Panjang – Jayakarta

37. Panjang – Jayakarta

Bulan Juli 1527 Pengantin baru itu sengaja hendak menikmati pelayaran

melalui kepulauan Seribu, gugu san pulau yang tersebar antara Jawa dan Sumatra. Layar mereka gulung dan keduanya m endayung dari pulau ke pulau. Tak ada bajak di daerah perairan sini. Semua lari mengh indarkan diri dari arm ada Jepara-D emak.

D i hadap an mereka nampak gunung-gemu nung pulau Sum atra, di belakang mereka gunu ng-gemun ung pulau Jawa, berlapis-lapis tertimpa sinar surya dari sebelah barat.

Kebetulan laut pun sedang tenang. Air namp ak biru dengan ombak kecil-kecil yang riang bermain pada perm ukaan. Kail yang dipasang pada buritan antara sebentar mengh asilkan ikan ekor kuning, sedang yang Kebetulan laut pun sedang tenang. Air namp ak biru dengan ombak kecil-kecil yang riang bermain pada perm ukaan. Kail yang dipasang pada buritan antara sebentar mengh asilkan ikan ekor kuning, sedang yang

Bila mereka lapar, singgahlah mereka di salah sebuah pulau, bertanak nasi, berkasih dan bercumbu, tanpa seorang pun mengganggu. Untuk itu sengaja mereka pilih pulau kecil tanpa penduduk. D unia berisikan kesukaan semata.

D an sampai sejauh itu Sabarini tak juga pernah bertanya hendak ke mana. la pun tak pernah mabuk laut Ia bicara hanya bila ditanyai. Bila naik lagi ke atas perahu, tanpa diminta segera ambil dayung dan mulai mengayuh.

D engan demikian pulau demi pulau disinggahi atau dilewati. “Mengapa kau tak pernah bercerita?”

Sabarini berhenti mendayung, menciduk air laut dengan tangan, memandanginya sambil tersenyum dan mem buang mu ka. Ia mulai mendayung lagi. W ajahnya kemerah- merahan seperti buah tomat menjelang matang.

“Tentu karena ingat pada rum ah,” desak Pada. “Mereka sekarang tak ada di rumah lagi, G usti,” jawabnya dengan suara dan lagu menyanyi bening itu. “Mereka semua telah melarikan diri masuk ke hutan-hutan.”

“Ya, G usti, karena kita lari. Mereka akan menerima hukum an dari Sri Baginda. Karena patik lari. Mereka akan dihukum oleh Sang Patih N arogol.”

“Mereka akan dapat m enangkap kasut kami.” Sabarini mendengus tertawa.

“Betapa besar dosaku pada m ereka.” Sabarini mengayuh cepat-cepat. “Bagaimana harus kutebus dosa kita?” Pada bertanya.

“Tidak perlu. G usti. Bapak sahaya sendiri yang bersalah. Jangan jadi fikiran, G usti. Mereka akan lari ke hutan-hutan, berkumpul di sana dan mencari tempat baru untuk hidup – tempat yang sekiranya takkan diketahui oleh Sri Baginda. Kalau mereka tak suka membuka hutan, baran gkali m ereka akan turun ke Sunda Kelapa. ”

“N am paknya kau tak berprihatin.” “Bukankah sudah cukup lama patik berprihatin?” “Cu kup lama. Coba ceritakan, istriku.” “Ya G usti,” Sabarini mu lai suka bicara. “D i desa kami

gadis-gadis dikawinkan pada umu r yang masih sangat mu da. Kadang-kadang baru tiga tahu n. Oran gtuanya takut

kalau-kalau anak-gadisnya dirampas para ningrat dan dibawa ke Pakuan . Patik sendiri tum buh jadi gadis tua karena ketentuan putra Sang Naro gol. Perjaka-perjaka tak berani melamar patik. Orang mem andang patik dengan belas-kasihan semata. Semu a orang tahu nasib buruk seorang selir.”

Pada mendengarkan suara bening istrinya yang bernyanyi. Itulah untuk pertama kali Sabarini bicara

sebanyak itu. Ia menganggu k-an gguk mem beranikan. Suaranya bernyanyi lagi. Terdengar olehnya jauh lebih indah daripada kebenaran yang terkandung di dalamn ya: “Mereka akan ikut berbahagia dengan kebahagiaan kita,

G usti. Jangan lah G usti menjadi risau. Semu a akan bersyukur bila ada seorang calon selir berani lari dengan seseoran g yang dicintainya. Semu a akan bersedia mem bantu dan melindungi dan berkorban – tahu mereka bakal mati di ujung tom bak. G usti sama sekali tak berdosa pada mereka.”

“Sabarini, istriku, sekiranya kau benar, mengapa kau tak suka bicara seperti orang-orang lain?”

Mata gadis itu bersinar dan bibirnya tersenyum. Kemu dian menundu k malu.

“Apa yang menjadikan kau malu pada suami sendiri, di tengah laut tanpa saksi begini?”

“Ah, G usti, G usti tidak tahu bagaimana perasaan patik. Bagaimanakah patik harus lewatkan kebahagiaan ini dengan hanya bicara?”

“Stt. Mu lai sekarang, jangan panggil aku G usti.” Sabarini memandangin ya bersungguh -sunggu h. “Sekarang ceritakan tentang kebahagiaanmu .”

D an berceritalah gadis itu tentang asal-mu asal kelahiran nya, dan tentang kepala desa serta seluruh

penduduk desa yang tak berani mempersembahkan dud uk- perkara kelahiran nya pada Patih N aro gol. Betapa ia menderita sebagai calon selir saudaranya sendiri. Maka ia bertekad melatih ilmu berkelahi. Bila toh takkan ada orang yang berani mem bela dan m elindu nginya, ia akan mem bela dan melindungi dirinya sendiri.

