang setia.

Aji Usup adalah kepercayaan almarhum putranya. Ia mem punyai pengaruh besar di kalangan praja dan golongan agam a. Beberapa tahu n sebelum penyerbuan Unus ke Jepara ia telah menunaikan rukun Islam ke lima dan telah menjelajah ke negeri Arab. Ia juga penasihat Unus tentang persoalan m anca praja.

Liem Mo Han seorang pemuka serikat rahasia N an Lung, N aga Selatan, yang mengikat para keturunan awak arm ada Ceng He, juga seorang penghubung Semarang dengan raja-raja di Jawa.

Ratu Aisah adalah seorang tokoh yang sangat dihormati dan didengarkan di seluruh negeri D emak dan Jepara.

D an persekutuan ini bermaksud hendak meneruskan usaha pembebasan Malaka pada satu pihak dan pada pihak

lain hendak menggagalkan rencana Trenggono untuk menindas bupati dan raja-raja merdeka dalam usahanya untuk menguasai Jawa.

Jalan yang ditempuh oleh persekutuan rah asia adalah menyiarkan tentang kejahatan kekuasaan Portugis dan

akibat buruknya terhadap N usantara seluruhnya, jahatnya rencana Trenggon o yang hendak mem erangi saudara- saudaran ya sendiri.

Penyiaran itu dilakukan melalui nakhod a dan awak kapal yang akan berangkat meninggalkan bandar Jepara dan Lao Sam.

D engan pengaruh yang ada padanya Aji Usup meniupkan semangat baru pada pasukan laut D emak yang berkedud ukan di Jepara dan lebih suka disebut pasukan laut Jepara. Ia telah berhasil mem bikin pasukan laut itu mengambil sikap bila Trenggon o tetap menganak-tirikan mereka, mereka akan bikin Jepara mem isahkan diri dari

D emak, dan mem bikin D emak jadi segumpal tanah lemp ung tandus tidak berarti.

Pasukan laut Jepara telah merupakan satu kebulatan. Bila Trenggo no mu lai menindas bupati-bupati merdeka,

mereka pun akan mu lai m emisahkan diri dari D emak. Beberapa kali Liem Mo Han memperingatkan Aji Usup

agar tidak mengu langi kekandasan armada D ampo Awang yang tidak bisa kembali pulang ke pangkalan. Karena itu pemisahan harus dilakukan tidak pada waktu Trenggono mu lai menyerang tetangga-tetangganya, tetapi pada waktu ia menjadi kewalahan. D alam keadaan demikianlah kemungkinan pemisahan diri dan melepas armada ke Malaka takkan menem ui rintan gan..

Setelah persekutuan rah asia mendapat kata sepakat dalam semua pokok, Aji Usup meninggalkan Jepara dan mengh ubungi para bupati merdeka di Jawa, Sum atra dan Sulawesi Selatan .

D an ia kembali dengan semangat rendah . Pada um um nya para bupati merdeka dan raja-raja, yang

dihubunginya, menolak. Mereka tak m enyukai kepongahan Trenggo no. D an mereka menilai sultan baru itu kepala batu, dun gu, dibandingkan dengan abangn ya, dan kegiatan yang terpokok hanya mengh ancurkan segala yang telah dibangun oleh abangn ya. D an Aji Usup mewakili siapa? Bukankah Jepara pangkalan pasukan laut D emak?

W alau demikian Aji Usup, yang selalu menggunakan nam a Trenggon o dan Ratu Aisah, telah menerima kesanggupan dari dua orang raja: Bugis dan Aceh. Pada waktu yang akan ditentukan pasukan-pasukan Bugis akan menunggu armada Jepara tiba di Aceh. Sekutu lain D emak, Jam bi, dengan menyesal menyatakan takkan dapat ikut serta.

Persekutuan rah asia itu menganggap, kesanggupan Aceh Bugis telah memadai untuk tingkat permu laan. D an Aji Usup akan m enghubungi sekutu lama di Jawa: Tuban.

Persekutuan juga telah sepakat untuk menampilkan W iranggaleng

pasukan-pasukan gabungan dari Jawa.

sebagai

pimpinan

Mereka tinggal menunggu Trenggono menyerbui tetangganya dan kewalahan.

0o-d w-o0

Trenggo no kemudian mengetahui juga sikap pasukan laut di Jepara. Takut pada perpecahan menyebabkan ia

menjadi ragu-ragu. Tetapi pasukan kuda terus menerus mendesak untuk segera menyerang, la tahu dirinya mu lai tidak berdaya, terjepit di antara dua kekuatan, yang dua- duanya sedang bersemangat perang. Tanpa pasukan laut dan tanpa arm ada, Peranggi sudah lama akan mem balaskan

dendamn ya terhadap D emak. Ia tak boleh melihat Jepara dengan sebelah mata. Sedang pasukan kuda yang terlalu kuat adalah bahaya yang lebih runcing bila semangat perangn ya tidak disalurkan.

D alam keragu-raguannya ia terpaksa mengeluarkan perintah melakukan penyerbuan semua terhadap tetangga- tetangganya,

yang

sebelum nya

diawali dengan diawali dengan

Tetapi pertempuran sesungguhnya terjadi juga di sana-sini. D an ia terpaksa lagi untuk ke dua kalinya menarik kembali pasukan- pasukannya. Ia kuatir terjadi pengkhianatan dari pasukan lama.

para

penjahat.

D alam keragu-raguan tidak menentu ini datang sepucuk surat dari Mekah padanya, menyatakan bersedia m embantu Sultan, baik dalam penyiaran agam a Islam maupun dalam usaha perang.