“Apabila patik berhasil dalam usaha patik,” Sabarini meneruskan, “patik akan mengem bara jauh, jauh entah ke

mana, asal keluar dari negeri Pajajaran. Patik lulus, kemudian datang seorang pangeran dari Jepara, yang sekarang memperistri patik. Pangeran itu harus lari dari kejaran tentara Pajajaran. Patik pun akan jadi orang kejaran. Mengapalah patik takkan lari dengannya?”

Pada tertawa senang dan berbahagia mendengar cerita di mana keputusan cepat dalam keadaan berbahaya harus diam bil. D an keputusan itu juga diam bil secara tepat D an tidak lain dari Sabarini yang berjasa.

“Begitulah Allah mem pertemukan kita. Segala puji- pujian untukN ya semata, Sabarini. Aku merasa berbahagia “Begitulah Allah mem pertemukan kita. Segala puji- pujian untukN ya semata, Sabarini. Aku merasa berbahagia

Pada mem perhatikan perubahan pada airmu ka istrinya.

D an perubahan itu ternyata tak ada. Ia terheran-heran, dianggapnya perempuan itu tak begitu mendengarkan.

“Aku sama sekali bukan seorang pangeran,” ia mengu langi.

“Apakah bedanya suamiku seoran g pangeran atau tidak? Seorang pangeran takkan mengindahkan istrinya sebagaimana suamiku mengindah kan diriku’

Pada agak kecewa m elihat Sabarini tidak terkejut “Sabarini lebih suka kalau suaminya seoran g petani

biasa, karena seorang petani hanya sederhana, tidak ditingkah oleh seribu nafsu. Aku, dan kami semua tahu tingkah kaum ningrat. Maka aku tahu suamiku tidak bertingkah, tidak berbahasa seperti mereka. Sejak semula kulihat, tam u agun g itu, itu sudah aku lihat ia seorang orang biasa dalam pakaian kebesaran.”

“Sabarini!” gumam Pada setelah mendengar begitu banyak kata tercurah. “lihat, bandar Panjang sudah mu lai nam pak. Sebentar lagi kita akan menginjakkan kaki di bumi Sum atra.”

Matari m ulai tenggelam. Awan hitam bergumpal-gumpal mu ncul dari balik-balik gunung di daratan Sum atra. Angin

kencang mu lai bertiup seperti dihembuskan oleh mu lut raksasa gaib. Alam yang tenang tiba-tiba berubah mengancam. G uruh m engaum dari kejauhan dan kilat sam- bar-menyam bar di cakrawala.

Beberapa noktah dengan puncak-puncak keputihan terpancari sisa sinar matari nampak di kejauhan, di tentang kaki langit.

“Armada Peranggi,” gumam Pada. “Ayoh, dayung cepat.”

Mereka mendayung cepat-cepat mem asuki pelabuhan Panjan g. D an bersamaan dengan itu badai taufan mu lai mengamu k sejadinya. Hujan jatuh mendad ak bercamp ur angin seperti langsung dilemp arkan dari langit.

Setelah mencancan g perahu pengantin baru itu dengan mem bawa baran g-baran gnya yang sedikit lari masuk ke

dalam sebuah bedeng yang telah penuh dengan tum pukan kranjang lada.

Seorang penjaga mem beri tempat berteduh pada mereka di antara dua tumpukan kranjang sehingga terlindu ng dari angin dan air.

Pada terheran-h eran melihat tumpukan kranjang lada sebanyak itu. D an bedengnya bukan hanya sebuah. Tak kurang dari sepuluh, terbuat dari kayu seluruhnya, dan nam pak belum lagi lama didirikan.

D ari cerita penjaga ia mengetahui, kapal-kapal Peranggi akan datang mengambilnya. Lada itu tidak seluruhnya di panen dari pedalaman. Lebih separoh dari Pajajaran dan Banten setelah lolos dari blokade arm ada Jepara-D emak. Lada tetap datang seperti dicurah kan. Panjang mendadak jadi bandar ramai. Saudagar dari Sunda Kelapa, Banten dan Cimanuk berlomba-lomba mem indahkan kegiatann ya di sini dan mendirikan bedeng-bedeng gudang sendiri dan rumah tinggal yang bagus di daerah pelabuhan . D alam kurang dari setahun Panjan g akan telah sangat berubah. Kemakmuran telah menarik orang-orang dari pedalaman untuk bekerja di bandar sehingga pedalaman kekurangan D ari cerita penjaga ia mengetahui, kapal-kapal Peranggi akan datang mengambilnya. Lada itu tidak seluruhnya di panen dari pedalaman. Lebih separoh dari Pajajaran dan Banten setelah lolos dari blokade arm ada Jepara-D emak. Lada tetap datang seperti dicurah kan. Panjang mendadak jadi bandar ramai. Saudagar dari Sunda Kelapa, Banten dan Cimanuk berlomba-lomba mem indahkan kegiatann ya di sini dan mendirikan bedeng-bedeng gudang sendiri dan rumah tinggal yang bagus di daerah pelabuhan . D alam kurang dari setahun Panjan g akan telah sangat berubah. Kemakmuran telah menarik orang-orang dari pedalaman untuk bekerja di bandar sehingga pedalaman kekurangan

Pada tak habis-habis pikir mendengarkan betapa kemakm uran bisa berpindah-pindah dari bandar yang satu ke yang lain. D an bila arm ada Jepara-D emak terus-menerus menindas bandar-bandar lain dan m embikinnya jadi bandar tak bebas, Panjang bisa m enggantikan M alaka atau Pasai.

Setelah berunding dengan istrinya mereka bersepakat menunda pelayaran ke M alaka untuk melihat-lihat Panjang

lebih lama.

0o-d w-o0

Armada Portugis itu tak mau berkisar dari tujuan semula, menolak berlindung di bandar Panjang.

Fran cisco de Sa, pemimpin arm ada, adalah seorang mu da berum ur tiga puluhan, berwatak keras, giat dan bernafsu untuk menjabat kedudukan tinggi. Ia meningkat dengan cepat dari kelasi menjadi kepala setting, jurum udi, wakil kapten, kapten, dan terakhir sekarang ini: pemimpin arm ada.

Menurut perintah yang diterima ia harus mem ulai pembangu nan kantor dagang sekaligu s benteng di Sunda

Kelapa selama setengah tahun dengan menurunkan serdadu dan tukang. Kapal-kapalnya harus segera balik kembali ke Malaka membawa lada dari Panjan g.

Tetapi ia juga punya rencana pribadi. Ia akan selesaikan pekerjaan nya dalam tiga bulan di Sunda Kelapa. Yang tiga bulan lagi akan dipergunakan nya untuk mem bangun kebesaran baru di Jawa, untuk diri sendiri dan untuk

Portugis. Tanpa jalan demikian dirasainya sulit untuk bisa jadi pemimpin Portugis di Asia yang berkedud ukan di Malaka.

Ia tak mengindah kan kekuatiran anak buahnya sedangkan hujan angin kian mengganas dan gelomban g pun semakin menggunung. Satu mata taufan telah menerjang arm ada dan menyeret beberapa kapal langsung ke jurusan tenggara. Beberapa tiang kapal telah patah dengan layar com pang-camping. Laut yang ditekan taufan itu menjompak naik jadi gunung-gumunu ng yang gulung- bergulung. Beberapa kapal telah patah kemudi, dan tanpa daya diseret terus dalam cengkeram an gelom bang.

Taufan itu mendesak samp ai separoh dalam laut, menimbulkan alun yang semakin tinggi juga. Pulau-pulau dari gugusan Seribu sebentar hilang sebentar timbul dari balik puncak om bak. D engan tenggelamnya surya alam pun menjadi kelabu hitam. Curah hujan m enyebabkan orang tak bisa lagi melihat ke depan.

Semua layar telah digulung, tetapi deras angin mengh alau m ereka ke selatan .

Hanya lentera-lentera kapal sayup-sayup menan dakan adanya m anusia yang hidup di tengah laut itu. D an lentera- lentera itu nampak menyampaikan perintah-perintah dari

Fran cisco de Sa pada kapal-kapalnya yang tak terkendalikan lagi. Ia berteriak-teriak, mengh antam-

hantam kan kaki pada geladak, mem aki dan menyumpah. Tanpa guna. Taufan tak juga berhenti. Hujan semakin tebal curah nya dan kilat sabung-menyabung m erajai alam.

Bagi Fran cisco de Sa hanya peristiwa yang sekali ini saja ia harus bisa atasi. Ada satu tahyul di dalam hatinya: bila sekali ini ia gagal, semua cita-citanya selanjutnya akan runtuh. Sekali bencana ini dapat dikalahkan, suatu Bagi Fran cisco de Sa hanya peristiwa yang sekali ini saja ia harus bisa atasi. Ada satu tahyul di dalam hatinya: bila sekali ini ia gagal, semua cita-citanya selanjutnya akan runtuh. Sekali bencana ini dapat dikalahkan, suatu

Tiga bulan! Hanya tiga bulan kerja di Sunda Kelapa! Tiga bulan selebihnya adalah untuk kegiatan pribadi tapi atas nam a Portugis: pembalasan dendam atas Tuban yang telah beran i menghina beberapa tahun yang lalu.

D alam pancaran kilat ia lihat armadanya cerai-berai, dan dilihatnya juga kapal yang dikapteni oleh D uarte Coelho telah menyelonong paling depan, kadan g berputar dalam mata taufan, kadang m endorong permukaan laut, kemudian meluncur ke tenggara dengan buritan jadi haluan. Jelas kemudinya telah patah dan tak ada satu tiang pun utuh.

Sebuah kapal lainnya berdiri dengan haluan di atas, kemudian dalam kerjapan kilat namp ak cepat menyelam ke dasar laut dan tak mu ncul lagi. Beberapa puluh anak kapal berapungan timbul-tenggelam di puncak-puncak ombak.

Petir menyam bar. Sebuah kapal pecah, miring, kemudian tenggelam .

“Jesus M aria!” sebutnya. “Pantang mu ndur! Maju terus! Badai taufan bukanlah tanggungjawabku.”

Isyarat-isyaratnya mem erintahkan: M aju terus!

0o-d w-o0

Kapal yang dikapteni oleh D uarte Coelho tak dapat keluar dari cengkaman mata taufan. Seperti dalam cakar

kucing kapal itu kemudian terangkat ke udara dan terbang dengan cepatnya. W aktu cengkaman agak kendor ia menurun, menerjang kegelapan, menepis air dan terlempar ke daratan, melindas pohon -pohon nyiur pantai, kemudian jatuh di atas rawa-rawa dengan menumban gkan kucing kapal itu kemudian terangkat ke udara dan terbang dengan cepatnya. W aktu cengkaman agak kendor ia menurun, menerjang kegelapan, menepis air dan terlempar ke daratan, melindas pohon -pohon nyiur pantai, kemudian jatuh di atas rawa-rawa dengan menumban gkan

Kapal itu tak bergerak lagi dengan dinding pecah berentakan, Manusia di dalam nya kehabisan daya, adalah laksana jamblang kocok. Hanya seorang dua tak mengalami cedera, itu pun hanya karena kebetulan.

D uarte Co elho sendiri tergeletak di geladak dengan lengan patah . N amu n ia masih mampu mem berikan perintah. D an perintahnya yang terakhir terdengar adalah: “Periksa kapal! Periksa di mana kita berada!”

D ua orang yang masih jaya terlongo k-longok heran melihat kapal tak lagi berada di atas laut. D i sekitarnya

hanya semak-semak rawa. “Terdampar jauh di darat!” seorang di antaranya berseru. “Sayang kapal sebagus ini.”

D an mata taufan itu bergerak terus meninggalkan mereka di tengah-tengah daerah rawa,

tak sudi mengem balikan ke laut lagi, terus menerjang daratan ke jurusan tenggara.