Surat yang tertulis dalam Arab berbahasa Melayu itu berasal dari Fathillah, bekas pemimpin perang di Pasai melawan Portugis. Ia dimasyhurkan di sekitar Selat sebagai cucu Bhre Param esywara, pendiri Malaka. D an ia belum lagi tahu, yang disuratinya. Unus, telah wafat.

D engan sebuah kapal Arab yang kembali m elalui sebelah barat Sum atra, balasan Trenggon o dibawa. Fathillah datang.

Ia seorang yang bertubuh tinggi, langsin g dan berisi, berhidun g mancung, berkulit langsat, beralis tebal dan berbulu mata panjang, berkumis bapang. Pandang m atanya dalam seakan semua yang dilihatn ya hendak dimasukkan ke dalam rongganya. D an ia berjubah putih dan bersorban

putih tanpa perhiasan. Sekali pandang Trenggono telah berkenan hatinya pada

pemimpin perang Pasai itu. D alam pembicaraan khusus, Trenggo no tak segan-segan menyampaikan kesulitan- kesulitannya mengh adapi perpecahan dalam kekuatannya sendiri dan tekanan dari mereka, juga kesulitannya dengan ibunda Ratu Aisah.

Trenggo no mem ang bukan Fathillah. Trenggono mengh endaki kekuasaan tak terbatas atas seluruh Jawa. Fathillah mengimpikan penyebaran Islam ke seluruh Jawa dan pembalasan dendam terhadap Portugis. Ia masih tak dap at melupakan kekalahann ya di Pasai. D an di D emak ia melihat ada cukup syarat untuk dapat melaksanakan semua impiannya.

“N am paknya tidak begitu sulit, Baginda Sultan,” ia mu lai menjelaskan pikirannya, “pertentangan dengan pasukan laut ataupun kuda dapat diatasi. D emak akan tetap utuh. Kedua belah akan dan puas dan ibunda Baginda pun akan merestui. Patik berpengalaman perang di darat, dan patik pun pelaut. Apabila Baginda Sultan ada kepercayaan pada patik biarlah semua itu patik urus”.

Trenggo no menumpahkan kepercayaan padanya. Pada suatu siang yang cerah dengan berkendara kuda dan diiringkan oleh beberapa belas prajurit kuda Fathillah meninggalkan D emak masuk ke Jepara.

D ip eriksanya armada dalam persiapan itu, kapal demi kapal. D an pada malam hari ia mengh adap Ratu Aisah,

dan menyam paikan dalam Melayu, bahwa D emak telah siap mengirimkan seluruh arm ada ke Malaka.

“Kapan hari besar itu akan terjadi, Panglima?” “Setiap waktu, G usti Ratu”.

Fathillah memperhatikan segala gerak-gerik dan perubahan airmu ka pada wajah wanita tua itu. Ia dap at menan gkap kilauan mata Ratu Aisah dan menganggap tugasnya berhasil; pasukan laut akan kembali dap at dikendalikan.

Keesokan harinya ia mengunjungi Aji Usup. P ercakapan dilakukan, dalam Arab sehingga para saksi tak ada yang Keesokan harinya ia mengunjungi Aji Usup. P ercakapan dilakukan, dalam Arab sehingga para saksi tak ada yang

Ketegangan antara D emak dan Jepara nampaknya akan reda.

Tak lebih dari sebulan setelah kunjungan Fathillah,

D emak merayakan pesta besar. Oleh Sultan, Fathillah dikawinkan dengan adiknya peremp uan.

Juga Ratu Aisah datang menghadiri. Hanya beberapa hari ia di samar kemudian pulang lagi ke Jepara. D emak dirasainya terlalu panas.

D an apa pun yang terjadi, apakah itu perobahan atau kah janji janji Fathillah yang mewakili Sultan, keputusan-

keputusan persekutuan rahasia tetap, mereka akan terus menjalankann ya. Mereka bertiga menyimpulkan; tidak percaya pada D emak dengan Panglim a barunya, yang dengan begitu gampang bisa m endapatkan kepercayaan dari Sultan.

Mereka bertiga menyimpulkan: tidak bisa oran g asing pendatang baru itu pandai melayani dan mem benarkan

semua keinginan pribadi Sultan dan pasti untuk dap at melaksanakan keinginan-keinginan sendiri.

D an betapa terkejut persekutuan rahasia itu m elihat pada suatu hari pasukan kaki D emak yang cukup besar ditempatkan di luar kota Jepara.

“Fathillah telah mengetahui rencana kita”, Aji Usup berpendapat “Mereka datang untuk mengh alangi pasukan laut Jepara bertindak.”

D an ia berpendapat pula, hanya karena adanya Ratu Aisah di antara mereka dalam persekutuan, Sultan tidak mengambil sesuatu tindakan. Juga Ratu, juga Liem Mo

Han berpendapat demikian pula. H anya mereka berdua tak samp ai hati menyatakan satu kepada yang lain.

dipusatkan untuk mendapatkan

D alam pertemuan

terakhir

D emak akan menggerakkan armada kecil yang dijanjikan oleh Trenggo no. Begitu armada akan bergerak mereka sudah harus mendap atkan Wiranggaleng untuk jadi pimpinan dan lansung m enuju ke Malaka.

keteran gan,

kapan

Untuk kepentingan itu Aji Usup harus pergi ke Tuban mengh adap Sang Adipati. D an Liem Mo Han harus kembali ke Lao Sam demi keselam atan nya.

Aji Usup berangkat dengan kapal yang sama dengan Liem Mo Han

D an tinggalah Ratu Aisah seorang diri di Jepara dengan pikiran tuan ya, disibuki oleh menan tunya Sang Panglima

D emak, pendatang baru dari Mekah, putra Pasai, menan tu Bhre Paramesywara: Fathillah.

0odwo0