“Terdampar jauh di darat!” pekik kelasi itu. Tak ada yang menan ggapi. Ia turun ke tanah. Matari

baru saja terbit. Ia punguti dan periksa pecahan dinding dan melemparkan nya ke tanah. Kemu dian ia berdiri di atas batang pohon kelapa rebah dengan akar-akarn ya jadi pengganjal kapal bersama dengan batang-batang pohon lain.

‘Terdampar di tengah -tengah rawa!” serunya ke atas. Juga tak ada sambutan. Mereka naik lagi ke atas, langsung mendapatkan D uarte

Co elho yang pingsan tak sadarkan diri.

0o-d w-o0

D emak yang bertugas menjaga perbentengan mendengar seorang berteriak-teriak di belakangn ya, di daerah rawa-rawa. Ia berhenti dan mendengarkan. Teriakan itu juga berhenti.

Prajurit-prajurit

D aerah itu tak pernah dimasuki orang selam a ini. Orang gentar pada demam rawa yang mem bunuh. Maka ia lari mendapatkan teman-temannya. D an semua ragu-ragu.

D aerah itu juga menjadi saran g buaya besar. D alam rawa- rawa dangkal demikian buaya sama saja berbahayanya baik

di air ataupun di darat. Mo nyet dari atas pohon yang tak berbilang banyaknya mu ngkin juga akan menyulitkan bila yang memasuki hanya beberapa oran g saja. Seratus orang kemudian masuk berbareng dengan tom bak di tangan dan pedang di pinggang. D an mereka mendapatkan kapal Portugis yang telah comp ang-camping tanpa tiang tanpa layar. Mereka terdiam. Tak pernah melihat sebuah kapal sebesar itu dap at mendarat begitu jauh dari laut. Hanya

seorang Portugis ia lihat bergerak di dalam kapal itu. Kemu dian seorang lagi.

Mo nyet pada mem ekik-m ekik dan burung-burung bernyanyi seperti lim a ratus tahun yang lalu. T ak ada buaya nam pak di sekitar.

Mu la-m ula para prajurit berunding berbisik-bisik, kemudian mendengar-dengar kan lagi. Tapi di atas kapal itu sunyi saja. Seorang prajurit mengambil batu dan melembarkan pada kapal Seorang Portugis mu ncul dan menjenguk ke bawah, kemu dian pergi lagi.

Peratu s mem erintahkan menyerbu. Mereka turun ke air, langsung menuju ke kapal. D an mereka tak dap at naik, semua m endongakkan kepala ke atas.

Barisan prajurit di belakang datang membawa batang- batang pohon yang habis ditebangnya. Oran g mu lai naik.

D ua orang Portugis dengan pedang di tangan menghantam setiap orang yang paling atas naik pada batang kayu itu.

D an melihat semakin banyak oran g datang membawa batang, mereka pun m enggunakan mu sket dan m enembaki.

D ari darat dilemp arkan beberapa tombak, dan dua orang Peranggi itu jatuh ke geladak. Seorang di antaranya menukik dari atas dan kepalanya menancap pada lump ur dasar rawa. Tinggal kakinya melengkung di atas air. Seseorang mengh antam kan pedangnya, dan tubuh itu kemudian rebah.

Penyerbuan tiada yang menghalangi. Mereka mu lai naik ke geladak, menerobosi bingkahan dinding ke dalam paikah dengan tombak dan pedang terhunus. Yang mereka dap atkan

Peranggi yang bergelimp angan tanpa daya.

hanya

tubuh-tubuh

Tom bak dan pedang menghabisi mereka tanpa perlawanan. D alam biliknya orang menemukan D uarte

Co elho dengan tangann ya yang sehat mencoba m emberikan perlawanan. Pertarungan dengan pedang sebentar berlaku. Baja beradu baja berdentingan sebentar kemudian padam sama sekali. Sebilah tom bak telah melump uhkan D uarte Co elho dari lambung. Ia jatuh terkapar.

Prajurit D emak bersorak-sorak di antara bangkai-bangkai bergelimp angan.

Sebelum mengh embuskan nafas penghabisan D uarte Co elho masih sempat bicara dalam Melayu: “Kami datang untuk bersahabat.”

Ia sudah tak mendengar lagi waktu prajurit D emak menjawabinya.

Tak antara lama seratus prajurit lagi datang. Seluruh kapal com pang-camping itu diperiksa. Semua benda dikumpulkan di geladak termasuk sembilan pucuk meriam, peluru dan mesiu, alat makan dan dapur, mu sket, perkakas tukang, buku, persediaan bahan makanan, obat-obatan, alat kebaktian, patung dan salib milik pribadi awak kapal.

Peratu s itu mem erintahkan menurunkan semua dan mem persembahkan pada Fathillah. D emikian mereka mengangkuti sambil bersorak-sorai melalui jalan setapak yang baru diretas.

Sebagian dari para prajurit m endapat perintah membikin jembatan untuk menurunkan meriam dan baran g-barang

berat lain. Sebagian m endapat perintah m embikin tali. Tapi sebagian besar m elakukan pengangkutan.

D aerah rawa yang biasanya tiada bermanusia itu kini riuh-rendah. Monyet dan margasatwa pun beterbangan melarikan diri. Asap mu lai mengepul untuk menjerangkan air minum dan makan siang.

Tengah hari Fathillah sendiri mem erlukan datang dan melakukan pemeriksaan ke seluruh kapal, sampai-sampai

pada kamar mandi dan kamar kecil. Ia tenggelam dalam renungan, dan tiada seorang pun tahu apa sedang bergerak dalam hatinya. Ia turun dari kapal dalam keadaan tenggelam dalam pikirannya dan kembali ke bandar.

Orang menduga ia sedang melihat sendiri akibat dari penanggu lan pesisir bandar yang m enghalangi pasang-surut air di rawa-rawa. Sebagian terbesar tak punya dugaan sesuatu , mabok mendap at jarahan.

Tak berapa lama ia pergi datang seratus orang prajurit tam bahan untuk melakukan kerja pengangkutan dan melebarkan jalan setapak untuk dap at dilalui oleh baran g- baran g besar.

Markas Fathillah berdiri di atas tanah yang tinggi mengh adapi tanah lapang.

Barang-barang jarahan ditumpuk di depan rum ah ini.

D alam waktu pendek orang datang berduyun-duyun untuk melihat-lihat barang aneh, sebagian tak jelas apa gunanya.

Fathillah berjalan mo ndar-man dir dalam markasnya menunggu datangnya meriam-meriam rampasan. Tetapi baran g-barang berat itu hanya dengan susah-payah saja bisa melintasi daerah rawa bertanah lunak bercampur hancuran luruhan dedaunan.

W aktu mu sket-m usket datan g ia keluar dari markas dan mem erintahkan

mem bongkarnya

dari ikatan.

D ip erintah kannya datang pasukan pengawalnya dan mem bagi-bagikannya pada mereka, kemudian sendiri mem berikan petunjuk bagaimana menggunakannya. D ua ratus pucuk telah dirampas pada hari itu.

Seorang prajurit mempersembahkan padanya sebuah bola dun ia dan ia menerima persembahan itu dengan kaki dan menendangnya. D unia menggelinding dan berhenti pada kaki seorang prajurit, tanpa jagang.

Prajurit, yang menduga bola itu baran g sihir, melom pat kecut. Ketakutan menyebabkan wajahnya nam pak jadi ungu .

‘Tendang!” perintah Fathillah. Bola itu ditendang oleh prajurit lain lagi, menggelinding

dan menggelinding, ditendang dan ditendang. W aktu jatuh ke laut benda itu telah penyek.

Sebuah teropong yang dihadap kan segera diambil oleh Fathillah.

Ia mem eriksanya sebentar kemudian menggunakan nya untuk meneropong laut lepas. Benda itu ia panjang-pendekkan. la lepas. D ikocoknya matanya.

Menggeleng dan meneropong lagi. Kembali benda itu diperiksanya, kemu dian dipendek-panjangkan. Meneropong lagi ke laut lepas. Kemu dian m elihat dengan mata telanjang pada ke jauhan dan m eneropong lagi.

Ia berpikir sebentar. Kemudian bertanya pada pengiring yang berdiri di belakangn ya; dalam Melayu: “Coba lihat sana, benarkah yang aku lihat dengan teropong terkutuk ini?”

“Ada patik lihat, G usti, tapi tidak jelas,” jawab pengiring itu, juga dalam Melayu.

“Apa yang kau lihat?” “Beberapa titik putih. G usti.”

“Co ba dengan ini.” Pengiring itu mengenakan teropong, melepas dan

mengenakan nya kembali, melepas dan mem eriksa kaca- kaca teropong, kemudian meninjau dengan mata telanjang dan mengenakannya lagi.

“Apa kau lihat?” “Tiga kapal asing, G usti, dengan teropong ini.”

Fathillah mengambil teropong itu dan mengenakan nya. Kemu dian dipanggilnya seorang lagi dan disuruhnya melihat ke kejauhan, setelah itu disuruhnya dengan teropong.

“D engan baran g ini muncul tiga kapal asing, G usti, sedang m enuju ke Sunda Kelapa. ”

“Pengangkutan meriam supaya lebih cepat!” perintah nya pada yang lain.

D an meriam yang sudah ada ia perintah kan dipasan g di belakang bentengan kayu bakau-bakau.

“D an peluru dan mesiunya. Cepat! Tambah tiga ratus prajurit lagi untuk m engangkut!” perintah nya pada seorang peratus D emak.

Orang itu lari untuk menjalankan perintah. Lima pucuk meriam telah terpasang di balik bentengan.

Fathillah sendiri memberi petunjuk cara menggunakan sebagaimana pernah didengar-dengamya dari Arabia dan Mesir. Peluru dan mesiu di bagi-bagikan dari tangan ke tangan.

Fathillah melaran g siapa pun melakukan serangan tanpa perintah, la menghendaki pertemp uran di darat untuk dapat

merampas semua kapal Portugis yang datang dan merencanakan penyergapan tapal kuda jarak beberapa ratus depa.

“Hentikan pengangkutan!” seorang peratus meneruskan perintah Fathillah. “Siapkan pedang dan tombak.”

Mo ncong-moncong meriam rampasan telah ditujukan pada sisa arm ada Francisco de Sa yang m endatangi. Semua terlindun g oleh semak-semak asli dan buatan. D an semua orang berbesar hati dengan adan ya meriam.

D engan teropong di tangan Fathillah melakukan pemeriksaan di seluruh medan dengan berjalan kaki.

Sebentar lagi, ya sebentar lagi, hari ini juga, kapal-kapal itu akan teramp as dengan seluruh isinya, dan anakbuahnya

tum pas. Panglim a-L aksamana-G ubernur

meneropong dan meneropong. Betapa lama rasan ya. D an kapal-kapal itu semakin lama semakin mem besar. Juga nyamuk semakin giat m enyeran g m ereka yang bersiaga dalam keadaan diam. Betapa lama. D an mem ang lama.

Kapal-kap al itu ternyata tidak mem asuki mu ara Ciliwung. Tiga-tiganya mem buang sauh jauh dari darat. Lam a, lama sekali rasan ya, baru kemudian mereka menurun-nurunkan sekoci. Mereka yang melayani meriam tanp a pernah berlatih telah gatal tangan untuk segera menem bak. M ereka yang m endapat pembagian m usket juga tanp a pernah berlatih telah gelisah. Setidak-tidaknya balatentara Jepara-D emak sedan g dalam semangat tinggi.

Kapal-kap al mu lai menuangkan prajuritnya ke semua sekoci, dan beriringan seperti itik menuju ke mu ara Ciliwung. Setiap orang menyandang musket panjang.

D udu k pada dasar sekoci musket mereka menggerm ang ke atas, lebih tinggi dari kepala mereka. D ari tempatnya yang terlindun g Fathillah meneropong. “Mereka turun ke sekoci dengan tangga tali’ ia m emperingatkan. “Hati-hati. Mereka kelihatan lelah. Biarpun begitu, awas. Peranggi tetap Peranggi. Tak seorang pun bakal menyerah tanpa berkelahi. Mereka lebih suka tewas daripada bertekuk lutut. Jangan gegabah. Kita akan sergap tepat pada waktunya’

Serdadu -serdad u Portugis itu diturunkan di tepian m uara Ciliwung. Sekoci-sekoci kembali lagi ke kapal untuk meneruskan pendaratan.

“Awasi setiap gerak-geraknya,” Fathillah menekan kekecewaan karena yang turun m endarat seluruhnya hanya

berjumlah delapan puluh orang. Kapal-kap al di sana itu tetap terjaga dari dalam .

D ari teropongn ya ia melihat meriam-meriam kapal ditujukan ke darat. Mereka mengambil jarak di luar daya tembak cetbang.

“Mereka yang m endarat harus ditump as. Kapal-kapalnya kemudian ditembaki, tenggelam atau lan tersapu.”

D ari teropong itu juga nampak olehnya seorang tidak bersenapan serba putih. Berbeda dari yang lain, topinya dihias dengan jum bai-jumbai kuning dan pada dad anya terhias selemp ang m erah Itulah Francisco de Sa.

Serdadu -serdad u yang telah turun mu lai dibariskan. Fran cisco de Sa berjalan dalam iringan tiga oran g. Kemu dian seluruh bansan itu mengiringinya. Mereka menuju ke lapangan bandar. D an bansan itu berhenti.

Fran cisco de Sa berhenti, meninjau ke segala penjuru. N am paknya ia heran tak melihat seorang pun. Tak ada orang bekerja, tak ada yang jalan-jalan. la pun tak tahu sama sekali Sunda Kelapa sudah jatuh dan tangan Pajajaran pada D emak, la berjalan beberapa belas depa ke depan, ke samp ing, kemudian kembali ke barisan.

D engan iringan tiga orang ia kembali ke tepi Ciliwung, ke mu ara. Ia mu lai perhatikan perahu-p erahu yang tertambat, semua tanp a manusia. D an sekoci-sekocinya tercancang rapi seperti susunan ikan. Semua tanpa m anusia.

la kembali lagi pada barisan. Seorang pengiring mem berikan pikiran padan ya,

mu ngkin penduduk Sunda Kelapa masih ketakutan pada taufan dan melarikan diri ke pegunungan. D e Sa mem bantah, karena bukan adat pelaut lari dari angin. Mu ngkin sedang m erayakan pesta di pedalaman.

Seorang pengiring lain menyarankan untuk mem bawa naik pasukan ke Pajajaran. Ia menggeleng. Ia tak mau kehilangan terlalu banyak waktu. Ia han ya bisa mem berikan jatah tiga bulan. Maka ia menghendaki segera bertemu dengan Pangeran Sunda Kelapa, G ubernur bandar, untuk segera bisa mem ulai pekerjaan. D an bila pertemuan tak mu ngkin, pekerjaan akan dimu lai tanpa sepengetahuan Sang G ubernur.

D an di mana pula Syahbandar?

D ari pengalaman di Tuban ia mengerti, bila seorang Syahbandar tak datan g menyam but sewaktu Portugis datang, pasti ada sesuatu yang tidak beres.

D i m ana Syahbandar? Bahkan jalan-jalan sampai yang sekecil-kecilnya pun

tinggal lengang tak berm anusia. Tak tahan terkepung oleh kesenyapan Fran cisco de Sa

menjadi penasaran . Ia berjalan cepat menuju ke kantor Syahbandar dan berteriak kencang; tangan dicorongkan pada mu lut: “Syahbandar! Syahbandar!”

Hanya deburan laut jua yang menjawab. Ia mem berikan perintah agar pasukannya bergerak maju.

D an majulah pasukan kecil itu. Semua berbaris menuju ke tempat kantor Syahbandar, kemudian mem belok ke kanan menuju ke tempat tugu perjanjian Portugis-Pajajaran.

Fran cisco de Sa menjadi murka melihat tugu itu telah hancur dan tinggal puntungnya di atas landasan batu segi empat. Ia selidiki luka pada Ipatahan batu itu dan mengetah ui belum lama berselang suatu perusakan dengan senjata telah dilakukan oleh orang: suatu kekuatan telah menan tang perjanjian itu. Ia perintahkan pasukannya siap tempur.

Semua yang terjadi diikuti oleh Fathillah dari teropong ram pasan.

Pasukan kecil Portugis itu bersiap-siap untuk balik ke laut sambil siaga berbaris mu ndur mengh adap ke daratan menuju ke tempat sekoci.

Fran cisco de Sa menarik pandang tinggi, m emekik.

D ari balik semak-semak pasukan D emak bersorak-sorak sambil melemparkan tom bak. Mu sket D emak tak ada sepucuk pun meledak. Co ntoh penggunaan yang diberikan oleh Fathillah ternyata tidak kena.

mem encar barisan. Tembakannya mu lai terdengar. Mu la-mu la satu-satu, kemudian bergelom bang-gelom bang. Semburan pelurunya beterbangan dan berjatuhan menjadi hujan logam.

Prajurit-prajurit

Portugis

Meriam ram pasan mu lai berdentaman dari balik semak- semak dan tanggul. Pelurunya beterbangan ke arah kapal- kapal Portugis. Tangan-tangan

tak terlatih itu mengh am burkan peluru tanpa mengenai sasaran.

Prajurit-prajurit D emak sudah m ulai bergelim pangan. Fathillah segera mengerti, pertemp uran jarak jauh akan

mengu ntungkan Portugis. D engan jarak dekat mereka takkan segera dapat m enyiapkan senjatanya. Ia perintah kan pelemparan tombak terus-m enerus sambil menerjang maju.

D engan pedang di tangan ia pimpin sendiri penyergapan. Jubah putih dan ujung-ujung destar putihnya berkibar-kibar

dalam puputan angin seperti melambai-lam bai pada barisannya.

Pasukan Portugis menyelamatkan Francisco de Sa di tengah-tengahn ya sambil terus mundur ke jurusan Ciliwung. Mereka sama sekali tidak bersorak-sorak. Hanya terdengar aba-aba dari seorang saja, dan suaranya nyaring, keras, dan dengan pedang dilambai-lambaikan ke udara. Mereka yang roboh terkena tom bak ditinggalkan dalam gerakan m undur. T ak seorang pun korban mereka bawa.

D ari seberang Ciliwung tentara D emak mu lai bersorak- sorak menuju ke sasaran. Melihat sedang di tapalkuda pasukan Portugis melepaskan tembakan sekali lagi dan buyar berebut dulu turun ke sekoci masing-m asing. Yang D ari seberang Ciliwung tentara D emak mu lai bersorak- sorak menuju ke sasaran. Melihat sedang di tapalkuda pasukan Portugis melepaskan tembakan sekali lagi dan buyar berebut dulu turun ke sekoci masing-m asing. Yang

D ari seberang tentara D emak mulai menaiki biduk juga dan mengejar, dan melemparkan tombak dan melepaskan anak panah. Portugis mem balas dengan tembakan- tembakan sehingga para pengejar dipaksa berhenti dan tinggal hanya bersorak-sorak seperti menghalau babi hutan.

Tak sebuah pun sekoci Portugis tertinggal. Mereka mendayung berpencaran melalui peluru meriam D emak yang berjatuhan di laut. Satu-dua di antara peluru-peluru itu telah mengenai salah satu di antaran ya, oleng, dan penum pangnya berlompatan ke laut.

D ari teropongnya Fathillah m elihat Francisco de Sa tetap berdiri di atas biduk, bertelekun pada hulu pedang dan matanya terpaku pada Sunda Kelapa. W ajah nya merah padam karena mu rka. D an nampaknya ia tak tahu apa harus diperbuatnya.

Meriam-meriam kapal tak dap at leluasa menem bak, takut mengenai teman-temannya sendiri.

Fran cisco de Sa mengetahui usahan ya gagal, la tak berani mendaratkan pasukannya.

22 Juni 1527

D engan masih meneropong Fathillah mengatakan, seakan sudah seia dengan Wiran ggaleng: “Mereka takkan

datangi lagi tempat di m ana m ereka pernah dikalahkan.” Bidu k-biduk itu telah samp ai di kapal masing-m asing.

Mereka bemaikan dari tangga tali. D an sesuatu yang mengh erankan telah terjadi: Portugis tak melepaskan satu peluru pun dari meriam-meriamnya.

Sauh -sauh diangkat. Layar dipasang, dan berlayarlah sisa arm ada yang habis diterjang taufan dan dihalau Fathillah itu m enuju ke timur, m enjauhi pesisir pulau Jawa.

Tentara Jepara-D emak bersorak-sorai dalam kegembiraannya. W alau banyak korban jatuh, mereka pun telah pernah mengh adapi Peranggi le-lanan ging jagad dalam suatu pertempuran sesungguhnya. Perasaan rendah takut pada Peranggi yang dah syat itu tiba-tiba menjadi pudar Peranggi ternyata mem ang hanya m anusia biasa yang dap at juga dihalau.

Di tengah-tengah pasukannya sendiri Fathillah mengu mumkan: “D engan nam a Allah yang M aha Pemurah

dan Maha Pengasih, pada hari ini dengan kekuatan yang dilimpahkan-N ya pada kita, kita telah halau Peranggi ke laut. Insya Allah mereka takkan menginjakkan kaki lagi di bum i kita ini. Sebagai peringatan atas peristiwa ini, aku nyatakan bandar ini berganti nama, dan menjadilah Jayakarta. Jaya pada awal dan kemudiannya, karta untuk selam a-lam anya.”

Berita penghalauan Portugis dari Sunda Kelapa dan terdamparnya kapalnya di rawa-rawa, segera terdengar di Panjan g. D i mana-m ana terbentuk gerom bolan orang yang mem bicarakannya dengan bersemangat.

Tetapi saudagar-saudagar lada berkabung: lada mereka tetap tertump uk di bedeng-bedeng.

Untuk dapat mem beritakan pada Wiranggaleng dengan lebih jelas Pada mem utuskan untuk sekali lagi menunda keberangkatannya ke Malaka. D an istrinya menyam but putusannya tanpa bicara. Maka dengan istrinya setiap hari ia bergelandangan di bandar kecil yang mendadak kehilangan kegembiraannya itu.

Berita Portugis akan mengambil lada tak terdengar lagi.

Berita lain datang menyusul: sisa armada Portugis itu berlayar terus ke timu r dengan menghindari setiap pertemuan dengan armada Jepara-D emak.

Maka waktu berita itu samp ai ke Teluk Bayur, kapal- kapal Parsi, Arab, Benggala, yang masih ragu-ragu hendak meneruskan pelayarannya ke selatan mengangkat sauh, berebut cepat mendapatkan lada di Panjang.

Saud agar-saudagar lada di Panjang melepas baran gnya sedapat ia jual.

Pada dan Sabarini bekerja mem unggah lada untuk penghidupannya. Maka ia tahu harganya tidak setinggi

biasanya. Mu ngkin juga Peranggi berjanji hendak mengambilnya dengan harga lebih m ahal.

W aktu kapal-kapal berangkat lagi, ternyata masih terlalu banyak tum pukan lada yang belum terjual. Bandar kembali jadi senyap. Perahu -perahu layar Pribumi mu lai mem beli sisa itu dan mengangkutnya ke P asai atau Malaka. D engan lada bandar-bandar dalam kekuasaan Portugis selalu terbuka.

D engan habisnya lada dan kosongnya bedeng-bedeng, kembali Pada dan Sabarini tak mempunyai suatu pekerjaan tertentu. Berdua mereka tinggal di bandar dengan kegiatan hanya mendengar-dengarkan berita. Pada suatu hari dalam kehidupannya seperti ini datang sebuah perahu layar dari

Madura, mem bawa berita, bahwa bandar Banten dan Jayakarta untuk ke dua kalinya telah dinyatakan sebagai bandar bebas oleh Fathillah. Mem ang perahu-perahu mu lai berdatangan, tetapi tidak untuk berdagang, hanya untuk mendapatkan air dan beras dan sayuran.

D an waktu orang bertanya bagaiman a keadaan bandar Cimanuk sekarang, nakhod a perahu Madu ra itu sambil melom pat ke darat berkata dengan suara lantang: ‘Tetap, D an waktu orang bertanya bagaiman a keadaan bandar Cimanuk sekarang, nakhod a perahu Madu ra itu sambil melom pat ke darat berkata dengan suara lantang: ‘Tetap,

Orang-orang merubungnya. D an Pada bertanya: “Tidak bertemu dengan armada Peranggi?”

“Alham dulillah, kami selam at Yang lain-lain tak dapat mengh indarkan diri. Mereka seperti kerbau gila, bedebah terkutuk itu. Tidak puas hanya membajak. Semua orang dari Tuban dan D emak dan Jepara dibunuh,” N akhoda Madura itu menjawab sam bil memilin kumisnya yang tebal.

“D i m ana bertemu dengan mereka?” “D i atas Juana.”

“Jadi mereka tak mendarat di Jepara?” “Tidak. Setelah Juana mereka mulai mendekati pantai.

Tapi m ereka terus ke jurusan timur.” “Ke Blam bangan barangkali?” “Boleh jadi. Setidak-tidaknya memasuki wilayah D emak

mereka tidak berani.” Berita itu tidak lengkap dan belum tentu benar. Pada belum lagi puas. Ia masih harus

menunggu. Kapal-kap al dari Atas Angin berdatangan lagi melalui

barat Sumatra. D an Portugis tak kunjung tiba. Lada yang didatangkan oleh para penyelundup dari luar bandar-bandar dalam kekuasaan D emak m emang terus berdatangan, tetapi jum lahnya tidak mencukupi untuk mem enuhi permintaan. Harga menjadi sangat tinggi. Memang penjualan berjalan sangat cepat, persediaan habis, tetapi keadaan tidak mengu ntungkan Panjang. Kapal-kapal itu meneruskan perjalanan ke tenggara, ke Jayakar-ta dan Banten sendiri.

N am paknya Fathillah kini berhasil dengan pembebasan bandar-bandarnya. Kapal-kapal Atas Angin mu lai tersedot ke sana. Akibatnya bandar Panjang surut menjadi sepi seperti semula. Akibat selanjurnya: pekerja-pekerja bandar tak punya pekerjaan lagi. Mereka kembali naik ke pedalaman untuk mengu rus lada. Pada dan Sabarini ikut saja dengan aru s, memasuki pedalaman dan mencari penghidupan seperti yang lain-lain.

Sebuah berita hebat telah pecah, mengabarkan Portugis akan datang mengambil lada yang telah dijanjikan. Orang pun berbondong-bon dong turun ke bandar Panjang. Pedagang-pedagang lada sedang sibuk m engangkuti baran g- baran gnya untuk melarikan diri dari bandar. Tiadanya persediaan lada akan menyebabkan Portugis bakal melakukan pembalasan dendam terhadap seluruh bandar. Pendud uk lainnya juga sedang siap-siap untuk mengungsi.

W aktu Pada dan Sabarini samp ai, yang mereka dapatkan adalah sebuah perahu layar Bali. Awak perahu segera dirubung orang untuk mendapatkan beritanya.

“Kami takkan dapatkan lada di Tuban,” katanya. “Ke Jayakarta dan Banten kam i takut. Kami bukan Islam. Maka kami cari lada ke m ari. Lagi pula, kata oran g, harga lada di sana terlalu tinggi, maka kami terus ke mari.”

Mendengar Tuban disebut-sebut Pada mendesak ke depan dan bertanya: “Apakah Peranggi tidak mendarat di

Tuban?” “Takkan didapatkan sesuatu di Tuban. Mereka m endarat

dan mengamuk di sana.” “Siapa mereka? Maksudmu Peranggi?” “Siapa lagi kalau bukan Peranggi?” “Bukankah Tuban sudah jadi daerah D em ak?”

‘Tidak. Hanya sehari D emak mem asuki Tuban. Mereka diusir keluar lagi oleh pasukan kuda dan gajah, jatuh lagi ke tangan balatentara Tuban. Pada waktu itulah Peranggi masuk.”

“Jelas Peranggi sudah menguasai Tuban?” “Setidak-tidaknya begitulah yang kami dengar.” “Jadi bagaiman a halnya dengan balatentara Tuban dan

D emak?” “Tuban mengu ndurkan diri ke luar kota. D emak tidak

meneruskan seran gann ya ke Tuban.” “Jadi Tuban kena keroyok?”

“Boleh jadi begitu jadinya.” Pada menarik tangan istrinya dan diajaknya pergi.

Mereka mem asuki bedeng kosong dan berdiri diam-diam mengawasi laut, mem perhatikan perahu mereka yang sudah lama tiada m ereka pergunakan.

“Sabarini, selesailah sudah urusan kita di Panjan g ini. Kita akan teruskan pelayaran.”

“Karena berita-berita itu?” “Karena berita-berita itu, Sabarini.”

“Bukankah belum tentu semua itu benar?” “Seorang nakhoda selam anya bicara benar. Kalau tidak

dia akan jadi tertawaan di setiap bandar, penghidupannya akan m ati.”

0od-w-o0